Tag Archives: foodtech

Foodurama

Dilandasi Isu Perubahan Iklim, Foodurama Kembangkan Produk Protein Alternatif

Foodurama adalah startup yang fokus mengembangkan varian produk protein alternatif, berbentuk cultivated meat (cell-based meat) dan plant-based meat. Titik mulanya cukup menarik, yakni dari keresahan founder atas isu perubahan iklim yang disebabkan oleh industri F&B.

Menurut data, bisnis F&B menyumbang tingkat emisi greenhouse gas yang cukup tinggi, sekitar 26% dari total emisi global. Angka ini bahkan lebih tinggi dari industri transportasi. Tidak dimungkiri, dampak perubahan iklim memang semakin signifikan berpengaruh pada alam di sekitar kita.

Efek rumah kaca yang disumbang oleh industri makanan / ourworldindata.org
Efek rumah kaca yang disumbang oleh industri makanan / ourworldindata.org

Foodurama didirikan oleh tiga founder, yakni Zulfikar Rifan, Dio Andrian, dan Punja Unggara. Mereka adalah individu yang memiliki akumulasi latar belakang pendidikan di bidang biotech, engineering, bisnis, dan farmasi. Sebelumnya juga sudah berpengalaman kerja di bidang F&B, tech-startup, perhotelan, dan farmasi.

Ada alasan kuat mengapa Foodurama yakin bahwa pendekatan produknya lebih ramah lingkungan dan dapat berkontribusi mengurangi isu perubahan iklim. Disampaikan Zulfikar, dari sudut penggunaan lahan misalnya, plant-based meat efisiensi yang dihasilkan plant-based meat 47-99% lebih lebih kecil dibandingkan conventional meat. Tidak hanya itu, emisi greenhouse gas untuk plant-based meat 30-90% lebih kecil dibanding konvensional.

Disandari betul, bahwa jenis produk ini memang masih belum banyak peminatnya di pasar lokal. Namun demikian, para founder Foodurama optimis potensinya terus tumbuh di tengah kesadaran masyarakat terhadap perubahan iklim yang semakin nyata.

Mengutip penelitian Coherent Market Insights, ukuran pasar plant-based meat sudah mencapai $5,06 miliar di tahun 2022 dan diproyeksikan tumbuh dengan CAGR19,3% hingga 2023 nanti menghasilkan kapitalisasi pasar $20,76 miliar.

Di Indonesia sendiri, sebelumnya sudah ada sejumlah startup yang fokus menyajikan makanan protein alternatif serupa. Dua di antaranya yang sudah mendapatkan dukungan dari pemodal ventura adalah Green Rebel dan Off Foods.

Varian produk Foodurama

Foodurama
Produk awal plant-based meat dari Foodurama / Foodurama

Saat ini produk yang sudah mulai dijual adalah kategori plant-based meat. Foodurama sudah punya 4 varian produk meliputi produk alternatif beef patty, rendang, lamb patty, dan gepuk. Makanan ini terbuat dari bahan olahan kedelai, bawang bombai, jamur, thyme, peterseli, dipadukan dengan rempah-rempah pilihan. Sementara untuk kategori cultivated meat akan segera diluncurkan dalam waktu dekat.

“Fokus kami sebagai perusahaan protein alternatif terbagi menjadi dua, yaitu cultivated meat dan plant-based meat. Namun, karena alasan pengembangan dan regulasi yang harus dipenuhi, untuk SKU awal kami sekarang baru mencakup kategori plant-based meat. Fokus kami ingin menghadirkan pengalaman yang mendekati ke conventional meat, agar bisa menjangkau pasar  yang lebih luas dan mempersatukan berbagai komunitas yang peduli akan climate change dan mau ambil aksi melalui pola konsumsi makanan sehari-hari,” ujar Co-Founder & CEO Foodurama Zulfikar Rifan.

Di fase awal ini, produk plant-based meat dikomersialkan ke segmen B2B (horeka). Untuk jangkauan area, Foodurama sedang pilot launch di beberapa lokasi di Kota Bandung dan sedang inisiasi kerja sama dengan beberapa food service dan pengelola hotel di dalam maupun luar negeri. Untuk dalam negeri, pihaknya mengaku sedang melakukan penjajakan di daerah Bali dan Jakarta. Untuk luar negeri, ada di Belanda, UAE, Cina, Singapura, dan Malaysia.

Sementara itu, mereka juga menargetkan pada semester awal 2024 sudah bisa menyasar B2C melalui modern trade. Zulfikar juga menyampaikan, mayoritas demografi sasaran produk Foodurama saat ini adalah middle dan middle-upper class yang punya konsentrasi terhadap lingkungan.

“Kami merupakan perusahaan pertama di Indonesia yang melakukan inisiasi pengembangan cultivated meat. Dalam waktu dekat, kami akan berkolaborasi dengan salah satu perguruan tinggi untuk membangun laboratorium pertama di Indonesia yang berfokus untuk mengembangkan cultivated meat,” imbuh Zulfikar.

Ia melanjutkan, “Untuk kategori cultivated meat, harapan kami 2024 sudah bisa merampungkan prototype dan memulai inisiasi untuk mendapatkan regulatory approval di negara tujuan yang sudah mengizinkan komersialisasi produk tersebut. Kami optimis, dengan dukungan dari berbagai stakeholders, industri protein alternatif akan mencapai price parity dengan industri protein konvensional.”

Foodurama debut dengan pendanaan angel round dan sekarang sedang tahap fundraising untuk putaran tahap awal.

Disclosure: Kristin Siagian berkontribusi dalam proses penyusunan artikel ini

Green Rebel Vietnam

Startup Produsen Protein Nabati Green Rebel Ekspansi ke Vietnam

Startup produsen pangan nabati Green Rebel Foods resmi meluncurkan produknya di Vietnam, yang juga sekaligus menandakan aksi ekspansi terbarunya di regional.

Masuknya Green Rebel ke Vietnam diketahui lewat unggahan yang dibagikan di platform LinkedIn pada Senin (18/9). “A big thank you to all who joined us for the incredible launch in Vietnam!” demikian tulis Green Rebel.

Disebutkan juga Green Rebel telah berkolaborasi dengan tujuh mitra di Ho Chi Minh City dan Hanoi untuk memasarkan produknya, antara lain Annam Group, eMart, Genshai, Laang Saigo, L’s Place, MM Mega Market Vietnam, dan Organic Convenience Stores.

Sebelumnya Green Rebel telah masuk ke Singapura dan Malaysia pada 2022, diikuti Filipina dan Korea Selatan di paruh pertama 2023. Perusahaan baru-baru ini juga berkolaborasi dengan AirAsia untuk kerja sama menu in-flight di Malaysia, Indonesia, dan Filipina.

Dari pemberitaan sebelumnya, Green Rebel mendapat pendanaan pra-seri A senilai $7 juta (sekitar Rp100 miliar) untuk mendukung ekspansinya. Selain negara-negara yang telah disebutkan, Green Rebel juga membidik pasar Australia.

Sebagai informasi, Green Rebel didirikan oleh Helga Angelina Tjahjadi dan Max Mandias yang juga pemilik restoran organik Burgreens. Meluncur sejak 2020, Green Rebel menawarkan alternatif daging nabati utuh untuk konsumen Asia Tenggara yang mencari pola makan fleksibel yang lebih sehat. Saat ini, produk Green Rebel tersedia di lebih dari 1000 toko dan restoran/kafe di Indonesia.

Mengutip informasi dari situs resminya, Green Rebel memproduksi daging dengan menggunakan lebih sedikit sumber daya alam dan menghasilkan lebih sedikit gas emisi CO2 dibandingkan produk hewani.

