Tag Archives: freelance-feat-november

8 Keyboard Mechanical Murah Meriah Terbaik, Cocok Buat Mahasiswa!

Jika berbicara tentang keyboard mechanical, kita kerap tertuju ke harganya yang relatif lebih mahal dari keyboard membran. Tentu saja, hal ini disebabkan karena keyboard mechanical memiliki lebih banyak komponen serta memiliki lifespan yang lebih lama daripada keyboard membrane. Tidak hanya itu, salah satu aspek mahalnya keyboard mechanical adalah switch-nya.

Dulu, switch keyboard mechanical dikuasai oleh satu pabrikan — yaitu CherryMX. Pasalnya, mereka memiliki paten atas desain switch pada keyboard mechanical. CherryMX mematenkan desain switch mereka pada tahun 1984 dan kini, paten tersebut sudah tidak berlaku lagi sejak tahun 2014 silam.

Image Credit: CherryMX

Tidak berlakunya paten dari CherryMX ini menyebabkan banyak pabrikan lain seperti Outemu, Gateron, Kailh, dan lainnya mengadopsi desain tersebut dan menjualnya dengan harga yang lebih murah. Karena itu, kini terdapat banyak keyboard mechanical di pasaran yang harganya lebih ramah di dompet. Namun, dengan harga yang lebih murah pastinya ada beberapa kekurangan. Salah satunya adalah switch Outemu yang dikenal memiliki lifespan yang cukup pendek.

Source: Rexus

“Ada harga ada kualitas.” Mungkin itu adalah kata-kata yang tepat untuk mendefinisikan pernyataan di atas. Namun, tidak untuk beberapa keyboard mechanical yang akan kita bahas berikut ini. Pasalnya, meskipun harganya yang terbilang murah — beberapa keyboard di bawah ini juga memiliki kualitas dan fitur yang patut diacungkan jempol.

Tanpa basa-basi lebih lanjut, mari kita masuk ke rekomendasi keyboard mechanical murah meriah terbaik.

1. VortexSeries VX5 Pro – Rp 420 ribu

Image Credit: VortexSeries

Keyboard mechanical dari brand lokal satu ini menjadi salah satu keyboard entry-level terbaik. Pasalnya, VX5 Pro dari VortexSeries ini memiliki segudang fitur serta build quality yang lumayan bagus dengan harga hanya Rp420 ribu. Dari segi eksterior, VX5 Pro menggunakan plastik ABS sebagai bahan material casing dan keycaps. RGB milik keyboard ini juga dapat diatur sedemikian rupa pada software bawaannya. VX5 Pro juga dilengkapi dengan kabel braided yang akan menambah kesan premium.

Salah satu fitur yang menurut saya wajib di semua keyboard mechanical adalah hotswap 3/5 pin universal. Dengan fitur ini, Anda dapat mengganti switch keyboard ini dari Outemu menjadi Gateron, Kailh, Akko, atau lainnya secara plug and play. Fitur ini sebenarnya jarang ditemukan pada keyboard mechanical dengan kisaran harga Rp400 ribuan. Jadi, ini adalah satu nilai plus untuk Vortex. Selain itu, Vortex juga menyematkan foam di dalam casing VX5 Pro untuk mengurangi suara kopong dari casing.

VortexSeries VX5 Pro menyediakan dua pilihan warna (hitam dan putih) serta tiga pilihan switch, yaitu Outemu Blue (clicky), Outemu Red (linear), dan Outemu Brown (tactile).

2. Fantech Maxfit61 – Rp459 ribu

Image Credit: Fantech

Menempati urutan kedua, ada keyboard mechanical dari brand Fantech. Keyboard bernama Maxfit61 ini tersedia dalam dua pilihan warna (hitam dan putih) dan dibanderol dengan harga Rp459 ribu saja.

Untuk bagian eksterior, keyboard ini dilengkapi dengan RGB yang dapat diatur 16 mode, double-injection keycaps, serta menggunakan material plastik ABS untuk casing-nya. Keyboard ini juga mengusung layout 60% yang membuatnya super kompak untuk dibawa-bawa. Meskipun kompak dan imut, sebelum mengganti keyboard menjadi layout kompak seperti ini, mungkin Anda harus mempertimbangkan beberapa hal ini.

Mari masuk ke jeroannya, keyboard besutan Fantech ini memilki dua pilihan switch, yaitu Outemu Blue (clicky) dan Outemu Red (linear). Sama seperti VortexSeries VX5 Pro di atas, Maxfit61 ini juga memiliki fitur hotswap 3/5 pin universal.  Jika Anda tertarik dengan keyboard ini, Anda dapat melihat lebih lengkapnya di website resmi mereka.

3. Rexus Daiva RX-D68 – Rp429 ribu

Image Credit: Rexus

Siapa yang tidak kenal dengan brand Rexus? Pabrikan gaming peripherals yang terkenal akan harga produknya yang murah meriah ini tidak bisa diremehkan jika berbicara soal kualitasnya. Salah satu produk mereka yang baru diluncurkan bulan kemarin, Rexus Daiva, sempat membuat geger para penggemar keyboard. Pasalnya, keyboard mechanical terbaru Rexus ini dilengkapi dengan berbagai fitur namun dibanderol dengan harga Rp429 ribu saja.

Keyboard dengan layout 65% termurah ini memiliki full RGB backlight yang bisa memancarkan 16,8 juta warna, double-shot ABS keycaps, serta hotswap 3/5 pin. Sayangnya, meskipun sudah 5 pin, fitur hotswap dari Daiva ini bersifat Outemu only — artinya hanya bisa dipasangkan switch Outemu dan sejenisnya (Content, Gazzew, Akko CS, KTT, dan sebagainya).

Rexus Daiva RX-D68 memiliki dua pilihan warna (hitam dan putih) serta diberikan tiga pilihan switch, Outemu Blue (clicky), Red (linear), dan Brown (tactile).

4. Koodo Gecko – Rp450 ribu

Dokumentasi: Hybrid

Keyboard mechanical satu ini merupakan keyboard mechanical wireless termurah di pasaran. Dengan harga hanya Rp450 ribu, keyboard dari brand lokal ini menyuguhkan fitur yang menggiurkan. Kombinasi kompaknya layout 60% dengan fitur wireless membuat Koodo Gecko sangat praktis untuk dibawa ke manapun.

Selain wireless Bluetooth 5.0, keyboard ini juga memiliki backlight RGB 16.8 juta warna, keycaps double-shot berbahan ABS, 1000hz polling rate, serta hotswap 3 pin Outemu Only. Untuk review lengkap serta kekurangannya, Anda bisa membaca artikel yang kami buat beberapa waktu lalu di sini.

Koodo Gecko menawarkan hanya satu pilihan warna (putih) dan tiga pilihan switch, Outemu Blue, Red, dan Brown.

5. Rexus Legionare MX9 – Rp380 ribu

Image Credit: Rexus

Selain keyboard dengan layout kompak, Rexus juga mengeluarkan keyboard dengan layout yang “normal”. Mengusung layout TKL, Rexus Legionare MX9 memiliki empat pilihan warna yang unik — yaitu hitam, putih, biru muda, dan merah muda.

Dengan harga Rp380 ribu, Anda akan mendapatkan fitur-fitur seperti backlight RGB dengan 16.8 juta warna, 1000Hz polling rate, software bawaan, serta memori on-board. Untuk materialnya, Rexus Legionare MX9 menggunakan plastik ABS dan kabelnya sudah braided. 

Rexus Legionare MX9 memiliki dua pilihan switch, yaitu Outemu Blue dan Red. Keyboard ini juga hotswapable meskipun masih Outemu Only.

6. VortexSeries VX9 PRO – Rp650 ribu

Image Credit: VortexSeries

Keyboard dari VortexSeries lagi, namun kali ini layout-nya sedikit unik. VX9 PRO ini mengusung layout 1800 Compact atau 96% (98 keys). Jadi, keyboard ini masih memiliki F-rows, arrow keys, dan numpad. Tetapi, tombol seperti Print Screen, Page Up, Page Down, dan lainnya (yang berada di atas tombol arrow) dihilangkan di layout seperti ini. Nah, keyboard ini sangat cocok untuk Anda yang masih membutuhkan numpad namun ingin keyboard yang lebih kompak dari full size.

Dibanderol dengan harga Rp650 ribu, VX9 PRO memiliki fitur-fitur jempolan — seperti hotswap 3/5 pin universal, software bawaan, backlight RGB yang bisa diatur, EVA foam pada case dan plate, serta kabel USB to Type C braided. VX9 PRO dibuat menggunakan plastik ABS dari bodi hingga keycaps-nya.

Vortex VX9 Pro menawarkan dua pilihan warna (hitam dan putih) serta tiga pilihan switch Outemu dengan warna Blue, Red, dan Brown.

7. GEEK GK61 – Rp799 ribu

Meskipun harganya lebih tinggi, keyboard mechanical 60% dari GEEK ini memiliki fitur dan switch yang lebih premium. Dijual dengan harga Rp799 ribu, GK61 memakai optical switch dari Gateron. Jadi, tidak lagi menggunakan pin — optical switch ini menggunakan sinar inframerah untuk menggantikan fungsi pin yang bertugas mengirim signal ke PCB. Optical switch ini diklaim lebih tahan lama dari switch konvensional.

Kerennya, GK61 juga memiliki fitur hotswap — artinya, switch-nya dapat diganti dengan switch optical lainnya. Selain itu, keyboard dari GEEK ini juga memiliki backlight RGB 16.8 juta warna, software bawaan, full anti-ghost keys, kabel Type-C braided, dan banyak lagi. Keyboard GK61 ini juga tahan air dengan rating IP68.

GEEK GK61 tersedia dalam dua warna, yaitu hitam dan putih. Serta memiliki 5 pilihan warna switch dari Gateron, yaitu Black, Red, Yellow, Blue, dan Brown.

8. Rexus Daxa M71 Pro – Rp699 ribu

Image Credit: Rexus

Keyboard dari Rexus lagi, kali ini merupakan keyboard yang menurut saya sangat worth it untuk dibeli, yaitu Daxa M71 Pro. Dengan label harga Rp699 ribu, keyboard dengan 71 tombol ini terbilang sangat premium dan memiliki fitur-fitur yang oke.

Pertama, keyboard ini mengusung switch dari Gateron yang terkenal memiliki feel dan daya tahan lebih baik dari Outemu. Daxa M71 Pro ini juga dilengkapi dengan fitur wireless menggunakan Bluetooth 5.0. Fitur-fitur lain dari keyboard ini meliputi backlight RGB 16.8 juta warna, two-tone keycap, magnetic keyboard stand, serta software bawaan untuk mengatur RGB dan macro. Tidak hanya di belakang keycaps, RGB dari Daxa M71 Pro ini juga terdapat di bagian kiri dan kanan bawah dari keyboard.

Image Credit: Rexus

Rexus Daxa M71 Pro menyediakan dua pilihan warna, yaitu hitam (keycaps two-tone berwarna hitam dan putih) serta putih (keycaps two-tone berwarna oranye dan putih). Keyboard ini juga memiliki 3 pilihan switch, yaitu Gateron Blue, Brown, Red, dan Yellow.

Saat peluncurannya, keyboard dari Rexus ini sangat laris sampai mereka membuat versi lebih besarnya bernama Daxa M84 Pro. Kami juga telah membuat review dari Daxa M84 Pro yang bisa Anda baca di sini.

Penutup

Itulah tadi beberapa rekomendasi keyboard mechanical murah meriah terbaik. Bagi Anda yang ingin mencoba keyboard mechanical, pastinya salah satu dari keyboard di atas tidak akan membuat dompet Anda makin tipis wkwkwk…

Kompilasi Review GTA Trilogy Definitive Edition: Lebih Suram dari Cyberpunk 2077?

Tiga tahun setelah dirilisnya Red Dead Redemption 2 dan tujuh tahun setelah dirilisnya GTA V, para fans tak sabar menunggu game baru dari Rockstar. Hal ini pun direspon oleh Rockstar dengan mengumumkan datangnya veris remastered dari GTA Trilogy (GTA III, GTA Vice City, dan GTA San Andreas).

Pengumuman mendadak dari Rockstar pada 10 Oktober 2021 lalu memang mendapat respon yang cukup beragam dari para fans. Beberapa ada yang menyambut gembira keputusan Rockstar membawa kembali tiga game legendarisnya tersebut. Namun tidak sedikit yang skeptis mengenai kehadiran game ini karena informasi yang sangat minim dan mendadak.

Semuanya ternyata terbukti ketika game-nya akhirnya dirilis. Sayangnya hingga artikel ini dibuat hanya sedikit media yang memberikan ulasan terhadap game ini, sedangkan para gamer menghujani platform review seperti Metacritic dengan review dan skor negatif. Berikut kompilasinya:

Pembaruan grafis yang tidak menyeluruh

Salah satu nilai jual utama dari GTA Trilogy Definitive Edition ini tentu ada pada grafis. Sebagai game yang mendapatkan remastered para fans tentu berharap ada peningkatan yang cukup besar pada sektor ini. Apalagi pada awalnya, Rockstar menyebut bahwa remastered ini menggunakan Unreal Engine 4 yang dikenal karena kualitasnya. Namun sayangnya hal tersebut cukup bercampur aduk saat game-nya dirilis

Rockstar memang mengumumkan bahwa mereka memilih masih tetap menggunakan style grafis yang sama dari ketiga game originalnya. Namun ketiga game-nya memang mendapatkan peningkatan pada tekstur, detail karakter, pencahayaan, hingga beberapa efek lainnya. Kombinasi antara kedua aspek grafis tersebut memang menimbulkan reaksi beragam, IGN bahkan menyebut hal tersebut seperti memasangkan stiker beresolusi tinggi ke sebuah set Lego yang sudah berumur.

