Tag Archives: FisTx

Kiwi Aliwarga dan Rico Wibisono mendirikan FisTx (dibaca Fistek) di Yogyakarta pada 2019 startup akuakultur untuk tambak udang

Bagaimana FisTx Selesaikan Masalah Inti Tambak Udang Lewat Teknologi

Bukan rahasia umum kalau industri akuakultur di Indonesia penuh dengan isu klasik, sehingga menjadikannya tidak seseksi industri riil dan nonriil lainnya. Kendala tersebut memengaruhi berjalannya kegiatan akuakultur di negara ini. Padahal, menurut Food and Agriculture Organization, Indonesia menempati peringkat ke-2 dari 10 negara peringkat teratas produksi akuakultur.

Meski masuk posisi atas, akan tetapi jumlah total produksi akuakultur negara ini sangat jauh berbeda dengan Tiongkok. Pada 2019, produksi ikan budidaya di Tiongkok sebesar 68,42 juta ton per tahun, sementara Indonesia 15,89 juta ton. Padahal, panjang garis pantai Tiongkok yang bisa dimanfaatkan untuk budidaya hanya 14.500 km, sementara Indonesia 99.083 km.

Kiwi Aliwarga dan Rico Wibisono, dengan latar belakang yang mendalam di dunia akuakultur mencoba untuk menyelesaikan isu klasik ini dengan mendirikan FisTx (dibaca Fistek) di Yogyakarta pada 2019. Kiwi sendiri merupakan pengusaha diaspora yang sukses membangun bisnis di Myanmar. Di kancah startup, Kiwi membangun UMG Idealab yang merupakan lengan investasi dari UMG Myanmar. Portofolionya tersebar di regional, tidak hanya di Indonesia saja, mulai dari Aruna, Crowde, Botika, Prosehat, Perawatku, Arutala, dan lainnya.

Sementara itu, Rico Wibisono punya ketertarikan di dunia perikanan sejak kecil hingga akhirnya melanjutkan di bangku kuliah. Kemudian, terjun ke industri ini dengan bekerja untuk berbagai perusahaan di CP Prima, Manggalindo, dan beberapa proyek di luar Indonesia, yakni di Vietnam, Brazil, Arab Saudi, dan Brunei Darussalam mengerjakan proyek tambak udang.

“Ketertarikan kami dalam dunia akuakultur, meneruskan kami untuk mengembangkan teknologi perikanan yang berkelanjutan berfokus pada 3P (profit, people, planet),” terang Co-founder dan COO FisTx Rico Wibisono kepada DailySocial.id.

Inovasi FisTx

FisTx menyoroti setidaknya ada empat tantangan dalam budidaya tambak udang, yakni manajemen tambak, operasional, tambak, dan alam, contohnya pemilihan lokasi tambak yang rawan bencana alam, seperti tsunami dan gempa. Oleh karenanya, FisTx berfokus pada pengembangan teknologi untuk budidaya udang pada proses perbaikan air yang lebih berkelanjutan.

Misalnya, mobile water sterilizer yang merupakan teknologi desinfeksi ramah lingkungan dengan sinar ultraviolet. Teknologi ini tidak menghasilkan residu bila dibandingkan dengan bahan kimia bahkan bisa mengefisiensikan biaya disinfektan sebesar 35%-53%. Alat ini juga dapat digunakan sebagai water treatment unit.

Kemudian, mengembangkan Recirculating Aquaculture System (RAS), yakni teknologi yang berkonsep kolam petak untuk sistem budidaya secara intensif dengan memanfaatkan air secara terus menerus, sehingga air pada kolam utama terjaga kualitasnya, menghemat penggunaan air dan biaya pergantian air. Produk ini serupa dengan akuarium, air kolam tidak dibuang tetapi disaring terus menerus. Air yang ada di kolam dapat dikonservasi dan dipakai berkesinambungan dengan sistem filtrasi yang perusahaan kembangkan.

