Tidak lama lagi, seri game balapan paling bergengsi di dunia akan dirilis. F1 2020 adalah karya terbaru yang dibesut oleh game developer studio Codemasters. Game yang sudah lama ditunggu akan menampilkan seri mobil di musim terbaru dan juga beberapa fitur tambahan yang belum pernah ada sebelumnya.
Seperti info yang tercantum di laman Formula 1 Game, secara resmi game F1 2020 akan dirilis di tanggal 10 Juli 2020. Meskipun demikian, bagi Anda yang sudah tidak sabar untuk dapat memacu ‘jet darat’ di lintasan, Anda bisa melakukan pembelian deluxe edition dan mendapatakan early access. Di dalam rilis deluxe edition, F1 2020 akan menampilkan Michael Schumacher sebagai legenda F1 beserta mobil classic-nya yang memenangkan 7 kali kejuaraan dunia.
Dengan adanya gelaran Virtual Grand Prix, Codemasters sebagai developer bisa mendapatkan masukan dari pembalap profesional Formula 1 sungguhan dan memperbaiki perfoma mobil di dalam game. Terkhusus untuk mekanik bagian pedal gas dan rem, Codemasters sudah memberikan penyesuaian di seri terbaru F1 2020.
Secara berbarengan, game F1 2020 akan dirilis ke platform current gen antara lain: PlayStation 4, Xbox One, Stadia, dan PC. Meskipun demikian F1 2020 juga dikabarkan nantinya bisa dimainkan di konsol next gen. Sayangnya, belum ada penjelasan bahwa game F1 2020 akan kompatibel dimainkan secara cross-play.
Adapun sesuai dengan daftar sirkuit di musim Formula 1 2020, akan hadir 2 sirkuit baru, yaitu Hanoi Street Circuit di Vietnam dan Netherlands Circuit Zandvoort di Belanda. Selain Sepang Circuit dan Marina Bay Street Circuit, Hanoi Street Circuit menempatkan region Asia tenggara ke dalam peta balapan Formula 1 yang bergengsi.
Lebih jauh lagi tentang F1 2020, selain mode Career, mode My Team adalah daya tarik utama dari seri game F1 terbaru. Pada mode ini Anda akan memainkan peran mengelola sebuah tim Formula 1 dari awal.
Seiring permainan berjalan, di waktu bersamaan hampir seluruh detail mengelola sebuah tim Formula 1 bisa Anda rasakan. Merekrut pembalap, pemilihan mesin, prototipe mobil, berhubungan dengan sponsor, dan masih banyak lainnya adalah beberapa hal yang akan Anda hadapi.
Tidak sampai di situ saja, di seri game F1 2020 Anda juga mengelola pembalap dengen memperhatikan stats point mereka. Sistem stats points belum pernah ada di seri-seri game F1 sebelumnya. Nantinya pembalap juga akan mengalamai proses retiretment di akhir musim. Bersamaan dengan berjalannya waktu dan game progress, Anda berkesempatan untuk menyaksikan promosi pembalap generasi baru dari F2 ke F1.
Sebagai penutup, fitur multiplayer split screen kembali dihidupkan di seri game F1 2020. Fitur split screen seakan mengajak gamers bernostalgia akan game yang dimainkan secara bersama-sama dalam satu layar dan sangat cocok untuk casualgamers.
Pandemi virus corona membuat berbagai ajang balapan harus dibatalkan, digantikan oleh balapan virtual. Hal ini mendorong pertumbuhan industri esports, khususnya terkait game-game balapan. Leeston Bryant, Senior Marketing Manager untuk Esports dari McLaren mengungkap, beberapa bulan belakangan, esports balapan mengalami pertumbuhan yang sangat pesat.
“Satu perubahan paling besar adalah esports kini ada di benak masyarakat,” kata Bryant pada Motorsports.com. “Ibu saya bertanya apakah saya punya andil dalam mengajak para pesepak bola bermain Formula 1 sementara tetangga saya juga menanyakan tentang peran McLaren di esports. Saya telah berkecimpung di bidang esports selama dua tahun. Memang, selama itu, industri esports terus tumbuh. Namun, dalam dua bulan belakangan, saya melihat pertumbuhan yang sama dengan pertumbuhan selama dua tahun. Saya rasa, ini sangat menarik. Kami akan mencoba untuk memanfaatkan momentum ini di masa depan.”
Bryant mengungkap, para sponsor McLaren juga ingin mendapatkan akses ke esports sebagai channel baru yang tengah berkembang. Karena itu, meskipun balapan sebenarnya akan kembali diadakan, dia merasa, para rekan McLaren tetap tertarik untuk bertahan di dunia esports.
“Kami telah mengadakan diskusi dengan sponsor McLaren tentang esports beberapa kali, termasuk tentang ketika balapan kembali diadakan. Kami tertarik untuk mengadakan balapan virtual di waktu istirahat atau off-season balapan. Dengan begitu, kita bisa memberikan hiburan pada para fans balapan sepanjang waktu,” ujar Bryant. “Saya pikir, semua orang hampir selalu aktif mencari hiburan. Jadi, kami ingin bisa memberikan fans konten tambahan. Saya rasa, esports dan sim racing bisa kami gunakan untuk mencapai tujuan itu.”