Apalagi ternyata Rockstar dan Groove Street Games (yang juga bertanggung jawab dengan proses remaster) tidak benar-benar membuat ulang game-nya dengan Unreal Engine 4, namun lebih menggunakan semacam teknologi A.I. untuk mengonversi tekstur di game lamanya. Hal ini memang mempermudah proses remastered, namun membawa dampak negatif terutama untuk para karakter. Gamespot juga mengungkapkan bahwa “operasi plastik” yang dilakukan terhadap remastered ini menghilangkan sisi manusiawi dari para karakter.

Cerita nostalgia yang tetap memesona

Sebagai seri remastered, GTA Trilogy Definitive Edition tentunya menawarkan kembali tiga kisah klasik dari seri legendarisnya tersebut. Rockstar sendiri tidak menyentuh sama sekali aspek naratif ini sehingga terlepas dari tampilan cut-scenes yang kini terasa lebih modern, cerita yang diusung tidak berubah sedikit pun.

Efek nostalgia, terutama bagi mereka yang dulu sudah memainkan ketiga game ini memang sangat kuat. Kisah ketiga karakter ikonik ini tetap tampil mempesona dengan beragam intrik dan juga masalah yang harus mereka hadapi masing-masing. Tidak hanya karakter, namun tiga latar kota dengan era ikoniknya masing-masing juga berusaha dipertahankan oleh Rockstar.

Namun sayangnya perlakuan Rockstar terhadap masing-masing game ini cukup berbeda. Gameranx menyebut bahwa GTA 3 adalah seri yang paling sedikit mendapat perhatian. Sedangkan Desructoid menyebut GTA Vice City yang paling mendapat paling banyak kasih sayang dalam remastered ini.

Pernyataan tersebut pada akhirnya dapat dipahami karena hasil akhir dari Vice City terlihat lebih indah dan matang dari semua aspek. Sedangkan GTA III adalah yang paling terasa dikerjakan seadanya untuk melengkapi trilogi ini. Untungnya San Andreas berada di titik tengah yang membuatnya cukup nyaman dinikmati.

Minim Inovasi yang membuatnya kurang memiliki nilai lebih

Bisa dibilang satu-satunya ubahan yang dilakukan Rockstar terhadap ketiga game remastered ini ada pada fitur weapon wheels (dan radio wheels) yang diadaptasi dari GTA V. Untungnya, fitur ini benar-benar sangat membantu sekaligus memberikan rasa berbeda bagaimana Anda memainkan game GTA klasik ini.

Sebenarnya ada fitur lain yang cukup membantu yang checkpoint. Mereka yang telah memainkan ketiga game originalnya pasti paham bahwa mayoritas misi dalam ketiga game tersebut tidak memiliki sistem checkpoint. Dengan adanya fitur ini, Anda bisa melanjutkan misi tanpa harus terlempar jauh jika gagal atau mati.

Yang terakhir adalah kemampuan untuk meletakkan titik tujuan (map marker) agar GPS dapat mengarahkan Anda ke lokasi tersebut. Hal ini memang membantu navigasi terutama bagi mereka yang tidak familiar dengan Liberty City, Vice City, ataupun San Andreas yang memiliki tiga bagian besar.

Sayangnya, ketiga fitur tambahan ini pun terasa tidak sempurna. Terutama untuk fitur-fitur yang diimplementasikan pada GTA III dan Vice City.  Fitur bidikan musuh yang baru terasa kaku dan janggal terutama pada Vice City dan III. Checkpoint yang seharusnya ada juga tidak selalu bekerja seperti yang dialami Shubhankar Parijat dari Gamingbolt yang tetap harus mengulang misinya dari awal.

Portingan setengah hati yang meninggalkan banyak masalah

Tiba waktunya untuk berbicara mengenai masalah utama dari ketiga game remastered ini secara keseluruhan, yaitu porting. Dalam prakteknya, ketiga game ini memiliki optimalisasi yang kurang baik, terutama untuk platform Switch. Bahkan Nintendolife mengatakan bahwa mereka mengalami grafis yang terlhat blur, kontrol yang tidak lancar, frame rate yang tidak stabil, kualitas audio yang rendah, waktu loading yang lama, dll.

https://www.youtube.com/watch?v=-QmcF-ecnJw

Bahkan permasalahan performa ini juga dialami hampir di semua platform termasuk PlayStation 5 yang di beberapa saat akan mengalami stutter dan bahkan freeze. Belum lagi dengan beragam bug dan glitch yang banyak dialami oleh banyak pemain dari berbagai platform. Beberapa Youtuber bahkan kini membuat kompilasi dari kumpulan bug dan glitch yang dialami para pemain dari ketiga game “Definitive” ini.

Kesimpulan

Pada akhirnya, GTA Trilogy Definitive Edition ini tampil tidak lebih dari ketiga game originalnya dengan sedikit improvisasi di sana-sini. Namun improvisasi tersebut harus dibayar mahal, karena ada beberapa aspek yang akhirnya dikorbankan. Salah satu yang paling utama adalah ‘nyawa’ dan atmosfer yang ada pada game aslinya.

Belum lagi masalah teknis karena optimalisasi yang buruk yang menyebabkan berbagai glitch terjadi. Hal ini membuat fans fanatik seri GTA marah dan frustasi. Tidak mengherankan bila mereka meluapkannya dalam postingan media sosial maupun di Metacritic yang saat review ini dibuat berada di 0,5.

Detail GTA Trilogy Definitive Edition

Platforms: PC Windows, PlayStation 5, PlayStation 4, Xbox Series X|S, Xbox One, Nintendo Switch
Price: Rp829 ribu (Rockstar Games Store), Rp829 ribu (PS Store), US$59.99 (Xbox) $59.99 (Nintendo Store)

PC Minimum Specs:
OS: Windows 10 64-bit
Processor: Intel® Core™ i5-6600K / AMD FX-6300
Memory: 8GB
Graphics: Nvidia GeForce GTX 760 2GB / AMD Radeon R9 280 3GB
Disk: 45GB

PC Recommended Specs:
OS:
Windows 10 64-bit
Processor:
Intel® Core™ i7-2700K / AMD Ryzen 5 26000
Memory:
16GB
Graphics:
Nvidia GeForce GTX 970 4GB / AMD Radeon RX 570 4GB
Disk:
45GB

The History of Random Access Memory: From Drums to DDR5

The Random Access Memory, or RAM, of a computer plays a quintessential part in allowing the computer to execute processes and programs. Unlike its counterpart, the ROM (Read Only Memory), the RAM’s memory is actually not permanent or volatile in proper terms. Hence, once the computer is shut down, the contents of the RAM will cease to exist. Therefore, the RAM is not used to store permanent information like the OS program, Input/Output systems, and other necessary utilities. Rather, it acts as the temporary space where the CPU can execute its computations and run your programs or games. This is why most gamers care less about the storage size of ROMs and more often emphasize the RAM when discussing gaming computers.

There are also two primary types of RAM in existence today, namely the Dynamic (DRAM) and Static (SRAM) RAM, with their own specific uses. Of course, this was not the case back in the day. In fact, the RAM has evolved and gone through many different iterations that have upgraded its power and simplified its structure into the minuscule yet complex hardware we know RAM of today. So, let’s take a look at the full history of the RAM, from its initial invention to the recently released state-of-the-art DDR5.

But before that, you will need some basic understanding of the job of RAMs in the computer. For RAMs to work, it needs to be able to read and write information. In other words, we must be able to store information and give that information back to the computer. The reason why we keep getting new iterations of RAM is to speed up each of these two operations. Simple enough? With that out of the way, let’s proceed.

 

Drum Memory

Source: Wikipedia

The first resemblance of a RAM was called Drum memory, invented in 1932 by Gusta Tauschek. Technically speaking, a Drum memory does not fully function as a modern-day RAM and is much more suited to be an HDD or hard disk drive. However, in those olden times, there was no reason to separate the main working memory or secondary memory, which is why we still could consider a Drum memory to be the first generation of RAM. 

So how does this ancient technology work? A drum memory’s outside surface is coated using a ferromagnetic material, which acts as the storage that saves binary information. Think of it as a disk or but 100 times larger. There are also read-write heads are positioned above the ferromagnetic surface to input or extract information. If you want to write information into the drum memory, an electromagnetic pulse is produced and the orientation of the magnetic particle in the surface is altered to store the binary information. If we want to perform a read, we can simply scan the intricate orientation of each magnetic particle along the surface. This is as simple as it gets when dealing with a Drum memory.

However, to optimize read-write speeds, we must have a great deal of knowledge of the structure of each hardware component. Programmers, in particular, were constrained to optimum programming, where they strictly position their code in the drum to minimize instruction loading time (also known as skip factor or interleaving). Despite all of these difficulties, drum memory was the primary choice of computer memory for more than two decades since the 1950s due to its efficient memory retrieval and low costs.

 

Vacuum Tube Memory

Source: Wikipedia

As mentioned previously, Drum memory acts much closer to a disk rather than a RAM due to its non-volatile nature. Thus, the first true grandfather of the RAM is actually the Williams Tube. The Williams Tube was invented in 1949 by Freddie Williams and Tom Kilburn. It utilizes the same exact technology as first-generation bulky TVs, which is the cathode ray tube. The memory writing works by sending an electron beam, deflecting it off with positively charged coils, and striking the phosphor surface to make the grid patterns shown below.

Williams Tube bit pattern | Source: computerhistory.org

These patterns represent the binary information that can be read by the computer. Like modern-day RAMs, the Williams Tube is non-volatile since these patterns will fade over time and the electron beams can overlap read-writes in each pattern spot. However, the Williams Tube’s major flaw lies in the electron beam deflection process, which is highly sensitive to nearby electrical fields. If there are any charge imbalances surrounding the cathode ray tubes, write operations can severely be compromised. The Vacuum Tube memory was first implemented on the Manchester Baby computer, allowing the computer to successfully run programs in June 1948.

 

Magnetic Core Memory

Source: cs.odu.edu

The Magnetic Core memory was considered the commercial RAM for computers in the 1950s up to the 1970s, essentially displacing the use of Drum memory for random-access purposes. The hardware is comprised of many magnetic rings (or core), which can store information due to a phenomenon called Magnetic Hysteresis. Simply put, these rings can remember information by altering the direction of the magnetization. We can change the polarization of these magnets (or input information) by conducting an electrical current to the many wires that run through the rings. As for the read operation, there is a special sensing wire to detect the charge state of each core extract the corresponding binary data.

Before the meta-defining transistors became the norm, these humongous magnetic core memory was the only solution for random access. However, you might be surprised that core memory is actually non-volatile, unlike a normal RAM. Instead, it falls into the category with which we know today as NVRAM. Core memory is able to retain information when the computer is shut-down because the magnetic rings can maintain their polarization.

Static Random Access Memory

Things took a turn after the invention of the metal-oxide-semiconductor or MOS memory in 1964. In short, MOS Memory was able to significantly outperform magnetic core memory while consuming less power and being cheaper to produce. Most importantly, however, MOS memory was able to be shrunk down into small chips that can easily be fitted inside a computer. It quickly took over the market and drove core memory out of fashion

Following the development of MOS, Robert H. Horman invented the first static random-access memory (SRAM) in 1963. A year later the MOS SRAM was invented by John Schmidt. IBM finally utilized SRAMs commercially when they released the SP95 memory chip in 1965.

A typical 6-transistor SRAM cell | Source: researchgate.net

It is not really easy to explain how an SRAM operates since you will require some degree of knowledge in electrical physics. In any case, the most important thing to note here is that SRAMs typically use 6 (MOSFET) transistors to store a bit of memory (either a 0 or 1). You can supply an electrical current accordingly to charge up these transistors and store the binary information, which will stay persistent when supplied with power. The term Static comes from the fact that it does not have to be recharged or refreshed periodically, opposite its counterpart DRAM. Consequently, SRAMs also consume much less power and are used to store more persistent data such as caches or registers that require brief but fast access times.

You might already realize that SRAM is not the RAM that you are probably thinking about. If you are taking a look at computer specs and see the RAM details, that is referring to DRAM. SRAMs also do not get the same amount of attention or development as DRAMs, since it plays a less significant factor in increasing computing power. Furthermore, SRAMs are much more expensive and take up a great deal of space compared to DRAMs. The history of the SRAM’s development is also expectedly boring. For instance, the latest iteration of SRAM was released by Hyundai in 1995 and still uses the same exact same MOSFET technology that was created 3 decades prior.

Dynamic Random Access Memory

Source: HP

We can now discuss the nitty-gritty part of the topic, DRAMs. As mentioned previously, DRAMs are what we would describe today as RAMs. It functions as the main memory for most computers and provides the required space for programs codes to run properly. This is why DRAMs are more important when talking about PC specifications, as it essentially plays a significant part in affecting a computer’s processing power.

