Banyak pilihan produk yang dapat dikembangkan oleh startup digital, salah satunya game. Di Indonesia sendiri startup game juga cukup berkembang, tidak hanya di Jakarta melainkan sampai di daerah seperti Bandung ataupun Yogyakarta. Kesempatannya cukup terbuka lebar, karena disasarkan langsung kepada konsumen –khususnya pengguna ponsel pintar. Dan untuk produk game sendiri, lifecycle-nya cukup kencang, sehingga membuka kesempatan kepada para pengembang untuk menghadirkan inovasinya.
Tidak cukup berbekal kemampuan teknis dan desain saja, ternyata ada beberapa hal lain yang perlu dimatangkan sebelum seseorang memutuskan untuk membangun startup yang fokus pada produk game. DailySocial berkesempatan untuk mewawancara beberapa pengembang game yang sudah terbukti mampu menghasilkan produk bagus. Ketika mengawali debut, mereka mengaku, ada banyak aspek yang perlu dipertimbangkan. Salah satunya seperti yang diungkapkan oleh Frida Dwi atau akrab dipanggil Ube, seorang pengembang game dari Yogyakarta.
“Langkah awal dapat dimulai dengan jeli melihat kesempatan yang ada, sehingga memicu inovasi untuk mengembangkan produk yang disukai. Termasuk mengamati kemampuan internal, terkait kelebihan dan kelemahan tim, sampai strategi monetisasi yang akan dilakukan kelak,” ujar Ube.
Lebih lengkapnya, berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh seseorang yang ingin mengembangkan startup dengan produk game, berkaca pada fase awal yang pernah dilalui beberapa pengembang gam lokal.
Diawali dengan menganalisis pasar
Analisis pasar perlu dilakukan untuk mengawali debut, karena dasarnya startup game adalah perpaduan yang kental antara bisnis dengan kreativitas. Dari sisi kreativitas, debut pertama startup game adalah membangun awareness, salah satu strategi yang bisa dilakukan ialah melihat tren terkini. Seperti dicontohkan beberapa game yang diluncurkan menyesuaikan “isu terkini” di masyarakat, contohnya Tahu Bulat.
Secara bisnis startup pengembang game juga perlu menyadari dari awal tentang potensi pasar yang ada. Hal ini memicu munculnya beberapa pertanyaan, contohnya: jika mengembangkan game untuk anak-anak bagaimana prospeknya? Apakah game tersebut lebih baik dibuat dalam model gratis atau freemium? Dan lain sebagainya.
Menentukan konsep pengembangan
Setelah tahap analisis pasar, di tengah persaingan industri game, yakinkan diri sebelum bersaing. Jika tim yang dapat sudah berjalan buatlah konsep, sehingga tim dapat mencairkan ide untuk buat prototipe yang sekaligus menjadi ilustrasi game yang akan di luncurkan.
Setelah tahap analisis pasar, langkah selanjutnya ialah menentukan konsep. Dalam sebuah startup game, konsep tersebut akan berpengaruh secara keseluruhan. Jika konsep yang dipilih adalah game kasual, maka diperlukan tim yang mampu berkreasi –baik dari sisi desain, cerita ataupun pemrograman—untuk menyusun genre tersebut. Konsep dalam startup game adalah sebuah visi.
“Tim yang dibentuk haruslah solid, punya satu visi yang sama untuk project yang dibuat, karena tim yang berisi individu kuat, tidak selalu berarti akan menghasilkan produk yang baik dalam waktu yang reasonable. Diperlukan seorang project manager yang mampu mengelola flow dari proses produksi,” terang Dicky selaku Co-Founder Visionesia.
Menciptakan strategi pemasaran
Setelah konsep direncanakan dengan baik, selanjutnya tim perlu memikirkan strategi distribusi atau pemasaran yang akan dilakukan. Ini berkaitan erat dengan konsep dan riset pasar yang sebelumnya dilakukan. Pemasaran kadang harus dilakukan secara spesifik, menyesuaikan target pasar.
“Cara pemasaran yang kami tempuh saat ini dengan menggunakan media sosial, membangun Fans Page, dan mempublikasikan kemajuan dari proses development. Juga aktif di forum-forum yang berhubungan dengan pengembang game, baik regional maupun internasional,” ungkap Dicky.
Kabar berhentinya operasional Agate Jogja sempat menjadi perhatian di kalangan pengembang game. Di Yogyakarta sendiri, startup yang fokus pada produk game cukup diminati, dengan komunitas aktif bernama Bengkel Gamelan secara rutin mengadakan pertemuan dan pelatihan bersama. Sosok Co-Founder Agate Jogja Frida Dwi (atau biasa disapa Ube) memang sangat akrab di kalangan komunitas tersebut. Kemampuannya tak diragukan lagi. Beberapa waktu lalu tim yang dipimpinnya juga menyabet juara dalam perlombaan Indonesia Next Apps 3.0 yang diinisiasi Samsung dan DailySocial.