Pihaknya menyebut telah memberikan dampak positif selama 2 tahun terakhir beroperasi, termasuk menghasilkan 5,4 ton emisi CO2, menghemat 10 ribu ton biji gandum, menyelamatkan 1,5 juta km² hutan, bermitra dengan 2.200 petani, hingga membuka 206 lapangan pekerjaan baru.

Selain Green Rebel, startup dengan misi serupa adalah Outrageous Future Foods (OFF) Foods, yang memproduksi protein alternatif tanpa mematikan daging dari hewan asli dan mengorbankan rasa. Tahun lalu, OFF Foods dilaporkan memperoleh pendanaan tambahan $1,5 juta dari Jungle Ventures.

Laporan BIS Research mengungkap bahwa nilai industri makanan nabati (plant-based) diproyeksi menyentuh $480 miliar di global pada 2024. Sementara, industri protein nabati diperkirakan tumbuh di Indonesia dengan CAGR 27,5% pada 2021-2027 menurut laporan Research and Markets.

Startup SaaS POS EasyEat memperkuat kehadirannya di Indonesia dengan menggandeng DOKU untuk menyediakan sistem pembayaran

Platform Manajemen Restoran EasyEat Perkuat Kehadiran di Indonesia

Startup penyedia layanan point-of-sales bisnis kuliner EasyEat memperkuat kehadirannya di Indonesia dengan menggandeng DOKU untuk menyediakan sistem pembayaran. Kerja sama tersebut memungkinkan konsumen dine-in dari merchant kuliner EasyEat untuk membayar transaksi dari beragam solusi pembayaran digital populer, salah satunya QRIS.

EasyEat menyediakan solusi pemesanan via-QR dan POS yang terintegrasi dengan berbagai fitur penunjang, seperti inventaris, laporan analitik, promo pemasaran, dan lainnya. Solusi tersebut dikhususkan untuk bisnis kuliner (restoran dine-in) yang menjadi target utama dari startup asal Singapura ini.

Bersama DOKU, kini pelanggan tidak hanya dapat memilih menu dan memesan makanan via smartphone mereka, tapi juga bisa langsung bayar pesanan menggunakan metode pembayaran yang diinginkan, semua dalam platform yang sama,” terang Founder & CEO EasyEat Wassem Mohd dalam diskusi bersama sejumlah media di Jakarta, kemarin (30/8).

Menanggapi kerja sama kedua perusahaan, VP of Business Development DOKU Troy Hambali menyampaikan, DOKU sebagai mitra teknologi yang mengadakan fitur pembayaran online dalam platform EasyEat, sehingga konsumen dapat langsung menyelesaikan pembayaran dalam satu platform, mulai dari scan QRIS, e-wallet, m-banking, debit card, dan credit card.

“Dengan solusi all-in-one POS EasyEat yang terintegrasi dengan platform pembayaran DOKU, pengunjung dapat memilih metode pembayaran yang nyaman bagi mereka. Dengan demikian, proses pesan dan bayar jadi lebih cepat dan operasional kafe/restoran secara keseluruhan menjadi lebih efisien,” ucap Troy.

Ia juga menegaskan bahwa kerja sama ini hanya berlaku untuk bisnis EasyEat di Indonesia saja. Di Malaysia, EasyEat bekerja sama dengan penyedia gerbang pembayaran lokal.

Simulasi pembayaran QR dengan DOKU
Simulasi pembayaran QR dengan DOKU / DOKU

Solusi EasyEat

Mohd melanjutkan, teknologi digital sangat dibutuhkan bagi pebisnis restoran. Urusan memilih menu dan memesan makanan dapat menjadi tantangan bagi pramusaji maupun pelanggan ketika dine-in di kafe/restoran. Kegiatan ini berpotensi memakan waktu cukup lama, menambah tumpukan antrean dan berakibat kurang nyaman jika tidak dikelola dengan baik.

Platform EasyEat memudahkan konsumen dalam melihat dan memesan menu dengan memindai kode QR melalui smartphone tanpa harus mengunduh aplikasi. Mereka dapat melihat dan memesan makanan tanpa harus menunggu pramusaji datang. Kemudian melakukan proses pembayaran dengan opsi beragam secara online tanpa perlu ke kasir.

Berdasarkan data yang dikutip, tren dine-in mulai diminati pasca-pandemi. Ditemukan bahwa sebanyak 79% konsumen tidak ragu lagi untuk kembali makan di restoran. Tren tersebut menjadi peluang perusahaan untuk melebarkan jaringan merchant di Indonesia.

Diklaim ada lebih dari 500 kafe/restoran yang bergabung sebagai merchant, di antaranya Lawless Burger, Feel Matcha, Papa Ron’s Pizza, Kopi Oey, Lokaholik, dan lainnya. Persebaran lokasinya tak hanya di Jabodetabek, tapi juga kota besar lainnya, seperti Bandung, Palembang, Surabaya, Bali, dan Medan.

Sebelum masuk ke Indonesia pada 2022, EasyEat juga sudah hadir lebih dulu di Malaysia. Di sana perusahaan sudah melayani lebih dari 1.000 kafe/restoran terhitung sejak mulai beroperasi di 2020. Solusinya yang ditawarkan lebih inklusif daripada di Indonesia.

Model bisnis yang diterapkan EasyEat tergolong fleksibel mengikuti arus bisnis di tiap restoran karena perusahaan hanya mengutip komisi dari setiap transaksi yang berhasil. Tidak ada biaya berlangganan yang harus dibayarkan tiap bulannya. Kebijakan tersebut dinilai dapat membantu restoran dapat meningkatkan pendapatan bisnisnya, sekaligus lebih efisien.

Disebutkan rata-rata peningkatan pendapatan yang diraih para merchant pasca bergabung dengan EasyEat mencapai 10%-20%. “Kami juga membantu merchant menjaga marginnya. Dari mesin EasyEat, kami merekomendasikan menu favorit dan harga tertinggi, dengan demikian profit mereka akan meningkat antara 20%-50%,” pungkas Mohd.

Di Indonesia, EasyEat bersaing dengan para pemain POS yang sebagian besar menyasar bisnis ritel, F&B, seperti MOKA, iSeller, Olsera, Runchise, ESB, dan lainnya.

Application Information Will Show Up Here

Mengenal Platform Digitalisasi Ritel YOBO

Aktivitas offline kembali merebak selepas pandemi. Setelah peritel “dipaksa” masuk ke platform online demi menjangkau konsumen, kini mereka dapat bernapas lega kembali mengaktifkan gerai-gerainya untuk berinteraksi langsung. Walau begitu, peritel ini masih banyak yang belum bisa memahami konsumennya dan cara menariknya mau berkunjung ke gerai.

Steven Kim (CEO) bersama Jaeyoun Doh (CTO) menangkap kekosongan tersebut dengan merintis YOBO, platform perdagangan dan pembayaran (commerce and payment platform) yang memanfaatkan teknologi untuk mengumpulkan data, memberikan pengalaman konsumen yang lebih baik, dan mendorong pertumbuhan bisnis. Solusi tersebut berbasis digital, tidak memerlukan aplikasi yang harus diunduh oleh konsumen ataupun peritel.

“Kami membantu mereka membawa bisnisnya ke online, mendapatkan data konsumen seperti: siapa konsumen VIP-nya? Siapa yang paling rutin berkunjung? Data tersebut kami proses dari EDC yang sudah terhubung dengan reward untuk diberikan ke konsumen,” terang Co-founder YOBO Steven Kim saat ditemui DailySocial.id.

YOBO merupakan kepanjangan dari Your Own Business Online, diracik oleh Kim bersama Doh dan tim pada saat pandemi tengah berlangsung. Produk YOBO itu sendiri sudah live sejak pertengahan Juni 2023, dimanfaatkan sejumlah peritel yang tersebar di mal-mal seantero Jakarta.