So what distinguishes DRAMs from SRAMs? And why can’t they both switch up their jobs on a computer? The answer lies in the structure of both hardware. While SRAMs mostly use 6 transistors to store one bit of information, DRAMs are able to only use 1. Therefore, DRAMs, by their design, are much smaller have a greater storage density. Its relatively simple structure also makes DRAMs much cheaper per bit compared to SRAMs.

Conventional DRAM circuit design, notice its simplicity over the SRAM | Source: allaboutcircuits.com

Instead of using 5 extra transistors, DRAMs utilize capacitors to store the information. Capacitors are similar to rechargeable batteries. If the capacitor is charged, it means that it stores a 1. If it is uncharged, it stores a 0. The main caveat of DRAM’s design is that they must be periodically refreshed (hence the dynamic name) to retain information since capacitors slowly leak their charge away. This is the reason why SRAMs are more power-efficient in the long run. However,

The idea for creating DRAMs initially came up in 1966 when Robert H. Dennard was working on the SRAM technology. Dennard realized that a capacitor can be created using the same MOS technology and use transistors it up. And thus, DRAMs were born. The new memory technology was commercialized in 1969 by Honeywell, and, at this point, DRAMs were able to store 1000 bits or 1kbit of data. Unfortunately, this iteration of the DRAM, called 1102, had many problems that didn’t appeal to the market. Intel, which previously worked with Honeywell, eventually redesigned the DRAM and created a brand new chip on their own, called 1103. This was the first DRAM chip that was truly commercially ready and available for the public.

DRAM technology was upgraded in 1973 when Mostek released its MK4096 4000-bit chip. Designed by Robert Proebsting, the new DRAM made a significant breakthrough by utilizing an effective multiplexed addressing scheme. Essentially, this new design uses single address pins to access memory rows and columns by doing it in turn. In previous DRAMs, you would have to do this with two pins and address lines. Of course, reducing the number of pins also drops significantly down manufacturing costs, especially when memory size and density grow larger.

Mostek MK4096 4-Kilobit DRAM | Source: IEEE Spectrum

Mostek released the second iteration of its new DRAM chip called the MK4116, this time having 16 kbit of storage. The MK4116 chip proved to be very popular in those times and managed to own 3 quarters of the worldwide DRAM market share at one point. The last commercially produced chip was made by Samsung in February of 2001 with a capacity of 4 Gbit, and that seals the deal with the DRAM era.

But, of course, the RAM story did not end in 2001. Instead, it marked a transition towards a more advanced type of RAM called synchronous dynamic random-access memory or SDRAM.

Synchronous Dynamic Random Access memory

The primary difference between SDRAM and DRAM lies in their names. Regular DRAMs operate asynchronously with respect to the computer’s system clock, while SDRAMs will always stay synchronized. As a result, read-write operations of SDRAM are far more efficient and fast compared to DRAMs. The memory structure of SDRAM is also divided into a number of memory banks that allow for concurrent accesses, which improves speed yet again.

Samsung coincidentally was also the first manufacturer of the SDRAM chip called KM48L2000, which has a measly capacity of 16 Mbit. In June 1998, Samsung began experimenting with the DDR or Double Data Rate technology. DDR essentially allows data transfers to occur twice as fast compared to normal SDRAMs since it is able to send or receive signals two times per clock cycle. 3 years later, DDR2 was created, which doubles the speed of DDR1 yet again since it performs access four times per clock cycle. At this point, however, most large RAM manufacturers out like Sony and Toshiba there haven’t jumped into the DDR hype train, putting more effort into producing embedded DRAMs or eDRAMs

DDR3 was eventually developed in 2003 by, you guessed it, Samsung. Again, DDR3 doubled the read-write rate to 8 accesses per cycle. Despite all the increase in speeds, its progress is still heavily held back with latency or most commonly known as CAS latency. CAS Latency pertains to the delay between the RAM in responding to data access requests and, obviously, the lower latency the better. Unfortunately, the CAS latency increases as we continue to double our data rate, which means that slower SDRAMs might have a marginally lower “true” latency (latency that we experience).

Unlike the previous iterations of DDR, DDR3 gained widespread adoption by manufacturers and by the general users as well. Starting from mid-2008, Samsung began to commercialize DDR3 chips, initially with a capacity of 8192 Mbit. The chips were a massive hit and many computer systems in that time begin opting to use the DDR technology. Consequently, Samsung continued to upgrade the capacity and clock rates of the DDR3 to combat the aforementioned problem of latency. Another relatively new player in the RAM manufacturing business also began to jump into the DDR3 fray called SK Hynix. Both the Korean tech companies create the necessary competitiveness in the market to constantly improve the DDR3 technology to the next level.

Information about DDR4 was teased at Intel Developer Forum in 2008, which was expected to be released in 2011. Hynix struck first and released a DDR4 prototype in early 2011 with a capacity of 2048. The new double data rate tech promised a lot of things, lower power consumption (1.2v compared to 1.5v) and faster data transfers just to name a few. Samsung eventually commercialized its DDR4 chip in 2013, but most people have grown accustomed to its predecessor DDR3. Thus, the DDR4 technology only gained widespread adoption later in 2015.

As for the latest iteration of the DDRAM, we have DDR5. The JEDEC standards of DDR5 were already significantly delayed by 2 years after its initial expected release in 2018. Many manufacturers have also begun laying down their plans to release their DDR5 chips, some even already have put them out on the market for purchase.

However, you should probably not get your hands on a DDR5 as of now. Indeed, like all DDRAM updates, there is always a speed or performance gain. DDR5 also further decreases the memory voltage down to 1.1v compared to the 1.2v of the DDR4. Despite all these merits, DDR5s are probably not stable or compatible with most hardware or processors out there. The price of this new RAM also speaks for itself. DDR4, despite being more than 7 years old, is probably still the most suitable RAM to use as of now.

Conclusion

The DDR5 marks end of the history of the Random Access Memory, one of the most sought-after hardware components when discussing computing speed. If we take a look back again at the progress of the RAM, we were able to shrink giant-like magnetic core structures that used to fill up a whole room into minuscule pocket-sized hardware while exponentially increasing its storage capacity and access effectivity. That right just goes to show another feat of human intelligence and the immense power it beholds.

Featured Image: Freepik

Review Forza Horizon 5: Penyempurnaan Game Balap Open World yang Menyenangkan

Sembilan tahun sejak dirilisnya Forza Horizon pertama, Playground Games memang seakan terus menyempurnakan dan mematangkan resep game balap open-world mereka tersebut. Daya tarik utama dari game ini berada lokasi game yang selalu unik pada setiap serinya dan juga koleksi mobil yang masif dan beragam. Forza Horizon tumbuh dan berkembang sebagai sebuah game yang selalu dinanti setiap seri barunya.

Seri sebelumnya, yaitu Forza Horizon 4 sudah berumur 3 tahun dan para fans di seluruh dunia sangat bersemangat saat Microsoft mengumumkan kedatangan Forza Horizon 5 pada gelaran E3 2021 bulan Juni lalu. Setelahnya, hype untuk game ini terus terbangun dengan sendirinya dan semakin melonjak ketika berbagai media gaming mayoritas memberikan penilaian yang sangat positif terhadap game ini.

Lalu, apakah Forza Horizon 5 memang layak mendapatkan nilai sempurna 10/10, ataukah semua itu hanyalah penilaian “overrated” terhadap game ini? Berikut review-nya:

Grafis berumur yang tetap menakjubkan

Image Credit: Playground Games

Kami tidak akan menyangkal bahwa Forza Horizon 5 tetap menyajikan salah satu grafis terbaik yang pernah diusung oleh game balap atau video game secara keseluruhan. Mulai dari detail mobil hingga ke berbagai detail yang ada di lingkungannya ditampilkan dengan indah lewat pendekatan photorealistic. Namun harus diakui bagi mereka yang sebelumnya telah memainkan seri sebelumnya, grafis yang ditawarkan pada seri kelima ini bukanlah lompatan yang tinggi dari Forza Horizon 4 karena memang basis game engine yang digunakan masih sama.

Meskipun begitu, hal ini bukan sesuatu yang buruk. Playground Games tetap memberikan improvisasi visual terutama untuk pencahayaan, efek-efek seperti asap yang keluar dari roda, hingga berbagai detail pemandangan yang jauh-jauh lebih bervariasi ketimbang latar Inggris di Forza Horizon 4. Hal tersebut semakin terasa menakjubkan karena sang developer dapat memberikan performa yang sangat optimal bagi Forza Horizon 5 meskipun dengan berbagai peningkatan yang dilakukan.

Meksiko yang eksotis dan menantang untuk dijelajahi

Salah satu nilai plus (atau bahkan sempurna) dari seri Forza Horizon adalah bagaimana Playground Games selalu membangun dunia open-world yang terus terasa unik dan fresh. Dan bila sebelumnya Playground Games telah melakukan tugas yang memukau dengan mengemas miniatur Inggris dan Skotlandia lewat Horizon 4, mereka meningkatkan standar mereka lewat Meksiko di Horizon 5 ini.

Memperluas mapnya hingga 50% memang memberikan kebebasan ekstra bagi Playground Games untuk menghadirkan beragam hal. Apalagi Meksiko memang menawarkan variasi lokasi dan kondisi lingkungan yang berbeda-beda. Mulai dari padang pasir, gunung berapi, hingga hutan tropis. Beragam pemandangan eksotis tersebut berhasil dihadirkan ke dalam dunia Forza Horizon 5 dengan realistis. Dunianya ditampilkan cukup padat dengan berbagai lokasi menarik yang akan membuat pengalaman mengemudi para pemain tidak akan membosankan. Namun ia juga tetap memberikan ruang bagi mereka yang ingin memacu kecepatan mobilnya hingga maksimal.

Improvisasi penting bagi para pecinta mobil

Selain improvisasi visual yang telah kami bahas sebelumnya, Forza Horizon 5 juga memberikan improvisasi pada salah satu aspek penting yang cukup dipermasalahkan di seri sebelumnya yaitu suara. Dengan koleksi mobil yang mencapai ratusan, memang cukup sulit bagi Playground Games membuat suara mobil yang akurat untuk satu per satu mobil. Namun, untungnya hal tersebut kini mendapat perhatian khusus dari sang pengembang sehingga suara mobil-mobil yang ada dalam game ini lebih realistis dan juga berbobot.

Ubahan lainnya yang tidak kalah penting adalah kemampuan untuk memodifikasi mobil baik untuk visual maupun mesin. Beberapa mobil kini memiliki modifikasi body kit dan juga aksesoris baru lain yang akan membuat setiap mobil tampak lebih menarik. Dari sisi mesin, para pemain kini juga dapat mendengarkan efek suara yang berubah karena modifikasi terhadap komponen mesin yang diganti. Hal ini menjadi sentuhan unik yang membuat Forza Horizon 5 ini dicintai.

Bersiap menjadi kolektor dan mencari mobil terbaik

Image Credit: Playground Games

Mobil tentunya menjadi nyawa utama bagi seri Forza Horizon dan Horizon 5 meneruskan hal tersebut dengan koleksi mobil yang semakin banyak. Microsoft menyebutkan bahwa ada lebih dari 500 mobil dalam Forza Horizon 5 ini yang terdiri dari beragam jenis mobil mulai klasik hingga yang paling baru. Koleksi yang masif tersebut memang menjadi salah satu kelebihan dari Forza Horizon ketimbang game balap yang lain. Setiap mobil juga memiliki feel berkendaranya masing-masing. Sehingga pemain nantinya akan melalui tahapan penyesuaian hingga pada akhirnya menjadikan satu atau beberapa mobil sebagai mobil favoritnya.

Forza Horizon 5 juga tetap mempertahankan beragam cara untuk mendapatkan mobil-mobil tersebut. Pemain dapat membelinya langsung lewat showroom dalam game-nya, atau mencari yang lebih murah lewat rumah lelang atau Auction House, hingga mencoba peruntungan untuk mendapatkan mobil-mobil berstatus khusus lewat wheelspin. Selain tiga cara utama tersebut, beberapa mobil juga akan didapatkan lewat balapan, menyelesaikan progres game, dan bahkan menemukan mobil pemberian pemain lain yang tersembunyi di seantero map.

Menyelami kultur balapan Meksiko yang tidak kalah eksotis

Seiring berkembangnya seri Forza Horizon, Playground Games memang terus menyuntikkan lebih banyak jenis balapan ke dalam game-nya. Hal tersebut dilakukan juga untuk mengakomodasi berbagai jenis mobil yang masuk ke dalam game-nya, sekaligus mengabulkan keinginan dari berbagai komunitas pecinta game balap mobil. Playground Games dengan cerdik mengintegrasikan berbagai tipe balapan tersebut ke dalam campaign-nya. Sehingga para pemain akan tetap menjajal berbagai tipe balapan tersebut untuk dapat melanjutkan game-nya.

Tercatat setidaknya ada 6 jenis balapan yang ada di dalam Forza Horizon 5 ini, antara lain road race, dirt race, cross country race, drag race, dan juga stunts. Setiap balapan akan membutuhkan mobil dan konfigurasinya masing-masing. Meskipun pemain sebenarnya dapat mengubah mobil apapun menjadi mobil untuk tipe balapan apapun.

Selain balapan, Forza Horizon 5 juga membawa berbagai aktivitas lain yang berhubungan dengan mobil seperti Horizon Arcade yang merupakan kumpulan mini games yang diadakan secara acak di map. Kemudian ada juga EventLab yang berisikan berbagai custom game yang dibuat oleh komunitas.