Julian Tan, yang bertanggung jawab atas program esports di F1, juga mengatakan hal yang sama dengan Bryant. Namun, dia mengaku masih tidak yakin bagaimana popularitas sim racing akan memengaruhi industri motorsports setelah pandemi berakhir. Dia mengaku, sim racing memang tumbuh dengan sangat pesat, tapi, dia yakin, pandemi corona juga akan mengubah lanskap industri.
“Saya pikir, pertumbuhan dan perhatian yang diberikan masyarakat pada gaming dan esports sekarang akan memberikan dampak di masa depan, setelah pandemi berakhir. Hanya saja, sulit untuk memperkirakan apa dampak tersebut. Satu hal yang saya tahu, sekarang, kita semua mencoba untuk masuk ke industri gaming serta esports dan ada banyak hal yang kita pelajari dengan mencoba berbagai hal baru. Kita akan menjadi lebih siap untuk menghadapi tantangan yang muncul di masa depan,” ujar Tan.
Formula 1 ikut terjun dalam dunia esports dengan mengadakan virtual Grand Prix. Balapan virtual tersebut mengadu mantan pembalap, selebritas, dan atlet dari olahraga lain. Selain Formula 1, NASCAR dan Formula E juga mengadakan balapan virtual sebagai pengganti balapan yang dibatalkan. Namun, keberadaan balapan virtual juga membawa masalah untuk sebagian orang, seperti Daniel Abt yang kontraknya diputus oleh Audi karena menggunakan joki dalam balapan virtual.
Kedekatan antara esports balap mobil dengan dunia balap mobil sungguhan (motorsports) adalah hal yang sudah cukup banyak diakui para pelaku industri. Dibandingkan dengan cabang-cabang esports lain, esports balap mobil memang tergolong sangat mirip dengan aktivitas nyatanya. Asosiasi balap mobil FIA juga mengakui bahwa esportstelah menciptakan jembatan yang membuat dunia balap mobil lebih aksesibel terhadap para calon atlet, dan bukan hal aneh bila di masa depan atlet motorsports datang dari dunia esports.
Organisasi-organisasi balap ternama pun saat ini sudah cukup banyak yang memiliki divisi esports. Contohnya Mercedes di dunia F1, atau tim-tim NASCAR yang beberapa waktu lalu bertanding di eNASCAR Heat Pro League. Renault termasuk salah satunya, dan beberapa waktu lalu Reuters melaporkan seperti apa cara organisasi ini melatih dan mengembangkan talenta para driver virtual mereka.
Rupanya, Renault menerapkan sejumlah metode yang serupa dalam pelatihan driver F1 sungguhan dan virtual. Terutama di bidang kebugaran fisik, karena hal tersebut cukup penting baik bagi kedua jenis driver.
Memang tuntutan fisik atlet esports punya perbedaan dengan atlet F1. Contohnya, atlet esports tidak perlu melakukan latihan kekuatan leher untuk menahan g-force. Mereka juga tidak perlu menyesuaikan diri terhadap suhu ekstrem atau masalah dehidrasi. Namun ada kesamaan yaitu keduanya sama-sama harus menunjukkan performa terbaik dalam kondisi penuh tekanan.
“Latihan fisik di esports lebih ke arah menjaga kesehatan, menjaga tubuh tetap fleksibel karena jelas bahwa duduk di simulator untuk waktu lama akan membuat tubuh Anda kaku. Anda ingin menjaga fleksibilitas sebanyak mungkin untuk reaksi dan koordinasi cepat. Di motorsports dunia nyata Anda ingin berlatih agar siap menghadapi g-force, dan hawa panas,” demikian papar Jarno Opmeer, seorang atlet esports di tim Renault Sport Team Vitality.
Salah satu contoh, dalam latihannya driver F1 dan esports di Renault sama-sama menggunakan alat yang disebut “Batak”. Alat ini dapat melatih daya penglihatan, reaksi, serta koordinasi mata dan tangan. Selain itu nutrisi para atlet esports juga dijaga, detak jantung mereka diawasi, bahkan jam tidur pun diatur.
“Semua ini setimpal dan memang memiliki dampak. Jika mereka bisa merasa lebih fokus dan menghadiri event sedikit lebih percaya diri, itu pada akhirnya akan memberikan dampak yang lebih besar,” papar David Thompson, Head of Human Performance di Renault Sport, “Ada banyak hubungan dan persilangan yang kami coba bawa di antara kedua sisi (esports dan motorsports). Hal ini juga direspons dengan baik oleh orang-orang.”
