Tag Archives: Fithra Faisal

Merger Indosat dan Tri dianggap memperkuat struktur permodalan untuk ekspansi jaringan dan "branding" ke pelanggan

Potensi Merger Indosat-Tri: Babak Baru Persaingan Sehat Industri Telekomunikasi

Pasca merger antara XL Axiata dan Axis di 2014 silam, rumor konsolidasi operator seluler terus muncul. Pasangannya berubah-ubah. Namun, selain Telkomsel, sejumlah petinggi industri telekomunikasi tidak menepis mereka membuka peluang berkonsolidasi demi ekosistem yang lebih sehat.

Di akhir 2020, rumor tersebut mulai menunjukkan titik terang. Sebagaimana diberitakan Bloomberg beberapa waktu lalu, CK Hutchison Limited dan Ooredoo Group dilaporkan menjajaki peluang penggabungan bisnis anak usahanya, yakni PT Hutchison 3 Indonesia (Tri) dan PT Indosat Ooredoo Tbk (Indosat).

Berselang beberapa hari pasca berita tersebut diturunkan, Indosat Ooredoo buka suara. Di keterangan resminya, Director & Chief Financial Officer Indosat Ooredoo Eyas Naif Assaf membenarkan bahwa induk usahanya Ooredoo Group telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) eksklusif dan tidak mengikat secara hukum dengan CK Hutchison Holdings Limited.

“Hal ini sehubungan dengan kemungkinan transaksi untuk menggabungkan bisnis masing-masing di Indonesia, yakni PT Indosat Tbk dan PT Hutchison 3 Indonesia. Periode eksklusivitas MoU ini berlaku hingga 30 April 2021. Belum ada informasi lebih lanjut yang bisa diungkapkan untuk saat ini,” ujarnya.

Jika mengacu pernyataan di atas, publik akan melihat hasil negosiasi ekslusif dalam empat bulan mendatang. DailySocial sempat menghubungi pihak Indosat Ooredoo dan Hutchison 3 Indonesia. Namun, keduanya belum dapat berkomentar banyak.

“Mohon maaf, kami dari manajemen belum bisa memberikan tanggapan mengenai hal ini. Sebaiknya ditanyakan kepada CK Hutchison atau Ooredoo Group,” ujar Wapresdir Hutchison 3 Indonesia M. Danny Buldansyah lewat pesan singkat.

Mengejar ketertinggalan dari Telkomsel

Terlepas operator apapun, Ekonom Fithra Faisal menilai bahwa saat ini menjadi momentum yang tepat untuk berkonsolidasi. Sebetulnya Indosat atau Tri bisa saja melakukan konsolidasi sejak beberapa tahun lalu, namun Fithra menilai pandemi Covid-19 menjadi driven factor yang kuat. Terlebih masyarakat semakin menuntut layanan telekomunikasi yang lebih baik di situasi saat ini.

Yang pelik adalah meski sektor ICT sangat diuntungkan akibat pandemi, industri telekomunikasi tidak ikut di dalamnya.

“Layanan digital banyak dipakai selama pandemi ini, tetapi operator tidak mencicipi keuntungan. Ini menandakan bahwa industri ini belum efisien,” papar Fithra saat dihubungi DailySocial. 

Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), trafik mobile industri naik 12,5 persen pada periode Februari-Maret. Kemudian, naik 7,5 persen (Maret-April) dan 5,7 persen (April-Mei). Pada periode Mei-Juni, trafik turun 0,5 persen.

Namun, ATSI menyebut bahwa kenaikan trafik selama pandemi tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan. Pemberlakuan WFH dan SFH juga berdampak terhadap penurunan layanan dasar operator, yakni voice dan SMS.

Maka itu, di situasi saat ini operator dinilai memerlukan struktur permodalan yang kuat demi meringankan beban ekspansi jaringan. Apalagi, operator juga perlu melaksanakan kewajiban untuk menyediakan jaringan secara nasional sebagaimana lisensi frekuensi yang diamanatkan.

Induk usaha Indosat, Ooredoo Group merupakan perusahaan telekomunikasi asal Qatar yang menguasai saham mayoritas Indosat sejak 2015. Sementara Tri Indonesia dinaungi CK Hutchison Holdings yang merupakan konglomerasi asal Hong Kong.

Di sisi lain, lanjut Fithra, rencana merger Indosat-Tri menjadi langkah awal untuk mengejar ketertinggalannya dari Telkomsel yang memimpin industri. Menurutnya, Indosat-Tri yang dinilai bergantung pada segmen pelanggan anak muda, cenderung memiliki price elasticity yang tinggi. Akibatnya, pelanggan dapat dengan mudah pindah ke operator lain jika tarif yang mereka pakai lebih mahal.