Kesimpulan

Forza Horizon 5 menjadi penyempurnaan Playground Games untuk membuat sebuah game balap open-world yang cocok bagi banyak orang. Dengan segala peningkatan yang dilakukan mulai dari sektor grafis, physics, hingga ke fitur-fitur baru, Forza Horizon 5 mencoba menjangkau lebih banyak gamer sebisa mungkin. Hal tersebut terbilang berhasil melihat bahwa game-nya kini telah menembus angka 6 juta pemain.

Dengan kebebasan yang diberikan ke pemain untuk mengatur hampir semua aspek mulai dari penampilan karakter, tampilan mobil, hingga ke pengaturan balapan, pemain memang dapat mencari titik ternyaman untuk menikmati game ini sesuai preferensi masing-masing. Selain segudang konten yang akan memakan waktu lama untuk dinikmati satu-persatu ditambah dengan koleksi mobil yang masif, pemain juga bisa sekadar berjalan-jalan dengan mobil favoritnya menyusuri jalanan Meksiko yang penuh dengan pemandangan indah.

Pada akhirnya, Forza Horizon 5 memang dibuat sebagai sebuah taman bermain raksasa bagi para pecinta mobil ataupun yang baru pertama mencoba game balap. Tidak ada konsekuensi untuk memainkan game ini di level terendah, ataupun tidak mengikuti mode kompetitif online yang dimiliki. Karena pada dasarnya game ini memang dibuat gara gamer dapat bersenang-senang sendirian ataupun bersama-sama.

Details Forza Horizon 5

Platforms: Xbox Series X|S, Xbox One, dan Windows
Price: US$59.99 (Xbox), Rp699 ribu (Steam)
PC Recommended Specs:
Requires a 64-bit processor and operating system
OS: Windows 10 version 15063.0 or higher
Processor: Intel i5-8400 or AMD Ryzen 5 1500X
Memory: 16 GB RAM
Graphics: NVidia GTX 1070 OR AMD RX 590
DirectX: Version 12
Network: Broadband Internet connection
Storage: 110 GB available space

Build Thoma Genshin Impact Terbaik: Artefak, Senjata, Komposisi Tim, dan Tips

Setelah sekian banyak karakter baru yang dirilis, akhirnya Genshin Impact mengeluarkan sebuah karakter shielder baru. Karakter terakhir yang menyediakan shield yang kuat adalah Zhongli, yang dirilis pada November 2020.

Setelah setahun berlalu, Zhongli sudah terbukti unggul dalam melindungi anggota tim lain. Bagaimanakah dengan Thoma? Apakah ia mampu menggapai standar yang dipasang Zhongli?

Overview

Thoma merupakan karakter Pyro bersenjata polearm bintang 4, yang skilset-nya berfokus pada penyediaan shield dan pengaplikasian Pyro. Genshin Impact mendeskripsikan Thoma sebagai karakter pendukung yang mampu melindungi dan menyerang secara bersamaan. Hal tersebut dicerminkan lewat Elemental Burst-nya, yang akan memberikan damage Pyro beserta shield.

Walaupun sama-sama menghasilkan shield, Thoma memiliki keunikannya tersendiri saat dibandingkan dengan karakter shielder lain, seperti Zhongli, Diona, Xinyan, Noelle, atau Beidou (C1). Simak penjelasan cara kerja shield Thoma berikut ini:

sumber: Genshin Impact

Mekanik Shield

Ketika karakter lain menciptakan shield saat di arena terdapat shield dengan jenis yang sama, maka shield sebelumnya langsung digantikan dengan shield yang baru, tanpa menghiraukan properti shield sebelumnya.

Hal tersebut berbeda dengan sistem penumpukan atau stacking milik Thoma. Setiap kali ia mendapatkan shield baru, kekuatan shield yang baru akan menerima sisa dari kekuatan shield yang lama. Selain itu, durasinya juga akan di-refresh.

Untuk menumpuk shield, dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu melalui Elemental Skill dan Burst. Saat mengaktifkan Elemental Skill, Thoma langsung mendapatkan sebuah shield. Shield yang diciptakan dengan cara ini, memiliki ketahanan yang lebih kuat, dibandingkan dengan shield dari Elemental Burst.

Untuk mendapatkan shield dari Elemental Burst-nya, caranya sedikit berbeda. Saat mengaktifkan Elemental Burst, shield-nya tidak langsung terbentuk. Pemain perlu melakukan Normal Attack, untuk memicu Scorching Ooyoroi, yaitu serangan Pyro di depan karakter.

Jadi setiap kali sebuah karakter melakukan Normal Attack selama durasi Elemental Burst-nya masih aktif, maka sebuah shield akan terus terbentuk dan ditumpuk, dengan durasi yang akan selalu di-refresh. Melalui talenta pasifnya, setiap kali shield ini di-refresh, maka karakter yang mendapatkannya akan mendapat tambahan 5% Shield Strength hingga lima kali, dengan hasil maksimum 25% Shield Strength.

Jadi, jika Anda bisa menguasai permainan Thoma, maka shield Thoma akan awet dan kuat. Dapat dikatakan, bahwa kekuatan shield Thoma berbanding lurus dengan lamanya durasi pertarungan.

sumber: Genshin Impact

Sebagai karakter support, Thoma memiliki beberapa kelemahan. Hal yang paling terasa saat memakai Thoma adalah kebutuhan energinya sebesar 80. Maka dari itu, Thoma memerlukan Energy Recharge yang tinggi, yakni sekitar 200-230%, terutama untuk C0. Hal tersebut dapat dicapai melalui senjata dan artefak.

Selain permasalahan energi, base HP Thoma juga terbilang rendah, apalagi untuk sebuah karakter yang shield-nya diambil berdasarkan HP. Selain itu, Thoma memerlukan beberapa saat untuk menumpuk shield optimalnya, dibandingkan dengan karakter lain yang langsung menyediakan shield optimalnya saat pengaktifan skill.

Karena sistem stacking inilah Thoma cocok disandingkan dengan DPS yang sering menggunakan Normal Attack. Thoma merupakan pasangan yang cocok dengan Hu Tao, karena Hu Tao lebih memerlukan shield daripada heal.

sumber: Genshin Impact

Performa sebagai sub DPS?

Sebelum Thoma dirilis secara resmi, banyak pemain yang berharap bahwa ia akan mirip dengan Xingqiu, dengan Elemental Burst yang akan memberikan efek Pyro secara konsisten. Namun setelah dirilis, Thoma ternyata memiliki sebuah kendala yang membuatnya tidak cocok dipakai sebagai sub DPS maupun enabler, yakni internal cooldown.

Apa itu internal cooldown di Genshin Impact? Secara sederhana, internal cooldown merupakan sebuah jeda bagi sebuah karakter, dalam mengaplikasikan sebuah elemen. Dalam kasus Thoma, ia tidak mampu memberikan status Pyro terhadap musuh dalam setiap gelombang Pyro dari Elemental Burst-nya. Ia dapat mengaplikasikan Pyro sekali per tiga serangan.

sumber: Genshin Impact

Itu artinya, Thoma tidak dapat mereaksikan berbagai reaksi elemen Pyro dengan stabil, seperti Vaporize, Melt, dan Overload, menjadikan damage yang ia hasilkan tidak dapat diamplifikasi.

Ditambah lagi, multiplier talenta Elemental Burst Thoma memiliki angka yang cukup kecil. Contoh karakter lain yang memiliki permasalahan serupa adalah Yoimiya yang dirilis beberapa saat lalu.

Adanya internal cooldown dapat ditafsirkan sebagai sebuah kekurangan sekaligus kelebihan Thoma. Sebagai sub DPS, adanya internal cooldown sangat mengganggu.

Namun sebagai shielder, khususnya saat bersama Hu Tao, Thoma akan jarang mengambil efek Hydro dari Xingqiu sehingga tidak akan mengganggu reaksi Vaporize dari Hu Tao dan Xingqiu. Maka dapat disimpulkan bahwa Thoma didesain untuk melengkapi kebutuhan Hu Tao.

Artefak

Sebagai shielder, pilihan artefaknya tidak terlalu banyak. Jika Anda tidak memiliki karakter lain yang memakai 4 Noblesse Oblige, maka Anda bisa memakai artefak tersebut untuk Thoma untuk memberikan buff tambahan untuk satu tim.

Namun jika sudah ada karakter lain dengan 4 Noblesse Oblige, atau jika Anda kesulitan mengumpulkan 4 Noblesse Oblige dengan main stat yang sesuai, Anda bisa memakai 2 Tenacity of the Millelith dan 2 Emblem of Severed Fate sebagai alternatif.

Untuk 4 Emblem of Severed Fate tidak disarankan untuk Thoma karena multiplier Elemental Burst-nya yang relatif kecil dan susah mendapatkan reaksi elemen.

Main stat yang dicari: HP% / Energy Recharge ; HP% ; HP% / Crit Rate (Favonius Lance).

Prioritas substat: HP% > Energy Recharge > flat HP > Crit rate/DMG > ATK%.

Senjata

Karena Thoma membutuhkan ER dan HP, maka pilihan senjata Thoma dapat ditentukan dari kebutuhan Thoma Anda. Jika membutuhkan ER, maka senjata yang direkomendasikan adalah Favonius Lance, Skyward Spine, Engulfing Lightning, The Catch, dan Prototype Starglitter.

Untuk Favonius Lance, Anda memerlukan setidaknya 30% sampai 50% Crit rate untuk mengaktifkan efek pasifnya. Anda bisa menaikkan Crit rate melalui substat artefak Anda atau dengan memakai Circlet Crit rate.

Jika Anda tidak memiliki polearm Energy Recharge atau mungkin sedang dipakai karakter lain, Anda bisa memakai Staff of Homa atau Black Tassel. Untuk menyeimbangkan statnya, Anda bisa memakai Sands Energy Recharge. Thoma dapat memakai Staff of Homa, karena senjata tersebut memberikan ekstra HP%.

Komposisi Tim

Thoma cocok sebagai shielder Hu Tao di tim Vaporize. Selain berfungsi sebagai shielder, Thoma dapat membantu menurunkan Pyro resistance musuh sekitar, dengan bantuan karakter Anemo.

Thoma akan mengaplikasikan Pyro terlebih dahulu, lalu karakter Anemo (Kazuha atau Sucrose) akan melanjutkannya dengan melakukan swirl Pyro, untuk mengaktifkan efek artefak Viridescent Venerer. Setelah itu dilanjutkan dengan Xingqiu dan Hu Tao.

Perlu diingat bahwa Hu Tao tidak bisa memberikan Pyro, tanpa merusak rotasi Hu Tao dan Xingqiu, sehingga kehadiran Thoma akan menyempurnakan tim Vaporize Hu Tao yang lebih agresif.

Dengan rilisnya Thoma, ada sebuah komposisi tim unik yang dapat Anda coba. Tim ini terinspirasi dari Aang dari Avatar: The Last Airbender. Tim ini mengkombinasikan serangan elemen Xingqiu, Thoma, dan Albedo, yang dipicu oleh serangan Sucrose sebagai enabler.

Secara damage, mungkin tim ini tidak sekuat Sucrose Taser (Electro-Charged), namun tim ini menarik untuk dicoba, jika Anda memiliki keempat karakter tadi.

sumber: Genshin Impact

Tips Thoma Genshin Impact

Berikut ini merupakan beberapa tips yang bisa Anda gunakan:

1. Apabila shield Thoma pecah saat Elemental Burst-nya aktif, Anda tidak perlu mengganti ke Thoma untuk membuat shield baru. Anda cukup melanjutkan serangan, maka akan terbentuk sebuah shield yang baru.

2. Konstelasi Thoma memiliki value yang beragam, tergantung situasi yang Anda hadapi. Namun secara umum, konstelasi yang disarankan C4. Dengan adanya refund energi, pemakaian Thoma akan lebih mudah. Namun Thoma sudah dapat digunakan saat ia C0, karena konstelasinya tidak menyentuh kekuatan shield-nya, kecuali C3 & C5 yang menambah level talenta seperti karakter lain.

3. Thoma tidak disarankan dimainkan sebagai baterai, karena cooldown Elemental skill-nya yang cukup lama dan partikel yang dihasilkan tidak sebanyak baterai Pyro lain, contohnya Bennet. Tidak adanya seri senjata Sacrificial untuk polearm juga menjadi alasan bagi Thoma sebagai baterai Pyro.

sumber: Genshin Impact

Penutup

Diperkenalkannya Thoma di Genshin Impact, menambah opsi baru dalam membentuk dan memainkan suatu tim. Kemampuannya dalam membuat shield sembari memberikan damage, merupakan adisi yang baik di Genshin Impact.

Walaupun Thoma memiliki beberapa kelemahan, namun bukan berarti ia tidak memiliki performa yang baik. Selama pemain mengerti apa potensi dan cara bermain Thoma, maka pemain dapat menikmati shield kuat yang awet, dengan sedikit damage Pyro area.

Kompilasi Review Call of Duty: Vanguard: Sensasi Perang Dunia II dengan Sudut Pandang Berbeda.

Call of Duty: Vanguard merupakan game terbaru untuk seri Call of Duty, yang dirilis pada 5 November 2021. Seri ini merupakan seri ke-18 dan mengangkat tema perang dunia kedua.

