Pegadaian sedang menyiapkan platform pinjaman modal kerja berbasis digital atau digital lending untuk segmen menengah ke atas. Saat ini, perusahaan tengah melakukan piloting produk dan telah mengantongi izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Sebagaimana dikutip dari Kontan, Direktur Teknologi dan Digital Pegadaian Teguh Wahyono mengungkap bahwa digital lending ini menawarkan tenor pendek, yaitu dua hingga enam bulan. Besaran pinjaman dimulai dari Rp50 juta hingga Rp2 miliar.
Sementara, pendanaan modal kerja akan diperoleh dari dua sumber. Pertama, sumber pendanaan langsung dari Pegadaian (direct lending) yang utamanya membidik pasar dari kalangan BUMN lewat skema invoice financing. Kedua, sumber tidak langsung (indirect lending) melalui platform penyedia p2p lending.
Dihubungi terpisah, VP Digital Business Development & Partnership Pegadaian Herdi Sularko mengatakan bahwa pihaknya masih mengkaji rencana realisasi produk untuk direct lending. Sedangkan untuk indirect lending sudah memasuki tahap piloting untuk sekop kecil.
“Ada tiga (pemain p2p lending) di pipeline kami, cuma tidak bisa kami sebutkan karena masih dalam tahap non-disclosure agreement,” ungkap Herdi kepada DailySocial.
Sebagaimana diketahui, Pegadaian tengah mendorong perannya dalam ekosistem keuangan dalam dua tahun terakhir. Perusahaan berupaya untuk bertransformasi, tak lagi hanya sebagai perusahaan gadai, tetapi juga sebagai perusahaan yang menawarkan layanan keuangan lainnya.
Institusi keuangan garap produk digital lending
Pegadaian bukanlah satu-satunya perusahaan di industri keuangan yang bermain di p2p lending. Sebelum itu, BRI melalui anak usahanya BRI Agro menjadi bank pertama yang merilis pinjaman untuk modal kerja berbasis digital, yakni PINANG (Pinjam Tenang) pada awal 2019.
Selain itu, BCA juga dikabarkan akan menggarap produk tersebut. Namun, seperti diberitakan Katadata, Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja urung untuk meluncurkan layanan tersebut dalam waktu dekat. Alasannya, produk p2p lending dinilai punya risiko besar.
Salah satu risiko yang ia maksud adalah dasar pemberian pinjaman tanpa jaminan. Hal ini terutama berkaitan dengan pemanfaatan Artificial Intelligence (AI) sebagai digital scoring. “Jadi dasarnya apa mau memberi pinjaman?” katanya.
Hal tersebut juga menjadi strategi bagi institusi keuangan untuk menghadapi gencarnya pertumbuhan platform fintech di Indonesia. Pemain fintech menjadi populer karena dianggap unggul dalam menjangkau segmen pasar yang sebelumnya tidak terjamah oleh perbankan.
Berdasarkan Fintech Report 2019, sebanyak 79,9% dari 747 responden di Indonesia menggunakan layanan digital wallet. Layanan lainnya diikuti oleh investment (31,5%), paylater (30,9%), multifinance (12%), insurtech (11,8%), crowdfunding (8,2%), p2p lending (6,2%), dan remittance (2,4%).