Berikutnya, menghadirkan teknologi untuk imbuhan pakan guna meningkatkan penyerapan nutrisi, sehingga pertumbuhan lebih cepat dan limbah lebih sedikit. “Semua teknologi ini diarahkan pada keberlanjutan dan kesejahteraan petambak. Proses development-nya bergantung pada ketersediaan sumber daya dan kebutuhan pasar, ada yang tiga sampai delapan bulan.”

Disediakan pula aplikasi yang dinamai FisTx Aquagram yang dapat digunakan petambak untuk memantau kondisi tambak langsung dari ponsel mereka. Aplikasi merupakan teknologi pengukur kualitas air yang dapat mencatat kualitas air secara real time, tidak hanya untuk satu petak tambak tapi juga memantau empat petak sekaligus. Petambak akan memperoleh informasi terkait durasi pemberian pakan, jarak waktu pemberian pakan, kadar oksigen, hingga suhu dan tingkat keasamaan air.

Dalam satu alat sensor, mampu mengukur berbagai indikator. Beberapa di antaranya, suhu air kolam, EC, nilai pH, DO (Dissolved Oxygen atau kadar oksigen terlarut) dan ORP (Oxidation Reduction Potential). Semua data ini akan muncul pada aplikasi FisTx dalam sekali klik.

Dari seluruh rangkaian produk tersebut, FisTx menyesuaikan kembali dengan kebutuhan para petambak. Pihaknya menyediakan FisTx 360 yang merupakan sistem berlangganan untuk membantu semua kebutuhan budidaya, mendampingi petambak dengan konsultasi dan manajemen tambak selama satu siklus, mulai dari persiapan hingga panen. “Tapi kami juga menyediakan sistem beli putus, terutama untuk konsumen kami yang belum dijangkau oleh tim offline, tapi kami tetap terbuka dengan konsultasi online.”

Rico mengakui proses edukasi dalam memperkenalkan solusi Fistx tidak bisa dianggap sepele. Karena animo positif baru diterima perusahaan, apabila lokasi tambak dan persona petambaknya dilihat dari psikologi dan psikografinya. Maka dari itu, saat masuk ke lokasi baru perusahaan mengambil strategi dengan mencari early adopter dan dikawal hingga muncul hasil panen yang memuaskan.

“Dari situ terjadilah mouth to mouth branding, inilah yang kami lakukan dalam menjawab itu. Alhamdulillah, hingga saat ini kami memiliki 340 petambak yang tersebar di 21 provinsi.”

Salah satu perusahaan yang sudah menggunakan teknologi FisTx adalah PT Nayottama Kelola Laut Indonesia (NKLI). Awalnya, NKLI menggunakan teknologi existing Aqua Input sejak 2021 dan merasakan terjadinya peningkatan hasil tambak secara berkala dari 18 ton hingga 51 ton per hektare atau kenaikan hampir tiga kali lipat.

Kemudian, NKLI upgrade teknologi terbaru RAS FisTx untuk kolam budidaya yang terletak di Tasikmalaya, Jawa Barat, Januari 2021 lalu. Selain ramah lingkungan, manfaat lain yang didapat dari penggunaan teknologi RAS adalah meningkatkan produktivitas, meminimalisir permasalahan udang mati dini, dan hemat hingga 30% jika dibandingkan dengan pemakaian kimia seperti kaporit. Produksi per hari pun lebih cepat, tingkat pertumbuhan meningkat rata-rata sekitar 20%, dengan efisiensi pakan hingga 23,5%.

Harapan di akuakultur

Rico menilai solusi yang dibangun oleh FisTx ini sejatinya dapat diimplementasikan di luar tambak udang, seperti kepiting, belut, lobster, dan sidat. Hal tersebut sudah menjadi misi berikutnya perusahaan, kendati fokus utama saat ini masih pada budidaya udang.

“Potensi perikanan Indonesia luar biasa besar dan kami akan berikan hak yang sama untuk setiap spesies lain untuk dibudidayakan secara luas. [..] menjadi karunia besar bagi kami untuk bisa mengembangkan spesies lokal yang memiliki high demand, sehingga dapat memajukan pesisir seperti peradaban maritim yang ditinggalkan oleh nenek moyang kita. Melalui budaya ini, kami ingin mengulang kembali kejayaan peradaban pesisir.”

