Popularitas Fortnite beberapa tahun lalu sempat menjadikan Fortnite meraih penghargaan The Game Award untuk game multiplayer terbaik di tahun 2018. Di tahun yang sama, Epic Games diketahui sukses meraup penghasilan sebesar US$5 miliar dari game battle royale-nya.
Pada tahun selanjutnya, Epic Games mengantongi pendapatan kotor sebesar US$3,7 miliar yang menjadikan Fortnite salah satu gamefree-to-play tersukses. Perlu diingat kembali bahwa angka-angka tersebut merupakan pendapatan kotor yang diperoleh dari Fortnite saja, belum termasuk unit bisnis lainnya seperti Rocket League, Unreal Engine, Epic Games Store, serta Fall Guys yang baru diakuisisi di bulan Maret lalu.
Anda dapat membaca laporan keuangan Epic Games di tahun 2018-19 secara lengkap di sini. Laporan keuangan Epic Games ini adalah kali pertama yang diungkap ke publik mengingat Epic Games bukanlah perusahaan publik.
Laporan keuangan internal Epic Games ini dipublikasikan untuk melengkapi berkas gugatan Epic Games di pengadilan Oakland, AS. Epic Games maju ke meja hijau untuk menggugat perusahaan manufaktur smartphone terkemuka asal California, AS, yaitu Apple.
Kasus ini bermula setelah Epic Games meluncurkan token digital sebagai cara pembayaran in-game dengan harga 10-20% lebih murah dibanding melalui platform Apple Store (yang memotong keuntungan Epic Games 30% dari setiap transaksi).
Akibatnya, Apple memutuskan untuk menghapus game Fortnite dari App Store. Tidak terima, Epic Games langsung menggugat Apple di pengadilan setempat. Hal ini menjadi fokus Epic Games lantaran perangkat iOS menyumbang 20% dari total 350 juta pemain Fortnite di seluruh dunia.
Lepasnya kontrol terhadap 20% pemainnya yang bermain di perangkat iOS akan berdampak besar terhadap penghasilan dari game battle royale terbesar di dunia ini. Dikutip dari dokumen resmi pengadilan, Fortnite mengantongi US$700 juta dari pemain ekosistem iOS di dua tahun terakhir.
Besarnya Fortnite di ekosistem gaming dan esports tercermin dari gelaran Fortnite World Cup 2019, yang menawarkan total hadiah sebesar US$100 juta (sekitar Rp1,4 triliun). Kyle “Bugha” Giersdorf adalah pemain yang berhasil jadi juara cabang solo, dan membawa pulang uang tunai sebesar US$3 juta. Bugha berhasil menjadi sorotan internasional, diundang di berbagai acara televisi, dan menjalin kerjasama dengan merek-merek besar di AS.
Fortnite World Cup baru saja selesai digelar, menyisakan sejumlah aksi berkesan dari para pemain yang tak terduga. Game battle royale yang sangat populer itu menjadi ajang peraihan prestasi bagi banyak anak muda dari berbagai belahan dunia, bahkan mereka yang masih belia. Dalam kejuaraan dunia pertamanya, Fortnite World Cup dimenangkan oleh remaja berusia 16 tahun!
Menawarkan hadiah total US$30.000.000 (sekitar Rp420 miliar), Fortnite World Cup kini memegang rekor sebagai kompetisi esports dengan hadiah terbesar di dunia. Rekor tersebut memang akan segera terpecahkan karena turnamen Dota 2 The International 2019 sudah mencapai prize pool US$31.000.000 lebih, tapi untuk kejuaraan dunia pertama pencapaian Fortnite ini tetaplah signifikan.
— Fortnite Competitive (@FNCompetitive) July 28, 2019
Epic Games selaku penerbit Fortnite menyelenggarakan kompetisi di empat kategori. Dua kategori utama yaitu Solo dan Duos, ditambah dua kategori sampingan yaitu Pro-Am dan Creative. Juara di kategori Solo adalah Kyle “Bugha” Giersdorf, remaja 16 tahun asal Amerika Serikat. Dengan performanya itu, Bugha berhak membawa pulang hadiah senilai US$3.000.000 sendiri, atau setara dengan kurang lebih Rp42 miliar.
The 15yr old millionaire Fortnite player Jaden Ashman and his mum Lisa Dallman. He came second with his teammate on the duos and will split $2.25m! His mum says accepting him as an e-sports player has been very hard and she’s even thrown out an X-Box in past!! #FortniteWorldCuppic.twitter.com/UCUqGzUOLW — Joe Tidy (@joetidy) July 27, 2019
Bugha bukan satu-satunya remaja yang meraih prestasi di ajang Fortnite World Cup. Remaja lain, Jaden “Wolfiez” Ashman yang berusia 15 tahun, berhasil menjadi juara 2 di kategori Duos. Ia berhak atas hadiah US$2.250.000 (sekitar Rp31,5 miliar), namun dibagi dua dengan kawan setimnya Dave “Rojo” John. Ada juga remaja 14 tahun Kyle “Mongraal” Jackson, peraih peringkat Top 6 Duos yang meraih hadiah US$375.000. Bahkan yang lebih muda, Thiago “k1nGOD” Lapp dengan usia 13 tahun, membawa pulang hadiah US$900.000 setelah finis di peringkat 5 kategori Solo.
