Tema fotografi high-end di ajang Photokina 2018 yang dimeriahkan oleh varian full-frame mirrorless hingga prototype bersensor monster tampaknya juga menular ke kelas ‘fotografi retro‘. Di ranah tersebut, Fujifilm Instax merupakan salah satu pilihan favorit konsumen. Dan inkarnasi terkini dari kamera instan Fuji tersebut memiliki fitur yang tidak ada di generasi sebelumnya.
Setelah memperkenalkan kamera analog bertema nostalgia Instax Square SQ6 di bulan Mei kemarin, Fujifilm kali ini menyingkap penerus dari kamera instan hybrid Instax Square SQ10. SQ10 sempat mencuri perhatian konsumen dengan kemampuannya menyimpan file gambar sebelum dicetak di kertas film, dan kali ini, adiknya yang bernama Instax Square SQ20 mampu merekam video.
Instax Square SQ20 memperkenankan pengguna merekam video berdurasi 15 detik. Bagi pengguna gadget modern, waktu sesingkat itu memang tak terlihat mengesankan. Tapi kapabilitas menarik dari SQ20 adalah, ia mampu menggunakan klip video tersebut untuk menciptakan efek foto baru. Selanjutnya, Anda bisa mengeditnya lebih jauh dan mencetak foto langsung dari kamera.
Produsen juga membubuhkan fitur baru bernama Motion Mode. Dengannya, Anda dipersilakan mencari momen terbaik dalam video buat dicetak. Mode tersebut didukung fungsi Sequence untuk menciptakan efek berbayang/bergerak, dan sebagai alternatifnya, Anda dapat menambahkan bingkai ala film strip atau menerapkan efek retro ala film-film tua.
Untuk fungsi foto still, Anda dapat menemukan opsi familier semisal mode standar, Bulb, Double Exposure, Split, Collage (memunculkan beberapa gambar di satu frame), serta Time Shift Collage (menampilkan empat foto objek yang sama di waktu berbeda). Fujifilm juga menyediakan tidak kurang dari sepuluh jenis filter, serta memberikan kita keleluasaan buat meng-highlight warna tertentu, mengatur tingkat kecerahan, hingga mengaplikasikan efek vignette.
Dibanding Square SQ10, spesifikasi SQ20 mengalami upgrade sekaligus downgrade. Kamera intan hybrid anyar ini mengusung sensor yang lebih kecil dari kakaknya, yakni berukuran 1/5-inci (SQ10 dibekali sensor 1/4-inci). Bagian lensanya kurang lebih sama, mempunyai aperture f/2.4, namun ukuran sensor 1./4-inci berdampak pada berkurangnya field of view. Sebagai kompensasinya, SQ20 mempunyai kemampuan zoom digital sebesar empat kali. Fitur ini pertama kali ada di kamera Instax.
Fujifilm berencana untuk mulai memasarkan Instax Square SQ20 di tanggal 20 Oktober nanti. Namun saat artikel ini ditulis, mereka belum menginformasikan harganya. Sebagai acuan, di Indonesia Square SQ10 dibanderol di kisaran Rp 4 juta.
Berbekal pengalaman lebih dari 80 tahun di ranah fotografi, kemampuan kamera Fujifilm dalam menangkap warna adalah salah satu aspek yang membuatnya begitu dicintai para fotografer. Namun dengan bertambah canggihnya platform sharing video dan sosial media, belakangan Fujifilm juga melihat munculnya kebutuhan baru para konsumen: membuat video berkualitas tinggi.
Sejauh ini, kemampuan kamera Fujifilm dalam menciptakan video baru bisa dibilang ‘mencukupi’. Masih belum puas dengan pencapaian ini, perusahaan spesialis produk imaging asal Jepang itu mulai menyeriusi ranah pengambilan video. Setelah melepas X-A5 untuk konsumen generasi sosial media, kali ini Fujifilm memperkenankan para fotografer kelas kakap dan sejumlah media mencicipi langsung X-H1 sembari menjelajahi keindahan Sumatra Barat.