Selain metode latihan, Renault juga memanfaatkan sumber daya lain dari divisi F1 untuk esports, misalnya dalam hal analisis data. Hasil telemetri dari game yang dipertandingkan dalam esports dianalisis oleh tim IT Renault, menggunakan sistem yang sama dengan analisis pertandingan grand prix. Dari analisis tersebut tim engineer kemudian bisa membuat rekomendasi, misalnya perubahan gas atau rem seperti apa yang tepat, serta pengaturan variabel-variabel lainnya.
“Dari perspektif IT musim ini merupakan musim pembelajaran bagi kami. Tapi memasuki 2020, kami ingin para insinyur kami memperlakukan setiap ajang esports seperti ajang balap sungguhan,” kata Ben Hampshire, F1 IT Manager di Renault, “Ini menunjukkan keseriusan Renault dalam bidang esports… dengan keuntungan yang nyata, tidak hanya untuk esports tapi juga untuk program F1 sungguhan kami.”
Renault menyadari bahwa mereka tak sendirian dalam upaya ini. Justru menurut Hampshire, setidaknya tiga tim teratas F1 juga melakukan hal serupa. Memang beberapa waktu lalu Mercedes sempat dikabarkan juga melakukan analisis data untuk performa esports. Apakah pendekatan tersebut bisa membuat performa Renault meningkat di tahun 2020. Rasanya mungkin saja, tapi hanya waktu yang akan menjawabnya.
Tahun lalu, Lewis Hamilton memenangkan balapan F1 untuk Mercedes-AMG Petronas Motorsport. Dengan kemenangan tersebut, Mercedes telah memenangkan F1 selama lima tahun berturut-turut. Tim IT yang mumpuni adalah salah satu alasan di balik kesuksesan tim Mercedes, cerita Head of IT for Mercedes-AMG Petronas Motorsport, Matt Harris.
“Kami mencoba menembus batas teknologi dan mendapatkan hasil terbaik dari IT. Inilah kunci yang membedakan kami dari tim lain,” katanya pada ZDNet dalam acara Big Data LDN di London pada akhir tahun 2018. “IT adalah bagian penting dari semua yang kami lakukan, baik terkait mobil balapan utama, tim pembalap, atau fungsi support. Kami harus memastikan bahwa kami memberikan performa terbaik sepanjang waktu. Jika IT bermasalah, ini bisa menyebabkan mobil berhenti.” Dia juga menjelaskan, efek tim IT pada para pembalap memang tidak langsung dirasakan, tapi kerja tim IT memungkinkan para pembalap untuk membuat keputusan yang akurat dalam waktu singkat.
Sepanjang musim balapan, sebuah tim hanya bisa menggunakan dua mobil balap. Performa mobil tersebut harus disesuaikan dengan keadaan sirkuit Grand Prix yang berbeda-beda. Sebuah tim biasanya memodifikasi sebuah mobil balap berulang kali dan data memegang peran penting dalam keputusan mereka terkait modifikasi yang akan dilakukan. “Data sangat penting. Tanpa data, kita tidak bisa membuat banyak keputusan,” kata Harris.
Pengolahan data yang tepat sukses membuat Mercedes memenangkan F1 selama lima tahun berturut-turut. Kini, perusahaan asal Jerman tersebut juga akan menggunakan teknisi F1 untuk mengolah data dari pembalap Formula 1 Esports. Ialah Brendon Leigh, pemenang dari F1 Esports pada 2017 dan berhasil mempertahankan gelarnya pada tahun lalu. Dia percaya, kemenangannya tahun lalu sepenuhnya berkat tim Mercedes. Dia bercerita, teknisi F1 Mercedes juga mengolah data hasil balapannya, sama seperti yang mereka lakukan pada Lewis Hamilton.
“Kami memiliki kerja sama yang sangat baik di belakang layar. Kami juga bekerja keras di luar sirkuit balapan,” kata Leigh, seperti dikutip dari Autosport. “Misalnya, kami meminta teknisi Mercedes dari Formula 1 untuk melihat data balapan saya agar saya bisa memperbaiki performa saya. Semua orang sangat cepat di F1 Esports. Anda tidak akan terpilih jika Anda tidak cepat, tapi orang-orang yang memenangkan balapan — para pembalap yang sering menang adalah pembalap yang sangat tenang dan bisa berpikir matang. Inilah yang tengah saya dan Mercedes lakukan tahun lalu dan tahun ini. Mencoba untuk berpikir secara ekonomis.”
“Start by doing what’s necessary, then do what’s possible and suddenly you are doing the impossible” pic.twitter.com/t8LidIVCEz
Mercedes mulai masuk ke kancah esports pada 2017 dengan bekerja sama dengan ESL, penyelenggara turnamen esports. Ketika itu, salah satu bentuk kerja sama antara keduanya adalah sponsorship. Mercedes akan menjadi sponsor turnamen esports di berbagai negara. Turnamen pertama yang mereka dukung adalah turnamen Major Dota 2, ESL One Hamburg 2017. Tahun lalu, Mercedes memperpanjang kerja samanya dengan ESL. Kerja sama ini akan berlaku hingga 2020. Selain menjadi sponsor, Mercedes juga akan menyiapkan hadiah mobil untuk pemain yang mendapatkan gelar Most Valuable Player. Ini semua menunjukkan betapa seriusnya Mercedes dalam menggarap bagian esports mereka.