Kim sebelumnya merupakan pendiri Qraved, pernah menduduki posisi penting di Rocket Internet SEA dan Zalora. Sementara perusahaan Doh sebelumnya adalah Itemku yang diakuisisi oleh Bukalapak pada Mei 2021.

Produk YOBO

Kim menjelaskan, produk YOBO adalah platform reward berbasis nomor handphone di EDC. Dari mesin EDC yang digunakan peritel, akan dikumpulkan data pelanggan saat pembayaran terjadi. Data tersebut diolah untuk mendapatkan insight yang dapat digunakan untuk meracik strategi promosi berikutnya.

YOBO

Berbeda dengan program reward yang dihadirkan oleh peritel, umumnya konsumen perlu mengunduh aplikasi reward dan memberi tahu kasir nomor pelanggan mereka untuk mengumpulkan poin yangloy dapat ditukar kemudian hari. Namun, cara tersebut belum tentu sukses karena tingkat churn yang tinggi. Unduhan hanya akan tinggi ketika terjadi promosi saja. Belum lagi investasi yang harus dikeluarkan bisnis untuk pengembangan aplikasi dan meracik promosi tergolong tidak murah.

Oleh karenanya, alur konsumen saat bertransaksi di tenant yang sudah memakai solusi YOBO sedikit berbeda. Perusahaan bekerja sama langsung dengan pengelola mal tersebut, sebelum mengajak tenant-tenantnya mengadopsi solusi YOBO.

Nantinya di dalam mal akan tersedia banner/spanduk berisi promosi dari tenant, sekaligus kode QR yang dapat dipindai pengunjung. Ketika dipindai, pengunjung akan dibawa ke situs mal tersebut dan diminta untuk memasukkan nama dan nomor handphone sebelum menerima informasi lainnya yang dikirim melalui WhatsApp.

Setelah sukses, secara otomatis konsumen akan menerima pesan dari WhatsApp, informasi mengenai direktori mal, melihat penjualan dan promosi berlangsung, hingga acara yang sedang berlangsung di mal.

“Karena banyak pengunjung yang saat masuk ke mal itu tidak tahu mau ke mana, promosi apa saja yang dapat mereka terima, dan benefit lainnya. Jadi kami ini tanpa aplikasi, pengalaman baru ini bagus untuk pengunjung karena semua informasi dikirim ke WhatsApp, yang mana mereka lebih sering buka WhatsApp daripada aplikasi lain untuk dapat informasi.”

DailySocial.id pun turut serta merasakan pengalaman saat berkunjung ke Ashta, SCBD Jakarta. Setelah memindai banner promosi yang berisi kode QR, terdapat promosi gratis minum yang disediakan oleh Saturdays, salah satu peritel yang sudah bermitra dengan YOBO.

Begitu sampai di gerai, pelayan memberi tahu persyaratan yang harus dilakukan untuk penukaran promo tersebut, yakni cukup dengan belanja salah satu menu makanan di sana. Mesin EDC milik Saturdays akan meminta nomor handphone konsumen sebelum kode QRIS muncul untuk pembayarannya.

“Dari mal dan tenant sekarang sudah punya satu konsumen baru, yang dapat dikirim pesan lagi berisi promosi lainnya untuk mengajak konsumen tersebut kembali datang.”

Kim juga memastikan keamanan data pengunjung tidak akan disebar ke pihak lainnya, hanya pengelola mal dan tenant sajalah yang dapat mengaksesnya.

YOBO

Tidak hanya kemudahan di atas, YOBO juga akan memberikan akses dasbor CRM kepada bisnis untuk monitor basis data  konsumen, serta memberikan rekomendasi promosi apa yang tepat, disertai dengan pesan yang terpersonalisasi dan terukur.

“Banyak bisnis yang ingin punya solusi manajemen data, manajemen konsumen, business intelligence, project management, ads analysis. Tapi ini semua mahal karena harus rekrut orang, belum lagi ada risiko hasilnya tidak sepadan.”

Strategi monetisasi

Pendekatan YOBO ini terinspirasi dari kesuksesan Square, startup asal Amerika Serikat. Di sana, sejak Covid-19 pertumbuhan bisnis pembayaran dan teknologi bisnis untuk sektor F&B dan ritel telah berkembang pesat. Square sendiri adalah perusahaan pembayaran yang menyediakan produk POS.

Berbeda dengan Indonesia, para pemain POS kebanyakan menjual solusinya dengan berlangganan untuk memanfaatkan mesinnya dan benefit lainnya. Alhasil, ada biaya tetap yang harus dikeluarkan peritel, sementara tidak ada jaminan penjualan tetap tinggi setiap waktu.

“Sementara banyak bisnis yang belum memikirkan bagaimana strategi promosinya, sebab selama ini pemain e-wallet, seperti Gopay yang kasih cashback. Sementara sekarang mereka sudah tidak berikan promosi besar-besaran lagi. Bagaimana mereka bisa tahu siapa konsumen VIP, benefit apa yang perlu diberikan agar sering datang, itu tidak pernah terpikirkan.”

Oleh karena itu, monetitasi yang diambil YOBO hanya berasal dari biaya layanan sebesar 2,9% untuk setiap transaksi yang sukses terjadi di tenant. Ongkos tersebut terbilang lebih terjangkau daripada peritel harus mengadopsi banyak solusi dan merekrut orang baru.

Terlebih itu, peritel pun tidak harus menggunakan mesin EDC khusus dari YOBO, walau perusahaan bekerja sama dengan salah satu pemain POS lokal sebagai penyedianya. Perusahaan memilih untuk agnostik, alias solusinya bisa terhubung dengan berbagai penyedia POS, baik yang sudah digital (iSeller, Majoo, ESB, Moka) maupun konvensional, seperti Quinos, Raptor, dan Micros.

“YOBO adalah perusaahaan dengan pergerakan uang yang tinggi dan selalu meningkat tiap bulannya karena punya unit economics yang jelas. Semua pendapatan kami di dapat dari setiap transaksi yang sukses. Jadi tenant hanya membayar kami dari transaksi yang sukses, tanpa ada biaya upfront untuk berlangganannya.”

Sisi agnostik lainnya juga berlaku untuk target pengguna YOBO, tidak hanya untuk bisnis kuliner saja, tapi juga dari vertikal lainnya, yakni fesyen, skincare, supermarket, salon, gym, hingga otomotif.

Rencana selanjutnya

Kim memastikan saat ini perusahaan masih memfokuskan diri pada peritel offline dengan menjaring sebanyak-banyaknya pengelola mal menjadi penggunanya. Ditargerkan setidaknya dapat menambah 50 mal lagi sepanjang tahun ini. Adapun sekarang, perusahaan sudah bekerja sama dengan Asri Group, pengelola mal Ashta, MOI, PIK Avenue, Hub Life, dan Grand Galaxy Park.

Selanjutnya dari Pakuwon Group, pengelola Kota Kasablanka dan Gandaria City, serta Lippo Group, pengelola Spark Senayan dan Lippo Mall Puri. Rencananya mal-mal lainnya yang dikelola grup besar ini akan dijaring hingga nantinya YOBO dapat beroperasi di seluruh Indonesia.

Beberapa peritel yang sudah memanfaatkan solusi YOBO, di antaranya berasal dari Boga Group, Saturdays, Goobne, Social Affair, Baker Man, Xi Bo Ba, dan masih banyak lagi.

Untuk mewujudkan rencana tersebut, saat ini YOBO sedang menggalang pendanaan tahap awal. Adapun saat ini YOBO sudah mengantongi pendanaan pra-awal dari sejumlah investor dan angel investor, salah satunya DS/X Ventures.