Pendaratan XH-1 di Indonesia yang dilakukan cukup gesit setelah pengenalannya di bulan Februari kemarin ialah indikasi bahwa Fuji tak mau membuat konsumen setianya di nusantara menunggu terlalu lama. Fujiflm XH-1 adalah kamera mirrorless digital paling high-end di kelas X. Produk ini mengombinasikan tubuh tangguh, mutu gambar superior, dengan kemudahan pengoperasian. Ia juga merupakan kamera X pertama yang dibekali sistem in-body image stabilization (IBIS) 5-poros 5,5-stop dan simulasi film Eterna.
Desain dan daya tahan tubuh
Sebagai orang yang jarang sekali menggunakan kamera mirrorless Fujifilm, sejumlah keunggulan X-H1 segera saya rasakan begitu menggenggamnya di tangan. Pengaturan ISO, mode jepretan (single, continuous shoot plus opsi tiga tingkat kecepatan, dan video), shutter speed (ada mode auto juga), dan metering bisa dilakukan langsung dengan memutar kenop atau switch fisik yang ada di body – tanpa harus menggunakan kombinasi dua tombol atau masuk ke menu terlebih dulu.
Tubuh berdimensi 139,8×97,3×85,5mm Fujifilm X-H1 juga lebih ringan dari yang saya bayangkan, memiliki berat 673-gram, sudah termasuk baterai dan kartu memori. Tentu saja, bobot totalnya bergantung dari jenis lensa yang Anda gunakan.
Faktor andalan lain dari X-H1 adalah ia didesain agar tangguh serta tahan terhadap cuaca, sehingga selalu siap menemani para fotografer berburu momen-momen berharga yang begitu cepat berlalu. Dan dalam pemakaiannya, X-H1 terbukti perkasa menangani kondisi alam berbeda. Saya merasakan sendiri ketahanannya terhadap kondisi cuaca seperti gerimis hingga percikan air terjun, juga sanggup diajak ‘bermain lumpur’ ketika kami mencoba memotret momen pacu jawi.
Menilik ketahanannya lebih jauh, X-H1 diracik agar tahan debu, percikan air, serta dapat beroperasi hingga suhu -10° Celcius. Dan dibandingkan X-T2, struktur magnesium X-H1 lebih tebal 25 persen, dirancang agar bisa meredam benturan secara lebih efektif. Selanjutnya, Fujifilm melapisi permukaan kamera dengan coating granular yang resistan terhadap baretan. Selain itu, sejumlah lensa Fujinon (contohnya XF Zoom 18-135mm yang saya gunakan selama perjalanan di Sumatra Barat) turut mempunyai karakteristik weather-resistant serupa.
Pengalaman penggunaan
Sejujurnya, X-H1 merupakan kamera Fujifilm high-end pertama yang saya jajal, dan saya sangat menghargai kesabaran tim Fujifilm dalam mengajarkan segala fungsi dan fiturnya – dari mulai sesederhana mengubah posisi layar sentuhnya hingga setup continuous shot buat mengabadikan adegan-adegan berkecepatan tinggi dengan karakteristik gerakan objek berbeda. Misalnya memotret joki dan sapi saat berpacu di atas sawah, balapan bebek, hingga atraksi silat macan Minangkabau.
Seperti yang saya ungkap sebelumnya, pengaturan kamera dapat dilakukan secara super-simpel, dipermudah lagi dengan pemanfaatan layar sentuh buat mengutak-atik fungsi serta mengubah zona fokus. Di sesi hands-on selama empat hari kemarin, kendala terbesar dalam menghasilkan foto-foto menawan berada di diri saya sendiri: jam terbang saya sangatlah rendah, dan saya belum paham sepenuhnya seluk beluk kapabilitas kamera ini.