Congrats to all of our winners this weekend at the #FortniteWorldCup Finals
Lucunya, ketika ditanya oleh BBC akan digunakan untuk apa hadiah tersebut, Bugha berkata, “Saya hanya ingin beli meja baru, dan mungkin satu meja lagi untuk menaruh piala.” Sementara sisa hadiahnya akan ditabung. Cukup menarik melihat bahwa ketika memperoleh rejeki nomplok demikian ternyata Bugha tetap tidak terlena atau ingin berfoya-foya.
Prestasi para remaja di ajang Fortnite World Cup ini menunjukkan bahwa dunia esports adalah dunia di mana setiap orang berpeluang menjadi juara, tanpa terikat keterbatasan usia. Mereka yang masih 13 tahun bisa saja bertanding melawan pemain usia 20 atau 30 tahun, asal punya keahlian yang mumpuni.
Dukungan dari orang tua juga jadi faktor pendorong yang penting, sebagaimana ditunjukkan oleh pemain seperti Wolfiez dan k1nGOD. Dulu ibu Wolfiez sempat menentang kegiatan gaming anaknya karena ia mengira itu hanya membuang-buang waktu. Namun lambat laun ia dapat menerima keinginan Wolfiez untuk menjadi pemain esports profesional dan kini memberinya dukungan penuh. Sementara k1nGOD, Anda bisa lihat sendiri ekspresi ayahnya dalam klip Twitter di bawah.
13-year old Argentinian phenom @k1nGOD, slayer of the gods, embraces his father after coming in 5th and winning $900,000 at the Fortnite World Cup the father is telling king “todo tuyo” which means “all yours” pic.twitter.com/ptIHBQwIxD — Rod Breslau (@Slasher) July 29, 2019
Bentuk dukungan dari orang tua tentu tidak sebatas “membiarkan anaknya bermain”. Sama seperti berbagai jenjang karier lainnya, menjadi atlet esports pun butuh kerja keras, latihan, serta bimbingan. Memfasilitasi semua itu serta mengarahkan anak ke jalur yang tepat adalah bentuk dukungan yang lebih nyata untuk membantu mereka meraih mimpi. Semoga saja di masa depan lebih banyak orang tua yang dapat mengerti itu, sehingga stigma negatif esports bisa hilang dari masyarakat dan anak-anak muda semakin bersemangat meraih prestasi.
Battle royale dalam beberapa tahun terakhir sudah menjadi genre besar di dunia esports. Apalagi dua raksasa battle royale dunia yaitu PlayerUnknown’s Battlegrounds (PUBG) dan Fortnite Battle Royale sama-sama menunjukkan dukungan maksimal terhadap ekosistem esports mereka. Termasuk mengadakan kompetisi-kompetisi besar kelas dunia, seperti PUBG Mobile Star Challenge dan Fortnite World Cup yang kini sedang berjalan.
Akan tetapi di balik gegap gempitanya turnamen-turnamen tersebut dan jutaan dolar hadiah yang menyertainya, battle royale sudah lama memunculkan kekhawatiran. Banyak pihak—baik atlet, kreator konten, atau tim—merasa bahwa battle royale tidak nyaman untuk dimainkan secara kompetitif, bahkan mungkin tidak akan bertahan lama.
Salah satu figur publik yang baru-baru ini angkat suara tentang hal ini adalah shroud (Michael Grzesiek), mantan atlet profesional Counter-Strike: Global Offensive yang kini dihormati sebagai pemain battle royale terbaik di jagat Twitch. Dilansir dari Dot Esports, shroud sempat berkata di tayangan live stream miliknya bahwa battle royale memang menyenangkan untuk dimainkan secara kasual, tapi sebagai esports tidak akan sukses karena terlalu mengandalkan keberuntungan.
“Anda tidak mungkin menghilangkan RNG (random number generator) di awal game, tentang siapa yang mendapat loot apa. Hal itu akan tetap ada, itulah yang membuat (battle royale) menarik. Tapi seiring waktu berjalan, yang membuatnya jadi kurang menarik adalah di mid-game. Karena di mid-game semua orang bersembunyi, lalu late game jadi kacau-balau karena semua orang tadi bersembunyi saat mid-game,” papar shroud.