“Kami mencari investor strategis yang kuat di pengalamannya dan punya jaringan yang kuat di dunia ritel offline agar selaras dengan bisnis kami saat ini.”

Kim juga membuka kemungkinan untuk menyasar peritel dari kalangan UMKM.  Walau belum bisa ditentukan kapan waktunya, menurutnya potensi yang ditawarkan dari segmen bisnis ini juga menjanjikan. Segmen ini umumnya punya tantangan berbeda karena kebanyakan masih berfokus pada peningkatan bisnis, belum pada retensi konsumen.

“Jadi dengan pendekatan top down, ketika ini sukses, pola pikir para UKM akan berubah. Jika mereka melihat grup besar seperti Boga Group sudah pakai, maka mereka akan terpengaruh.”

Masa depan Qraved

Terkait Qraved, Kim menuturkan pandemi “sukses” menghantam bisnis Qraved sebagai platform direktori kuliner karena monetisasinya mengandalkan pemasangan iklan oleh pebisnis. Tak hanya Qraved yang kesulitan, bahkan Zomato menutup bisnisnya di Indonesia.

Namun bukan begitu platform seperti ini tidak lagi relevan dengan perkembangan terkini, hanya lebih sulit untuk bertahan karena sebagian besar bisnis tidak punya budget pemasaran yang berlebih.

Saat ini, startupnya tersebut sedang masa jeda (paused), bukan berarti bakal tutup. Lantaran sebagian besar sumber daya diarahkan untuk pengembangan YOBO, dengan jumlah tim saat ini sekitar 15 orang. Kendati begitu ia belum bisa memastikan kapan setidaknya Qraved bisa dihidupkan kembali.

“Mungkin kuartal empat ini atau tahun depan, yang pasti kami akan hidupkan kembali. Sejujurnya belum tahu juga nanti akan tetap sebagai discovery platform atau bukan. Yang kami lihat sejauh ini kami banyak terima permintaan dari konsumen kapan akan update, sebab saat ini pilihan terakhir untuk discovery makanan itu dari Google Maps saja, sementara Zomato sudah tutup di sini.”

Sebagai catatan, Qraved sudah beroperasi sejak 2013. Saat itu, pesaing terbesarnya adalah Zomato dan pemain lokal, PergiKuliner. Sama dengan Qraved, Zomato juga hadir di Indonesia pada 2013.

Disclosure: DS/X Ventures merupakan bagian dari grup DailySocial.id

Mangkokku

Klaim Profitable, Mangkokku Rencanakan Galang Dana Seri B

Setelah menjalankan bisnis selama lebih dari tiga tahun, startup F&B Mangkokku mengklaim telah mencapai titik profitabilitas. Pandemi yang sempat mengganggu jalannya bisnis, membuat tim bergerak cepat melakukan adaptasi, berdampak pada akselerasi bisnis perusahaan sampai saat ini.

Kepada DailySocial.id, Co-Founder & CEO Mangkokku Randy Kartadinata mengungkapkan, tahun ini selain memperluas area layanan di pulau Jawa mereka juga ingin melihat potensi di daerah lainnya. Menurutnya perusahaan telah memiliki framework yang akurat ketika memutuskan untuk menambah toko offline atau layanan di lokasi baru.

“Saat ini kita telah memiliki 64 outlet di 19 kota. Di kuartal 4 tahun lalu Mangkokku juga telah hadir di pulau Sumatera, tepatnya di wilayah Lampung, Medan, dan Palembang,” kata Randy.

Diklaim olehnya, usai menerima pendanaan seri A tahun 2022 lalu, secara pipeline perusahaan sudah berada pada jalur yang tepat. Pengembangan produk, menjadi fokus perusahaan saat ini dan ke depannya. Mangkokku juga telah memiliki dua brand baru yang dikembangkan sendiri, yaitu Numinum dan Puedes.

Fokus kepada core-business

Puedes salah satu extra brand / Mangkokku

Meskipun saat ini industri F&B di Indonesia sudah sangat tersaturasi, karena kemudahan bagi semua kalangan untuk memiliki bisnis kuliner, ternyata kondisi ini tidak menjadi kendala bagi Mangkokku untuk mengembangkan bisnis mereka. Dilihat dari masih besarnya potensi industri F&B untuk terus berkembang di Indonesia.

“Di Indonesia paling gampang bikin restoran atau bisnis makanan, berbeda dengan negara lain. Mungkin hal tersebut yang membuat kondisinya saturated banyak pemain baru dengan motif yang tidak jelas membangun bisnis kuliner tapi ujung-ujungnya banyak di antara mereka yang tidak bertahan,” kata Randy.

Saat pandemi perusahaan juga mencatatkan pertumbuhan positif untuk pesanan online. Memanfaatkan marketplace dan food aggregator untuk pemesanan dan pengiriman makanan kepada pembeli, perusahaan belum memiliki rencana untuk merilis aplikasi sendiri.

Sebagai platform F&B, selama ini Mangkokku cukup konsisten dengan menu khas nusantara. Memanfaatkan central kitchen yang digunakan perusahaan untuk mengelola permintaan online dan offline, perusahaan saat ini sudah memiliki dua central kitchen yang terletak di Jakarta dan Surabaya.

Untuk memberikan menu yang relevan dan bervariasi, perusahaan juga telah memiliki 100 bank menu yang mereka kelola memanfaatkan R&D. Dengan demikian dalam waktu satu tahun ke depan sudah bisa diprediksi menu apa yang akan mereka luncurkan.

Agar bisnis bisa terus bertahan dan tentunya tetap relevan, diperlukan inovasi dan langkah strategis yang kemudian wajib untuk dilakukan oleh bisnis. Salah satu cara yang kemudian diterapkan oleh Mangkokku adalah menciptakan resep yang unik namun menyesuaikan selera saat ini. Kehadiran selebriti atau tokoh yang sudah dikenal oleh kalangan masyarakat untuk mempromosikan brand juga memiliki peranan penting saat awal membangun bisnis.

Namun pada akhirnya produk yang memiliki cita rasa yang lezat dan terbaik, menjadi pilihan bagi pelanggan. Mangkokku sendiri saat ini didukung oleh chef selebriti seperti Arnold Poernomo serta dua putra presiden Joko Widodo yaitu Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep.

Disinggung apakah perusahaan memiliki rencana untuk melancarkan brand aggregator, menurut Randy untuk saat ini Mangkokku masih fokus mengembangkan produk milik sendiri. Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan, brand aggregator akan juga mereka terapkan dalam perusahaan.

“Kita memiliki opsi untuk itu, namun saat ini belum menjadi fokus. Kita lebih memiliki kredibilitas untuk meluncurkan extra brand milik sendiri untuk saat ini,” kata Randy.

Rencana penggalangan dana seri B

Sebagai platform yang didukung oleh perusahaan modal ventura, Mangkokku masih memiliki rencana untuk melakukan penggalangan dana tahapan lanjutan seri B. Masih dalam penjajakan dengan investor strategis, jika dana segar tersebut bisa mereka peroleh tahun ini, rencananya akan digunakan perusahaan untuk melakukan ekspansi di kota lainnya di Indonesia. Mangkokku berharap bisa mengantongi sekitar $10-20 juta dari investor.

“Kita melihat VC sebagai mitra strategis bukan hanya memberikan modal saja tapi juga networking,” kata Randy.

Sebelumnya Mangkokku telah mendapatkan pendanaan seri A sebesar $7 juta atau sekitar 101 miliar Rupiah yang dipimpin oleh Alpha JWC Ventures dan EMTEK, serta partisipasi dari Cakra Ventures. Melalui pendanaan ini, Mangkokku akan menambah jumlah outlet fisik dan membangun ekosistem brand kuliner untuk menjadi grup perusahaan F&B terbesar di Indonesia.