Dalam salah satu sesi hunting foto landscape di Pantai Nirwana, fotografer profesional dan anggota X Team Fujifilm Ari ‘Amphibia’ Riyanto menjelaskan bahwa selama menggunakan kamera mirrorless Fujifilm, hasil jepretan Anda ‘tidak akan pernah keliru’. Bahkan jika foto terlalu terang atau gelap, kita dapat mengubah lagi tingkat cahayanya setelah gambar diambil lewat fitur Exposure Compensation.
Kamera Fujifilm terkenal dengan fitur eksklusif bernama film simulation, yaitu mode reproduksi warna khas produk Fuji dalam kiprahnya berbisnis selama delapan dekade – sedikit contohnya ialah Provia (warna standar), Velvia (vivid, cocok buat landscape) dan Classic Chrome (biasanya untuk jepretan-jepretan dokumenter). Di X-H1, Fujifilm membubuhkan profil warna Eterna yang dirancang untuk mensimulasikan efek sinematik ala film dengan mengurangi kecerahan warna serta memperkaya area bayangan.
Elemen tersebut selaras dengan fokus baru Fujifilm di X-H1: pembuatan video. Kualitas video kameranya sudah ditingkatkan, kini sanggup merekam di bit rate 200Mbps. Kamera memperoleh tak kurang dari 20 fitur baru dan penyempurnaan; yang paling menonjol ialah kemampuan shooting 4K DCI, mode high-speed (untuk menghasilkan video slow motion dengan kecepatan 1/2, 1/4 dan 1/5), serta penggunaan microphone internal 24-bit/48kHz.
Spesifikasi lengkap dari Fujifilm X-H1 dapat Anda lihat via tautan ini.
Harga, ketersediaan dan kompatibilitas
Fujifilm X-H1 akan mulai dipasarkan di Indonesia dalam waktu dekat. Gerbang pre-order rencananya akan dibuka pada tanggal 24 sampai 25 Maret 2018 di Blibli.com. Produk dibanderol seharga Rp 28 juta (belum termasuk lensa), atau Rp 32,5 juta dengan aksesori grip baterai VPB-XH1.
X-H1 kabarnya siap mendukung lensa sinema profesional MKX18-55mm T2.9 dan MKX50-135mm T2.9, akan dirilis pada bulan Juni 2018.
Setelah melangsungkan debutnya di 2013 sebagai kamera berlensa interchangeable paling terjangkau, Fuji melihat pangsa pasar potensial yang akhirnya menjadi sasaran dari versi kedua seri kamera X-A. Mereka ialah para konsumen muda ‘generasi mobile‘ yang membutuhkan kamera canggih, mudah digunakan, serta dapat menunjang gaya hidup mereka.
Ketika kamera Fujifilm X-series lain disiapkan untuk para fotografer kelas antusias, Fuji X-A2 dan X-A3 dirancang buat menunjang salah satu tren favorit di ranah fotografi: selfie. Kiprah seri X-A di negara-negara berkembang tampaknya sangat baik. Sesudah melepas X-A3 di Indonesia pada bulan November 2016, perusahaan produk imaging asal Tokyo itu menghadirkan penerusnya yang dibekali sejumlah pembaruan.
Dinamai X-A5, aspek utama yang ditawarkan oleh kamera mirrorless ini adalah kepraktisan penggunaan. GM electronic imaging division Fujifilm Indonesia Johanes J. Rampi menjelaskan bahwa X-A5 diramu agar bisa jadi pendamping perjalanan Anda serta alat untuk mengabadikan momen dengan pemakaian yang simpel, baik saat Anda ingin mengumpulkan koleksi foto ataupun membuat video.
Mengapa tidak dinamai X-A4?
Mungkin Anda penasaran mengapa sang produsen melewatkan angka ‘4’ pada nama produk ini. Hal tersebut sempat saya tanyakan langsung pada presiden direktur Fujifilm Indonesia, Noriyuki Kawabuko dan alasannya sangat sederhana. Fuji tidak mau produk andalan baru di kelas entry-level itu diasosiasikan dengan ‘ketidakmujuran’ yang diwakilkan oleh angka empat ‘di beberapa negara’ tempat produk dipasarkan.