Setelah beberapa hari dirilis, beberapa media telah mengeluarkan pendapat mereka mencoba Call of Duty: Vanguard, baik kesan positif maupun catatan di beberapa aspek. Game ini mampu menyeimbangkan keakuratan sejarah dengan penggunaan narasi fiksi yang kuat.

Alur cerita kuat yang mampu mengenalkan beragam karakter dengan apik

sumber: Call of Duty: Vanguard

Seperti game Call of Duty yang lain, Call of Duty: Vanguard memiliki mode single-player dan multiplayer. Pada mode single-player-nya, pemain akan bermain di tahun 1945, tepatnya saat penghujung perang dunia kedua. Di sini pemain akan bertemu dengan empat tokoh yang nantinya dapat dimainkan. Tokoh-tokoh tersebut memiliki beragam latar belakang, dengan negara asal, jenis kelamin, dan ras yang berbeda.

Nantinya, mereka berempat akan tertangkap saat menjalankan sebuah misi, dan akan bertemu dengan tokoh antagonis, yang bernama Hermann Wenzel Freisinger, seorang perwira Nazi yang arogan dan ambisius. Sembari keempat tentara tersebut diintrogasi, pemain akan diberikan flashback, mengenai latar belakang dan masa lalu mereka satu per satu. Di dalamnya, akan diceritakan kehebatan mereka untuk mendapatkan predikat Special Forces.

VentureBeat menceritakan bahwa cerita ini yang menjadi daya tarik bagi pemain untuk membangkitkan motivasi untuk bermain multiplayer. Hal tersebut merupakan sebuah tujuan yang bagus bagi sebuah campaign single-player.

Bahkan PCGamesN memberikan kredit kepada penulis cerita Call of Duty: Vanguard, karena mampu menggambarkan Nazi dengan perspektif yang berbeda.

Nazi di game biasanya dipotretkan sebagai sebuah kelompok angkuh yang senang menyiksa tahanan. Namun di game ini, Nazi dicitrakan sebagai orang-orang rasis yang menjijikkan. Hal tersebut sangat cocok, saat ditabrakkan dengan keempat tokoh sebelumnya, yang sangat beragam.

Bermain di beragam situasi dengan karakter berbeda-beda

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, pemain akan berkesempatan untuk bermain dengan keempat tentara utama, yang tidak hanya memiliki perbedaan latar belakang, namun juga spesialisasi dan kemampuan khusus.

Selain itu melalui flashback masing-masing tokoh, pemain akan dibawa ke berbagai medan perang, dengan situasi yang berbeda, tanpa menarik plot cerita terlalu jauh. Hal tersebut memungkinkan pemain mencicipi sedikit suasana perang yang khusus, serta mencoba kemampuan masing-masing tokoh.

sumber: Call of Duty: Vanguard

Walaupun masing-masing tokoh mendapatkan highlight yang merata, IGN, GameSpot, dan VentureBeat sepakat bahwa cerita Polina Petrova lah yang memberikan kesan paling kuat. Ia merupakan seorang perawat Rusia yang menjadi seorang penembak jitu. Sosoknya terinspirasi dari Lyudmila “Lady Death” Pavlichenko, seorang pahlawan dari Uni Soviet.

Menurut PCGamesN, misi yang diberikan pada Call of Duty: Vanguard merupakan yang terbaik untuk seri Call of Duty. Perjalanan pemain akan dibagi ke beberapa fase melalui berbagai medan pertempuran.

Namun demikian, VentureBeat memberikan sedikit catatan untuk mode flying-nya. Mereka menyatakan mengalami kendala saat menjalankan misi pesawat tempur. Masalah tersebut adalah mereka mendapatkan adanya delay saat menekan tombol dan aksi di layar, yang menyebabkan masalah sinkronisasi feeling bermain.

Mereka juga menyatakan bahwa mereka kesulitan untuk menjatuhkan pesawat tempur lawan, dikarenakan banyaknya getaran, yang menyebabkan susahnya mengarahkan target. Permasalahan tersebut mereka alami juga di PlayStation 5, meskipun dengan kondisi berbeda, seperti terjadinya banyak aksi di medan perang.

Visualisasi Nuansa Perang yang Mendetail

sumber: Call of Duty: Vanguard

Sledgehammer, selaku Developer dari Call of Duty: Vanguard, memberikan usaha terbaik mereka, tak terkecuali di bagian grafisnya. Mereka mampu mendeskripsikan, bagaimana rasanya berada di posisi tentara yang ada di medan perang, khususnya perang dunia kedua.

VentureBeat menilai Call of Duty: Vanguard bak seorang sinematografer yang mendesain sebuah game. Detail yang diberikan sangat luar biasa. Pemain akan disuguhkan berbagai pemandangan dan efek ambiens kehidupan seperti sekumpulan burung yang terbang, menjadikan pengalaman bermain terasa lebih realistis.

IGN berpendapat bahwa facial animations di Call of Duty: Vanguard sangatlah mengesankan. Tidak banyak game yang dapat menyamai kualitas game ini, khususnya mengenai kualitas grafis setiap cutscene-nya. Selain grafis, IGN juga memuji sound design-nya juga.

Multiplayer seru, bermain dengan sesama player atau melawan Zombie

Call of Duty: Vanguard memberikan 20 map, dengan 16 total map multiplayer dan ditambah dengan beberapa mode unik, seperti mode Zombies dan Patrol Mode. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, campaign single-player-nya sangat menggugah semangat pemain untuk mencoba mode Multiplayernya.

Di mode Zombies. narasi yang dibawakan selaras dengan kelompok Nazi, yang identik dengan okultisme dan sering melakukan percobaan sadis. Atmosfer yang dibangun terasa menyeramkan, ditambah dengan suasana kota tua yang ditinggali banyak Zombie.

Bagi PCGamesN, mode Zombies sangatlah mengejutkan. Ia merasa bahwa mode tersebut cukup mengecoh, karena mudah di awal, namun tingkat kesulitannya dengan cepat meningkat. Di mode ini, pemain akan memulai misi di alun-alun Stalingrad, lalu pemain akan melewati beberapa portal untuk menumpas Zombie.

Penutup

sumber: Call of Duty: Vanguard

Sebagai game Call of Duty, Call of Duty: Vanguard masih dapat dikatakan lumayan bagus. Game ini cocok bagi para penggemar serial Call of Duty yang sedang menanti kelanjutan dari Modern Warfare. Hal serupa diungkapkan oleh Wesley Yin-Poole dari Eurogamer. Ia berpendapat bahwa Vanguard merupakan game filler yang menyenangkan, namun kurang berkesan.

The Bizarre World of Cheating and Hacking in Video Games

Cheaters or hackers are definitely a unique species that are constantly frowned upon in the gaming community. Most of the honest players never even understood why they resorts to hacks in the first place. Are they bad at the game? Are they too lazy to learn, practice, and grind? How do they find enjoyment in accomplishing feats that they didn’t work for?

Although most of us categorize cheaters into one sociopathic, evil, and ill-driven personality, not all hackers are actually the same. It is 100% true that hackers, malicious or not, will always ruin the integrity and sabotage the true gaming experience, especially when their actions affect other players. I, myself, stopped playing CS:GO due to the insane abundance of hackers in my matches despite Valve’s constant effort to stop the cheating problem. Plus, cheating is always punishable by a ban, showing its illegal nature. However, like the cheaters who use them, not all hacks are the same. Thus, in this article, we will be taking a look at the different forms and “severity” of hacks, trying to answer why people cheat in games, and how to resolve the hacking problems that are prevalent in gaming today.

Different Types of Hacks

For us to understand the whole topic of hacking, we first need to distinguish hacks into two different classes and where they are commonly used. The first type of hack is called soft hacks. Soft hacks do not interfere with other players’ experience despite altering the gameplay to your advantage. If you use hacks in a single-player game, chances are you are using soft hacks. Take Grand Theft Auto, excluding its multiplayer elements, as an example. Money hacks, car hacks, infinite HP, and other cheats are always used in that game. People never complained about the abundance of GTA hacks and even deemed them necessary as part of the gameplay since it only affects one player: you yourself.

Money cheats in GTA 5 are an example of a “soft” hack

Of course, soft hacks can also be present in multiplayer games. Skin mods are incredibly popular in many mod-able games like Counter-Strike back in the day, but they can be highly punishable by the devs who want to rack up money from the legitimate skins. There are also money, level, and HP hacks in RPG games, which is definitely a multiplayer genre. However, they are rarely utilized in PvP and more in the PvE scenarios when players are trying to grind for loots or resources.

Despite being illegal to use, skin mods do not interfere with others’ playing experience | Source: Zagruzka Mods

On the flip side, we have hardcore hacks, the hacks that truly matter in this discussion. These are everybody’s favorite, run of the mill type of hack. Hardcore hacks are infamous for frustrating the hell out of players and destroying their gaming experience. In the FPS genre, we have aimbots, which allows you to lock on the people’s heads automatically, and wallhacks, which allows you to see through walls and obtain free information on the enemy’s whereabouts. CS:GO is also known for its incredibly annoying spinbot hack. You essentially but an aimbot hack and add rapid 360 degree turns so that you will spot enemies from all different angles. There are also other FPS hacks like speed hack, anti-aim, but they are niche and rarely used.

An aimbot software in CS:GO

In the MOBA genre, there are many, extremely undetectable scripts that can allow you to automatically cast abilities or incoming spells based on game events. Some hacks allow you to zoom out and give a larger top-down FOV. You might see a common theme in the examples of these games: competitiveness. FPS and MOBA are both multiplayer games that rely on PvP elements, which is why cheats that give an unfair advantage are detrimental to the game’s experience. Nobody really cares if you use infinite HP hacks when fighting a boss in World of Warcraft. However, use that same infinite HP hacks on Dota, and you’ll piss off every single player on the server.

The psychology of using hacks

So why do people use hacks? Well, it is for a variety of reasons, and is also unique to the type of hacks used. For instance, people use soft hacks to remove unnecessary burdens or blockades in the game. Not everyone has the time and effort to grind out money and resources for a game. These grinds, more often than not, are incredibly boring, stale, and hindering the real excitement that people play games for. Cheats, as result, has the capability to provide the necessary shortcuts to more freedom and fun in the game.

Cheats’s can allow players to experience certain games to the fullest extent without having to grind hours on it | Source: Kwebbelkop

Furthermore, as a person who always seeks to play on the same playing field, I do sometimes justify the use of money hacks in pay-to-win games. These games rarely emphasized the players with the best skills and more often rewards players who have access to their mom’s credit card. Free-to-play players can, in turn, lift out the paywall set up by the developers through money hacks and show their true skill-level in the game.

However, the notion of using hacks to remove built-in barricades in games doesn’t apply to cheaters who use hardcore hacks. More often than not, people fall into the world of using hardcore hacks because they simply suck at the game and do not want to slowly improve. They want to get an easy advantage without having to practice or learn properly. It is not a strange fact that everyone starts out as a noob in every game. We cannot install CS:GO for the first time and begin one-tapping everyone on the server. We can’t queue our first Dota 2 game landing every single invoker combo. It is through thousands of hours of practice, experience, and losses that we can achieve all these amazing feats that we see from pro players. Perhaps, in the minds of hackers, they are some sort of talented chosen one who never needs to practice to be a pro. However, when they can be wrecked by better players who grind at the game, they turn to hacks to fulfill their misled purpose.

The next point ties closely to the previous one, which is that hackers can’t handle losses. Everyone who plays games will always face losses. Even the best players in the world lose their games. However, what separates normal players, pros, and cheaters is how they treat their losses. Normal players might not even think that big from losses, it is just part of the game. Pros get better from losses because they think critically about how they can improve and what aspects they could’ve done better to increase their chances of winning the next game. Cheaters, on the end of the spectrum, perhaps never want to learn from their mistakes. They do not recognize losses as a stepping stone for the future but as a setback on their goal to win. To them winning = good, losing = bad, simple as that. Thus, they turn to hacks to maximize their winning percentage and make it impossible to lose. Hackers want to get instant gratification from their wins without acknowledging that it does not come from their effort.

However, I also mentioned that not all hardcore hack users might have the same ill-intent and malicious behavior we all associate them with. In the depths of the hacking community, we also have ethical cheaters who consider hacks to be their own art-from. In the CS:GO landscape, there are often hack vs. hack servers where cheaters hang out and battle each other to show off who has better or more optimized cheats. They even develop a set of strategies specialized to combat other hackers. So, instead of playing CS:GO like a normal shooting game, they play the game like a mechanic tuning their race car. These ethical hackers simply enjoy the game in a different way than most of us, and that way just happens to involve one of the most illegal aspects in gaming. But what happens if these hackers queue up in a normal match with honest players? Well, true ethical hackers will simply turn off their hacks or even use unique cheats to cancel the game. For all they know, they are wasting their time queueing with the wrong players. There is a whole video about the topics of these hackers in the following video from CS:GO YouTuber under the name of 3kliksphillip.

Solutions to hacking problems in games

Whether or not a hacker is ethical, their presence is undoubtedly not always welcomed in the eyes of honest players. Many players have, consequently, even stopped playing certain games due to the immense cheating problems. Therefore, let’s take a look at existing several approaches that game developers have implemented to combat cheaters in their games.