Saat ini, FisTx didukung dengan 19 orang, terbagi jadi empat orang sales offline, tiga sales Aqua Input, dan satu sales project. Perusahaan akan terus menambah tim, terutama untuk bagian teknis dan expert agar solusi FisTx dapat lebih masif diadopsi banyak petambak di Indonesia. Meski tidak dijelaskan secara rinci, FisTx telah didukung dengan sokongan investasi dari UMG Idealab, perusahaan yang juga dipimpin oleh Kiwi.

“Tahun ini kami berfokus pada dua hal, yaitu sebagai base untuk target bisa profit di 2023 dan melakukan branding,” tutup Rico.

Berbagai platform mengembangkan solusi IoT untuk sektor peternakan dan perikanan berbasis teknologi

Mengatasi Tantangan di Industri Peternakan dan Perikanan dengan Teknologi

Butuh waktu delapan tahun bagi e-Fishery membuktikan bahwa industri akuakultur adalah “the sleeping giant” lewat penggalangan dana seri C yang diikuti investor kelas kakap. Produksi akuakultur di Indonesia masih menjadi yang ketiga di dunia setelah China dan India. Pada 2018, produksi akuakultur mencapai 5,4 juta ton senilai $11,9 miliar (FAO 2020).

Tak hanya akuakultur, peternakan pun juga tak kalah besar potensinya. Konsumsi daging ayam di Indonesia pada 2020 mencapai 7,9 kg per kapita atau sekitar 3,5 juta kg per tahun. Diperkirakan pada 2029 nanti konsumsi ayam akan terus meningkat hingga 9,32 kilogram per kapita. Kendati begitu, menurut OECD-FAO, konsumsi daging ayam dan daging sapi oleh masyarakat Indonesia masih rendah dibandingkan negara tetangga. Konsumsi per kapita daging ayam baru menyentuh 11,6 kilogram, sedang daging sapi lebih rendah, yaitu 2,7 kilogram.

Di samping itu, industri ini masih ditimpa sejumlah isu klasik. Mulai dari akses ke modal dan input produksi, masalah produksi (seperti inefisiensi pakan, penyakit, kualitas benih dan teknologi budidaya), dan masalah pasca produksi (seperti harga di tingkat petani yang rendah karena rantai pasokan yang panjang). Hal tambahan lainnya, seperti infrastruktur dan kebijakan yang tidak tepat, juga menjadi tantangan.

Meski demikian, budidaya hewan tetap menjadi sektor yang menarik, seiring dengan meningkatnya permintaan protein hewani dan banyak startup yang mencoba mengurai berbagai masalah yang ada di setiap segmen. Para pendiri startup ini, datang dari multi disiplin, tidak hanya dari bidang akuakultur atau perunggasan. Mereka adalah Chickin Indonesia, Fistx, Delos, dan Pitik.

Bersama DailySocial.id, mereka berbagi pandangan mengapa inovasi di di sektor ini cenderung lambat di Indonesia dan bagaimana menyelesaikan tantangan tersebut dengan teknologi.

Co-founder dan CEO Chickin Indonesia Tubagus Syailendra Wangsadisastra mengatakan, inovasi digital di sektor ini lambat karena lanskap rantai pasoknya yang masih terfragmentasi dan banyak tengkulak yang membuat tidak adanya transparansi data. Hal ini mendorong ketidakcocokan antara permintaan dan ketersediaan stok.

Inovasi di segmen ini lambat, karena berinteraksi dengan petani dan peternak yang secara umum belum adaptif.

“Dari sisi market adoption, belum semasif di industri lain. Wave-nya baru-baru ini akan jadi emerging industri ke depannya. Saya yakin ini akan besar setelah melewati fase-fase tertentu. Fasenya e-commerce, fintech sudah lewat. Orang-orang di tier 3 dan 4 sudah pakai teknologi, baru kita mudah masuk ke budidaya,” kata Tubagus.