Agate Jogja tidak sepenuhnya tutup. Ube menjelaskan Agate Jogja terdiri dari beberapa bagian, yaitu (1) brand Agate Jogja, (2) Co-Founder dan timnya di Yogyakarta, dan (3) kegiatan operasionalnya. Saat ini poin( 2) sudah dibubarkan dan poin (3) dihentikan. Brand sendiri masih dipegang Agate Studio, sehingga ada kemungkinan jika brand Agate Jogja akan digalakkan kembali dengan komposisi yang berbeda.
Kami mencoba menggali apa yang bisa dipelajari dari perjalanan Ube bersama Agate Jogja, termasuk permasalahan yang melatarbelakangi keputusannya meninggalkan Agate Jogja.
Komposisi sebuah tim startup
Produk menjadi komponen penting dalam sebuah bisnis, namun bukan satu-satunya karena ada aspek lain yang harus sama-sama kuat bersinergi untuk membantu bisnis berakselerasi. Seringkali kita menemui sebuah produk yang sangat sederhana tapi mampu dikemas secara apik sehingga menarik banyak peminat, karena ditempatkan pada pangsa pasar spesifik sesuai dengan target.
Dalam startup digital umumnya pengembang akan fokus bagaimana produk tersebut dilahirkan, lalu di luar itu ada divisi lain seperti pemasaran dan riset yang mampu membungkus produk tersebut dengan branding yang tepat dalam waktu peluncuran yang tepat dan target pasar yang pas.
Hal ini disebut sebagai alasan paling mendasar penghentian operasional Agate Jogja. Kepada DailySocial, Ube mengatakan:
“Kendala terbesar saya adalah skill management kurang mumpuni, kebetulan selama 5 tahun ini saya multihat, memegang manajemen dan produksi. Ini yang membuat perkembangan Agate Jogja stagnan, membuat kami (bersama Estu Galih) selaku Co-Founder Agate Jogja merasa tidak memiliki kemampuan membantu tim berkembang dengan baik.”
Pengelolaan manajemen dalam sebuah bisnis sendiri mencakup banyak hal. Mulai dari kebutuhan operasional internal, kebutuhan pengelolaan bisnis, hingga mengakomodasi sumber daya manusia dan finansial di dalam kegiatan bisnis. Dalam kasus Agate Jogja, dua Co-Founder memiliki backgroud mendalam seputar pengembangan aplikasi. Kepiawaian keduanya dalam coding dan mendesain game sudah tidak diragukan lagi.
Pangsa pasar game di Indonesia besar, namun masih sangat dinamis
Angka pengguna ponsel pintar dan internet yang terus bertumbuh secara signifikan memang membuka banyak kesempatan baru bagi industri kreatif untuk mendulang untung, tak terkecuali di segmentasi game mobile. Beberapa survei merilis bahwa game masih mendominasi tangga atas aplikasi yang paling sering digunakan oleh pengguna ponsel pintar, beriringan dengan media sosial.
Hal yang ama dirasakan pengembang game lokal. Potensinya terasa besar, namun masih banyak yang perlu dipahami lebih dalam.
“Potensi game mobile di Indonesia besar. Hampir di setiap acara startup maupun seminar digital kreatif pasti menyajikan data dan angka yang sangat menarik. Tapi yang saya pribadi rasakan adalah user mobile game Indonesia ini unik sekali, susah ditebak. Butuh banyak hal yang perlu dipelajari dari user mobile game kita […] Soal segmentasi game mobile di Indonesia, user-nya banyak sekali dan unik butuh banyak penyesuaian yang kadang di luar cara berpikir kita sebagai developer.”
Hal tersebut mungkin senada dengan apa yang pernah DailySocial temukan dalam survei tentang pengembang game mobile lokal. Dari survei tersebut diungkapkan bahwa 49,61% dari total responden kurang aware dengan keberadaan pengembang game lokal. Kadang mereka tidak menyadari bahwa permainan yang dimainkan adalah karya anak bangsa.
Meskipun demikian, ada strategi unik yang sangat jitu dilakukan oleh para pengembang lokal, yakni mendompleng tren terkini untuk dijadikan konten berbasis game. Jika ingat game Tahu Bulat atau Dimas Kanjeng Gandakan Uang, para pengembang sangat cekatan membaca apa yang sedang menjadi pusat perhatian masyarakat, sehingga dijadikan media untuk berkreasi yang berimplikasi pada proses promosi yang sangat cepat. Di balik tantangan tersebut selalu ada jalan bagi kreator untuk memaksimalkan potensi yang ada.
