Bicara wearable device, pasti bicara smartwatch. Bicara smartwatch, Apple Watch pasti tidak luput dari pembahasan. Suka tidak suka, Apple Watch merupakan smartwatch terlaris saat ini, dan salah satu alasannya adalah pengaruh besar Apple terhadap gaya hidup konsumen modern.
Pada kenyataannya, dalam acara peluncuran Apple Watch Series 3 bulan lalu, Tim Cook dengan bangga mengatakan kalau Apple Watch adalah jam tangan nomor satu di dunia, bahkan sudah mengalahkan Rolex. Nomor satu dalam hal apa? Menurut saya tentu saja dalam hal penjualan.
Penjualan dalam artian jumlah, bukan nilai. Ini sangat masuk akal mengingat harga Apple Watch paling murah saat ini dipatok $249. Bandingkan dengan Rolex, yang model termurahnya masih berada di kisaran ribuan dolar. Singkat cerita, ada lebih banyak konsumen yang mampu membeli Apple Watch ketimbang Rolex.
Andai kategori smartwatch boleh diwakilkan oleh Apple Watch, dan segmen wearable device sendiri boleh diwakilkan oleh smartwatch, sepertinya industri ini bisa dibilang cukup sukses. Namun ini baru membicarakan industri wearable device dalam skala global. Di Indonesia, kondisinya agak berbeda.
Judul yang saya tulis di atas bukan opini belaka tanpa didukung alasan yang kuat. Tim DailySocial belum lama ini melakukan survei terkait tren wearable device di tanah air. Sebanyak 1.035 responden mengikuti survei tersebut, dan hasilnya menunjukkan kalau penetrasi wearable device di Indonesia masih belum cukup kuat.
Tidak laku karena mahal
Hasil survei menunjukkan sekitar 43% responden pernah punya atau sedang menggunakan smartwatch, 35% untuk fitness band, dan hampir 30% untuk smartwatch hybrid alias analog macam Withings (Nokia) Steel. Konsumen tanah air secara umum mengenali apa itu smartwatch dan fitness band, tapi ternyata yang pernah membelinya tidak sampai separuh populasi.
Kenapa bisa demikian? Alasannya ternyata menyangkut harga. Sekitar 78% responden bilang kalau mereka tidak tertarik membeli smartwatch atau fitness band dikarenakan harganya terlalu mahal. Tidak kaget, mengingat Apple Watch Series 2 yang dijual melalui jalur resmi dihargai paling murah Rp 7,2 juta – bisa Anda bayangkan sendiri harga Series 3 ketika masuk pasar Indonesia nantinya.
Alternatif unggulan yang lebih murah jelas ada. Ambil contoh Samsung Gear S3, tapi itu pun masih berada di kisaran 4 – 5 juta rupiah. Untuk fitness band, salah satu opsi yang cukup populer adalah Garmin Vivofit 3, tapi ini pun masih dibanderol di atas Rp 1 juta.
Dalam hati Anda mungkin bertanya, “Apakah mereka tidak tahu kalau ada fitness band murah meriah seperti Xiaomi Mi Band 2 yang di beberapa tempat bahkan bisa didapat seharga 300 ribuan rupiah saja?” Well, kita semua tahu kalau tidak semua konsumen membaca situs berita teknologi setiap harinya, maka dari itu wajar apabila yang menyadari bahwa fitness band murah meriah ini eksis hanya sekitar 55% saja.
Wearable device dinilai kurang bermanfaat
Selain faktor harga, survei menunjukkan bahwa alasan lain konsumen tidak tertarik membeli smartwatch atau fitness band adalah mereka merasa tidak memerlukannya. Seperti yang kita tahu, fungsi paling umum dari kedua perangkat itu adalah untuk memonitor aktivitas fisik dan meneruskan notifikasi. Meski rasionya bisa dibilang setengah-setengah, yang merasa tidak memerlukan kedua fungsi tersebut masih sedikit lebih banyak di angka 52,9%.
Kalau ditanya lebih lanjut, saya yakin alasan responden merasa tidak membutuhkan smartwatch atau fitness band bisa bermacam-macam. Bisa jadi sebagian dari mereka percaya bahwa mereka dapat tetap termotivasi untuk menjaga kebugaran tubuhnya tanpa perlu diingatkan dari hari ke hari oleh suatu gadget.