The first and most straightforward solution to cheating problems is using anti-cheats. An example of this is VAC or Valve Anti-Cheat, undisputedly the most popular anti-cheat software in all of gaming. However, VAC and most anti-cheat software out there are also notorious for being highly ineffective in spotting cheaters. Expert or experienced hackers can effortlessly identify obvious weaknesses in anti-cheats and can develop hacks that are specialized to bypass these blindspots. VAC’s weaknesses, for instance, are already common knowledge in CS:GO hacking community, which could explain the rampant case of cheaters in the game.

Perhaps the best anti-cheat software in today’s era is Riot Games’ Vanguard, their cheat protection software for VALORANT. Taking from my experience when playing VALORANT, I could never recall getting matched up against a hacker. Even if there are hackers, none of them are blatant enough to fully ruin the game like CS:GO spinbotters. However, Riot’s ability to achieve such impressive security in detecting potentially malicious programs stems from Vanguard accessing our operating system kernel. Essentially, Riot has the capability to extract information about all of your computer’s ongoing processes and, to a certain extent, take full control of your device. Incredibly sus, but highly effective in spotting cheating programs nonetheless.

Riot’s Vanguard when a cheater is detected | Source: Hotspawn

Unfortunately, anti-cheats still suffer from one major problem: creating new accounts. Although anti-cheats can spot hackers and ban them in place, the same cheaters can easily create a new account and modify their programs in the hopes of not getting detected in the future. Simply put, there is no significant consequence or punishment that will prevent hackers from returning to the game after being banned. One method of overcoming this loophole is establishing some sort of paywall, or making the game not free. CS:GO, for instance, costs $15, which is already decent in preventing a minority of “free-to-play” hackers. But again, there still exists blatant hackers in my CS:GO matches from time to time. Creating a price tag in a game will also sacrifice some of the honest player bases who aren’t willing to pay for the game.

A more weighty punishment is an IP ban, which bans you from fully connecting and playing with the game server. Even if you make new accounts, you still wouldn’t be able to play because you still use the same exact IP address from your home network. However, IP bans are not a common practice in this day and age because most IPs today are dynamic, meaning that they change from time to time. VPNs or are also widely available today to mask and “change” your IP. From what see, anti-cheats can be useful to a certain extent, but will never thoroughly eradicate the cheating plague because no significant consequence exists to stop hackers from disregarding their bans. Thus, another solution is required, one that does not need to remove the cheaters in the first place.

We can solve the cheating problem by essentially isolating the cheaters from the honest player base. Therefore, cheaters will play against cheaters whereas the honest players can have their own fun. Hiding the problem is not always the most elegant solution, but it is definitely necessary in this case. To isolate or cluster the cheaters, we need to first identify the cheaters using the anti-cheat software. However, instead of banning the cheaters, we will simply mark their accounts and force them to queue with other marked cheaters. Developers can also provide hack vs. hack servers where cheats are allowed, but I highly doubt that any dev will ever promote this sort of idea. Nonetheless, with this approach, cheaters are allowed to thrive on their own without interfering with the honest player base. A win-win solution in the end

The last approach to solve the cheater problem is to scam the cheaters themselves. This solution is inspired by the ScriptKid. If you do not know who ScriptKid is, he basically creates “bait” cheat software that will troll anyone who runs the program. In one of his early YouTube videos, he engineered a fake PUBG hack that will secretly chuck grenades underneath the player without their knowledge, resulting in many hilarious deaths. He also makes similar fake hacks in CS:GO and even Minecraft. Of course, these bait hack software will ruin the experience of noob cheaters who don’t know how to find or create their own high-quality hacks. In turn, this solution could be effective in pushing away potential newcomers to the hacking community.

Conclusion

Hacking, whether we like it or not, will always be a part of gaming. With the continuous development of technology, hacks are also getting more evasive and sophisticated against anti-cheats. For instance, a new next-gen cheat program was released a couple of months ago that utilizes AI and computer vision input movement that will assist your aim. This program doesn’t work like any normal aimbots and is virtually impossible to detect since there is no way of distinguishing between the AI movement with human movement. I suspect that similar or even more sophisticated cheats will be created in the future.

Despite this fact, we can still keep our chin up with our newfound knowledge of cheating and hacking. We know that not all cheats or cheaters are the same, how some of them may be “legal” or “illegal”. We also have seen several solutions that might be implemented in the future to combat the ever so worsening cheating problem. So, even if you and I all hate cheaters, just keep in mind that there are several ethical hackers out there who aren’t willing to annoy and waste your time. As for the non-ethical ones, we can hope that they can be clustered together away from our playground and have their own fantasy of being a “god gamer”.

 

Featured Image: Pexels

Sejarah Diablo: Pionir Revolusi Action ke Dalam Genre RPG

Menyebut judul Diablo mungkin akan membawa beragam reaksi dari para gamer. Ada yang mungkin tidak tahu sama sekali mengenai franchise game ini, namun mungkin tidak sedikit yang memiliki memori terhadap seri game RPG Aksi (Action-RPG) yang satu ini. Sebagai catatan singkat, judul ini telah ada sejak 1997 dan telah memiliki tiga seri judul utama (seri keempatnya tengah dikerjakan).

Saat muncul pertama kali, Diablo dianggap merevolusi industri video game pada saat itu lewat berbagai terobosan di dalam game-nya. Mulai dari kehadiran mekanisme hack-and-slash secara real-time di sebuah game yang fokus pada Role-Playing. Visualisasi game-nya juga tampil dewasa dan bahkan kelam dibandingkan dengan game-game RPG mainstream lainnya. Hingga ke sistem perkembangan karakter yang sangat variatif sehingga para pemain dapat bereksperimen dengan strategi yang berbeda-beda.

Namun, semua kesuksesan yang diraih oleh seri Diablo dan juga Blizzard kembali ke 25 tahun lalu ke seseorang bernama David Brevik. Seseorang yang nantinya akan menjadi salah satu dari 10 orang paling berpengaruh dalam perkembangan game komputer.

Sejarah awal pengembangan Diablo (1994)

Image credit: Venture Beat

Awalnya pada tahun 1994, salah satu developer game di Condor Games yaitu David Brevik memiliki ide untuk membuat sebuah game RPG yang terinspirasi dari game-game roguelike dengan sistem pertarungan turn-based. Brevik juga ingin menyederhanakan elemen role-playing di dalamnya dan memberikan perhatian khusus pada sistem ‘loot’-nya.

Brevik pun mulai menyusun idenya tersebut ke dalam sebuah proyek pribadi dan memberinya nama Diablo, yang ternyata terinspirasi dari gunung Diablo tempat tinggal David Brevik saat dirinya membayangkan game impiannya tersebut.

Salah satu momen penting bagi Brevik adalah ketika Condor Games bekerja sama dengan Blizzard Entertainment. Blizzard memberikan iming-iming untuk membantu Brevik mengembangkan Diablo, namun Blizzard juga mendesak untuk mengubah mekanisme turn-based menjadi pertarungan real-time. Desakan yang akhirnya disetujui Brevik ternyata menjadi keputusan terbaiknya. Karena setelah pengembangan dan akusisi Condor kepada Blizzard, Brevik akhirnya berhasil merilis Diablo pada Januari 1997.

Diablo (1997) – Lahirnya seri legendaris Action RPG

Image credit: Blizzard Entertainment

Setelah perilisannya, Diablo ternyata mendapatkan reaksi yang sangat positif dari para gamer. Bahkan game-nya menjadi game dengan penjualan tertinggi pada 1997 dengan lebih dari satu juta kopi. Pujian datang terhadap hampir semua aspek yang ada di dalam game-nya. Beberapa aspek tentu telah dijelaskan pada awal artikel, namun ada banyak aspek lainnya yang membuat game ini menjadi sangat penting.

Salah satunya adalah mekanisme pertarungan hack-and-slash yang ternyata dapat bekerja dengan mouse dan keyboard di PC. Hal ini disebut menyelamatkan komunitas game PC dari stagnannya game-game RPG untuk PC pada kala itu yang selalu mengandalkan sistem turn-based. Hal tersebut juga membuat Diablo, yang awalnya dirilis eksklusif untuk platform PC, akhirnya dirilis untuk platform PlayStation setahun kemudian.

Salah satu keuntungan lain yang didapat oleh Diablo berada di bawah Blizzard Entertainment adalah hadirnya akses multiplayer lewat layanan online mereka, Battle.net. Meskipun pengguna online pada tahun 1997 tidak sebanyak sekarang, tetapi hal ini merevolusi Diablo sebagai game yang dapat dimainkan bersama-sama. Setelah kesuksesannya, Blizzard juga merilis ekspansi perdana untuk game ini yang berjudul Diablo: Hellfire.

Diablo II (2000) – Sekuel yang memecahkan rekor dunia

Image credit: Blizzard Entertainment

Kesuksesan Diablo pertama menuntun Blizzard untuk akhirnya mengumumkan keberadaan sekuel game-nya sesaat setelah seri pertamanya dirilis. Pada awalnya game ini direncanakan dirilis setahun setelah seri pertamanya, namun seiring perkembanganya game ini akhirnya selesai setelah tiga tahun masa pengembangan.

Yang cukup menarik adalah fakta bahwa Diablo II disebut oleh sang designer and project lead, Erich Schaefer tidak pernah memiliki dokumen desain yang resmi. Sehingga dalam pengembangannya, banyak hal baru yang dibuat begitu saja tanpa direncanakan sebelumnya. Hal ini juga membuat hasil akhir game-nya disebut oleh para game tester sebagai game yang sama saja meskipun telah dibangun ulang dari awal.

Untungnya, Blizzard Entertainment cukup cerdik dalam membangun hype untuk game ini baik untuk para gamer di Amerika Serikat maupun internasional. Strategi marketing tersebut akhirnya berhasil membuat Diablo II terjual hingga 1 juta kopi hanya dalam waktu 2 minggu dan 2 juta pada tahun 2000 dalam satu setengah bulan saja. Membuat game ini masuk ke dalam Guinness Book of World Records sebagai game dengan penjualan tercepat dalam sejarah.

Diablo III (2012) – Game ketiga yang terlalu berubah

Image credit: Blizzard Entertainment

Setelah semakin suksesnya seri Diablo, tidak ada alasan bagi Blizzard untuk berhenti mengeluarkan sekuelnya. Namun berbeda dari sebelumnya, yang hanya terpaut satu tahun, Blizzard kini mengambil waktu yang cukup lama sejak pengumuman mereka mulai mengembangkan seri ketiganya pada 2001. Game ini secara resmi diumumkan pada 2008 dan dirilis pada 2012; membuat game ini dikembangkan hampir 11 tahun.

Di seri ketiganya ini, Blizzard membawa beberapa perubahan besar pada seri Diablo. Mulai dari kebutuhan selalu online untuk bermain hingga sistem pertarungan yang lebih luwes. Selain itu Blizzard juga menyuntikkan berbagai fitur baru ke dalam Diablo III ini. Sayangnya, semua hal baru yang ditawarkan Blizzard tersebut ternyata malah menjadi penilaian negatif dari para fans.

Salah satu yang tidak disukai para fans adalah perubahan gaya visual yang di dua game pertama kental dengan nuansa horor dan kelam kini bergeser lebih condong ke game fantasi mendekati game Blizzard lainnya, World of Warcraft. Ditambah beberapa elemen RPG jadi terlalu disederhanakan demi mengundang pemain baru. Dan yang terakhir, keharusan game-nya untuk selalu online meskipun dalam mode solo juga turut membuat para fans kecewa dengan seri ketiga ini.

Setelah perilisan Diablo III, Blizzard kembali memasuki masa pengembangan yang cukup panjang kembali sebelum mengumumkan game terbarunya. Meskipun tanpa game baru, selama kurang lebih 6 tahun Blizzard tetap memberikan update untuk Diablo III dan bahkan mengeluarkan dua ekspansinya yaitu Reaper of Souls pada 2014 dan Rise of the Necromancer pada 2017.

Pengumuman Diablo Immortal (2018) – Kejutan yang tidak diinginkan para fans

Image credit: Blizzard Entertainment

Pada gelaran Blizzcon 2018, Blizzard akhirnya membuat kejutan dengan mengumumkan seri terbaru untuk Diablo. Bedanya game baru ini bukanlah lanjutan untuk seri utamanya, melainkan sebuah game free-to-play untuk mobile. Game ini merupakan kerja sama antara Blizzard dengan pengembang asal Tiongkok, NetEase.

Gelombang reaksi negatif langsung dilontarkan oleh para fans baik yang hadir langsung maupun menonton dari rumah. Para fans yang mayoritas merupakan gamer PC dan konsol tersebut semakin geram karena Blizzard juga mengkonfirmasi bahwa Diablo Immortal tersebut tidak akan dirilis untuk platform PC maupun konsol.

Meskipun dihujani reaksi negatif, namun Blizzard terus melanjutkan pengembangan dari Diablo Immortal ini. Mereka juga beberapa kali memberikan update dan bahkan telah membuka sesi tes beta tertutup pada 28 Oktober lalu. Blizzard juga masih tetap berencana untuk merilis game free-to-play ini pada semester awal 2022 mendatang.

Pengumuman Diablo IV (2019) – Kelanjutan serinya yang masih abu-abu

Image credit: Blizzard Entertainment

Setahun setelah pengumuman Diablo Immortal yang cukup mengecewakan para fans, Blizzard kelihatannya ingin membayar kesalahannya tersebut dengan mengumumkan Diablo IV pada BlizzCon 2019. Blizzard juga belajar dari kesalahan yang mereka lakukan pada seri ketiganya dan membangun seri keempatnya dengan pendekatan yang kembali ke akarnya. Hal tersebut terlihat dari gaya artistik game-nya yang kembali ke dua game pertamanya dengan tampilan kelam dengan nuansa horor dan gelap yang lebih kental.