Pada bulan Januari 2019 lalu, sebuah kompetisi balap mobil bernama Race of Champions digelar di stadion Foro Sol, Meksiko. Berjalan sejak tahun 1988, Race of Champions (ROC) adalah kompetisi head-to-head yang mengumpulkan para driver top dari seluruh disiplin balap mobil untuk saling adu kemampuan. Tak peduli apakah mereka berasal dari dunia Formula 1, NASCAR, atau Rally, semua driver diberi mobil yang sama, dan hanya skill yang menentukan keberhasilan mereka.
Ada yang spesial dalam ROC tahun ini. Secara tak terduga, atlet esports yang bernama Enzo Bonito berhasil mengalahkan pembalap-pembalap senior lainnya, termasuk juara Indy 500 Ryan Hunter-Reay dan juara Formula E Lucas di Grassi. Pada akhirnya Enzo Bonito tidak berhasil menjadi juara ROC, tapi kemenangan head-to-head atas nama-nama di atas tidak bisa dianggap remeh.
Sebelumnya meraih juara eROC, Enzo Bonito saat ini tergabung dengan tim esports McLaren, namun bisa saja hal itu berubah di masa depan. Setelah membuktikan keahlian di sirkuit sungguhan, tidak menutup kemungkinan atlet esports seperti Bonito beralih karier menjadi pembalap dunia nyata. Pendapat ini diungkapkan oleh Ellie Norman, Head of Marketing Formula 1.
“Saya pasti akan berkata, ‘hati-hati dengan (dunia esports)’, terutama setelah Race of Champions. Acara itu menunjukkan dengan jelas perbedaan antara esports sebagai profesi dan hanya sebagai permainan. Saya rasa dalam 10 tahun, kecepatan perkembangan teknologi sangat fenomenal. Jadi hal itu (atlet esports menjadi driver F1) bisa terjadi dalam rentang waktu tersebut,” kata Eliie Norman dalam wawancaranya dengan Autosport.
Norman percaya bahwa hanya soal waktu saja sampai dunia esports dan Formula 1 benar-benar menyatu dan tumpang tindih. Di masa depan nanti, cara audiens menikmati Formula 1 akan berubah.
“Ada balap fisik di sirkuit, untuk sebagian orang mungkin mereka hanya ingin menonton ini, entah lewat TV atau langsung di lapangan. Tapi ada audiens baru yang ingin menonton balapan sambil sekaligus ikut balapan secara virtual. Itulah yang akan menjadi pengalaman F1 mereka. Keduanya tidak salah, itu hanya cara mereka memilih menikmati olahraga ini,” ujar Norman.
Pendapat senada dikemukakan oleh Ben Payne, Director of Esports di McLaren. Pada bulan Januari lalu McLaren juga baru menyelesaikan program esports mereka yang bernama McLaren Shadow Project. Program ini bertujuan mencari talenta untuk direkrut ke dalam tim esports McLaren. Akan tetapi di McLaren, tim esports dan tim balap dunia nyata punya hubungan yang saling mempengaruhi.
Rudy van Buren misalnya, juara kompetisi serupa di tahun 2017, kini telah direkrut menjadi Official Simulator Driver untuk tim Formula 1 McLaren. Pemenang tahun ini, Igor Fraga, kini telah masuk ke dalam tim esports McLaren, dan akan bekerja sama dengan tim Formula 1 McLaren juga.
Transfer kemampuan dari esports ke Formula 1 ini dimungkinkan, menurut McLaren, karena atlet esports balap mobil memiliki kondisi fisik yang prima. Beda dengan cabang-cabang esports lain. “Semua finalis (McLaren Shadow Project) punya kondisi fisik yang bagus. Bila Anda pergi ke turnamen FIFA, mereka tidak terlihat seperti atlet. Para finalis kami terlihat seperti atlet,” ujar Ben Payne kepada Gamesindustry.biz.
“Mereka duduk di atas kursi dan balapan dengan agresif, dan jika mereka melakukannya enam jam per hari, force feedback dari setir (controller) ini sangat kuat dan menjaganya agar selalu on track juga sulit. Mereka memang tidak akan patah jari bila tabrakan, tapi ini tetap sebuah uji ketahanan.
Bila Anda dan saya bermain FIFA untuk beberapa jam, kita bisa berhenti, minum-minum, lalu lanjut bermain. Tapi atlet-atlet kami lebih mirip atlet sungguhan daripada banyak cabang esports lain. Saya tahu tim-tim esports besar punya ahli gizi dan sebagainya, tapi saya rasa simulation racing memang berbeda,” demikian papar Ben Payne.
Menariknya, Igor Fraga sendiri sebelum menjadi atlet esports sebenarnya adalah pembalap sungguhan. Ia memiliki karier sebagai driver mobil gokar serta Formula 3. Ini semakin menunjukkan bahwa skillset seorang pembalap motorsport dan esports punya kedekatan yang kuat. Kita tunggu saja program apa lagi yang akan dicetuskan Formula 1 untuk menyatukan dua dunia balap tersebut.