Sebagai informasi, sebelumnya Mangkokku telah mengantongi investasi tahap awal dari Alpha JWC Ventures sebesar $2 juta atau sekitar 29 miliar Rupiah di 2020.

Selain penggalangan dana dan ekspansi, tahun ini perusahaan juga memiliki rencana untuk melakukan evaluasi kepada produk mereka. Telah memiliki sekitar 18 menu, tahun ini perusahaan berencana untuk merampingkan beberapa menu, sambil mendorong pemasaran menu favorit mereka. Mangkokku juga memiliki rencana untuk mengembangkan dua brand F&B mereka yaitu Numinum dan Puedes lebih besar lagi.

Foodtech Indonesia

Outlook Foodtech 2023: Menyeimbangkan Strategi Brand Aggregator dan Unit Ekonomi Positif

Industri makanan dan minuman (F&B) saat ini terus berkembang, begitu pula dengan perilaku dan preferensi pelanggan. Terlebih di era digital, konsumen lebih terinformasi dan menuntut daripada sebelumnya, sehingga penting bagi pebisnis memahami dan beradaptasi dengan perubahan ini agar berhasil merebut pangsa pasar.

Salah satu tren terbesar yang membentuk perilaku pelanggan di industri F&B adalah aspek kesehatan. Pandemi membuat sebagian besar konsumen semakin tertarik untuk mengetahui bahan dan informasi gizi dari makanan yang mereka makan; dan banyak yang memilih pilihan yang lebih sehat, nabati dan organik.

Di sisi operasional,  pemain F&B yang memanfaatkan omnichannel juga harus mulai memiliki strategi menyeluruh untuk bisa memperluas layanan dan menambah opsi brand mereka. Apakah dengan cara akuisisi atau kerja sama strategis.

Omnichannel memperkuat bisnis F&B

Selain faktor kesehatan, konsumen saat ini juga mulai melihat menuntut kenyamanan, variasi, dan pengalaman yang dipersonalisasi. Untuk memenuhi tuntutan ini, banyak bisnis F&B telah mengadopsi pendekatan omnichannel.

Secara khusus omnichannel mengacu pada pengalaman berbelanja yang mulus dan terintegrasi di berbagai kanal, termasuk toko fisik, pengiriman online, dan aplikasi lainnya. Tujuannya untuk memberikan pelanggan pengalaman berbelanja yang konsisten dan kohesif, apa pun cara mereka memilih untuk berinteraksi dengan brand tersebut.

Menurut President Director Dailybox Group Kelvin Subowo, setelah 2 tahun pandemi, pemesanan melalui layanan pesan antar pun sempat stagnan. Hal tersebut dikarenakan karakter orang Indonesia yang lekat dengan kebersamaan, sehingga tidak dapat 100% mengandalkan strategi layanan pesan antar, terutama di kota tier 2 dan 3.

Selama pandemi, perusahaan mencatatkan 80% omzet penjualan Dailybox berasal dari layanan pesan antar makanan online.

“Menurut kami, pembelian produk F&B melalui layanan pesan antar bukan lagi sebuah tren musiman, tetapi sudah menjadi kebiasaan. Hanya saja frekuensinya tidak akan setinggi di masa-masa awal pendemi. Karenanya, presence offline juga tetap harus ditingkatkan,” kata Kelvin.

Ditambahkan olehnya, saat ini beberapa outlet Dailybox Group yang hanya berkonsep take-away atau grab&go, secara perlahan diubah menjadi konsep dine-in agar orang bisa datang langsung.

Dalam industri F&B, strategi omnichannel dapat membantu bisnis. Di antaranya  meningkatkan pengalaman pelanggan, dengan menawarkan berbagai cara untuk memesan, membayar, dan menerima makanan mereka, pelanggan dapat memilih opsi yang paling nyaman. Pendekatan tersebut juga dapat membantu bisnis menjangkau pelanggan baru dan meningkatkan penjualan dengan menawarkan variasi produk dan layanan yang lebih luas melalui berbagai kanal.

Menurut Co-Founder & President Hangry Andreas Resha, selama ini perusahaan terus melakukan eksplorasi berbagai kanal yang ideal. Saat ini fokus perusahaan adalah meningkatkan layanan secara online, yang diklaim oleh mereka terus mengalami pertumbuhan yang positif. Namun demikian, saluran offline seperti dine-in atau take away juga mulai menunjukkan pertumbuhan yang masif.

“Meskipun PPKM dicabut dan kantor dibuka kembali, daya tarik dalam channel pengiriman makanan secara online tetap kuat. Hal ini membuktikan bahwa pergeseran preferensi terhadap makanan dan minuman yang lebih praktis, mudah didapat, dan berkualitas baik bukanlah tren sementara atau musiman saja,” kata Andreas.

Hal lainnya yang juga memainkan peranan penting dalam penerapan omnichannel adalah teknologi. Teknologi berperan besar dalam membentuk perilaku pelanggan. Mulai dari pemesanan dan pengiriman online hingga aplikasi seluler dan program loyalitas.

Memanfaatkan aplikasi sendiri, Haus! brand yang berada dalam kategori New Tea & Boba, berharap bisa mendapatkan sekitar 25% dari 50% pelanggan online yang sudah ada saat ini.

Disinggung apakah ke depannya akan lebih banyak pelanggan yang melakukan pembelian dengan opsi pick-up atau offline, menurut Co-Founder & CEO Haus! Gufron Syarif, akan tetap ada pelanggan yang memilih untuk melakukan pembelian secara online, tetapi pilihan pick-up dan langsung ke konter diperkirakan juga makin meningkat.

Potensi brand aggregator

Dilihat dari tuntutan konsumen kepada kenyamanan, variasi, dan pengalaman yang dipersonalisasi, tren agregasi brand atau brand aggregator saat ini mulai banyak dilirik oleh pebisnis F&B. Dengan strategi tersebut, perusahaan mengelola beberapa brand makanan dan minuman, biasanya dari kategori produk atau masakan yang berbeda. Selain mengembangkan/menginkubasi unit bisnis sendiri, beberapa pemain melakukan strategi M&A.

Tujuannya agar bisa menawarkan produk dan layanan yang lebih luas kepada pelanggan. Ke depannya, tren agregasi brand di industri F&B diperkirakan akan terus berkembang, sebagai upaya bisnis untuk mencari cara baru yang inovatif untuk menjangkau pelanggan dan meningkatkan pangsa pasar mereka.

Menurut CEO Prasetia Dwidharma Arya Setiadharma, brand aggregator akan menciptakan nilai, jika ada beberapa proses bisnis yang dapat disederhanakan di seluruh brand. Dalam industri F&B, hal ini bisa berarti memusatkan central kitchen atau memusatkan tim pemasaran/branding. Jika tidak ada nilai yang diciptakan oleh proses agregasi, tidak akan berhasil dalam jangka panjang.

Prasetia Dwidharma sendiri saat ini telah berinvestasi kepada Haus! yang telah memperluas produk melalui sister brand “Hot Oppa” yang telah dirilis pada November 2022. Varian produk makanan ke depannya akan menjadi fokus perusahaan untuk meningkatkan growth store dan vertikal penjualan.

Dengan menggabungkan beberapa brand dan produk makanan dan minuman, bisnis dapat memenuhi permintaan dan menawarkan kepada pelanggan untuk semua kebutuhan makanan dan minuman mereka.

Menurut Kelvin, industri F&B di Indonesia saat ini sudah sangat saturated, sehingga dengan hadirnya brand aggregator dapat membantu brand yang ada untuk lebih berkembang dari sisi distribusi, produksi hingga pemasaran.