Oke, alasannya cukup valid, tapi di luar sana saya yakin masih ada banyak orang yang membutuhkan motivasi eksternal supaya akhirnya bisa mau berolahraga, dan di sinilah smartwatch atau fitness band akan menunjukkan perannya. Pada kenyataannya, “ingin menjalani gaya hidup lebih sehat” adalah alasan utama konsumen membeli smartwatch atau fitness band, seperti ditunjukkan oleh sekitar 40% responden yang menjawab demikian.
Pertanyaannya, apakah rasa termotivasi itu bisa bertahan lama? Ibarat Coca-Cola dalam botol yang dikocok dan menyembur hanya sebentar, masa penggunaan smartwatch dan fitness band juga cuma sebentar saja: sekitar 45% bilang periode terpanjang mereka memakai smartwatch atau fitness band-nya untuk berolahraga adalah satu minggu sampai satu bulan, sedangkan 32% menjawab kurang dari satu minggu.
Sisanya? Mungkin masih ada yang lanjut berolahraga secara rutin, tapi mereka tak lagi menggunakan smartwatch atau fitness band serajin seperti ketika baru awal-awal memilikinya. Dibeli, dipakai selama satu bulan, lalu ditelantarkan; sepertinya masuk akal kalau disimpulkan kurang bermanfaat.
Pengetahuan soal wearable device masih minim
Berdasarkan hasil survei, sebagian besar responden tahu kalau Apple, Samsung dan Xiaomi memproduksi smartwatch atau fitness band. Namun yang mengejutkan, sebagian besar (hampir 70%) ternyata tidak mengenal brand yang memelopori segmen ini, yaitu Fitbit dan Pebble – saya yakin juga tidak banyak yang tahu kalau Pebble sekarang sudah diakuisisi Fitbit.
Oke, mungkin alasannya karena produk-produk Fitbit masih tergolong sulit ditemukan, apalagi jika dibandingkan dengan Apple Watch atau Samsung Gear S3. Namun ternyata bukan cuma Fitbit saja, Garmin yang berbagai produk wearable-nya sudah tersedia secara resmi di Indonesia pun juga tidak dikenali sebagai produsen smartwatch atau fitness band (67%).
Data lain yang tak kalah mengejutkan adalah, tidak banyak yang tahu kalau wearable device itu tidak terbatas pada smartwatch dan fitness band saja. Sekitar 55% bilang kalau mereka tidak tahu-menahu mengenai earphone wireless yang juga merangkap fungsi sebagai fitness tracker, atau yang biasa disebut dengan istilah hearable.
Padahal seandainya mereka tahu, mungkin peluang mereka untuk membeli bisa jadi lebih besar. Namun semua tentunya juga bergantung pada ketersediaan produk di pasaran, dan tentu saja harganya harus masuk kategori terjangkau untuk bisa memikat konsumen tanah air kalau merujuk pada data di atas.
Saya ambil contoh Samsung Gear IconX. Earphone yang benar-benar tak dilengkapi kabel ini menyimpan fungsi fitness tracking, plus dapat digunakan sebagai alat pemutar musik mandiri. Harganya saya lihat masih berada di kisaran 1,5 – 2 juta rupiah. Sayang separuh lebih populasi belum menyadari eksistensi produk ini, dan lagi harganya masih bisa dikatakan cukup mahal.
Kembali lagi ke seputar brand smartwatch, sekitar 61% tidak tahu kalau Motorola merupakan produsen smartwatch. Padahal, bagi yang mengikuti perkembangannya pasti tahu kalau Moto 360 merupakan salah satu smartwatch pertama yang menjalankan sistem operasi Android Wear besutan Google.
—
Anda boleh bilang konsumen Indonesia terlalu pelit untuk membeli gadget di luar smartphone, dan harga mayoritas wearable device yang mahal terbukti merupakan salah satu penyebab utama mengapa segmen ini belum terlalu populer. Namun pada kenyataannya banyak dari kita yang juga menganggap wearable device tidak penting karena manfaatnya tidak signifikan.
Tidak seperti smartphone yang amat fleksibel, sulit bagi kita untuk menjustifikasi smartwatch dan fitness band yang fungsinya jauh lebih terbatas. Ini menjadi kendala buat pertumbuhan pasar wearable device di Indonesia.
Fakta bahwa hampir separuh populasi tidak menyadari akan adanya sejumlah fitness band berharga terjangkau menunjukkan penetrasi yang belum maksimal, ditambah lagi pengetahuan seputar kategori wearable device selain smartwatch dan fitness band yang masih lemah.