“Suka duka sangat umum, sukanya saat game menjadi feature di Google Play, jumlah unduhan meningkat tajam, income turut naik. Termasuk memenangkan beberapa kompetisi, ketemu banyak rekanan yang membantu. Dukanya pun ada, seperti piutang yang terbayar dan baca komentar bintang satu dulu kalau sudah bagus baru ditambah. Overall perjalanan bersama Agate Jogja menyenangkan karena banyak kreasi yang bisa bebas saya lakukan.”
Selalu siap dan menyiapkan dalam segala kemungkinan
Tim Agate Jogja sendiri resmi dibubarkan pada Juni 2016 awal sebelum puasa. Hingga hanya menyisakan dua Co-Founder saja untuk melanjutkan aktivitas operasional dan mengikuti beberapa kompetisi. Bulan Oktober, Ube dan Estu sempat ke Bandung sementara bergabung dengan Agate Studio, tujuannya transfer pengetahuan dan diskusi soal rencana setup tim Agate baru lagi di Jogja.
Setelah berdiskusi panjang lebar akhirnya diputuskan Agate fokus produksi di Bandung saja dan kedua co-founder memutuskan kembali ke Yogyakarta dengan alasan masing-masing tidak berminat relokasi ke Bandung.
Per bulan Desember 2016 semua game Agate Jogja di Google Play sudah dipindahkan ke akun Agate Studio. Kemudian Ube dan Estu menyampaikan pengunduran diri dari Agate. Sekarang (Januari 2017) operasional Agate Jogja yang dikomandoi Ube dihentikan.
Startup tak jarang dihadapkan pada liku-liku dan dinamika bisnis yang menantang. Seperti cerita Ube di atas, banyak hal besar yang harus diputuskan, termasuk keputusan untuk mengakhiri sebuah bisnis. Risiko harus selalu menjadi salah satu pertimbangan pelaku bisnis, dan semua perlu disiasati dengan matang untuk menciptakan ketenangan.
Setidaknya ketika bisnis berhenti, para anggota tim yang ada di dalamnya tidak “kaget” karena sudah disiapkan sejak awal. Mungkin hal tersebut yang ada di benak Ube saat itu.
“Demi kebaikan semua anggota tim pula akhirnya Co-Founder Agate Jogja sepakat membubarkan tim disertai pesangon beberapa kali gaji sebagai tanda terima kasih kami atas pengabdian mereka selama ini. Pemberitahuannya juga tidak mendadak, kita sampaikan keputusan itu ke tim sebulan sebelum benar-benar berpisah jadi mereka bisa mempersiapkan rencana mereka ke depan seperti apa.”
Mati satu, tumbuh seribu
Setiap orang berhak memiliki pilihan, karena ia sendirilah yang akan menjalani dan menanggung pilihan tersebut. Melanjutkan ceritanya, Ube menerangkan bahwa setelah co-founder mundur dan operasional dihentikan, brand Agate Jogja telah dikembalikan kepada Agate Studio. Keputusan selanjutnya tentang Agate cabang Jogja ataupun Agate Jogja sudah diserahkan sepenuhnya pada tim di Bandung.
Ube dan Estu masih akan tetap bernaung dalam pengembangan game. Saat ini keduanya tengah menyelesaikan proyek pengembangan game terbarunya.
“Untuk saya sendiri saat ini tetap di game development, bersama co-founder saya kita mulai setup lagi tim kecil mulai dari awal lagi, hanya dua orang saja. Harapannya jauh lebih mudah mengelolanya. Nama kita sudah ada tapi mungkin baru kita umumkan saat game pertama yang sedang kita garap sekarang selesai dan rilis, mohon doanya.”
Hari ini diperingati sebagai Hari Game Indonesia (HARGAI). Sebuah momen yang diadakan untuk menyulut semangat inovasi pengembang, komunitas, hingga berbagai stakeholder lain yang berperan memajukan industri game lokal. Bersamaan dengan kemeriahan Hari Game Indonesia, DailySocial mencoba menggali insight dari pada pelaku di ekosistem pengembang game lokal untuk berbagi pendapat seputar roadmap ekosistem dan cita-cita yang ingin dibentuk di Indonesia dari sisi penumbuhan kreativitas produk berbasis game.