Untuk pasar seperti Indonesia, pelanggan sangat aktif menggunakan media sosial. Menurut Partner Vertex Ventures SE Asia & India Gary Khoeng, ke depannya masa depan brand aggregator akan lebih banyak memanfaatkan pertumbuhan di media sosial.

Omnichannel sebagai strategi diprediksi juga akan terus tumbuh dan kami melihat bahwa perusahaan akan fokus untuk mendorong pengalaman pelanggan yang konsisten dan terbaik di semua channel. Bisnis juga akan memperdalam kemampuan pengumpulan dan analisis data mereka untuk membuat keputusan berdasarkan data,” kata Gary.

Saat ini Vertex Ventures merupakan salah satu investor strategis yang mendukung pertumbuhan bisnis Dailybox Group. Tercatat pertumbuhan bisnis Dailybox tidak terhalang saat pandemi, pendapatan kotor mereka secara grup pada 2021 tumbuh cukup pesat. Prestasi ini pun membuat Dailybox Group dilirik oleh sejumlah investor dan akhirnya sukses mendapat pendanaan Seri A pada Juli 2021 di masa pandemi.

“Beberapa tahun ke belakang kami telah mengakuisisi brand yang memiliki storefront atau eksis di platform offline, seperti Breadlife dan Lu’miere. Ke depannya, kami akan memperkenalkan beberapa brand baru yang dapat menunjang strategi multi platform kami,” kata Kelvin.

Agar brand aggregator berjalan sukses, perusahaan harus terus mengevaluasi dan mengoptimalkan strategi agregasi brand mereka berdasarkan feedback pelanggan dan analisis data. Hal ini termasuk secara teratur memperbarui teknologi dan penawaran untuk memastikan bahwa layanan dan produk tetap relevan dan memenuhi perubahan kebutuhan pelanggan. Kesimpulannya, tren agregasi brand di industri F&B akan terus berlanjut di masa mendatang, karena bisnis berupaya memaksimalkan jangkauan mereka dan meningkatkan loyalitas pelanggan.

Unit ekonomi dan faktor pendorong VC berinvestasi

Industri F&B telah menjadi salah satu penunjang ekonomi global, dan dalam beberapa tahun terakhir, telah menarik investasi yang signifikan dari perusahaan modal ventura (VC). Dengan pertumbuhan industri, VC mencari peluang untuk berinvestasi dalam bisnis F&B yang menjanjikan dan memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang. Hal termasuk perusahaan yang memiliki rekam jejak pertumbuhan pendapatan yang terbukti dan strategi yang jelas untuk memperluas basis pelanggan mereka.

VC juga kerap mencari bisnis F&B dengan unit ekonomi yang kuat, artinya biaya produksi dan pengiriman setiap unit lebih rendah daripada pendapatan yang dihasilkan dari penjualannya. Hal ini memungkinkan bisnis untuk menghasilkan margin positif dan menginvestasikan kembali keuntungan ke dalam pertumbuhan dan ekspansi.

Menurut Arya, setiap brand perlu memahami unit ekonomi mereka. Apakah perusahaan sudah untung di tingkat toko?, toko mana yang tidak menguntungkan dan mengapa?, Berapa break-even sales and break-even unit?.

“Selama masa ekspansi, setiap brand harus bisa memberikan alasan mengapa lokasi yang diusulkan bagus. Data lokasi menjadi faktor penting sebelum berkembang. Merek perlu memahami apa demografi pelanggannya,” kata Arya.

Dalam industri F&B, unit ekonomi merupakan faktor penting dalam menentukan potensi pertumbuhan dan skalabilitas. Dilihat dari bisnis dengan strategi pertumbuhan yang jelas, penawaran inovatif, dan ekonomi unit yang kuat, VC dapat mengidentifikasi dan berinvestasi dalam bisnis yang memiliki potensi terbesar. Kesimpulannya, fokus pertumbuhan dan unit ekonomi merupakan pertimbangan utama bagi perusahaan VC saat berinvestasi di industri F&B.

Menurut Gary dari Vertex Ventures, bisnis foodtech yang didukung oleh VC pada umumnya terdiri dari komponen online dan offline. Model bisnis online berkembang sehingga VC tidak bisa menentukan target pertumbuhan atau unit ekonomi yang perlu dicapai oleh startup sebelum berinvestasi.

“Secara umum, apa yang kita lihat adalah tingkat pertumbuhan bulanan yang konsisten dan sehat, retensi pelanggan yang sehat dan margin kontribusi laba, jika pendiri startup mampu meminimalkan biaya variabel,” kata Gary.

Ditambahkan olehnya, biasanya layanan secara offline juga melengkapi layanan secara online. Saat pandemi melandai, akan mulai terlihat pelanggan kembali ke toko offline, tidak hanya untuk membeli makanan tetapi juga untuk pengalaman langsung saat menikmati hidangan di lokasi.

Metrik yang kemudian dilihat oleh VC dalam hal ini meliputi, jika terjadi pertumbuhan pendapatan penjualan yang konsisten per toko/restoran, pertumbuhan penjualan (%) per toko/restoran, berapa lama waktu yang dibutuhkan setiap toko baru untuk mencapai break even dan mencapai profitabilitas, termasuk jumlah pengeluaran modal yang dibutuhkan untuk toko baru.

“Hal ini termasuk strategi distribusi makanan mereka, contohnya model central kitchen, apakah mereka mengoptimalkannya untuk skala ekonomi dan apa yang terjadi ketika mereka mencapai kapasitas maksimum, versus dapur individu di restoran, apakah operasinya dioptimalkan,” kata Gary.

Chef Arcad Fadillah (Head of Product) bersama Kelvin Subowo (President Director Dailybox Group) / Dailybox

Dailybox Racik Strategi Multi-Platform untuk Bisnis Berkelanjutan

Memasuki tahun 2023, startup F&B Dailybox memiliki rencana untuk bisa mencapai profitabilitas. Mengklaim telah mendapatkan pertumbuhan bisnis yang positif di tahun 2022 lalu, perusahaan terus mengoptimalkan channel penjualan online dan offline yang ditunjang dengan central kitchen, jaringan distribusi cold-chain yang kuat, dan sumber daya manusia yang berkualitas.

Pertengahan tahun 2022 lalu, Dailybox juga telah mengantongi pendanaan seri B senilai $24 juta (atau setara dengan Rp355 miliar). Kepada DailySocial.id, Co-Founder & President Director Dailybox Group Kelvin Subowo mengungkapkan rencana perusahaan untuk melakukan kolaborasi dan menjaga stabilitas bisnis perusahaan dengan menjaga agar tidak terjadinya layoff pegawai mereka.

Saat ini Dailybox juga telah hadir di Singapura, outlet pertamanya di kawasan dining Supply Chain City, Jurong. Dailybox juga bisa didapatkan via layanan pesan antar GrabFood Singapura. Mereka menawarkan lebih dari 20 menu makanan dan kudapan khas dari berbagai daerah Nusantara, seperti Tong Seng Kambing khas Jawa Tengah, Ayam Woku dan Rica-rica khas Manado, Gulai Ikan khas Sumatera, dan lainnya.

Salah satu menu Dailybox, yakni Tong Seng Kambing khas Jawa Tengah / Dailybox
Salah satu menu Dailybox, yakni Tong Seng Kambing khas Jawa Tengah / Dailybox

Menjadi startup F&B multiplatform

Berawal dari cloud kitchen, kini Dailybox sudah mulai melakukan transisi menjadi bisnis F&B multi-platform sejak melakukan akuisisi brand Breadlife di akhir tahun 2021.