Federasi Otomotif Internasional alias FIA sudah cukup lama menunjukkan dukungan yang kuat terhadap dunia esports. Sejak tahun 2017 lalu misalnya, FIA telah bekerja sama dengan Polyphony Digital untuk menyelenggarakan kompetisi esports internasional berbasis game Gran Turismo Sport. Kompetisi yang berada langsung di bawah sertifikasi FIA itu mencapai puncaknya pada bulan November 2018, dan dimenangkan oleh pemain asal Brasil bernama Igor Fraga.
FIA bukan satu-satunya lembaga otomotif yang mendukung perkembangan esports. Organisasi lain seperti NASCAR, Nissan, dan McLaren juga menunjukkan ketertarikan yang serupa. Akan tetapi terjunnya FIA ke dalam esports bukan semata-mata mengikuti tren atau mencari keuntungan. Menurut mereka esports dapat menjadi bagian terintegrasi dari dunia balap mobil, bahkan membuatnya jadi lebih baik. Bagaimana bisa demikian?
Peran besar Gran Turismo di dunia motorsport
Ikatan antara dunia balap mobil nyata (motorsport) dengan video game adalah ikatan yang terjalin secara perlahan-lahan selama lebih dari dua dekade, dan tak bisa lepas dari peran Polyphony Digital. Perusahaan tersebut merupakan developer di balik seri Gran Turismo, salah satu game balap mobil andalan Sony hingga saat ini.
Sejak Gran Turismo pertama dirilis pada tahun 1997, Polyphony Digital selalu fokus pada satu hal, yaitu realisme. Beda seperti seri game balap mobil lainnya seperti misal Ridge Racer atau Need For Speed, Gran Turismo mengusung tagline“The Real Driving Simulator”. Daya tarik utama seri ini terletak pada simulasi fisika yang akurat, mobil berlisensi dengan desain sama seperti aslinya, serta fitur tuning yang lengkap dan mendetail.
Generasi console PS1 dan PS2 masih memiliki banyak keterbatasan dalam mencapai visi realisme tersebut. Akan tetapi hal itu berubah sejak era PS3. Video game akhirnya mampu menampilkan kualitas visual yang sangat nyata, juga memiliki kemampuan komputasi yang cukup untuk menghasilkan simulasi fisika dengan optimal.
Gran Turismo 5 di PS3 merupakan titik awal penting terhadap hubungan antara video game dan dunia motorsport. Setelah game tersebut dirilis, tepatnya pada tahun 2008, Polyphony Digital kemudian menjalin kerja sama dengan Nissan Europe untuk menciptakan program pendidikan khusus pembalap via medium video game. Program tersebut disebut Nissan GT Academy (atau NISMO PlayStation GT Academy).
Nissan GT Academy berhasil menunjukkan bahwa video game bisa melatih seseorang untuk menjadi pembalap sungguhan, berkat tingginya tingkat realisme di dalam Gran Turismo. Tentu saja si pembalap butuh adaptasi ketika berpindah dari kursi gamer ke kursi balap asli, tapi yang jelas potensi itu benar-benar ada. Nissan GT Academy pun terus berjalan selama 10 tahun, dengan salah satu peserta asal Indonesia yaitu Andika Rama Maulana berhasil menjadi juara 2 di GT Academy angkatan 2015.
FIA membuat video game “naik kasta”
Jarak antara video game dan dunia nyata semakin menyempit, dan FIA sebagai organisasi yang membawahi jagat motorsport tak abai akan hal ini. “Menurut federasi (FIA), jelas sekali terlihat bahwa masyarakat berevolusi seiring perubahan zaman,” kata Stephane Fillastre, kepala urusan licensing dan merchandising FIA, dilansir dari Autosport. “Kami butuh kesempatan untuk mengakui dan mensertifikasi video game sebagai bagian dari portofolio kami. Karena (video game) ini adalah bagian besar dari ekosistem (motorsport), bagian besar dari pola hidup para driver, jadi kami jelas ingin memiliki hubungan tersebut.”
Sebelumnya memang sudah ada beberapa game balap mobil yang bekerja sama dengan organisasi motorsport, misalnya Codemasters yang bekerja sama dengan Formula 1. Tapi FIA ingin menawarkan sesuatu yang lebih. Mereka ingin menyediakan sebuah platform yang tersertifikasi dan memiliki regulasi layaknya regulasi motorsport milik FIA selama ini.
Pucuk dicinta ulam tiba, visi FIA yang begitu besar bertemu dengan Polyphony Digital yang telah memiliki pengalaman 10 tahun di Nissan GT Academy. Mereka pun menciptakan program baru, FIA-Certified Gran Turismo Championship. Program ini punya perbedaan besar dari Nissan GT Academy. Bila Nissan GT Academy bertujuan mengubah gamer menjadi pembalap sungguhan, FIA-Certified Gran Turismo Championship adalah program balap virtual murni. Dengan kata lain, sebuah program esports.