Kami mencoba berdiskusi dengan para pengembang game lokal yang sudah cukup memiliki reputasi di Indonesia, bersama Co-Founder Agate Jogja Frida Dwi (atau yang akrab dipanggil dengan UB), CEO Amagine Interactive Dennis Adriansyah Ganda dan CEO Arsanesia Adam Ardisasmita.
Tren industri game lokal dan perkembangannya hingga saat ini
Diskusi diawali dari pendapat masing-masing seputar tren perkembangan industri game lokal. Mengawali perbincangan Frida menyampaikan bahwa saat ini terdapat beberapa pergerakan tren terkait dengan pengembang game lokal, di antaranya komunitas pengembang yang mulai aktif di banyak kota dan game lokal yang banyak bermunculan di berbagai platform. Adam juga menambahkan, selain itu kini masyarakat juga sudah makin aware dengan keberadaan produk game lokal. Sehingga tak hanya mampu mempopulerkan produknya saja, bahkan sudah sampai ke tahap monetisasi dari produk game yang dibuatnya.
Sebagai pengembang game di Yogyakarta, Dennis mengakui bahwa ekosistem pengembang game yang bertumbuh ini turut membawa dampak mengalirnya dukungan dari berbagai pihak, termasuk dari korporasi. Sebut saja Google selaku penyedia market store yang banyak dimanfaatkan pengembang di Indonesia, Dennis menyampaikan saat ini Google sudah membuka pintu lebih luas untuk masuknya produk pengembang dan publisher lokal. Dukungan media pun turut dirasakan, sebagai salah satu media publikasi yang efektif.
“Menurut saya ini pertanda positif bagi developer Indonesia, karena market-nya sudah siap, dukungan dari stakeholder juga cukup besar dan resource untuk membuat game juga mulai mudah diakses. Tinggal bagaimana caranya kita membuat game yang berkualitas tinggi dan mampu diterima pemain saja,” ujar Dennis.
Terkait dengan sejauh mana perkembangan ekosistem pengembang game saat ini, Denis dan Frida menyampaikan bahwa masih dalam tahap berkembang, namun dengan akselerasi yang lebih kencang. Para pengembang lokal sudah mulai mampu mengikuti dinamika kemajuan yang ada di dunia, terutama dari sisi cakupan teknologi. Sedangkan Adam mencoba menggambarkan dan membandingkan industri yang ada saat ini dengan yang ada di negara maju.
“Ekosistem game kita jika dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Amerika dan Jepang bisa dibilang masih jauh. Misalkan Jepang level 9 dan Amerika level 10, mungkin Indonesia masih di level 3. Hal ini didasari dengan kualitas dan kuantitas developer kita yang masih rendah. Tak hanya itu, elemen di dalam ekosistem game di Indonesia juga masih banyak yang belum terbangun seperti keberadaan publisher, keberadaan studio game raksasa yang membuka cabang di Indonesia, dan lain sebagainya,” ujar Adam.
Namun demikian Adam mengatakan bahwa perlahan pengembang game lokal juga mulai muncul menghadirkan kualitas karya yang mendunia. Ia juga meyakini dengan momentum yang ada saat ini, cepat atau lambat Indonesia akan mampu bergerak di level yang lebih baik.
Pengembang lokal rata-rata memfokuskan pada game mobile
Teknologi menawarkan banyak ruang untuk pengembang game, mulai dari konsol, PC, mobile hingga yang terkini seperti perangkat virtual reality. Pengembang game lokal pun nyatanya memang masih banyak yang memfokuskan pada platform mobile, bagi Frida sebenarnya platform itu bukan sebagai batasan bagi pengembang, karena menurutnya selain dari sisi produk yang harus bagus, fokus pengembang game lokal adalah potensi profit yang perlu diraih. Selama pesan dan gagasan yang ingin disampaikan melalui game tersebut mudah dijangkau pemain, Frida merasa bahwa pengembang tidak perlu memusingkan tentang di mana game tersebut harus ditaruh.
Berbicara tentang penjangkuan profit, maka pangsa pasar adalah salah satu target yang perlu difokuskan. Adam berpendapat bahwa setiap genregame akan memiliki pangsa pasarnya sendiri-sendiri, pun demikian dengan jangkauan game di platform tertentu, tak bisa dikatakan konsol lebih baik dari mobile dan sebaliknya. Bagi industri yang sedang berkembang seperti di Indonesia, menurut Adam ada baiknya para pengembang memang fokus di platform dulu.
Dennis turut menambahkan bahwa pengembang perlu lebih membuka diri, jangan terlalu menggantungkan diri kepada sebuah platform. Ia melihat dari tren teknologi yang ada saat ini, sangat cepat berkembang dan diadaptasi oleh konsumen.