CEO Delos Guntur Mallarangeng menambahkan dari perspektif lain. Ia menjelaskan, sebenarnya jawabannya sederhana namun rumit. Sederhana, karena tidak banyak petambak yang memiliki kemampuan finansial untuk investasi di bidang teknologi budidaya atau pengertian teknis tentang teknologi budidaya, sehingga akhirnya ketinggalan dengan petambak-petambak di negara lain.

Jawaban rumitnya berkaitan dengan masalah sistemik yang perlu dilihat secara makro. Mereka adalah kurangnya perkembangan dan aplikasi sains pertambakan di Indonesia, kurangnya inklusi finansial, kurangnya adopsi teknologi terkini, dan tenaga ahli dan keahlian yang berkembang di industri perikanan.

“Gabungan dari ke-4 poin di atas merupakan faktor-faktor yang memengaruhi kurangnya kemajuan industri pertambakan kita. Kurangnya financial inclusion dari institusi-institusi finansial di negeri kita berkontribusi kepada seretnya investasi yang bisa diperoleh industri pertambakan, sehingga membuat harga inovasi, bahkan investasi berkepanjangan tidak terjangkau,” kata Guntur.

Dia melanjutkan, “Kurangnya investasi ini membuat pelatihan dan perkembangan tenaga ahli sangat lambat, bahkan tidak mencukupi untuk target perkembangan industri. Kurangnya tenaga ahli dan investasi, membuat riset, perkembangan dan aplikasi sains, dan adopsi teknologi menjadi sulit untuk dipercepat.”

Gabungkan IoT dengan teknologi lain

Berdasarkan tantangan tersebut, pendekatan IoT dengan gabungan teknologi lainnya menjadi langkah awal untuk memperkenalkan dunia digital di segmentasi ini. Contoh perusahaan yang fokus pada sensor dan perangkat berbasis IoT untuk memeriksa parameter air dengan cepat dan tepat adalah Jala, FisTx, Delos, dan eFishery. Selain itu, ada juga yang fokus pada pengolahan air seperti NanoBubble, Venambak, dan Banoo yang menyediakan mesin untuk mengoptimalkan oksigen terlarut (DO).

Dengan perangkat ini, parameter kualitas air dapat disajikan secara real time atau sebagai rangkaian data, sehingga memungkinkan memprediksi kualitas air lebih tepat dan mengambil tindakan jika ada tren yang tidak biasa. Terobosan ini membuat budidaya ikan dan udang lebih mudah diprediksi dan mudah dipraktikkan bagi pemula. Hal ini juga membuat sektor akuakultur menjadi lebih menarik bagi kaum muda.

Namun, menurut COO FisTx Rico Wibisono, hal yang paling menantang dalam penyediaan alat pemeriksa kualitas air, selain memastikan data yang cepat dan akurat, adalah bagaimana memberikan saran yang tepat kepada petani tentang langkah apa yang harus diambil dari hasil pengukuran. Dia mengatakan bahwa mengumpulkan data kualitas air adalah satu hal, tetapi menggunakan data dengan benar adalah hal lain.

FisTx mengembangkan teknologi khusus untuk budidaya udang yang fokus pada proses perbaikan air yang lebih berkelanjutan. Contohnya adalah mobile water steriliser dengan teknologi desinfeksi ramah lingkungan dan didukung sinar ultraviolet tanpa residu. Teknologi tersebut, bila dibandingkan dengan bahan kimia, bisa mengefisiensikan biaya desinfektan antara 35-53%.

“Kemudian kami juga mengembangkan teknologi untuk imbuhan pakan guna meningkatkan penyerapan industri, sehingga pertumbuhan lebih cepat dan limba lebih sedikit. Semua teknologi ini diarahkan pada keberlanjutan dan kesejahteraan petambak.”

Tubagus menambahkan, bagi semua pembudidaya, data adalah isu terpenting dalam mengatasi permasalahan mereka. Pemanfaatan data yang akurat dapat membantu evaluasi demi mencegah kegagalan panen dan bisa memprediksi kira-kira hasil panen bisa dihasilkan untuk apa.