Alur permainan seperti ini, kata shroud, pada akhirnya menghasilkan kejadian di mana “ada 40 orang yang bertarung di akhir”. Dengan pertempuran sedemikian rusuh di circle (area pertempuran) yang sangat kecil, peran keahlian bermain jadi berkurang dan kemenangan lebih ditentukan oleh siapa yang lebih beruntung saja. Menurut shroud seharusnya tidak seperti itu. Bila ada unsur keberuntungan di awal game itu tidak apa-apa, namun jangan sampai keberuntungan menentukan hasil seluruh pertandingan. “Pasti ada jalan keluarnya,” kata shroud kemudian.
Sistem battle royale dalam dunia esports memang sedikit kurang seimbang, karena penggunaan sistem poin yang ditentukan oleh peringkat akhir tiap rondenya. Meski ada poin bonus dari hasil kill, pada akhirnya hasil terbaik ditentukan oleh siapa yang paling lama bertahan hidup. Karena itu menghindari pertempuran merupakan taktik valid, namun akan membuat pertandingan jadi tidak menarik ditonton.
Turnamen Twitch Rivals Apex Legends beberapa waktu lalu sedikit mengubah hal itu dengan cara memberikan poin lebih sedikit pada tim yang menang. Hanya tim peringkat 1 yang mendapat poin, yaitu senilai 5 poin saja, sementara setiap kill akan memberikan 1 poin. Jadi tim yang tereliminasi di tengah ronde sangat mungkin memperoleh hasil lebih tinggi daripada tim yang berhasil “Chicken Dinner”.
Apex Legends sendiri memang merupakan game dengan irama permainan cepat, dan memiliki arena lebih kecil dari battle royale pada umumnya. Jadi membuat pertandingan heboh yang penuh aksi di Apex Legends cenderung lebih mudah. Developer battle royale lain perlu memutar otak untuk menciptakan keseruan yang sama, agar esports battle royale jadi lebih seru untuk ditonton dari awal hingga akhir.
Apa cabang esports yang memiliki hadiah terbesar di dunia? Beberapa tahun lalu, jawabannya mungkin Dota 2 dengan turnamen The International mereka. Tapi rekor tersebut telah patah ketika pertengahan tahun 2018 lalu, Epic Games mengumumkan musim kompetisi Fortnite yang akan berjalan selama satu tahun dari pertengah 2018 hingga pertengahan 2019. Berapa jumlah hadiah total yang Epic janjikan? Seratus juta dolar, alias Rp1,42 triliun! Sungguh fantastis!
Angka US$100.000.000 itu tidak ditumpuk ke dalam satu turnamen saja, namun dibagi-bagi ke dalam beberapa event. Dan beberapa minggu lagi kita akan memasuki turnamen puncak dari musim kompetisi tersebut, yaitu turnamen tingkat dunia, Fortnite World Cup. Untuk satu event ini saja, jumlah hadiah yang ditawarkan adalah sebesar US$30.000.000 (sekitar Rp427,9 miliar).
Sesuai yang diumumkan tahun lalu, Fornite World Cup terbagi ke dalam dua mode yaitu Solos dan Duos. Kualifikasi kompetisi ini dilakukan secara online mulai tanggal 13 April mendatang, dengan jadwal berganti-ganti setiap minggunya antara Solos dan Duos.
Cara untuk mengikuti kualifikasi ini cukup menarik. Epic Games telah merilis mode baru bernama Arena Mode dalam patch versi 8.20. Semua pemain dapat mengakses mode ini, namun pemain-pemain yang berhasil meraih peringkat teratas akan bisa membuka akses ke mode khusus yaitu Fortnite Cup Online Open.
Setiap hari Sabtu, para pemain diberi kesempatan selama tiga jam untuk bermain di Online Open dan mengumpulkan poin. Dari sini Epic akan mengambil 3.000 pemain dengan skor tertinggi di tiap region server untuk maju ke babak khusus bernama Open Online Finals esok Minggunya. Babak final ini punya sistem yang sama dengan Online Open biasa. Bedanya, para juara akan langsung memperoleh hadiah senilai US$1.000.000.
Pemain-pemain terbaik di setiap minggunya kemudian akan diundang untuk bertanding dalam babak offlineFortnite World Cup Finals di kota New York, tanggal 26 – 28 Juli 2019. Epic Games membagi para pemainnya ke dalam enam wilayah kompetisi, yaitu Europa, Amerika Utara Timur, Amerika Utara Barat, Asia, Brasil, serta Oseania. Jatah slot pemain di tiap wilayah ini berbeda-beda, dapat Anda lihat dalam tabel di bawah.
Satu hal yang menarik, Epic Games dengan jelas menyatakan bahwa kualifikasi Fortnite World Cup akan murni berdasarkan keahlian pemain. Epic tidak akan menjual slot tim ataupun franchise, juga tidak akan mengizinkan penyelenggara kompetisi third-party untuk melakukan hal tersebut. Ini jelas berlawanan dengan pendekatan yang dilakukan oleh beberapa game lain, seperti League of Legends, Overwatch, serta kemungkinan Rainbow Six: Siege.