Desain
Seperti pendahulunya, X-A5 mengusung penampilan ala kamera antik. Tubuhnya terbuat dari logam, yang dipadu lapisan kulit sintetis, dengan desain tubuh balok khas perangkat fotografi klasik. Anda dipersilakan memilih warna kulitnya – ada hitam, coklat dan pink.
Terlepas dari rancangan yang terlihat lawas itu, Fujifilm tidak melupakan aspek ergonomisnya. Beberapa sentuhan seperti dial plus tombol di area jempol kanan berguna untuk memudahkan zoom dan mengaktifkan shutter saat Anda mengambil selfie menggunakan tangan kiri.
Bagian body Fujifilm X-A5 mempunyai dimensi 116,9×67,7×40,4mm, ditambah lensa kit Fujinon XC15 45mm f/3.5-5.6 sepanjang 44,2mm berdiameter 52mm. Keseluruhan tubuhnya ini memiliki bobot 496-gram (body 361g plus lensa 135g) – lebih ringan dari X-A3 dengan berat di atas 580-gam.
Layar live preview berukuran 3-inci-nya juga dapat dibalik secara vertikal ke atas agar bisa dilihat dari depan. Bagian tersebut mendukung penuh navigasi via sentuhan, dapat Anda gunakan untuk menentukan fokus atau menyala-matikan fungsi tertentu tanpa perlu menggunakan tombol directional fisik.
Spesifikasi dan fitur
Kamera mirrorless ini menyimpan sensor CMOS APS-C 23,5×15,7mm 24,2-megapixel, dengan sensitivitas ISO satu stop lebih tinggi dibanding pendahulunya (51200 versus 25600). X-A5 didukung kapabilitas continuous shooting 6-frame/detik maksimal kira-kira 10-frame atau 3fps maksimal 50-frame. Jika tidak mau kehilangan momen berharga tanpa harus melewati proses setting sulit, Fuji juga menyediakan mode burst 4K buat menjepret foto sebanyak 15-frame/detik. Selanjutnya, Anda tinggal memilih foto-foto yang disukai via touchscreen.
Salah satu fitur favorit saya di X-A5 ialah exposure compensation (-5.0EV sampai +5.0EV). Kemampuan unik ini memungkinkan Anda mengatur kembali tingkat exposure setelah jepretan diambil tanpa menyebabkan gambar jadi terlihat tidak natural. Anda bisa mengurangi levelnya jika foto terlalu terang atau sebaliknya. Seorang tim Fuji menjelaskan bahwa hal itu dapat tercapai karena hasil foto diolah dari file RAW yang tersimpan di kamera.
Kelengkapan filter dan film simulation lagi-lagi jadi andalan di kamera mirrorless baru di seri X-A ini. Anda bisa bermain-main dengan 17 filter, di antaranya ada yang membuat gambar jadi terlihat lembut, filter spesialis mainan, hingga untuk menonjolkan warna. Terdapat pula fungsi buat menghilangkan kabut (pecinta fotografi cityscape pasti akan mengapresiasinya) serta fitur buat menambahkan kilauan (sparkle) di area-area terang.
X-A5 turut ditunjang satu fitur yang esensial di era mobile: kamera tak cuma bisa tersambung ke smartphone via konektivitas Bluetooth dan Wi-Fi, namun dapat mengirimkan foto-foto yang sudah diambil secara otomatis, tanpa perlu menavigasi menu.
Sebagai sumber tenaga, X-A5 ditopang oleh baterai rechargeable lithium-ion NP-W126S yang kabarnya bisa memberikan user 450 kali jepretan dalam sekali proses isi ulang.