Untuk menjawab kebutuhan tersebut, Chickin menawarkan perangkat IoT dan SaaS untuk mengumpulkan data dan matchmaking data apa yang ada di dalam kandang untuk kebutuhan bisnis B2B.

Pihaknya melakukan matchmaking data permintaan ayam, ukuran, harga, grade dan dicocokkan data yang ada di kandang peternak. Perangkat IoT digunakan untuk meningkatkan produktivitas peternak dengan menekan ongkos pakan FCR (feed coversion ratio). Keberhasilan panen ditentukan dari seberapa banyak pakan yang dikonversi menjadi daging dengan maksimal sehingga energi tidak sia-sia terbuang.

Chickin menyediakan solusi sistem manajemen perkandangan cerdas terintegrasi berbasis IoT melalui Chickin App – Micro Climate Controller (MCC) dan Chickin Smart Farm yang diharapkan dapat menekan angka FCR sehingga berdampak pada efisiensi pakan yang semakin baik. Dengan manajemen perkandangan berbasis IoT dan AI Support, Chickin memudahkan para peternak melakukan budidaya secara optimal, produktif, dan efisien.

Mereka tidak perlu khawatir lagi soal kondisi cuaca di dalam kandang karena suhu dan kelembaban bisa diatur secara manual melalui Chickin App yang tersambung pada smartphone. Adanya IoT dan AI support memungkinkan terjadinya budidaya jarak jauh karena proses kontrolnya semakin mudah, sekaligus dapat memaksimalkan efisiensi dan kualitas produksi dengan tingkat mortalitas yang rendah.

“Kita bisa tekan data AI untuk adjust kebutuhan suhu ayam, sebab cost pakan itu mahal. IoT itu untuk kontrol suhu kebutuhan ayam, berapa temperatur, kelembapan, sehingga mitra bisa dapat hasil yang optimal dari segi pendapatannya,” papar Tubagus.

Temptron yang dikembangkan Chickin / Chickin

Dalam menciptakan solusi tersebut, ia mengaku telah melakukan riset ilmiah selama tahun, sembari melakukan tes percobaan di beberapa kandang di Kalimantan Tengah dan Jawa Tengah. “Pembuatan alatnya simpel, tambah sensor untuk tahu suhu dalam kandang dan AI logic untuk kebutuhan suhu seekor ayam. Tapi yang buat lama itu proses kesuksesannya seberapa jauh persentasenya menurunkan ongkos pakan dan listrik. Setelah punya data yang solid kita bisa produksi lebih cepat lagi.”

Pendekatan di lapangan

Di tengah literasi yang belum mumpuni di seluruh pelosok, maka dalam proses memperkenalkan kepada para petani memilki tantangan tersendiri. Tubagus menjelaskan, sebenarnya para peternak sudah paham dengan konsep climate control. Target pengguna produk ini adalah peternak full house yang sudah punya kipas, blower, dan cooling pad.

Dengan demikian, dari sisi Chickin hanya memberikan pembaruan perangkat temptron yang ada di dalam kandang dengan sensor suhu ayam dalam kandang secara real time. Meski begitu, perusahaan tetap menempatkan tim lapangan dan konsultan yang bisa membantu peternak saat mengoperasikan perangkatnya.

Co-founder dan CEO Pitik Arief Witjaksono menambahkan, dalam memperkenalkan solusi Pitik, pihaknya rutin mengadakan pelatihan baik lewat daring maupun luring. Bekerja sama dengan Edufarmers Foundation, lembaga non profit dari Japfa, mereka memperkenalkan aplikasi Pitik di Jawa Timur.

“Teknologi kami terbukti membantu peternak [Kawan Pitik] dalam mengurangi tingkat mortalitas ayam sebesar 50% dan meningkatkan penggunaan pakan lebih dari 12%. Sejauh ini respons mereka positif dalam menggunakan teknologi dari Pitik,” terangnya.