Epic berkata bahwa mereka melakukan hal ini demi para pemain, tapi di sisi lain program franchise juga memiliki tujuan yang sama. Memang pemilik properti intelektual akan memperoleh uang dari hasil pembelian franchise, namun berkat adanya franchise itu, masa depan para atlet bisa lebih terjamin karena ada wadah serta sponsor pasti dalam karier kompetitif mereka. Sulit menentukan mana pendekatan yang lebih baik, tapi yang jelas, selama dilakukan dengan mengedepankan kesejahteraan para atlet, tampaknya kita tidak perlu mempermasalahkannya.
Sebagai salah satu perusahaan game tersukses dan terpopuler dunia, Tencent Games punya pengaruh yang sangat kuat di industri game. Dengan portofolio mencakup judul-judul raksasa seperti PUBG Mobile, Fortnite, dan League of Legends, Tencent punya kekuatan untuk menjangkau ratusan juta gamer serta anak muda di dunia. Tentu saja, semakin besar suatu kekuatan maka semakin besar pula tanggung jawabnya.
Untuk menjaga agar ekosistem gamer di sekitar produk-produk Tencent tetap sehat, mereka baru saja mengumumkan sejumlah aturan untuk streaming konten yang berkaitan dengan seluruh game mereka. Aturan ini berlaku terhadap platform, produksi, institusi, dan streamer mana pun yang menciptakan konten berbasis produk milik Tencent.
Aturan tersebut diumumkan pada tanggal 14 Februari 2019 lalu, tak lama setelah pemerintah Tiongkok menerapkan aturan baru terkait regulasi konten internet. Beberapa aturan itu antara lain:
Larangan melanggar aturan-aturan dasar undang-undang konstitusi, serta topik-topik sensitif seperti politik nasional, kewarganegaraan, agama, serta kedaerahan.
Larangan publikasi informasi ilegal, seperti pornografi, perjudian, sekte-sekte, terorisme, dan lain-lain.
Larangan perilaku yang merusak user experience ataupun brand Tencent.
Larangan menyebarkan informasi palsu ke pengguna lain dengan berpura-pura menjadi perwakilan resmi Tencent.
Larangan menyebarkan private server, cheat, hack, atau informasi account boosting (joki).
Larangan mempromosikan dan memicu kekerasan di dunia nyata.
Larangan melanggar privasi orang lain dan menyebarkan informasi mereka tanpa izin.
Larangan melanggar kontrak, memutuskan kontrak sepihak, atau menjalin perjanjian terlarang dengan pihak ketiga, selama masih berada di bawah kontrak suatu platform streaming.
Larangan melanggar hak cipta penerbit game atau content creator lain.
Larangan akan konten yang memunculkan pengaruh sosial negatif.
Menurut laporan dari Esports Observer, aturan tentang pelanggaran kontrak muncul setelah adanya kasus dari streamer Honor of Kings (Arena of Valor versi Tiongkok) yang bernama Haishi (Jiang Haitao). Ia memiliki kontrak dengan platform streaming Huya, namun kemudian menjalin kontrak lain dengan platform Douyu. Haishi akhirnya mendapat tuntutan pengadilan dari Huya, dan diwajibkan untuk membayar denda sebesar 49 juta Yuan (sekitar Rp102,1 miliar).
“Terdapat hubungan hak cipta yang natural antara konten gaming dan platform live streaming. Tencent, sebagai pemimpin platform gaming streaming dan penerbit game, memiliki tanggung jawab untuk mempromosikan standardisasi dan otorisasi konten streaming di industri,” demikian pernyataan Tencent yang diumumkan di media sosial Weibo.
Tencent sendiri sebetulnya memiliki modal yang tertanam di kedua platform, Huya maupun Douyu. Tapi mereka tetap berlaku adil dan menjunjung tinggi penghargaan atas kontrak serta hak cipta. Selain itu Tencent juga berinvestasi di platform video Bilibili, dan memiliki platform streaming sendiri bernama Penguin Esports. Dengan pengaruh seluas itu, penerapan aturan baru oleh Tencent ini akan memiliki imbas yang sangat besar pada dunia streaming, khususnya di Tiongkok. Mudah-mudahan saja dampaknya dapat membuat industri streaming tumbuh lebih positif.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa Fortnite Battle Royale kini telah menjadi sebuah fenomena yang luar biasa. Lebih dari sekadar game, buah karya Epic Games tersebut adalah gaya hidup, tempat berkumpul, serta sarana sosialisasi baru para anak muda era digital. Tahun 2019 ini Fortnite Battle Royale kembali menciptakan sejarah dengan meluncurkan konser virtual DJ/musisi elektronik asal Amerika Serikat, Marshmello.
Konser yang digelar pada tanggal 2 dan 3 Februari 2019 itu meraih sukses besar. Lebih dari 10 juta pemain online bersamaan, bersama-sama berpesta dan menikmati suguhan musik dari artis yang bernama asli Christopher Comstock itu. Mereka yang tidak menonton langsung dalam gamedapat menontonnya di YouTube, dalam video yang saat ini sudah meraih lebih dari 25 juta view.