“Sepuluh tahun sudah berlalu sejak (peluncuran GT Academy) itu. Dan ketika kami berbicara pada para kompetitor sekarang, tidak semuanya ingin menjadi pembalap sungguhan. Sebagian dari mereka ingin, tapi tidak semua. Dan saya pikir bagus bila ada pilihan lain,” kata Kazunori Yamauchi, produser seri Gran Turismo pada Autosport.
Visi tersebut kini menciptakan hubungan yang unik antara video game dengan motorsport. Dengan adanya program esports seperti FIA-Certified Gran Turismo Championship, FIA dan Polyphony Digital telah menaikkan “kasta” video game ke posisi yang setara dengan motorsport. Tidak hanya batu loncatan, balap video game kini menjadi sesuatu yang profesional, sama profesionalnya dengan motorsport.
Perbedaan besar motorsport dengan olahraga lain
Hubungan video game (juga esports) dengan motorsport tergolong unik. Mereka memiliki kedekatan yang tidak ada dalam cabang-cabang olahraga lain. Penyebabnya, karena mengemudikan mobil virtual dan mengemudikan mobil asli adalah dua hal yang sangat serupa.
Dibandingkan dengan sepak bola misalnya, serealistis apa pun Pro Evolution Soccer 2019, kita tetap hanya bermain menggunakan controller, bukan berlari dan menendang bola sungguhan. Begitu pula dengan bola basket, tenis, atau golf. Sehebat apa pun teknologinya, bahkan dengan bantuan VR atau AR, tetap sulit menyajikan pengalaman seperti olahraga asli (kecuali bila seseorang berhasil menciptakan NerveGear dalam waktu dekat).
Sementara itu, dengan perlengkapan racing wheel dan monitor berkualitas, ditambah game yang mumpuni, pengalaman menyetir bisa sangat mirip dengan aslinya. Memang ada beberapa hal yang tidak bisa disimulasikan, seperti g-force atau pengaruh cuaca terhadap fisik pemain. Tapi dibandingkan olahraga lain, kemiripannya jauh lebih tinggi.
“Saya rasa jembatan dan transisi antara dunia virtual dan dunia nyata sangat jelas. Salah satu contohnya yaitu perilaku dan bahasa tubuh pemain-pemain kita, yang mana pada dasarnya sudah persis sama dengan pembalap ketika berada di mobil sungguhan, ini sesuatu yang tidak Anda miliki di, misalnya, turnamen sepak bola,” kata Stephane Fillastre pada Autosport.
Kemiripan tersebut, dan tingkat realisme yang sudah begitu tinggi di video game, kini menciptakan aksesibilitas terhadap dunia motorsport yang belum pernah ada sepanjang sejarah.Motorsport dulunya adalah olahraga yang mahal dan sulit dilakukan. Paling minimal, kita butuh sebuah mobil dan sebuah sirkuit. Tidak semua orang bisa mendapatkan keduanya, apalagi di usia muda. Tapi kini gamer bisa mendapatkan pengalaman menyetir mobil yang sangat nyata lewat video game. Dan lewat esports bersertifikasi seperti FIA-Certified Gran Turismo Championship, mereka bisa merasakan kompetisi motorsport sama seperti aslinya. Perihal apakah si pemain akan jadi atlet esports/motorsport profesional nanti, itu terserah dia.
Manfaat besar dua arah
Akses terhadap motorsport jauh lebih mudah hanyalah salah satu manfaat yang bisa dirasakan oleh para “motorhead” (penggemar otomotif). Masih ada banyak manfaat lain, salah satunya yaitu munculnya oportunitas baru bagi penyandang difabilitas.
Perbedaan fisik sering kali menghalangi seseorang untuk melakukan suatu olahraga. Andai bisa pun, olahraga tersebut tetap memiliki perbedaan dari versi aslinya (contoh: bola basket dan basket kursi roda). Tidak demikian dengan dunia motorsport. Bagaimana pun kondisi fisik seseorang, asal ia bisa menggerakkan roda setir dan menekan pedal, ia dapat ikut berkompetisi, setara dengan atlet motorsport lainnya.
Kesetaraan ini tidak terbatas pada kaum difabel. Faktor-faktor lain seperti gender atau usia juga bisa dieliminasi, dan semua orang bisa berkompetisi pada level yang sama asalkan mereka memiliki kemampuan dan kekuatan mental untuk melakukannya. Namun untuk membuktikan kemampuan itu langsung di sirkuit aspal tentu sulit. Di sinilah esports berperan, sebagai jembatan sekaligus fasilitas tempat siapa saja bisa unjuk keahlian, dan akhirnya, mendapat lisensi pembalap dari FIA.
Manfaat yang muncul dari esports ini berlaku dua arah, tidak hanya terhadap pembalap tapi juga terhadap dunia balap atau asosiasi balap itu sendiri. Bahwasanya esports dapat membantu motorsport menjangkau pasar yang lebih luas itu sudah jelas, tapi Fillastre juga memikirkan kegunaan lain.