Flash pintar
Flash juga merupakan aspek di mana kamera fuji bersinar. Kapabilitas Super Intelligent Flash di sana mampu mengisi gambar dengan cahaya secara seimbang. Ia tidak membuat wajah atau objek kehilangan detail serta tekstur walaupun diambil di skenario backlight, kondisi malam hari, maupun di jarak dekat. Buat memaksimalkan kemampuan ini, Anda hanya perlu memilih mode scene recognition.
Video
Mendengarkan masukan dari para pengguna X-A3, kapabilitas perekaman video X-A5 mendapatkan sejumlah upgrade signifikan. Anda dipersilakan merekam video 4K dan memanfaatkan kemampuan multi-focus. Lalu ada pula fitur high speed recording di 1280x720p untuk menciptakan video slow motion. Satu fitur yang paling diminta adalah port microphone, dan Fujifilm akhirnya menyediakan port 2,5mm di sana.
Harga dan waktu ketersediaan
Fujifilm X-A5 rencananya akan mulai dipasarkan pada tanggal 22 Februari 2018, dijual secara perdana di Mall Central Park Jakarta. Untuk memingangnya, siapkan saja uang sebesar Rp 9 juta – harga yang tergolong cukup tinggi buat sebuah kamera mirrorlessentry-level…
Usai memperkenalkan X-A5 baru-baru ini, Fujifilm langsung tancap gas menyingkap kamera baru untuk segmen high-end. Bukan X-T3 atau X-Pro3, melainkan lini baru dengan kode X-H. Namun jangan salah, kamera bernama Fujifilm X-H1 ini diklaim memiliki performa tertinggi dari seluruh keluarga Fuji X-Series.
Lewat X-H1, Fujifilm sejatinya melanjutkan keseriusan mereka di bidang video, yang diawali bersama X-T2 dua tahun silam. Ini bisa dilihat dari spesifikasi utamanya yang cukup mirip: sensor APS-C X-Trans III 24,3 megapixel, plus engine X-Processor Pro. Yang benar-benar baru, dan untuk pertama kalinya bagi Fujifilm, adalah sistem image stabilization internal 5-axis, mirip seperti milik Panasonic Lumix GX9 yang juga baru saja dirilis.
Selama ini, Fuji hanya mengandalkan stabilization bawaan lensa. Dengan adanya sistem internal ini, ketajaman gambar bisa tetap terjamin meski menggunakan lensa yang non-stabilized dan tanpa tripod. Efeknya pun bakal semakin terasa ketika kamera digunakan untuk merekam video.
Di sektor video, X-H1 menjadi kamera Fuji pertama yang mampu merekam dalam format ‘mentah’ F-Log. Pilihan resolusinya antara lain 1080p 120 fps (untuk slow-mo), 4K 30 fps, dan DCI 4K (4096 x 2160) 24 fps – belum selevel Lumix GH5S, tapi setidaknya merupakan prestasi buat Fujifilm yang selama ini terkesan menyepelekan kapabilitas video kamera-kameranya.
Kualitas video yang dihasilkan juga dipastikan lebih baik ketimbang X-T2 berkat tingkat kompresi yang lebih tinggi di angka 200 Mbps. Sebagai pemanis, X-H1 mengemas Film Simulation baru bernama Eterna, yang Fuji formulasikan secara khusus untuk memberikan efek sinematik pada video.
Beralih ke desain, tampak bahwa penampilannya banyak terinspirasi kamera mirrorless medium format Fuji, GFX 50S, utamanya berkat hand grip yang begitu menonjol, serta sebuah indikator LCD kecil di panel atas, di belakang tombol shutter. Sama seperti X-T2, bodi X-H1 juga diklaim tahan terhadap cuaca ekstrem.
Di belakang, pengguna akan disambut oleh viewfinder elektronik (EVF) baru dengan resolusi 3,69 juta dot dan tingkat perbesaran 0,75x. Tidak hanya lapang dan tajam, EVF ini juga sangat cekatan, mampu menyajikan tampilan live dalam kecepatan 100 fps. Di bawahnya, ada LCD 3 inci yang bisa dioperasikan dengan sentuhan.