Tentu saja, konser ini juga dibarengi dengan peluncuran merchandise bertema Marshmello dan Fortnite, serta album remix khusus berisi playlist lagu-lagu Marshmello yang diputar dalam konser tersebut. Album yang dimaksud—berjudul “Marshmello Fortnite Extended Set”, langsung merajai tangga Billboard sebagai album musik dance/electronic nomor satu di dunia.
Para gamer yang pernah memainkan Phantasy Star Online 2 mungkin sudah familier dengan adanya konser dalam game online. Tapi konser-konser di Phantasy Star Online 2 adalah konser artis fiktif dengan penampilan yang sudah diprogram. Pengalaman menyaksikannya tentu berbeda dengan konser live milik Marshmello yang merupakan artis sungguhan. Fortnite dan Marshmello telah menciptakan fenomena baru, dan ini memunculkan pertanyaan, “Akankah konser virtual jadi tren di masa depan?”
Ed Tomasi, mantan veteran ESL yang kini menjadi kepala divisi esports di Big Block, berkata bahwa musik dan video game adalah dua hal yang sudah memiliki kaitan erat sejak lama. Tapi ide memasukkan konser sebagai bagian dari game itu sendiri adalah hal yang revolusioner. Dan Epic Games telah menunjukkan bahwa mereka sangat serius menggarap event ini. “Pengalaman (konsernya) sangat sempurna. Rasanya seperti konser itu merupakan bagian natural dari game, bukan sesuatu yang ditempelkan begitu saja. Jadi penting untuk dicatat bahwa Epic telah memasang standar tinggi untuk siapa pun yang akan mengikuti jejak mereka,” kata Tomasi kepada Forbes.
Menurut Tomasi, ada banyak sekali potensi arah perkembangan konser virtual—atau “econcert”—di masa depan. Kita sudah melihat bagaimana game belakangan ini memiliki fitur-fitur beraroma esports terintegrasi ke dalamnya. Tidak aneh bila nantinya, para developer akan berlomba menciptakan fitur konser virtual ke dalam game mereka. Game tak lagi hanya hiburan, tapi menjadi platform entertainment baru.
Tentu saja, ada atau tidaknya fitur konser virtual tergantung dari jenis game itu sendiri. “Setiap game memiliki fan base sendiri-sendiri. Dan musik adalah bagian yang sangat intrinsik dari pengalaman bermain game. Jadi saya rasa ada banyak judul game yang sangat cocok untuk konser live,” kata Tomasi.
Ada oportunitas baru bagi brand dalam econcert
Tomasi juga berpendapat bahwa ada potensi besar untuk peran brand dalam econcert nantinya. Apalagi econcert adalah sesuatu yang dapat mendatangkan engagement tinggi. “Saya rasa bila saya pemilik brand dan ingin merangkul generasi baru ini, mensponsori in-game concert adalah ide yang sangat menarik. Dalam pandangan saya, iklan 30 detik bisa menyentuh hati, tapi konser virtual 10 menit, itu akan memindahkan diri Anda, terutama bila konser itu terjadi di dunia virtual yang Anda sangat akrab dengannya.”
Implementasi brand ke dalam econcert pun bisa beraneka ragam. Contohnya menciptakan semacam ruang VIP di mana para pemain bisa berinteraksi dengan brand dalam berbagai cara. Wujud lain misalnya dengan menciptakan skin eksklusif, bahkan mungkin yang lebih ekstrem, yaitu menciptakan konser versi VR/AR eksklusif. Ada banyak alternatif menarik selain sekadar menempelkan logo brand di lokasi konser. Kemungkinannya tak terbatas.
Syarat yang penting bagi mereka yang ingin mengikuti jejak Fortnite, adalah mereka harus mau mendedikasikan sumber daya agar konser itu berjalan sempurna dan organik. Konser Marshmello bukan hanya pertunjukan musik. Mengkombinasikan panggung yang keren dengan tata pencahayaan gemerlap, berbagai efek-efek spesial, serta elemen-elemen gameplay, kolaborasi ini betul-betul menghasilkan hiburan baru yang hanya dapat terjadi di dalam sebuah game.
Di lagu yang berjudul “Fly”, misalnya, gravitasi dalam Fortnite tiba-tiba menghilang, membuat seluruh pemain melayang seperti dalam kondisi sedang terjun di awal permainan. Pesta digital ini begitu menyenangkan, dan tidak bisa direplikasi ke dunia nyata. Merancang konser dengan mekanisme kompleks seperti ini tentu tidak mudah. Bayangkan betapa kecewanya penonton jika terjadi bug di tengah konser, atau bila terjadi masalah jaringan karena server terlalu penuh. Hal-hal seperti inilah yang jadi tantangan.