Sekarang mereka tidak lagi bergantung pada penyedia jasa cloud kitchen pihak ketiga. Untuk memaksimalkan pengguna, strategi utilisasi area diberlakukan. Misalnya yang mereka lakukan di area Greenlake. Di ruko 3 lantai yang dimiliki, mereka mengoptimalkan untuk Breadlife di lantai 1, karena pelanggannya kebanyakan ibu-ibu yang menyukai datang langsung ke toko. Sementara lantai atasnya untuk Shirato dan Dailybox, karena pembelian kedua brand ini masih lebih banyak online.

“Strategi sinergi lokasi seperti ini meningkatkan efisiensi operasional cost kami karena harga sewa ruko sudah fixed — atau sekitar 2% dari total pendapatan brand yang ada di ruko. Sebagai perbandingan, tarif penggunaan jasa sewa cloud kitchen dulu mencapai 10% dari total pendapatan dan sifatnya variable,” kata Kelvin.

Dailybox terus berusaha memaksimalkan kanal penjualan offline dan online. Hal tersebut sengaja dilakukan perusahaan untuk mendapatkan unit economics
yang bagus dan untuk menyeimbangkan tingginya biaya food delivery.

Brand dib awah naungan Dailybox Group saat ini diantaranya adalah Dailybox, Shirato, Breadlife, Antarasa dan Lu’miere. Semua telah tersebar di shophouses (ruko), mall, dan online.

“Setelah mendapatkan pendanaan, kami berhasil membukukan peningkatan pendapatan hingga 2x lipat pada penghujung tahun 2022. Central kitchen kami menyajikan sekitar tujuh juta porsi makanan bagi pelanggan. Brand Dailybox Group telah hadir di lebih dari 300 titik di seluruh Indonesia – dari Sumatera hingga Papua. Lebih dari 60% outlet hadir menyapa masyarakat di kota tier dua dan tiga,” kata Kelvin.

Memang, industri F&B yang dibalut dengan strategi bisnis modern tengah mendapatkan perhatian khusus. Sepanjang tahun 2022 tercatat sejumlah startup di bidang F&B mendapatkan kucuran dana investor. Mereka adalah Haus!, Ismaya, Mangokku, Flash Coffee, Green Label, dan Hangry.

Perluas kolaborasi

Salah satu outlet Dailybox di Pontianak / Dailybox
Salah satu outlet Dailybox di Pontianak / Dailybox

Memasuki tahun 2023, isu resesi pun kian santer. Kelvin menyampaikan bahwa prioritas perusahaan adalah untuk terus berinovasi dan memberikan pelayanan terbaik bagi seluruh pelanggannya lewat program kemitraan dengan berbagai pihak, termasuk dengan pelaku UMKM di industri makanan dan minuman.

Sejauh ini ada beberapa UMKM yang telah bekerja sama dengan Dailybox, seperti Ibu Ray dari Bali dengan menu ayam betutu dan juga Ibu Yanti dengan sambalnya.

“Dengan kolaborasi, Dailybox Group juga membantu UMKM dalam pengembangan bisnis mereka dengan distribusi produk lebih luas. Hal ini adalah upaya Dailybox Group dalam mendukung upaya pemerintah untuk memajukan pertumbuhan ekonomi Indonesia melalui UMKM,” kata Kelvin.

Penerapan omnichannel yang sudah mereka lancarkan sebelumnya, di tahun ini juga akan semakin agresif mereka gencarkan. Menjadi esensial bagi Dailybox untuk terus fokus kepada omnichannel saat pandemi mulai melandai dan kegiatan offline sudah mulai banyak dilakukan kembali oleh sebagian besar masyarakat.

Cara Dailybox Group adalah dengan menyeimbangkan online dan offline presence menggunakan strategi multi-platform untuk meminimalisir cost dan meningkatkan profitability. Dengan menerapkan strategi tersebut membuat perusahaan tetap stabil sehingga layoff pegawai tidak mereka lakukan sepanjang tahun 2022.

Tahun ini tujuan dan fokus Dailybox Group adalah memiliki model bisnis yang sustainable, yakni menyeimbangkan upaya growth yang agresif dan tetap bisa menjadi bisnis yang profitable. Hal ini juga diperkuat dengan komitmen perusahaan dalam menghadirkan inovasi dalam menciptakan produk yang berkualitas.

Perusahaan juga masih memiliki rencana untuk melakukan kegiatan M&A, khususnya kepada brand yang memiliki storefront – offline, seperti Breadlife dan Lu’miere.

Application Information Will Show Up Here
DailySocial mewawancarai Gufron Syarif dari Haus! / DailySocial

[Video] Strategi Ekspansi Layanan Foodtech Haus!

DailySocial bersama CEO Haus! Gufron Syarif membahas tren perkembangan bisnis foodtech di Indonesia. Gufron mengklaim, efek pandemi tidak terlalu berdampak pada kelangsungan bisnis perusahaannya. Mereka disebut masih memiliki tren pertumbuhan profit positif sejak berdiri.

Seperti apa strategi bisnis Haus! demi profit yang berkelanjutan? Apa rencana dan target perusahaan sepanjang 2023?

Simak pembahasannya di video berikut ini.

Untuk video menarik lainnya seputar strategi bisnis startup di Indonesia, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV di sesi DScussion.

Startup foodtech Off Foods dikabarkan mengantongi dana segar tambahan dari Jungle Ventures sebesar $1,5 juta

Jungle Ventures Dikabarkan Suntik 22 Miliar Rupiah Startup “Alt-Protein” Off Foods

Startup foodtech Off Foods dikabarkan mengantongi dana segar tambahan dari Jungle Ventures. Menurut sumber, dana yang diguyur sebesar $1,5 juta (lebih dari 22 miliar Rupiah).

Ketika dihubungi, pihak manajemen maupun investor sebelumnya memilih tidak memberikan komentar terkait kabar ini.

Sebelumnya Off Foods mengantongi pendanaan tahap awal sebesar $1,7 juta yang dipimpin oleh Alpha JWC Ventures bersama investor strategis lainnya, seperti Global Founders Capital (GFC), Lemonilo, dan lainnya.

Jungle Ventures sendiri merupakan VC yang cukup aktif berinvestasi di Indonesia. Sejumlah startup telah masuk ke dalam portofolionya, seperti Social Bella, Waresix, Desty, Hypefast, Evermos, VIDA, hinga Lifepack.

Off Foods merupakan startup yang dirintis pada tahun lalu oleh Dominik Laurus dan Jhameson Ko. Startup ini berambisi menjadi produsen protein alternatif (alt-protein) dari Indonesia, menyasar lebih banyak orang mengonsumsi daging hewan, tanpa mematikan daging dari hewan asli demi keberlanjutan, juga tanpa mengorbankan rasa.

Startup lokal dengan konsep yang serupa ada Green Rebel, yang juga telah mendapatkan suntikan dana dari pemodal ventura.

Perusahaan sendiri tak hanya berambisi jadi pemimpin pasar di negara sendiri juga berencana untuk ekspansi regional yang akan dilaksanakan pada 2024 mendatang.

Produk flagship Off Foods yang sudah dirilis adalah Off Meat, protein serupa daging ayam. Dengan menggunakan model B2B, Off Meat jadi alternatif buat bisnis jasa makanan dalam memasok daging tanpa tulang (fillet). Terhitung, mitra perusahaan mayoritas datang dari usaha kuliner, seperti Mangkokku, Zenbu, Byurger, Gaaram, Wanfan, Mamma Rosy, Fitco Eats, dan lainnya.

Perusahaan juga membuka gerai sendiri yang berlokasi di Bali. Bali dipilih karena secara prospek adalah salah satu pasar makanan berbasis nabati yang paling penting di Indonesia.