“Jadi bagi kami bukan soal platformnya yang utama, namun experience dan gameplay seperti apa yang ingin kami berikan kepada users. Baru kemudian kami menilai platform manakah yang cocok bagi kami untuk menyampaikan experience tersebut. Kalau saya pribadi sih ke depannya ingin mengembangkan game-game RPG yang mampu membuat orang betah bermain lama seperti Ragnarok Online,” jelas Dennis.
Monetisasi game bagi pengembang lokal di pangsa pasar lokal
Di tingkat dunia, dalam industri entertainment, game banyak dikatakan berada di peringkat kedua setelah film dari sisi pendapatan industri. Pangsa pasar yang besar itu ternyata belum begitu dirasakan oleh pemain industri lokal. Dan ketika berdiskusi dengan para pengembang, mereka sepakat bahwa industri lokal yang belum bertumbuh dan dominasi kuat pemain asing menjadi penyebabnya.
Adam mencontohkan bahwa industri game yang sudah memiliki pendapatan besar telah dikembangkah oleh studio dengan skala besar, dengan jumlah pengembang ribuan orang. Sedangkan di Indonesia, studio game terbesarnya jumlah karyawannya belum sampai angka ratusan. Artinya memang untuk bisa menghadirkan game dengan skala tersebut, kita masih belum sanggup untuk hari ini.
“Simplenya sih market game lokal sebagian besar masih dipegang oleh luar,” ujar singkat Frida.
Dennis melihat fenomena ini sebagai tantangan bagi pengembang lokal, untuk bisa turut ambil bagian dalam revenue stream yang besar tersebut. Selain itu sudah sejak lama juga para gamers di Indonesia disajikan pada produk-produk luar, tak jarang juga yang “resistant” terhadap game buatan lokal. Memang perlu usaha yang cukup besar untuk menunjukkan bahwa game buatan anak bangsa pun tidak kalah dari game buatan luar.
“Memang kalau kita amati, top grossing Google Play saja mungkin lebih dari 90% game yang ada di situ adalah produk luar, yang artinya sebagian besar revenuegame Android yang ada di Indonesia dinikmati oleh developer luar. Namun sekali lagi saya juga cukup optimis game developer Indonesia dapat semakin berkembang karena gamers lokal sedikit demi sedikit mulai mampu menikmati dan mengapresiasi game lokal, contoh nyatanya ya game Tahu Bulat,” ujar Dennis.
Harapan untuk industri game lokal yang lebih berkilau
Kita semua tentu sepakat, bahwa cita-cita terbesar yang ingin dicapai adalah bisa memfasilitasi kebutuhan produk dalam negeri dengan karya lokal. Meskipun masih dalam tahap berkembang, dan harus bersaing dengan pengembang game global, semua meyakini bahwa tekad dan semangat yang kuat pengembang game lokal untuk berinovasi akan mengantarkan bangsa pada titik puncak yang diinginkan.
“Hari Game Indonesia, harapanku dengan adanya HARGAI masyarakat jadi lebih aware lagi dengan industri game lokal kita. Semoga makin banyak yang tertarik untuk membuat game sebagai media untuk menyampaikan pesan dan gagasan mereka,” pungkas Frida menyampaikan harapannya untuk industri game lokal.
Kerja sama dari berbagai pihak untuk bergotong-royong memajukan industri ini pun juga diperlukan.
“Saya berharap momen ini bisa menjadi tempat untuk mengapreasiasi game-game lokal, memberikan pencerdasan terhadap game yang positif, dan juga bisa membangun momentum agar ekosistem game lokal bisa semakin maju lagi. Memajukan industri game di Indonesia agar bisa sekelas Amerika, Jepang, Korea, dll butuh dukungan dari banyak pihak mulai dari masyarakat, komunitas, media, universitas hingga pemerintah,” pungkas Adam optimis industri game lokal yang bisa maju.
Hari Game Indonesia diharapkan juga tidak hanya menjadi seremonial saja, melainkan benar-benar memberikan dampak yang berarti bagi ekosistem pengembang game nasional.
“Menurut saya Hari Game Indonesia ini adalah awal yang sangat baik untuk mengajak gamers lokal memainkan game buatan dalam negeri. Semoga Hari Game Indonesia ini dapat menjadi acara tahunan yang semakin lama semakin meriah dan gamers lokal semakin menyukai game-game buatan Indonesia. Lalu sebagai seorang game developer juga, saya berharap mampu menyajikan game-game yang jauh lebih berkualitas untuk gamer Indonesia,” pungkas Dennis dengan komitmennya untuk meningkatkan kualitas produk game yang dikembangkannya.