Kemudian hal terakhir yang perlu diperhatikan adalah posisi antara brand, game, serta musisi itu sendiri. Jangan sampai keberadaan brand menjadi terlalu menonjol sehingga para gamer merasa jengah dibuatnya. “Anda harus menjaga brand agar tetap ada di latar belakang—peran mereka adalah enabler. Pertunjukan serta game itulah bintangnya,” ujar Tomasi.
Fortnite boleh saja menyandang gelar sebagai rajanya battle royale. Dengan lebih dari 200 juta pemain, serta catatan rekor 8 juta concurrent player, hingga saat ini masih jadi pertanyaan besar apakah bakal ada game yang bisa mengalahkannya. Apex Legends yang berhasil mencapai 25 juta pengguna dalam satu minggu terlihat menjanjikan, tapi apa bisa sesukses Fortnite? Tidak ada yang tahu.
Sayangnya, kesuksesan itu tidak mencerminkan iklim esports di sekitarnya. Beberapa pihak sangsi esports battle royale dapat bertahan lama, contohnya OpTic Gaming yang baru saja membubarkan divisi Fortnite dan PUBG mereka bulan lalu. Selain masalah sustainability, Epic Games juga dinilai sering melakukan langkah salah yang membuat Fortnite tidak nyaman untuk dimainkan secara kompetitif.
Poach (Jake Brumleve), atlet Fortnite dari Team Liquid, baru-baru ini menyatakan keresahan tersebut via Twitter. Ia berkata bahwa ada tiga masalah besar yang harus diperbaiki oleh Epic Games, yaitu bug, lag, serta RNG (random number generator). RNG yang dimaksud adalah unsur acak seperti item yang didapat dari loot dan lokasi perubahan zona.
Menurut Poach, di permainan level tinggi, hal-hal di luar kendali pemain seperti ini lebih sering menyebabkan kematian daripada skill pemainnya, membuat Fortnite terasa tidak kompetitif. Pendapat ini diiyakan oleh beberapa pemain Fortnite profesional lainnya, seperti Ranger (Marcus Pereira) dari World Best Gaming dan Logan (Logan Werner), mantan anggota Gankstars. Banyak orang berpendapat bahwa Epic Games terlalu fokus pada pembuatan konten baru, sementara masalah gameplay yang sudah lama ada malah diabaikan.
There's way too many deaths in this game caused by stuff you cannot control and it removes all competitive integrity.
Epic Games juga mendapat banyak kritik karena sebuah keputusan yang sangat kontroversial, yaitu merilis patch Season 8 sangat dekat dengan Intel Extreme Masters (IEM) Katowice 2019. Turnamen berhadiah US$500.000 Ini termasuk turnamen besar, dan direncanakan akan berlangsung pada tanggal 23 Februari sampai 3 Maret 2019. Sementara patch Fortnite Season 8 akan meluncur pada tanggal 28 Februari. Bayangkan betapa kacaunya bila di tengah turnamen tiba-tiba ada perubahan balance.
Dua pemain lain dari Team Liquid, yaitu Chaplo (Ryan Chaplo) dan 72hrs (Tom Mulligan) juga berkata bahwa mereka tidak mau menghadiri undangan turnamen Secret Skirmish yang digelar Epic Games pada tanggal 14 Februari nanti. Alasannya adalah format turnamen yang begitu aneh. Turnamen ini diadakan secara tertutup, di lokasi yang dirahasiakan, dengan mode solo, dan menggunakan perangkat gaming yang sudah ditentukan. Caplo berkata bahwa semua persyaratan itu membuat Secret Skirmish “tidak menyenangkan”.
Keluhan-keluhan di atas hanya sebagian dari masalah yang terjadi seputar dunia Fortnite kompetitif. Tidak hanya tahun ini, sejak tahun 2018 pun para pemain Fortnite sudah mengeluhkan hal serupa. Padahal Epic Games sudah berjanji bahwa mereka akan lebih memperhatikan masalah-masalah di atas, terutama soal timing perilisan patch. Tapi rupanya janji-janji tersebut belum tercermin dalam keputusan Epic Games belakangan ini.
Sebesar apa pun user base Fortnite, bila hal ini terus berlangsung maka dunia Fortnite kompetitif bisa saja kehilangan peminat lalu mati. Epic Games tidak boleh terbuai dengan posisi “raja”. Di saat mereka lengah, di luar sana banyak kandidat lain yang sedang berusaha merebut takhta mereka.
Fornite sendiri tidak ada habisnya diperbincangkan. Di bulan Januari ini, terhitung ada lebih dari 200 juta gamer menikmatinya, dengan pemasukan dari microtransaction mencapai US$ 2,4 miliar. Begitu besarnya Fortnite Battle Royale, game super-populer ini mampu mengusik ketenangan bisnis penyedia layanan di media berbeda: Netflix. Padahal, platform film on demand ini sebelumnya sudah membuat perusahaan TV channel tradisional bertekuk lutut.