Menurut laporan terbaru dari BIS Research, sektor makanan berbasis tanaman (plant-based) secara keseluruhan diperkirakan akan mencapai $480 miliar secara global pada 2024. Industri protein tanaman juga diperkirakan akan terus tumbuh di Indonesia dengan CAGR 27,5% dari 2021 hingga 2027, mewakili peningkatan sekitar enam kali lipat pada 2027, seperti dikutip dari Research and Markets.

Secara historis, adopsi nabati telah terhambat melalui titik harga premium yang sering dikaitkan dengannya. Tantangan untuk berkompetisi di vertikal ini tak hanya soal rasa yang tepat, tetapi juga mencakup penyempurnaan pengetahuan manufaktur dan efisiensi untuk mendekati keseimbangan harga. Off Meat mencoba untuk memecahkan masalah lama ini karena ia hadir dengan alternatif yang terjangkau, menyediakan pengganti protein nabati dengan setidaknya setengah dari harga pesaingnya.

Startup foodtech Greens mengumumkan pendanaan pra-awal dipimpin oleh East Ventures, dengan partisipasi dari AAG Ventures

Startup “Foodtech” Greens Terima Suntikan Dana Pra-Awal Dipimpin East Ventures

Startup foodtech Greens mengumumkan telah mengumpulkan pendanaan putaran pra-awal dengan nominal tidak diungkapkan. Putaran tersebut dipimpin oleh East Ventures, dengan partisipasi dari AAG Ventures, perusahaan infrastruktur web3 dengan misi menghadirkan peluang ekonomi di global melalui ekonomi metaverse untuk pengguna mainstream.

Dalam keterangan resmi, CEO Greens Andi Sie menuturkan dukungan investasi ini menjadi bukti kuat terhadap solusi dan misi startupnya. Greens menghadirkan teknologi pangan terintegrasi untuk menciptakan ekosistem pangan baru, guna meningkatkan cara masyarakat menanam dan mendapatkan makanan.

“Makanan adalah kebutuhan pokok setiap orang dan kami yakin solusi Greens dapat meningkatkan dan menciptakan kehidupan yang lebih baik melalui kebutuhan terdekat masyarakat,” ucap Andi, Selasa (2/8).

Greens didirikan oleh Andi Sie (CEO), Geraldi Tjoa (CPO), dan Erwin Gunawan (CBO). Keahlian yang beragam dari ketiga founder ini menyatukan visi dalam pendirian Greens. Andi sebelumnya berpengalaman sebagai ahli transformasi startup dengan lebih dari 15 tahun pengalaman di Amerika Serikat dan Indonesia dengan berbagai pengalaman exit. Erwin punya pengalaman lebih dari 15 tahun di bidang rantai pasok, F&B, distribusi, dan mengantongi sertifikat blockchain.

Adapun Geraldi kuat dalam produksi dan automasi makanan, dengan latar belakang robotika, lulusan Computer Science dari Universitas Pelita Harapan. Sementara itu, Andi dan Erwin merupakan lulusan Bachelor of Science dari The Ohio State University.

Latar belakang pendirian Greens ini berasal dari fakta bahwa di Indonesia ada sebanyak 48 juta metrik ton makanan terbuang secara percuma setiap tahunnya. Sebagian besar terbuang karena pemrosesan, penyimpanan, transportasi, dan penjualan hasil pangan yang tidak efisien. Sebagai negara dengan sumber daya pertanian yang melimpah, alhasil Indonesia memiliki risiko erosi tanah yang sangat tinggi.

Kondisi tersebut mengancam ketahanan pangan karena kurangnya kandungan organik dalam tanah, yang mana akan merusak hasil panen, dan berujung pada berbagai masalah terkait kekurangan gizi bahkan kelangkaan pangan.

Sumber lain yang dikutip perusahaan, berdasarkan skor kualitas dan keamanan sistem pengendalian pangan, Indonesia menduduki peringkat ke-7 dari 9 negara ASEAN pada 2020. Masalah-masalah di atas akan terus berlanjut dan saling berkaitan dalam sistem pangan Indonesia. “Permasalahan yang berkelanjutan ini menjadi pendorong bagi para pendiri Greens untuk memajukan transformasi sistem pangan di Indonesia.”

Solusi Greens

Greens memiliki misi untuk menghadirkan kesetaraan pangan untuk semua masyarakat melalui meta farming. Solusi yang dihadirkan berupa ekosistem makanan hiperlokal baru, yang memungkinkan masyarakat dapat mengonsumsi makanan bernutrisi tinggi (super food) yang ditanam dan dipanen di tempat, disebut microGREENS (yang mengandung hingga 40 kali lebih banyak vitamin, mineral dan tingkat antioksidan dibanding dengan sayuran biasa) dari mana pun mereka berada melalui meta farming. Serta, menggunakan 90% lebih sedikit air, 70% lebih sedikit lahan, dan tanpa proses perpindahan jarak dari tahap penanaman hingga menjadi makanan.

Dengan meta farming, Greens mendemokratisasikan makanan hiperlokal dengan web3 menggunakan inovasi teknologi pertanian berupa pod (Greens pod) yang memanfaatkan sistem budidaya dalam ruangan, Blockchain, Artificial Intelligence (AI), dan Internet of Things (IoT) untuk membuat sumber makanan terdesentralisasi.

Greens menciptakan platform teknologi dengan jaringan blockchain yang akan digunakan secara paralel di dunia nyata maupun di metaverse. Perusahaan telah membangun teknologi CEA (Controlled Enviroment Agriculter) portabel pertama di blockhain dengan beberapa algoritma tanam.

“Platform Greens terdiri dari unit taman yang sepenuhnya otomatis, dinamakan Greens pod yang bersifat modular, portabel, dan plug-and-play. Platform Greens pod terintegrasi secara penuh untuk memproduksi makanan bernutrisi tinggi, mulai dari biji hingga menjadi hidangan salad dan berbagai hidangan lainnya, yang dapat diakses dari mana pun Anda berada,” tambah Co-founder dan CPO Greeens Geraldi Tjoa.

Perusahaan akan mengalokasikan dana segar ini untuk membangun ekosistem desentralisasi pangan dalam dua tahap. Tahap pertama akan berfokus untuk mengaktifkan ekosistem makanan hiperlokal dengan membuat jaringan cloud untuk outlet makanan hiperlokal yang terhubung dengan platform Greens. Kemudian pada tahap kedua, akan berfokus pada meta farming yang memungkinkan masyarakat untuk menanamkan makanan di metaverse, baik untuk dikonsumsi pribadi maupun dijual.

Saat ini, solusi GREENS telah berkontribusi pada beberapa Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang ditetapkan oleh PBB; dengan beberapa dampak utama termasuk: Tujuan No 1 & 2 dengan mendukung masyarakat dalam menanam makanan mereka sendiri melalui platform, No 3 dengan menyediakan mikronutrien esensial, No 6 dengan menggunakan 90% lebih sedikit air dan tanpa menggunakan bahan kimia berbahaya untuk pertanian, dan lain-lainnya.

Partner East Ventures Melisa Irene turut memberikan pernyataannya, “Greens membantu mengurangi inefisiensi distribusi makanan dengan mendekatkan jarak antara tempat makanan ditanam dan dipanen sehingga Anda dapat menanam bahan makanan sendiri di tempat Anda. Kami senang menyambut GREENS sebagai bagian dari portofolio East Ventures dan mendukung penuh misi GREENS untuk melokalisasi produksi pangan guna meningkatkan ketahanan dan keberlanjutan sistem pangan di Indonesia.”

Pada Oktober 2022 mendatang, Greens akan membuka outlet hiperlokal pertamanya di Plaza Indonesia, Jakarta.