Secara khusus, perusahaan memberikan dukungan menyeluruh kepada seluruh mitra peternak dalam mensuplai kebutuhan sapronak (sarana produksi peternakan) dengan kualitas terbaik. “Pitik menyediakan teknologi farm management agar peternak dapat melakukan proses produksi dengan lebih efisien, dan mengambil seluruh hasil produksi dengan harga yang kompetitif. Seluruh hal ini kami lakukan dengan skema kontrak yang transparan agar kami dapat menjadi mitra peternak terbaik.”

Sementara itu, FisTx melihat proses edukasi di petambak itu sangat bergantung pada psikologis dan psikografi di mana mereka berada. Untuk lokasi yang benar-benar baru, pertama kali yang dilakukan perusahaan adalah mencari early adopter dan terus kawal hingga ada hasil yang memuaskan. Dari situ, harapannya muncul domino effect, ditandai dengan mouth-to-mouth branding. “Alhamdulillah hingga saat ini kami memiliki lebih dari 340 petambak yang tersebar di 21 provinsi,” kata Rico.

Model bisnis FisTx, sambungnya, cukup beragam tergantung produknya. FisTx 360 membantu para petambak dengan sesi konsultasi dan manajemen tambak selama satu siklus, dari persiapan hingga panen tiba. Produk ini menganut model berlangganan untuk semua budidaya baik dari aqua input hingga teknologi. Kendati begitu, perusahaan juga menyediakan sistem beli putus, terutama untuk konsumen yang belum dapat dijangkau tim lapangan.

Tim FisTx / FisTx

Perjalanan di masa depan

Guntur mengakui solusi yang dikembangkan DELOS secara teoritis dapat diimplementasikan tidak hanya untuk tambak. Dalam kerangka ilmiahnya, dari satu spesies ke spesies lain sebenarnya tidak jauh berbeda, tetapi ada banyak variabel dan asumsi ilmiah yang harus disesuaikan.

“Ini semua seharusnya bisa diselaraskan dengan riset yang lebih banyak, tetapi itu akan menjadi fokus jangka panjang yang sekunder [bagi DELOS]. Fokus utama kami adalah budidaya spesies udang, yang merupakan komoditas laut Indonesia yang paling besar dan berharga.”

Ia mengatakan demikian karena, menurut data yang dia kutip, pertambakan udang adalah industri yang besar tapi tidak optimal. Nilai ekspornya di Indonesia saat ini berada di kisaran $2-2,5 miliar, seharusnya angka tersebut bisa menjadi setidaknya $4-5 miliar per tahun.

“Bahkan bisa lebih dari itu kalau Indonesia memiliki industri pertambakan yang bisa menghasilkan panen yang optimal dan stabil, sebab negara kita memiliki garis pantai, iklim, dan masyarakat yang sulit dikalahkan.”

Pendapat serupa juga diungkapkan Rico. Ia mengatakan, pada dasarnya potensi akuakultur di Indonesia luar biasa besar dan FisTx ingin memberikan hak kepada setiap spesiesnya agar dapat dibudidayakan secara luas di Indonesia. “Untuk saat ini kami fokus pada udang, namun teknologi kami ke depan bisa dipakai pada kepiting, belut, lobster, dan sidat.”

Tubagus menambahkan, berkaca pada pengembangan solusi sejenis Chickin di Israel, bernama Agrologic, perusahaan tersebut mengembangkan perangkat temptron untuk kandang babi, sapi, dan hewan ternak lainnya. Tidak menutup kemungkinan bagi Chickin untuk mereplikasinya di Indonesia, sebab menurutnya pada intinya iklimlah yang menentukan keberhasilan panen.

“Dalam timeline, kami sekarang ke vertical growth akuisisi dari hulu ke hilir, coba ke downstream dengan memegang demand agregasi ayam. Setelah itu ke midstream (rumah potong), upstream (kandang ayam) agar kami bisa supply farm input, dari pakan, bibit. Sembari masuk ke sektor horizontal di luar ayam, karena kami rencananya mau jadi leading meat commerce B2B di Indonesia,” pungkasnya.