Dalam laporan pemasukan perusahaan tahun 2018 – dipublikasikan pada hari Kamis kemarin – Netflix menyampaikan bahwa mereka berhasil menguasai sekitar 10 persen waktu yang dihabiskan konsumen di walayah Amerika buat menatap layar. Angkanya berada sedikit di bawah waktu total interaksi dengan perangkat bergerak. Menurut Netflix, penyebabnya bukanlah kompetisi dari layanan streaming sejenis, melainkan platform hiburan yang betul-betul berbeda, salah satunya permainan video.
Di sana Netflix menyatakan, mereka mendapatkan perlawanan keras dari Fornite dan terpaksa mengakui keunggulan game last man standing berskala besar itu. Menurut Netflix, Fornite lebih mengancam dibandingkan HBO ataupun Hulu. Waktu akses Hulu sendiri jauh lebih kecil dari YouTube. Mereka memang jadi favorit di Amerika, tapi namanya hampir tak terdengar di Kanada. Sedangkan penetrasi Netflix di kedua wilayah boleh dikatakan sama besar.
Perusahaan juga menjelaskan bagaimana ada ribuan kompetitor di ranah yang tersegmentasi ini, masing-masing berlomba-lomba untuk menghibur konsumen dengan faktor penghalang yang semakin tipis. Bagi Netflix, pertumbuhan layanan mereka ditakar dari pengalaman pengguna, dikomparasi dengan durasi konsumen menghabiskan waktu di depan layar. Namun perlu diingat bahwa ‘waktu di depan layar’ bukanlah parameter perhitungan yang presisi.
“Fokus kami bukanlah berkompetisi dengan Disney+, Amazon dan lain-lain, tetapi bagaimana kami bisa meningkatkan mutu pengalaman penggunaan,” tutur Netflix. Salah satu contoh upaya Netflix memberikan ‘terobosan baru’ di segmen hiburan adalah melalui penggarapan film interaktif dewasa Black Mirror: Bandersnatch yang mempersilakan penonton menentukan nasib tokoh utamanya.
Di akhir 2018, Netflix berhasil menghimpun hampir 139 juta pelanggan. Sementara itu, angka pemain teregistrasi Fortnite Battle Royale sukses menembus di 200 juta di bulan November lalu.
Popularitas battle royale di beberapa tahun terakhir ini adalah hal yang nyata. Sudah bukan rahasia lagi bahwa PUBG Mobile adalah salah satu mobile game tersukses di tahun 2018, juga bahwa Fortnite: Battle Royale berkembang begitu pesat sampai-sampai Epic Games harus menutup Paragon demi fokus ke game ini. Begitu pula di dunia esports. Beragam kompetisi bergenre battle royale sudah banyak digelar, bahkan dengan skala internasional.
Akan tetapi mungkin masa depan esports battle royale tidak secerah yang kita kira. Setidaknya begitu menurut OpTic Gaming, salah satu tim esports terbesar asal Amerika Serikat. OpTic Gaming baru saja membubarkan divisi esports Fortnite: Battle Royale mereka dan berpisah dengan dua atletnya, Gunfly (Stephen Brown) dan Baldy (Keneth Anderson). Hal ini diungkapkan oleh kedua pemain itu via Twitter pada 13 Januari lalu.
“Kami didatangi oleh Kenneth (Baldy) dan Stephen (Gunfly), dan mereka menjelaskan bahwa mereka ingin bermain dengan partner lain. Kami sangat menghormati para pemain Fortnite kompetitif di OpTic, sama seperti mereka berdua, jadi kami merasa tidak adil bila kami menghukum atau menghalangi mereka dari hal yang menurut mereka terbaik untuk meraih sukses. Pada dasarnya kami memberi pilihan untuk tetap tinggal sebagai duo atau berpisah,” demikian kata Kodiak Shroyer, Esports Director dari Infinite Esports & Entertainment, via Reddit. Infinite Esports & Entertainment adalah perusahaan holding yang membawahi berbagai tim, termasuk OpTic Gaming.
OpTic juga sempat mempertimbangkan untuk merekrut pemain baru sebagai partner Baldy dan Gunfly. Namun ada beberapa kendala yang membuat OpTic tidak bisa melakukannya. Misalnya karena partner yang diinginkan ternyata masih bergabung dengan tim lain. Karena itu akhirnya mereka memutuskan untuk berpisah saja secara baik-baik.
“Kamu akan terus memantau scene (Fortnite) dan talenta yang naik daun, tapi untuk sementara kami tidak punya pemain yang tergabung dalam tim kompetitif,” lanjut Kodiak. Baldy dan Gunfly sendiri selama ini memang kurang bersinar. Mereka hanya mencapai peringkat 50 di kompetisi Fortnite Fall Skirmish, dan peringkat 38 di turnamen World Showdown of Esports (WSOE) 3.
