Semalam saya menghadiri undangan makan malam dari US Embassy (via Ong Hock Chuan) di Samarra Cafe, Kebon Sirih. Yang menarik adalah tamu undangan yang dihadirkan di acara tersebut, yaitu Steven Starr. Steven adalah seorang businessman/entrepreneur, Founder dan Former CEO of Revver.com, sebuah online video publishing platform. Steven sebenarnya sedang dalam sebuah perjalanan ke Bali dalam rangka program kampanye non-profit untuk sebuah film dokumenter berjudul Flow. Namun ditengah perjalanannya itu, Kedubes AS di Jakarta memutuskan untuk mengundang Steven untuk makan malam bersama dengan para blogger dari Indonesia, mengingat Kedubes AS merupakan salah satu sponsor di acara tahunan Pesta Blogger.
Steven yang hobi diving ini bercerita banyak mengenai pengalamannya membangun Revver, dan dia memiliki ide yang solid ketika membangun revver, he knows exactly what he’s going to do with Revver. Pengalaman 10 tahun bekerja dengan video publisher membuat Steven yakin benar bahwa online video akan maju pesat dan bahwa memfokuskan Revver kepada entitas publisher, karena Steven yakin Publisher harus diberi reward untuk karya-karyanya. Ketika Steven menjadi CEO dan mulai membangun Revver di tahun 2005, teknologi online video sendiri belum terlalu bagus dan teknologi terbaik saat itu adalah teknologi milik Quicktime (sebelum akhirnya disempurnakan oleh Macromedia Flash di tahun 2006) dan akhirnya Revver mengimplementasikan teknologi video streaming milik Quicktime di Revver dengan biaya investasi yang cukup besar, sebuah strategi yang akhirnya disesali oleh Steven. Strike 1.
Namun 2 bulan sebelum Revver di-launch, muncul sebuah startup lain yang ternyata juga mengusung konsep online video streaming, startup itu bernama YouTube. Disinilah kesalahan yang dilakukan oleh Revver, dimana momentum untuk menjadi pemimpin (early adopter) di bidang online video stream sudah direnggut oleh YouTube. Strike 2.
Tak ingin mengalah begitu saja, Revver terus berinovasi dan menjaring partners dari kalangan televisi seperti CBS dan juga mampu menggalang dana dari Venture Capital. Meskipun berada di bawah bayang-bayang YouTube yang lebih dulu launch, Revver tetap optimis karena merasa bahwa YouTube dan Revver mengincar pasar yang berbeda. YouTube mengincar pasar komunitas (bulk upload) dan Revver mengincar para publisher yang memang membuat video mereka sendiri untuk dimonetize. Ya, Revver adalah pelopor untuk layanan publishing video dimana para pencipta video bisa mengupload video buatan mereka dan mendapatkan sponsor dari para partner Revver, bahkan Revver juga mampu menerbitkan para video publisher ini ke layar kaca dengan bekerjasama dengan CBS. They’re the first company to pay video publisher for their video content! Pioneer!
Revver juga mengadopsi teknologi FreeNet, sebuah platform P2P network yang dikembangkan di Inggris untuk mengatasi permasalahan bandwith video streaming yang sangat besar. Metode ini sangat efektif mengatasi permasalah bandwith, dan benar-benar mengurangi cost operasional untuk Revver. Namun pada saat itu juga isu pembajakan dan copyright infringement sedang panas dan para pengembang aplikasi P2P mulai bergidik oleh tuntutan dari para copyright owner. Salah satu alasan mengapa Revver dibawah pimpinan Steven menolak bulk upload, adalah karena isu ini, dan para investor dan board of director menganjurkan Steven untuk tetap berada di jalur publisher.
Kira-kira setahun setelah “perang” dengan YouTube, akhirnya pada Oktober 2006 Steven menerima kabar bahwa Google membeli YouTube senilai 1.65 Miliar dollar AS. Strike 3, You’re out! Skakmat untuk Steven. Kenapa? Karena Steven langsung mengerti bahwa YouTube telah mampu mengatasi masalah copyright infringement yang selama ini menghambat peerkembangan Revver dan pastinya YouTube akan menjadi lebih besar dan lebih cepat berinovasi dibawah komando Google. Steven menyerah dan akhirnya meninggalkan Revver, begitu pula dengan beberapa rekannya. Namun untungnya pada awal tahun 2008 kemarin, LiveUniverse tertarik untuk membeli Revver seharga 5 Juta dollar AS. Sebuah angka yang tidak besar, namun setidaknya mampu mengembalikan dana para investor. Not exactly a win-win solution, but it’s enough.
Ada beberapa hal yang disesali oleh Steven, adalah ketika dia memutuskan untuk meninggalkan Revver, para investornya membujuk Steven untuk berinvestasi ke sebuah perusahaan kecil di Inggris bernama Skype. Steven sudah pernah mendengar mengenai para founder Skype yang sebelumnya juga founder dari aplikasi P2P Kazaa. Namun (sayangnya) Steven menolak. Bayangkan kalau dia berinvestasi di Skype, sudah betapa kaya dirinya sekarang.
Dari pembicaraan sambil makan malam itu Steven juga berbagi sedikit tips membangun sebuah startup, dan dia masih agak bingung dengan kondisi tech-startup di Indonesia yang sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah pengguna internet. Trust me Steven, i am as confused as you are. Tapi satu hal yang pasti, jumlah tech-startup di Indonesia makin banyak dan bertumbuh dengan ide-ide yang segar dan unik.
Steven berkata dia optimis dengan pasar internet di Indonesia, pertumbuhannya sangat cepat dan sudah mulai banyak vendor luar yang melirik Indonesia sebagai pasar potensial. Tentunya kita tidak akan membuang-buang kesempatan ini bukan?
another post from Toni on the same subject ( Great summary )
Thanks the guys at US Embassy for inviting me to this event, thank you very much. And of course to Steven for sharing a lot to us, valuable knowlegde straight from the CEO himself. Hope you’re enjoying Indonesia and i hope i can see you at pestaBlogger 09.