Cerita naratif yang diusung pada seri keempat ini juga tidak lagi terlalu mengikuti kisah-kisah fantasi namun kembali ke kisah originalnya tentang melindungi dan bertahan hidup suatu daerah. Dari segi gameplay, Blizzard juga tetap menghadirkan hal-hal baru yang akan menarik para pemain. Mulai dari kostumisasi karakter, hingga sistem build karakter yang lebih beragam.

Namun, sayangnya masih belum ada kejelasan kapan game ini akan dirilis. Mengingat Blizzard tengah terkena masalah gugatan dari para karyawannya yang membuat semua proses pengembangan game-game Blizzard menjadi terhambat.

Diablo II: Resurrected (2021). Nostalgia indah yang harus ternodai

Image credit: Blizzard Entertainment

Ketika Diablo IV belum memiliki tanggal rilis pasti, Blizzard memberikan kejutan lewat remaster terhadap Diablo II. Diumumkan pada awal tahun, para fans yang telah dikecewakan dengan beberapa pengumuman sebelumnya menyambut antusias game ini. Apalagi Diablo III juga sudah tidak mendapatkan update sejak tahun 2017 lalu. Namun proyek remaster ini sendiri baru dimulai pada 2019 lalu lewat kerjasama Blizzard dan studio milik Activision, Vicarious Visions.

Versi remaster ini masih menjaga inti gameplay yang dimiliki oleh game originalnya. Para pemain veteran juga dapat melanjutkan progres yang telah mereka tempuh sebelumnya. Diablo II: Resurrected membawa ubahan grafis yang kini diubah menjadi 3D penuh, dengan pembaruan mulai dari karakter, lingkungan, hingga beragam efek dan animasi. Sedangkan gameplay tidak banyak diubah karena mereka ingin mempertahankan gameplay klasik yang dimiliki.

Sayangnya perilisan Diablo II: Resurrected pada 21 September 2021 lalu yang seharusnya menjadi perayaan bagi para fans sedikit ternodai karena masalah teknis. Mulai dari game yang tidak dapat diakses, hingga karakter yang tidak dapat dimainkan. Namun untungnya masalah-masalah tersebut kini sudah teratasi dan para fans sudah dapat bernostalgia dengan Diablo II.

Penutup

Image credit: Blizzard Entertainment

Seri Diablo mungkin bukan menjadi seri yang selalu dicintai oleh para fans, namun bagaimanapun juga Diablo memiliki andil penting dalam perkembangan genre Action RPG. Banyak game yang terlahir berkat inspirasi dari Diablo.

Dan meskipun kini nasib Diablo 4 yang harus ditunda dan belum ada tanggal rilis pasti, namun setidaknya (harusnya) para pengembang game ini telah menyadari apa keputusan mereka yang kurang tepat saat membuat Diablo III dan juga pengumuman Diablo Immortal.

Build Hu Tao Genshin Impact Terbaik: Artefak, Senjata, Komposisi Tim, dan Tips

Hu Tao pertama kali dirilis pada versi 1.3 dan mendapatkan rerun pada versi 2.2, yang ditemani oleh Thoma. Semenjak perilisannya, Hu Tao menjadi salah satu karakter meta di Genshin Impact, bahkan sampai versi 2.2 saat artikel ini ditulis.

Ia mampu menghasilkan damage yang sangat tinggi dalam waktu yang singkat. Walau demikian, Hu Tao memiliki beberapa catatan, jika ingin mengakses potensi maksimalnya.

Overview

Hu Tao merupakan karakter yang sangat unik dan berbeda, baik dari cara bermain maupun build-nya. Ia dikenal sebagai salah satu DPS terkuat. Namun demikian, ada banyak hal yang harus diperhatikan saat bermain Hu Tao. Jadi, kemampuan pemain berpengaruh langsung terhadap damage yang dihasilkan. Berikut ini beberapa hal yang harus diperhatikan saat bermain Hu Tao:

1. Sumber damage utama Hu Tao berasal dari dua faktor, yaitu Charged Attack dan reaksi Vaporize. Jika tidak dapat memenuhi keduanya atau hanya salah satu saja, maka Hu Tao tidak dapat memberikan damage maksimal.

2. Sebagai karakter hypercarry, Hu Tao membutuhkan investasi yang besar, mulai dari senjata yang cocok, artefak yang bagus, serta level talenta yang tinggi. Untungnya, Hu Tao lebih memerlukan HP dibandingkan ATK, sehingga memudahkan pencarian artefak, jika dibandingkan dengan karakter lain.

sumber: Genshin Impact

3. Hu Tao sangat bergantung dengan Xingqiu, dan tidak bisa digantikan dengan karakter Hydro lain. Hal tersebut akan sangat berpengaruh pada Spiral Abyss, yang akan mengurangi fleksibilitas pembentukan tim. Banyak komposisi tim lain yang membutuhkan Xingqiu, seperti tim Vaporize lain, Freeze, National, Taser, dlsb.

Belum lagi, pemain diwajibkan untuk memainkan Hu Tao dengan HP di bawah 50% jika ingin mendapatkan efek talenta pasifnya, yang akan menambah damage Pyro sebesar 33%. Untungnya, Hu Tao didesain untuk mencari stat HP sebanyak-banyaknya. Jadi walaupun HP-nya rendah secara presentase, namun angka tetap bisa besar.

4. Hu Tao memiliki anti-sinergi dengan Bennet. Hal tersebut bisa dikatakan sebagai salah satu kelebihan sekaligus kekurangan Hu Tao, tergantung dari perspektif yang digunakan.

Bennet dikenal sebagai salah satu karakter terbaik di Genshin Impact. Bennet akan memulihkan karakter sampai di atas 70% serta memberikan bonus ATK. Hal tersebut akan merugikan Hu Tao, yang harus bermain dengan HP rendah. Dengan demikian, Bennet dapat dimainkan di tim lain, sehingga membuka ruang untuk kombinasi tim lainnya, saat bermain di Spiral Abyss.

5. Catatan terakhir dan yang paling sulit untuk diterapkan adalah animation cancelling. Elemental Skill Hu Tao memiliki durasi selama 9 detik, dengan cooldown selama 16 detik.

Dengan durasi yang cukup singkat, pemain harus bisa menghasilkan Charged Attack sebanyak mungkin. Dengan animation cancelling, Anda bisa membuang animasi yang tidak perlu sehabis melakukan Charged Attack. Animation cancelling yang paling sering digunakan adalah jump cancelling dan dash cancelling. Untuk tutorial-nya, Anda bisa cek di segmen Tips di bawah nanti.

Artefak

Untuk Artefak terbaik Hu Tao, Anda bisa memakai 4 Crimson Witch of Flames. Artefak ini akan menambah damage Hu Tao yang seluruhnya berupa Pyro. Artefak ini juga akan meningkatkan damage reaksi yang dihasilkan oleh Hu Tao.

Selain artefak tersebut, Anda juga bisa memakai 4 Shimenawa’s Reminiscence. Namun perlu diingat, bahwa artefak ini akan menyulitkan Anda untuk memakai Burst, dikarenakan 15 energi yang harus dibayar setiap pengaktifan Elemental Skill. Sebagai catatan, Elemental Burst Hu Tao memberikan:

  • Damage area yang tinggi.
  • Heal secara instan.
  • Iframe selama beberapa detik.

Jadi, jika Anda tidak peduli dengan resiko dari artefak ini, maka Anda bisa menggunakan 4 Shimenawa’s Reminiscence.

Untuk artefak alternatifnya, Anda bisa memakai kombinasi antara 2 Crimson Witch of Flames, 2 Tenacity of the Millelith, 2 Wanderer’s Troupe, dan 2 Noblesse Oblige.

Main Stat yang dicari: HP% ; Pyro Damage Bonus% ; Crit Rate/DMG.

Sub-stat yang dicari: Crit Rate/DMG > HP% > EM > ATK%.

Senjata

Untuk bagian senjata, akan terbagi menjadi dua kategori, yaitu senjata terbaik dan senjata F2P terbaik.

Tidak dapat dipungkiri, Staff of Homa merupakan senjata terbaik Hu Tao. Senjata ini didesain khusus untuk memenuhi kebutuhan Hu Tao, dan juga memaksimalkan potensi yang ia miliki.

Sebagai alternatif, Anda bisa memakai Primordial Jade Winged-Spear, Vortex Vangquisher, atau Deathmatch dari Battlepass. Perlu diingat bahwa senjata-senjata ini memiliki efek pasif yang akan memberikan ATK%, yang tidak terlalu dibutuhkan Hu Tao, namun stat seperti Crit rate, merupakan stat yang berharga.

Untuk senjata F2P terbaik, Anda bisa memakai Dragon’s Bane. Senjata ini merupakan senjata yang bagus buat Hu Tao, karena ia akan selalu dipasangkan dengan Xingqiu, sehingga efek pasif dari senjata ini sangat berguna. Semakin tinggi refinement yang Anda miliki, maka semakin kuat pula senjata ini. R5 Dragon’s Bane mampu melampaui sederet polearm bintang 5 alternatif yang telah disebutkan di atas.

Sebagai senjata alternatif, Anda bisa memakai Blackcliff Pole dan White Tassel. Blackcliff Pole bagus karena memiliki sub stat Crit DMG. Anda bisa memakai White Tassel, apabila Anda benar-benar tidak memiliki senjata yang telah disebutkan. White Tassel memiliki efek pasif yang cocok untuk Hu Tao, serta memiliki sub stat Crit rate.

Komposisi Tim

Seperti yang telah disebutkan di atas, Hu Tao mengandalkan reaksi Vaporize untuk performa optimalnya. Maka dari itu, Hu Tao tidak dapat dilepaskan dari Xingqiu, dan sampai versi 2.2 belum ada karakter Hydro yang dapat menggantikannya.

Untuk dua slot yang tersisa, ada beberapa variasi yang dapat digunakan, tergantung dari karakter mana yang Anda punya dan musuh yang sedang dihadapi.

Setelah rilisnya Thoma, Hu Tao memiliki komposisi tim terbaru yang lebih solid. Anda bisa memakai Thoma sebagai shielder dan karakter Anemo untuk mengurangi resistance Pyro musuh. Sebagai contoh, Anda dapat memakai Kazuha atau Sucrose. Untuk komposisi tim ini, jangan lupa untuk melakukan swirld Pyro, sebelum mengaktifkan Elemental Skill Hu Tao.

Anda bisa memakai tim klasik Hu Tao yang telah ada sejak ia dirilis, yakni dengan menggunakan Albedo dan Zhongli. Dengan dua karakter Geo ini, Anda dapat menikmati Geo Resonance yang akan meningkatkan damage serta ketahanan shield milik Zhongli. Tim ini tergolong cukup mahal, karena membutuhkan 3 karakter bintang 5 limited, termasuk Hu Tao.

Tim ini memiliki beberapa kelemahan, yaitu Albedo dan Zhongli dapat memakan aura Pyro atau Hydro saat terjadi reaksi Crystallize , sehingga akan sedikit mengganggu reaksi Vaporize Hu Tao dan Xingqiu. Selain itu, tim ini akan sedikit kesusahan saat melawan musuh yang memiliki shield, seperti Abyss Mage, Herald, Lector, dan beberapa Fatui.

Jika Anda tidak memiliki karakter Anemo atau belum ter-build dengan baik, Anda bisa memasukkan karakter Cryo sebagai pengganti, seperti Kaeya, Rosaria, Ganyu, atau Diona. Dengan demikian, Anda bisa mengakses reaksi Vaproze, Freeze, dan Melt sekaligus, walaupun tidak sekonsisten tim yang terfokus pada reaksi Vaporize saja.

Atau Anda bisa memakai Fischl sebagai sub DPS yang solid dan shielder seperti Zhongli, Diona atau Thoma. Komposisi tim ini bisa memanfaatkan Vaporize, Electro-Charged, dan Overload secara bersamaan. Anda bisa memakai Beidou sebagai pengganti Fischl.

sumber: Genshin Impact

Tips

Berikut ini merupakan beberapa tips yang bisa Anda gunakan:

1. Animation cancelling merupakan salah satu teknik yang perlu dikuasai saat memainkan Hu Tao. Simak cara melakukan jump cancel dan dash cancel melalui video berikut ini:

2. Animation cancelling jauh lebih mudah dilakukan di PC bila dibandingkan saat bermain di HP atau di konsol. Maka dari itu, salah satu cara yang dapat membantu pemain untuk mempermudah adalah dengan mendapatkan konstelasi pertama (C1). Dengan menghilangkan penggunaan stamina saat Charged Attack, Anda dapat dengan lebih mudah menggunakan stamina untuk melakukan dodge atau sprint.

3. Pertanyaan yang sering dilontarkan oleh pemain mengenai Hu Tao adalah: “Mendingan mana, C1 Hu Tao atau Homa?” Secara singkat, Staff of Homa merupakan pilihan yang perlu diprioritaskan dibandingkan dengan C1 Hu Tao.