Akan tetapi alasan pelepasan divisi PUBG berbeda. OpTic Gaming rupanya merasa ragu akan masa depan dunia esports PUBG. CEO OpTic Gaming, Hector Rodriguez, bahkan pernah dengan gamblang berkata bahwa ia merasa PUBG akan gagal sebagai sebuah esports. Sama seperti H1Z1 yang telah gagal terlebih dahulu. Namun OpTic tetap terbuka terhadap perubahan. Bila di masa depan kondisi PUBG membaik, mereka bisa saja kembali untuk bertarung di Erangel.
Mengapa genre battle royale sulit menjadi esports yang sustainable? Alasannya bisa bermacam-macam. H1Z1 dulu gagal karena terlalu sedikitnya peminat, tapi PUBG dan Fortnite bisa gagal karena sebab lain. Misalnya pasar yang sudah terlalu penuh, apalagi ditambah dengan kemunculan Counter-Strike: Global Offensive Danger Zone dan Call of Duty: Black Ops 4 Blackout.
Menurut OpTic, H1Z1 gagal karena “pada orang dewasa tidak melakukan kewajibannya”. Ini berhubungan dengan kompensasi yang tidak dibayar ketika H1Z1 league dibubarkan. Sementara untuk PUBG, menurut Rodriguez perkembangannya tidak secepat yang ia inginkan, dan ia merasa PUBG akan mengalami hal sama seperti H1Z1. OpTic juga merasa format dan struktur kompetisi esports PUBG tidak memuaskan, terutapa di National PUBG League (NPL).
Dengan CS:GO yang kini telah menjadi free-to-play, dan CoD: Black Ops 4 Blackout diprediksi akan mengalami hal serupa, tampaknya Fortnite dan PUBG terancam oleh persaingan ketat di tahun 2019 ini. Mungkin masih terlalu cepat untuk menilai bahwa masa depan esports di genre battle royale akan suram. Tapi setidaknya OpTic Gaming sudah mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk.
Tak hanya berhasil merebut mahkota game battle royale terpopuler dari PlayerUnknown’s Battlegrounds, fenomena Fornite memberikan pijakan bagi tim Epic Games untuk memperluas bisnisnya dari ranah penyediaan teknologi serta pengembangan permainan ke bidang distribusi digital. Sejak meluncur di awal Desember ini, sejumlah developer mulai bermigrasi dari Steam ke Epic Games Store.
Sebagai perusahaan privat, detail keuangan Epic Games betul-betul dijaga ketat. Namun berdasarkan laporan narasumber terpercaya pada TechCrunch, kabarnya di tahun ini perusahaan berhasil mengumpulkan keuntungan sebesar US$ 3 miliar. Perlu digarisbawahi bahwa angka ini adalah jumlah keuntungan, bukan pemasukan. Dan kini, perusahaan diestimasi mempunyai nilai US$ 15 miliar.
Menggali lebih jauh dari laba Epic Games, di bulan November kemarin, Sensor Tower memperkirakan bahwa gamer Fortnite di-iOS memberikan pemasukan sebesar US$ 1,23 juta per hari. Itu berarti Epic Games menerima uang sebesar US$ 37 juta tiap bulan, dan sejak game meluncur di perangkat Apple, total profit sudah melampaui US$ 385 juta. Dan itu belum menghitung pendapatan dari platform lainnya. Game ini bisa dinikmati dari PC, Xbox One, PS4, Switch, serta Android.
Karena Fortnite Battle Royale ditopang fitur cross-platform play, mengakumulasi penghasil dari sistem berbeda tidaklah mudah. Game tersedia pertama kali di bulan September 2017, lalu hadir di iOS pada April 2018, muncul di Switch bulan Juni 2018, kemudian versi Android-nya dilepas pada Agustus 2018. Dan terhitung dari momen debut sampai bulan Mei 2018, Super Data Research mencatat bahwa game telah menghasilkan uang senilai US$ 318 juta.
Menghitung profit dari Fortnite versi Android lebih sulit lagi karena distribusi game tidak dilakukan lewat Google Play. Pemain harus mengakses app launcher-nya dari website Epic Games. Tapi menariknya, hal tersebut tidak menurunkan minat gamer untuk menikmatinya. Dalam waktu satu bulan, Fortnite di Android sukses menghimpun 15 juta pemain.
Lalu pengeluaran gamer Fortnite juga dinamis dan sulit diprediksi. Umumnya, mereka berbelanja sesudah Epic merilis update baru (disebut Season, yang terkininya adalah Season 7). Di tiap ‘musim’ ini, para pemain didorong untuk membeli Battle Pass.
Tentu saja Fortnite – terutama porsi free-to-play battle royale – bukanlah satu-satunya senjata andalan Epic Games. Pertama, mereka punya layanan distribusi yang sangat menggoda bagi developer independen berkat penawaran pembagian keuntungan menggiurkan di 12 banding 88 persen. Kemudian kita tahu, nama Epic Games juga sinonim dengan teknologi Unreal Ungine yang telah digunakan buat membangun ratusan judul game – indie ataupun blockbuster.