Indosat Financial Performance (2018-2019/YoY)

Year Total Revenue EBITDA Net (Loss) Profit Subscribers Highlights
2019 Rp26.1 trillion (+12.9%) Rp9.9 trillion (+51.6%) Rp1.6 trillion

(+166%)

59.3 million (+2.1%)
  • Sold 3,100 telco towers to Mitratel and Protelindo worth Rp6,39 trillion
  • 4G coverage nearly 90%
2018 Rp23.1 trillion (-22.7%)  Rp6.5 trillion (-49.1%) -Rp2.4 trillion (-311,6%) 58 million

(-47.3%)

  • Massive network expansion 
  • Reduced its USD debts by 77.7%
2017 Rp29.9 trillion

(+2.5%)

Rp12.8 trillion (+0.8%) Rp1.1 trillion (+2.8%) 110 million (+28.7%)
  • Won additional 5MHz in 2100MHZ in 2017 spectrum auction

Source: Investor Memo

Telkomsel dan XL Axiata dianggap memiliki branding dan loyalitas pelanggan yang lebih kuat sehingga penggunanya cenderung tidak terlalu memikirkan harga. Alhasil pelanggan cenderung bertahan terhadap layanannya karena price elasticity-nya rendah.

“Karena hal tersebut, Telkomsel dan XL punya captive market yang tidak dimiliki Indosat dan Tri. Makanya, Indosat dan Tri bakal menderita jika mereka terus mempertahankan level murah. Pada akhirnya, mereka harus memperkuat permodalan dan branding mereka,” jelasnya.

Ekspansi jaringan, efisiensi, dan persaingan lebih sehat

Pemerintah telah berupaya menciptakan persaingan industri yang sehat. Nyatanya, situasi ini tetap sulit karena sejak awal terlalu banyak operator telekomunikasi. Frekuensi yang diperebutkan tidak cukup untuk dapat memberikan kualitas layanan yang masimal. Belum lagi biaya yang dikeluarkan setiap tahun untuk membangun jaringan hingga membayar Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi.

Perang tarif untuk memenangkan hati pelanggan justru menciptakan jurang terhadap pertumbuhan industri telekomunikasi di Indonesia. Ketua Umum ATSI Ririek Adriansyah sempat menyebutkan bahwa industri telekomunikasi Indonesia mencatat pertumbuhan minus 6,4 persen di 2018. Ini adalah pertumbuhan minus pertama kalinya dalam sejarah.

Dihubungi DailySocial, Ketua Masyarakat Telematika (Mastel) Institute Nonot Harsono mengatakan bahwa konsolidasi ini tentu akan menciptakan persaingan industri yang lebih sehat. Apalagi jika skenarionya XL Axiata dan Smartfren mengikuti jejak mereka. Cita-cita Indonesia untuk memiliki tiga operator seluler saja bakal terealisasi.

“Di industri telekomunikasi, aset terpenting adalah frekuensi. Apabila berkonsolidasi, mereka dapat menggabungkan aset tersebut sehingga tidak menjadi beban. Harapannya, mereka tidak perlu mengembalikan pita frekuensi ke pemerintah karena alokasi Tri tidak banyak. Kalaupun digabung dengan Indosat, selisihnya dengan Telkomsel dan XL tetap tidak melampaui,” ucapnya.

Pertumbuhan Operator "Top 3" di Indonesia
Pertumbuhan Operator “Top 3” di Indonesia / Corporate Digital Transformation

“Kita belum tahu model merger yang bakal terjadi, apakah kedua entitas menyepakati komposisi saham atau jual putus. Mungkin bukan jual putus karena melibatkan uang cash yang banyak. Kalau jual putus, yang berharga cuma frekuensi saja. Selain itu, semuanya adalah beban. Keduanya bisa saja menyatakan nilai bersyarat. Jika regulator meminta sebagian pita, valuasi bisa berbeda dan bisa minta ganti rugi, misalnya,” terang Nonot.

Lagipula, lanjutnya, situasi sekarang tidak bisa disamakan ketika XL mengakuisisi Axis. Menurut Nonot, seharusnya pemerintah memberikan semacam reward apabila keduanya sepakat untuk merger. Jika pemerintah menjamin tidak akan ada penarikan frekuensi, aksi merger ini bisa terjadi.