Karena, dengan memiliki Staff of Homa, setiap damage yang dihasilkan Hu Tao sudah pasti meningkat. Berbeda dengan C1 Hu Tao, yang masih bergantung lagi dengan kemampuan pemain dan situasi pertarungan yang tidak menentu. Apalagi, Staff of Homa merupakan senjata fleksibel dan universal, yang dapat dipakai oleh karakter lain, seperti Zhongli, Xiao, Xiangling, dan Rosaria.

sumber: Genshin Impact

Penutup

Sudah terbukti Hu Tao mampu menjawab ekspektasi yang tinggi sebagai pemegang predikat Pyro DPS terkuat. Walaupun demikian, damage tingginya itu perlu dibarengi dengan cara bermain yang tepat.

Jika Anda mencari tantangan dalam memainkan sebuah unit, maka Hu Tao merupakan jawabannya. Effort lebih yang diberikan, akan terbayar dengan jumlah damage yang Hu Tao hasilkan.

11 Rekomendasi Game PC Ringan Terbaik yang Seru dan Asyik

Seiring berjalannya waktu, game semakin punya banyak kompleks, mulai dari kualitas grafis, kompleksitas cerita, gameplay yang menarik, dlsb. Kendati demikian, kualitas sebuah game tidak melulu dinilai dari canggihnya spek yang ia gunakan.

Berikut ini adalah sejumlah judul game PC ringan yang telah Hybrid kumpulkan. Sebagai catatan, game-game yang dimasukkan mencakup game PC ringan online maupun offline, game PC ringan gratis maupun berbayar, dengan kisaran RAM antara 2 GB hingga 4 GB.

Minecraft

Game pertama yang ada di list ini adalah Minecraft. Game yang dirilis pada tahun 2011 ini merupakan salah satu game yang peminatnya masih tinggi sampai saat ini. Di game ini, Anda dapat membangun apapun yang Anda mau.

Sebagai game sandbox, gameplay Minecraft tidak terlalu kompleks. Anda hanya perlu memahami kontrol dasar dan fungsi dari bermacam-macam alat dan material yang digunakan.

Game ini dapat dimainkan sendirian ataupun multiplayer. Untuk bermain Minecraft, Anda dapat melihatnya di sini. Anda juga dapat lihat cara bermain bersama teman-teman Anda di sini.

System Requirements:

  • CPU: Intel Core i5-4690 3.5GHz/AMD A10-7800 APU 3.5 GHz.
  • Graphic Card: GeForce 700 Series/AMD Radeon Rx 200 Series.
  • OS: Windows 10.
  • RAM: 4 GB.
  • Storage: 4 GB.

Grand Theft Auto: San Andreas

Grand Theft Auto: San Andreas (GTA SA) adalah salah satu game yang paling ikonik dan legendaris yang pernah ada. Game dengan plot gangster ala Amerika ini memiliki gameplay yang unik dan kompleks. GTA SA merupakan salah satu game yang menjadi pioner untuk game open world.

Di game ini, Anda akan berperan sebagai Carl Johnson (CJ) yang sedang berusaha mengambil kontrol atas konflik antar geng. Di sini, Anda dapat melakukan berbagai macam hal, mulai dari menjalankan misi ataupun sekadar berpetualang sebebas-bebasnya.

System Requirements:

  • CPU: 1Ghz Pentium III or AMD Athlon Processor.
  • Graphic Card: 64MB Graphic Card.
  • OS: Microsoft Windows 2000/XP.
  • RAM: 256MB.
  • Storage: 3,6GB.

Stardew Valley

Stardew Valley merupakan salah satu game indie, yang sangat populer hingga saat ini. Setiap bulannya, pemain Stardew Valley dapat mencapai 30 ribu pemain. Gameplay yang santai, fitur yang banyak, serta grafis yang unik, menjadi daya pikat dari game ini.

Jika Anda sedang mencari game PC ringan dan tertarik bermain farming simulator, maka Stardew Valley patut dicoba. Game ini menawarkan suasana yang mirip dengan Harvest Moon, Story of Seasons, atau Animal Crossing. Anda dapat melihat detail Stardew Valley di sini.

System Requirements:

  • CPU: 2 Ghz.
  • Graphic Card: 256 mb Graphic Card.
  • OS: Windows Vista/7/8/10.
  • RAM: 2 GB.
  • Storage: 500 MB.

VALORANT

VALORANT merupakan game yang saat ini sedang naik daun. Popularitasnya mulai menyaingi game-game FPS PC lain, seperti CS:GO, Apex Legends, Overwatch, dan kawan-kawannya. Grafis dan gameplay yang game ini tawarkan juga tidak kalah menarik dengan game-game dengan genre yang sama.

Game yang dirilis pada bulan Juni 2020 ini secara mengejutkan tidak menuntut spek PC yang terlalu tinggi. VALORANT merupakan game free-2-play alias gratis. Jika Anda tertarik, Anda bisa langsung cek langkah-langkahnya di sini.

Sebelum bermain VALORANT, Anda memerlukan sebuah Riot Account, yang bisa Anda buat di sini. Walaupun gratis, VALORANT menyediakan beragam jenis skin menarik yang dapat dibeli oleh pemain. Simak caranya di sini.

System Requirements:

  • CPU: Intel i3-370M.
  • Graphic Card: Intel HD 3000.
  • OS: Windows 7/8/10 64-bit.
  • RAM: 4 GB.
  • Storage: 4-5 GB.

Yu-Gi-Oh! Duel Links

Yu-Gi-Oh! merupakan salah satu permainan kartu yang pernah meledak di berbagai belahan dunia, tak terkecuali Indonesia. Sebelum era digital seperti sekarang ini, dulu untuk bermain saja, pemain harus memiliki sejumlah kartu dan juga lawan main. Selain Yu-Gi-Oh! Duel Links, game yang memiliki gameplay serupa adalah Hearthstone, Magic: The Gathering, Gwent, Shadowverse, dll. Kemungkinan besar game-game kartu lainnya juga akan membutuhkan spesifikasi yang tidak terlalu berat.

Walaupun permainan kartu fisik sudah mulai ditinggalkan, namun Konami berhasil membangkitkan kembali permainan kartu ini di versi digitalnya. Game ini  dapat dimainkan di HP dan juga PC via Steam. Game ini gratis, namun Anda dapat membeli kartu untuk memperkuat Deck Anda dengan melakukan top-up.

System Requirements:

  • CPU: Intel Core i3-3210.
  • Graphic Card: Intel(R) HD Graphics 4000.
  • OS: Windows 10 Home 64bit.
  • RAM: 4 GB RAM.
  • Storage: 5 GB.

Dragon Age: Origins

Rekomendasi selanjutnya adalah Dragon Age: Origins, game RPG yang dirilis pada tahun 2009. Walaupun berusia lebih dari satu dekade, game ini masih layak dimainkan. Gameplay yang kompleks digabungkan dengan cerita yang dalam, menjadi daya pikat tersendiri bagi game ini.

Seperti kebanyakan game RPG lain, pemain diberi kebebasan memilih gender dan ras dari beberapa pilihan. Nantinya alur ceritanya dan dialog yang dihasilkan akan mengikuti hasil dari pembuatan karakter, sehingga menyebabkan cerita yang bervariasi. Pertarungan di game ini juga mengambil sistem real-time with pause. Jika Anda tertarik, Anda dapat melihat detailnya di Steam.

System Requirements:

  • CPU: Intel Core 2 SINGLE 1.6 Ghz Processor/AMD 64 2.0 Ghz Processor.
  • Graphic Card: ATI Radeon X850 256MB / NVIDIA GeForce 6600 GT 128MB.
  • OS: Windows 7.
  • RAM: 1 GB.
  • Storage: 20 GB.

Far Cry 2 & 3

Jika Anda suka dengan game petualangan, Anda mungkin pernah mendengar game Far Cry. Serial ini terkenal dengan gameplay yang seru dan cerita yang bagus, dengan tokoh antagonis yang ikonik di setiap serinya. Buat Anda yang masih kesulitan meng-upgrade kartu grafis untuk memainkan Far Cry 6 yang terakhir dirilis, Anda bisa memainkan game Far Cry yang lebih lawas.

Game single player ini mengkondisikan pemain untuk bertahan hidup di sebuah pulau tropis. Pemain akan mengungkap cerita di balik peristiwa yang ada di pulau tersebut.

Far Cry 3 merupakan salah satu game yang dianggap ikonik, bahkan saat dibandingkan dengan judul Far Cry yang lain. Jika spek PC Anda cukup untuk bermain Far Cry 3, maka otomatis Anda dapat memainkan Far Cry 2, yang tidak kalah menarik.

System Requirements Far Cry 3:

  • CPU: Intel Core 2 Duo E6700 @ 2.6 GHz/AMD Athlon 64 X2 6000+ @ 3.0Ghz
  • Graphic Card: NVidia 8800/AMD HD 2900.
  • OS: Windows 7.
  • RAM: 4 GB.
  • Storage: 15 GB.

Pillars of Eternity II: Deadfire

Game yang dirilis pada tahun 2018 ini menjadi salah satu game ringan yang sangat layak untuk dimainkan. Game ini memiliki genre cRPG (Classic RPG), sebuah variasi dari RPG yang lebih mengedepankan mekanik pertarungan serta cerita dan dialog yang bercabang. Contoh game cRPG lain adalah Divinity: Original Sin dan Baldur’s Gate. Genre cRPG juga biasanya cocok dimainkan di PC kelas kentang.

Genre tersebut sedikit berbeda dengan sebagian besar action RPG, yang berfokus pada equipment, leveling dan pertarungan real-time, seperti Diablo, Torchlight, Path of Exile, Borderlands, dan Dark Souls.

Game-game tersebut cenderung lebih populer, karena sistem pertarungan yang straight-forward, dibandingkan cRPG yang pasarnya lebih niche. Jika Anda tertarik, Anda dapat melihat info lebih detailnya di sini.

System Requirements:

  • CPU: Intel Core i3-2100T @ 2.50 GHz / AMD Phenom II X3 B73.
  • Graphic Card: DirectX 11 Compatible.
  • OS: Windows Vista 64.
  • RAM: 4 GB.
  • Storage: 45 GB.

Need For Speed: Underground 2 & Most Wanted

Serial Need For Speed merupakan serial yang sudah tidak usah diragukan lagi, apabila Anda menyukai game balap mobil. Untuk rekomendasi game PC ringan, Anda dapat bermain Need For Speed: Underground 2 dan Need For Speed: Most Wanted (2005).

Walaupun keduanya sama-sama game balap mobil, terdapat perbedaan mendasar di gameplay-nya. Jika Anda suka mengkostumisasi mobil Anda dengan leluasa, maka NFS: Underground 2 mungkin lebih cocok buat Anda. Namun jika Anda lebih suka balapan dengan berbagai gimmick, seperti fitur slow motion, kejar-kejaran dengan mobil polisi, sampai dikejar helikopter, maka NFS: Most Wanted (2005) bakal cocok buat Anda.

Jika spek PC Anda bisa bermain NFS: Most Wanted, maka otomatis Anda dapat bermain NFS: Underground 2.

System Requirements Need For Speed: Most Wanted (2005):

  • CPU: Pentium 4.
  • Graphic Card: NVIDIA GeForce2 MX+/ATI Radeon 7500+
  • OS: Windows 2000/XP.
  • RAM: 256 MB.
  • Storage: 3 GB.

Bioshock Infinite

Sekilas Bioshock Infinite memiliki grafis yang relatif bagus. Namun ternyata game ini tidak mengharuskan pemain untuk memiliki PC dengan spek canggih. Sedikit berbeda dengan Far Cry, Bioshock memiliki cerita dan suasana yang cukup dark dan kelam.

Walaupun sama-sama game action, namun Bioshock Infinite menggabungkan unsur teknologi dengan sihir, dengan kombinasi skill yang bervariasi. Jika Anda tertarik, Anda dapat melihat detail lebih lanjut di sini.

System Requirements:

  • CPU: Intel Core 2 DUO 2.4 GHz / AMD Athlon X2 2.7 GHz.
  • Graphic Card: DirectX10 Compatible ATI Radeon HD 3870 / NVIDIA 8800 GT / Intel HD 3000 Integrated Graphics.
  • OS: Windows Vista.
  • RAM: 2 GB.
  • Storage: 20 GB.

Dreadout

Game terakhir yang direkomendasikan adalah Dreadout. Bagi Anda yang doyan dengan game Horror, Dreadout patut Anda coba. Apalagi game ini tidak membutuhkan spek yang terlalu tinggi.

Karena mengambil setting di Tanah Air, Dreadout akan memberikan pengalaman menakutkan yang otentik, dengan hantu-hantu lokal. Game ini sudah pasti akan sangat berbeda dengan game horror lain, seperti Amnesia atau Outlast, yang bertempat di negara barat. Anda bisa melihat detailnya di sini.

System Requirements:

  • CPU: Intel Dual-Core 2.4 GHz or AMD Dual-Core Athlon 2.5 GHz.
  • Graphic Card: NVIDIA GeForce 8800GT or AMD Radeon HD 3830 or Intel HD Graphics 4000, 512 MB VRAM.
  • OS: Windows 7 / 8.
  • RAM: 4 GB.
  • Storage: 5 GB.

Penutup

Jadi untuk bermain game yang bagus, terkadang pemain tidak harus menyiapkan spesifikasi tertentu. Ternyata ada banyak game di luar sana, yang bagus untuk dimainkan sampai saat ini, baik game baru maupun lama.