Fuji berencana menjual X-H1 di AS dan Kanada terlebih dulu mulai 1 Maret mendatang. Harganya dipatok $1.900 (body only), atau $2.200 bersama aksesori vertical grip yang bakal menambah daya tahan baterainya secara drastis, sekaligus meningkatkan durasi maksimum saat merekam video 4K.
Dengan segala kelebihannya, Fujifilm X-T2 bisa dianggap sebagai salah satu kamera mirrorless terbaik yang ada di pasaran saat ini. Namun dengan banderol harga yang cukup mahal, X-T2 jelas bukan untuk semua orang. Bagi sebagian konsumen, mereka mungkin lebih memilih harga yang terjangkau ketimbang fitur seperti bodi tahan cipratan air.
Pertimbangan-pertimbangan semacam ini menjadi penggerak Fujifilm dalam mengembangkan X-T20. Kamera ini pada dasarnya merupakan X-T2 versi mini, dengan banderol harga yang mini pula. Pun begitu, X-T20 masih menawarkan sejumlah fitur uniknya sendiri.
X-T20 banyak mengadopsi gaya desain X-T2, dan secara garis besar tidak jauh berbeda dari pendahulunya, yakni X-T10. Bodinya tetap terkesan kokoh, namun tanpa weather sealing seperti yang diandalkan oleh kakaknya yang berharga lebih mahal tersebut.
Kontrolnya juga sedikit lebih terbatas, dimana X-T20 tidak mengemas joystick untuk menentukan titik fokus dan kenop ISO. Kelebihan lain X-T2 yang tak dimiliki X-T20 adalah perekaman video dalam mode Log serta kompatibilitas dengan aksesori battery grip.
Namun semua itu bisa ditutupi oleh spesifikasi setara X-T2, mulai dari sensor APS-C X-Trans III 24,3 megapixel – sama seperti yang tertanam di Fujifilm X100F – plus kemampuan untuk merekam video 4K 30 fps, menjadikannya sebagai kamera Fujifilm kedua yang tergolong jagoan soal video.
Beralih ke panel belakang, pengguna akan menjumpai sebuah electronic viewfinder (EVF) dengan panel OLED beresolusi 2,36 juta dot, serta layar sentuh 3 inci. Yup, layar sentuh, frasa yang termasuk langka ketika membicarakan mengenai kamera dari Fujifilm. Menutup semuanya, X-T20 juga mengemas sebuah pop-up flash.
Akhir Februari mendatang, konsumen di AS dan Kanada sudah bisa membeli Fujifilm X-T20. Harganya $900 untuk body only – $700 lebih murah dibanding X-T2 – $1.000 dengan lensa XC 18-55mm f/3.5-5.6, dan $1.200 dengan lensa XF 18-55mm f/2.8-4.0. Warna yang tersedia ada dua, yakni silver dan hitam.
Seri Fujifilm X100 merupakan kamera yang sangat unik karena posisinya yang berada di tengah-tengah kamera mirrorless dan kamera pocket. Kualitas gambarnya setara, tapi tidak sefleksibel mirrorless karena lensanya tidak dapat dilepas-pasang. Ukurannya tergolong compact, tapi masih belum seringkas kamera macam Sony RX100.
Kendati demikian, formula ini terbukti sukses membawa nama Fujifilm kembali harum di industri kamera digital. Sudah tiga generasi X100 mereka ciptakan, dan tahun 2017 ini mereka sudah siap untuk memperkenalkan generasi keempatnya, Fujifilm X100F.
Sesuai dugaan, X100F masih mempertahankan desain retro milik ketiga pendahulunya, wajar saja mengingat ini merupakan salah satu nilai jual utama seri X100. Hybrid viewfinder pun juga masih ada, namun kini pengguna dapat mengatur tingkat magnifikasi EVF-nya ketika dalam mode Electronic Rangefinder.