Saat kompetisi terjadi di sirkuit, orang yang bekerja bukan pembalap saja. Ada juga peran teknisi, petugas track safety (track marshal), organizer atau steward, dan sebagainya yang jumlahnya sangat banyak. Esports dapat menjadi sarana latihan bagi pemegang peran-peran tersebut, baik latihan teknis atau latihan komunikasi.
FIA juga dapat memanfaatkan esports untuk menguji coba regulasi dan format-format balapan baru. Hal-hal seperti panjang balapan baru, perubahan posisi grid, pemberat mobil (weight ballast), dan sebagainya, sangat kompleks serta mahal untuk diuji coba di balapan sungguhan. “Video game adalah sebuah cara untuk mensimulasikan adaptasi regulasi-regulasi baru seperti itu, dan untuk melihat apakah masuk akal untuk diterapkan. Apakah dapat menjamin keamanan? Apakah dapat menjamin kesetaraan sportivitas? Apakah itu membuat motorsport makin diminati?” ujar Fillastre.
Ide tentang pemanfaatan esports sebagai lahan uji coba tidak hanya ada di benak FIA, tapi juga diinginkan oleh para pelaku Formula 1. “Kami tertarik menggunakan lingkungan virtual untuk menguji beberapa regulasi baru ini. Kemudian, apa yang kami lakukan adalah melihat data statistik. Ini akan memberikan kesempatan untuk melakukan hal-hal yang biasanya tidak bisa disimulasikan secara mudah,” ujar Pat Symonds, analis Sky Sports F1, dilansir dari Motorsport.com.
Symonds berkata bahwa pernah terjadi kekacauan di dunia Formula 1 pada tahun 2016 gara-gara regulasi yang belum teruji. Saat itu Formula 1 menerapkan sistem kualifikasi baru di mana seorang driver bisa teriliminasi walaupun balapan belum selesai. Aturan baru itu menuai protes besar, dan baru satu bulan berjalan, Formula 1 langsung membatalkannya. Symonds ingin agar hal seperti ini tidak terjadi lagi.
Hubungan antara video game, esports, dan motorsport kini memasuki babak baru, dan masih banyak potensi yang belum tergali di dalamnya. Entah inovasi apa lagi yang akan muncul di bidang ini nantinya, akan tetapi satu hal yang jelas. Esports sedang mengubah dunia motorsport, dan perubahan itu masih akan terus berjalan.
Kepopularitasan Tesla serta munculnya berbagai konsep mobil sport bermesin elektrik dari para produsen ternama perlahan-lahan menyingkirkan anggapan bahwa kendaraan EV tidak bisa tampil keren dan kurang dapat diandalkan. Nissan sendiri sudah lama diketahui mencoba menggarap mobil elektrik futuristis, diungkap perdana di Tokyo Motor Show tiga tahun silam.
Dan di minggu ini, Nissan kembali menyingkap versi ‘advancedprototype‘ dari kendaraan bernama BladeGlider tersebut. Nissan telah memperbarui berbagai aspek di sana demi satu tujuan: menyuguhkan sebuah mobil elektrik yang menyenangkan dikendarai. Meski terdengar simpel, perusahaan otomotif Jepang itu membutuhkan waktu dua tahun lebih untuk menggodok sisi desain sampai teknologi mesinnya. Alhasil, BladeGlider selangkah mendekati tahap produksi.
BladeGlider ‘v2’ merupakan working prototype, memiliki penampilan menyerupai mobil balap DeltaWing, bertubuh aerodinamis memanjang. Dengan mengurangi lebar di sisi depan kendaraan, BladeGlider mampu membelah angin lebih efektif tanpa memengaruhi setir. Kendaraan mempunyai sepasang pintu yang terbuka ke belakang, dan menempatkan pengemudi di sisi tengah layaknya McLaren F1. Berdasarkan rasio panjang, lebar dan wheelbase-nya, BladeGlider mempunyai dimensi hampir setara Ford Focus atau Nissan Leaf.
Inkarnasi terbaru BladeGlider ini dikerjakan bersama-sama oleh Nissan dan Williams Advanced Engineering, tim yang telah lama berkiprah di ranah Formula 1. Artinya jangan mengherankan jika BladeGlider mengusung sejumlah aspek mobil balap, walaupun pada dasarnya ia bukan untuk balapan: susunan roda ala DeltaWing, dan kendaraan juga menggunakan dua buah layar di sisi display utama buat menggantikan cermin spion samping.
Performanya juga sama sekali tidak buruk. BladeGlider dibekali dua motor 130kW di masing-masing roda belakang, menghasilkan kekuatan 260-break horse power dan torsi 706,4-Newton-meter. Di atas aspal, kendaraan elektrik ini mampu melesat dari 0- ke 100-kilometer per jam dalam kurang dari lima detik, sanggup mencapai kecepatan maksimal di 185-kilometer per jam dengan membawa dua orang penumpang.