XL Axiata dan Axis merupakan konsolidasi kedua di industri setelah Mobile-8 dan Fren (sekarang Smartfren). Ketika XL Axiata mencaplok Axis senilai $865 juta, pemerintah meminta anak usaha Axiata Bhd untuk mengembalikan pita selebar 5MHz milik Axis di spektrum 2.100MHz.

Saat ini, Indosat menggunakan pita selebar 20MHz di 1.800MHz dan 15MHz di 2.100MHz. Sementara Tri memiliki pita selebar 15MHz di 2.100MHz dan 10MHz di 1.800MHz. Kedua spektrum ini dipakai untuk menggelar jaringan 3G dan 4G.

Apabila digabungkan, baik Indosat dan Tri dapat memiliki akumulasi spektrum masing-masing 30MHz di 2.100MHz dan 1.800MHz yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas jaringan 4G yang lebih baik.

“Ini menjadi momentum pas bagi pemerintah untuk menegaskan tidak ada pengembalian alokasi frekuensi karena [jika digabung] alokasi pita tidak akan melampaui Telkomsel dan XL. Lagipula, ini kewajiban pemerintah untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat. Bisa saja langkah ini bakal diikuti oleh XL dan Smartfren ke depannya.” Tutup Nonot.

Pemerintah kerap menyebut pajak digital untuk menyetarakan arena kompetisi pemain lokal dan asing. Hal itu dianggap belum selama belum ada insentif

Meski Ada Pajak Digital, Startup Lokal Masih Belum Kompetitif Terhadap Layanan Global

Peran layanan digital dari luar negeri makin penting dalam menemani hari-hari sunyi banyak orang selama masa pandemi ini. Dianggap makin penting karena layanan digital luar negeri menghadirkan pilihan alternatif bagi konsumen Indonesia.

Ambil contoh Netflix. Animo konsumen begitu besar ketika kabar Telkom akhirnya membuka blokir mereka terhadap Netflix. Telkom bahkan menyebut ada kenaikan trafik data yang cukup tinggi di jaringan mereka setelah pelanggannya sudah bisa mengakses Netflix.

Di masa pandemi ini juga, pemerintah akhirnya bisa mulai menarik pajak digital lewat pajak penjualan (PPn) atas transaksi perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) per 1 Agustus kemarin. Besaran PPn yang ditarik adalah 10% dari harga produk yang ditawarkan. Ini artinya layanan dari pelaku usaha PMSE luar negeri, seperti Amazon, Google, Google, Spotify, serta Netflix akan membebankan pelanggannya dengan pajak tersebut.

Ketentuan penarikan pajak PMSE ini adalah Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang diatur lebih rinci dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48 Tahun 2020. Alasan yang kerap digaungkan oleh pemerintah mengenai penarikan pajak ini adalah penyamarataan level kompetisi antara penyedia jasa luar negeri dan dalam negeri.

Yang jadi pertanyaan adalah apakah pajak itu benar-benar bisa membantu pemain lokal bersaing dengan para raksasa digital tadi?

Jarak terlalu jauh

Salah satu jarak paling jauh antara pemain lokal dan asing dalam bisnis digital di Indonesia adalah layanan komputasi awan. Amazon Web Service, Google Cloud, Microsoft Azure, dan Alibaba Cloud adalah penguasa pangsa pasar komputasi awan di dunia, termasuk di Indonesia. Pemain lokal umumnya masih menjadi minoritas di bawah para raksasa tadi.

Ketua Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI) Alex Budiyanto mengakui perbedaan kelas dengan para pemain luar negeri sangat besar dari aspek modal, teknologi, maupun sumber daya manusia. Jarak yang begitu mencolok itu membuat Alex skeptis pemberlakuan PPn sudah cukup untuk menyetarakan kesempatan bersaing dengan pemain lokal.

“Kami melihatnya ini belum fair,” tegas Alex.

Alex berpendapat, komponen pajak lain perlu diterapkan terhadap OTT asing seperti halnya yang dialami pemain lokal. Memang dalam rencananya, pemerintah juga akan membuat aturan turunan yang memungkinkan mereka menarik pajak penghasilan (PPh) dan pajak transaksi elektronik (PTE). PTE sendiri adalah pajak layanan digital (digital service tax/DST) yang kini sudah diterapkan berbagai negara.

Namun membagi beban setara pun tak otomatis membuat medan kompetisi berimbang. Pemerintah juga punya sikap berhati-hati agar tidak membuat kabur investor lari karena beban pajak yang terlalu tinggi. Itu sebabnya Alex berharap ada semacam insentif bagi pemain lokal yang selama ini ia rasa belum ada.