Namun pembaruan yang saya pribadi paling suka adalah aspek kontrol yang lebih komplet. Utamanya berkat kehadiran sebuah joystick kecil di panel belakang yang bisa dipakai untuk menyesuaikan titik fokus secara jauh lebih mudah ketimbang menggunakan empat tombol arahnya.
Beralih ke depan, ada tambahan sebuah command dial yang bisa dikustomisasi. Kenop shutter speed-nya pun sekarang juga bisa dimanfaatkan untuk mengatur tingkat ISO dengan cepat, sedangkan kenop exposure compensation-nya yang berada di paling kanan kini mengemas indikator “C” yang memungkinkan pengaturan exposure sampai +/- 5 stop dengan bantuan command dial itu tadi.
X100F turut menjanjikan peningkatan kualitas gambar berkat pemakaian sensor APS-C X-Trans III beresolusi 24,3 megapixel dan chip X-Processor Pro, yang keduanya dipinjam dari Fuji X-Pro2 dan X-T2. Soal lensa, X100F masih mengusung lensa 23mm f/2.0 dengan kualitas optik yang sudah sangat terbukti.
Penyempurnaan terus berlanjut ke aspek performa, dimana X100F diklaim lebih kencang lagi soal penguncian fokus, startup time maupun shutter release. Jumlah titik fokus yang dapat dipilih pun naik dari 49 menjadi 91 titik. Bisa jadi embel-embel abjad “F” yang dipilih Fuji merujuk pada kata “fast”.
Fujifilm rencananya akan melepas X100F ke pasar AS dan Kanada mulai 16 Februari mendatang seharga $1.299. Pilihan warna yang tersedia ada dua, yakni full-hitam dan kombinasi silver-hitam.
Populer di kalangan enthusiast dan profesional, Fujifilm terus mengerahkan upayanya untuk menembus pasar mainstream. Setelah memperkenalkan X-A3 pada bulan Agustus – dan membawanya ke Indonesia baru-baru ini – Fuji kembali mengungkap kamera mirrorless kelas entry terbarunya, X-A10.
X-A10 merupakan model yang paling terjangkau dari lini X-Series besutan Fujifilm. Secara performa, ia setara dengan X-A2 yang dirilis tahun lalu, mengusung sensor APS-C 16,3 megapixel dengan sensitivitas ISO 200 – 25600. Pun begitu, Fuji mengklaim telah mendesain ulang sensor ini agar mampu mereproduksi warna kulit yang akurat seperti sensor X-Trans yang dimiliki model X-Series yang lebih mahal.
Fitur Film Simulation yang sangat dicintai pengguna setia Fujifilm turut hadir di X-A10. Total ada 6 pilihan yang bisa digunakan: Provia (standard), Velvia (vivid), Astia (soft), Classic Chrome, Monochrome dan Sepia.
Soal desain, X-A10 tetap mengadopsi gaya retro seperti semua model X-Series. Dimensinya dipastikan lebih ringkas dari model yang lain, dan grip-nya telah dioptimalkan untuk penggunaan satu tangan, terutama saat mengambil selfie. Yup, sama seperti X-A2 dan X-A3, X-A10 menyimpan sejumlah fitur yang dikhususkan untuk mempermudah pengguna bernarsis ria.
Yang pertama adalah LCD 3 inci yang bisa diputar 180 derajat menghadap ke depan. Dalam posisi ini, fitur Eye Detection AF akan otomatis aktif, dan pengguna dapat mengambil foto menggunakan command dial yang terletak di panel belakang – lebih gampang daripada menekan tombol shutter ketika kamera dihadapkan ke pengguna.
Anda tidak mendapat layar sentuh di sini. Kalau itu merupakan suatu keharusan, maka X-A3 yang bisa Anda lirik. Terlepas dari itu, kedua model sama-sama diprioritaskan untuk memudahkan pengambilan foto selfie selagi menawarkan kualitas jauh di atas kamera saku.