Nissan BladeGlider menyajikan tiga mode mengemudi, yaitu Agile, Drift dan tanpa bantuan. Kehadiran mode Drift mengindikasikan kemampuan mobil di jalan berbelok-belok, dan mungkin dengannya, janji Nissan terhadap mobil yang menyenangkan untuk dikendarai dapat terpenuhi.
Untuk sekarang, hanya ada dua unit working prototype BladeGlider; dan Nissan juga belum menjelaskan rincian soal kapasitas dan waktu charge baterai. Akan tersedia dua opsi warna, yaitu ‘stealth orange‘ dan ‘cyber green‘, mengindikasikan niatan produsen untuk merilisnya meski belum memberi tahu waktunya.
Istilah street legal mengacu pada kendaraan yang diperbolehkan turun ke jalan karena telah memenuhi syarat keamanan. Meskipun spesifikasinya berbeda-beda di setiap negara, mobil F1 dan sejumlah tipe eksperimental sudah pasti tidak diizinkan dikendarai di jalan-jalan perkotaan. Tapi impian menjadi pembalap F1 tentu belum sirna jika Anda memiliki banyak uang.
Dua nama terkemuka di bidang otomotif baru saja menyingkap kreasi dari sebuah proyek besar. Aston Martin dan tim F1 Red Bull menyingkap AM-RB 001, yaitu kendaraan kelas hypercar yang diracik untuk merebut gelar mobil tercepat di dunia. Para penciptanya dengan percaya diri mengklaim bahwa AM-RB 001 mampu melesat secepat – bahkan secara teori bisa melampaui – mobil Formula 1.
Selain janji performa super-tinggi, aspek menarik lain dari AM-RB 001 adalah ia dari awal dirancang sebagai mobil street legal. Rencananya, Aston Martin akan membenamkan mesin V12 baru di bagian tengah kendaraan dua kursi ini. Beberapa fitur F1 juga turut diadopsi di sana seperti sistem energy recovery untuk ‘memanen’ tenaga kinetik yang dihasilkan saat mengerem.
Tim Red Bull yang dipimpin oleh desainer Adrian Newey bertugas buat memastikan AM-RB 001 mendapatkan tekanan downforce sempurna, terpenuhi berkat sistem aerodinamis di sisi bawah kendaraan. Di sinilah letak rahasia AM-RB 001: lantainya dirancang untuk membungkus kabin serta merangkul sisi bawah ruang mesin.
Bagian atas dan wujud AM-RB 001 secara keseluruhan sendiri digarap oleh chief designer Aston Martin Marek Reichman. Dari foto-fotonya, area depan kendaraan ini memiliki penampilan ala mobil khusus balapan, kemudian terdapat diffuser di belakang untuk memastikan chassis ringan AM-RB 001 tetap mencengkram aspal saat dipacu di kecepatan tinggi.
AM-RB 001 menyajikan sepasang pintu gullwing (terbuka seperti sayap), dan ketika Anda membukanya, setir turut terangkat agar pengendara mudah masuk. Mobil juga tidak mempunyai spion kiri dan kanan, pengemudi bisa melihat bagian sisi kendaraan melalui rangkaian kamera.
Sejauh ini Aston Martin memang masih malu-malu mengungkap informasi teknis terkait performa AM-RB 001. Meski demikian, banyak orang memprediksi ia akan menyuguhkan tenaga 900-break horsepower dan berbobot 900-kilogram, yang artinya AM-RB 001 mempunyai rasio tenaga dan berat satu banding satu. Singkat cerita, hypercar mampu melesat amat sangat kencang.
Akan ada dua tipe Aston Martin AM-RB 001, versi jalanan seharga £ 2 juta (US$ 2,657 juta), diproduksi sekitar 150 unit; dan varian khusus track yang dibanderol £ 3 juta (hampir US$ 4 juta), cuma ada 25 unit. Proses distribusi akan mulai dilakukan di tahun 2018.
Mendengar nama McLaren, Anda pasti teringat akan dua hal: mobil dan balapan. Bukan tanpa alasan perusahaan asal Inggris ini dikenal akan kedua hal tersebut. Tim balap F1 McLaren sendiri telah berdiri sejak tahun 1963 dan kiprahnya dalam kompetisi balapan paling bergengsi tersebut tidak bisa dipandang sebelah mata. Continue reading McLaren Resmi Menjadi Perusahaan Otomotif + Teknologi→
Siapa yang tidak menyukai mobil mainan rakitan? Mini 4WD hingga mobil remote control seharga jutaan Rupiah, kita telah melihat semuanya. Tim di belakang proyek Bloodhound membawa hobi mereka sedikit lebih jauh. Mengumpulkan beberapa sponsor ternama dunia dalam program bertema edukasi, mereka sedang merancang sebuah kendaraan darat paling cepat di Bumi. Continue reading Bloodhound SSC, Mobil ‘Rakitan’ Berkekuatan 180 Kali Mobil Formula 1→