Level playing field ini seharusnya bukan hanya sharing beban yang sama. Ini kan soal kelas bulu lawan kelas berat. Seharusnya [pemerintah] mengangkat kelas bulu tadi dengan memberi tambahan support, yang kelas berat dikasih beban agar setara,” jelas Alex.

Alex mungkin ada benarnya. Pemerintah Tiongkok, misalnya, melakukan apapun untuk membesarkan dan membantu perusahaan teknologi lokalnya agar mampu bersaing di level global. Tanpa insentif bagi penyedia layanan digital lokal, argumen bahwa pajak untuk OTT luar negeri untuk menyetarakan arena kompetisi bisa jadi hanya alasan tempelan belaka. Ia merasa tanpa insentif khusus ke pemain lokal, maka tinggal menunggu waktu mereka tergilas hegemoni raksasa tersebut.

“Jadi kalau ditanya mampu bersaing atau tidak, kalau jawab mampu dan bisa ya itu terlalu pede. Kita memang suffer. Dari capital kalah, dari teknologi kalah, dari dukungan pemerintah pun tak ada,” imbuh Alex.

Jika menelisik sedikit ke belakang, adakah sebenarnya pemain lokal yang saat ini sanggup berkompetisi dengan Google, Netflix, AWS, hingga Spotify? Di antara keempatnya, mungkin hanya di sektor video on demand pemain lokal masih punya kesempatan bersaing ketat melalui Vidio atau GoPlay

Berdasarkan survei DailySocial pada April dan Mei lalu, layanan Vidio dikonsumsi hingga 25% responden, menjadi pilihan setelah Netflix (42%), Viu (36%), iflix (32%), dan Hooq (28%) yang saat ini sudah berhenti beroperasi. Angka itu terbilang cukup baik, apalagi jika digabung dengan pangsa pasar GoPlay (14%) dan Genflix (11%).

Kepada DailySocial, Vidio menyebut pihaknya mendukung penuh pemberlakuan PPn bagi OTT asing untuk menyetarakan lapangan berkompetisi. Namun hampir senada dengan Alex soal insentif, Vidio berharap negara dapat memberi dukungan lebih besar dalam memberantas pembajakan konten.

“Maka dari itu kami membutuhkan dukungan dan bantuan pemerintah untuk membantu kami para pelaku bisnis OTT lokal untuk mengedukasi masyarakat luas dalam menikmati tayangan hiburan secara legal dan berbayar,” tulis VP Brand Marketing Vidio Rezki Yanuar.

Di sektor lain, seperti layanan streaming musik, keadaannya jauh lebih timpang. Dari sekian pemain, hanya LangitMusik (27%) yang terlihat masih bisa bersaing dengan Spotify (71%) dan Joox (61%).

Sementara layanan komputasi awan didominasi raksasa digital yang punya kekuatan modal dan teknologi paling unggul. Maka tidak heran pangsa pasar mereka secara global begitu dominan. AWS misalnya sebagai pemimpin pangsa pasar global berani berinvestasi hingga US$2,5 miliar atau Rp35 triliun untuk Indonesia saja.

Negara membutuhkan pajak

Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal ada dua hal yang dipetik dari pengenaan PPn terhadap OTT asing. Pertama adalah formalisasi kehadiran Netflix dkk. melalui instrumen pajak. Fithra menilai hal ini menjadi keputusan semua-menang. “Sebelumnya kan ini sembunyi-sembunyi, tapi sekarang jadi win-win solution bagi mereka, pemerintah, perusahaan telekomunikasi, juga pengguna,” ujar Fithra.

Hal kedua yang menurutnya perlu digarisbawahi adalah kebutuhan pemerintah mencari kanal pemasukan baru di tengah ancaman resesi ekonomi. Kekhawatiran akan resesi ekonomi global sudah menjadi ancaman dari tahun lalu. Pandemi Covid-19 mempercepat proses tersebut. Hasilnya laporan keuangan kuartal kedua Indonesia diumumkan turun hingga -5,32%.

Potensi tambahan pemasukan dari pajak digital merupakan sedikit titik cerah bagi pemerintah. Kementerian Keuangan dalam naskah akademik RUU Omnibus Law telah memperkirakan negara bisa mengantongi hingga Rp10,4 triliun dari tujuh jenis transaksi elektronik sebesar Rp104,4 triliun.

“[PPn] ini saya rasa bentuk ketanggapan pemerintah karena ke depan akan ada perubahan perilaku masyarakat dalam mengonsumsi layanan digital. Oleh karena itu pemerintah coba menangkap peluang ekonominya,” pungkas Fithra.