Fuji pun tampaknya juga memperhatikan potensi X-A10 dalam vlogging. Hal ini terbukti dari sistem image stabilization 5-axis yang merupakan perpaduan metode optik dan elektronik. Harapannya, video 1080p yang diambil bisa tampak mulus meski pengguna tidak memakai tripod.
Konektivitas Wi-Fi turut terintegrasi untuk memudahkan transfer data dan kontrol dari kejauhan. Baterainya diyakini bisa bertahan hingga 410 jepretan, dan kamera juga dapat di-charge langsung menggunakan kabel USB.
Fujifilm X-A10 akan dipasarkan mulai bulan Januari mendatang seharga $499, dibundel bersama lensa XC 16-50mm f/3.5-5.6 OIS II.
Fujifilm meramu X-A1 sebagai kamera berlensa interchangeable dengan harga paling terjangkau dan kesuksesannya mendorong sang spesialis imaging Jepang itu menciptakan penerusnya yang dititikberatkan pada kepabilitas self-portrait. Lalu di bulan Agustus silam, Fujifilm menyingkap iterasi ketiga kamera mirrorless tersebut, dibekali sejumlah perbaikan serta fitur-fitur baru.
Fujifilm X-A2 populer di kalangan generasi muda serta laris manis di pasar Asia, melebihi penjualan di negara-negara barat. Mungkin hal inilah yang membuat Fujifilm tidak mau menunda-nunda pelepasan model barunya di lebih banyak wilayah. Di tanggal 17 November kemarin, Fujifilm mengadakan konferensi pers peluncuran X-A3 di Indonesia. Seperti pendahulunya, kamera dibangun atas dasar tiga prinsip: kualitas gambar jempolan, fungsionalitas, dan mengendepankan desain retro.
X-A3 tetap mengusung arahan desain keluarga X-A, dengan penampilan bertema klasik yang dimaksudkan buat memberikan kesan fresh dan fashionable. Menurut Fuji, arahan ini membuatnya disukai oleh konsumen di segmen usia muda. Dari penuturan langsung CEO Fujifilm Indonesia Masatsugu Naito, X-A3 memang dirancang secara spesifik untuk user di area Asia Pasifik – khususnya Asia Tenggara.
Tubuh kamera – bagian atas, pelat depan dan dial – tersusun dari material aluminium. Fujifilm juga mengembangkan bahan kulit sintetis baru, diposisikan di zona kiri dan grip kanan, dimaksudkan buat menonjolkan tekstur ala kulitnya dan meningkatkan daya cengkram. Di area jangkauan jempol tangan kanan, Anda dapat segera menemukan dial, switch power dan tombol shutter dengan penempatan yang familier.
Bagian layar LCD di belakang memanfaatkan mekanisme slide-and-tilt sehingga panel tidak tertutup oleh body ketika Anda memutarnya 180 derajat ke depan. Menariknya lagi, bagian grip telah di-upgrade agar tetap mantap saat Anda ber-selfie – ketika dioperasikan secara terbalik menggunakan tangan kiri. Fungsi Self Timer kini juga dilengkapi mode Smile Detection, Buddy Timer serta Group Timer. Tanpa perlu menekan tombol, shutter dapat dipicu oleh senyuman atau sewaktu beberapa orang berkumpul bersama.
Performa self-portrait turut disempurnakan oleh fitur eye detection autofocus. Sesuai namanya, kamera akan segera fokus pada mata saat Anda memutar layar. User bisa menentukan prioritas, misalnya secara otomatis, atau ke mata kiri atau kanan.
Kapabilitas selfie memang sangat menarik, tapi tentu saja hal itu bukan satu-satunya daya tarik dari X-A3. Para pecinta foto boga dan traveler sudah pasti akan sangat mengapresiasinya paket penjualan Fujifilm X-A3. Perangkat dibundel bersama lensa kit XC16-50mm II yang lihai menjepret foto-foto macro. Hasilnya istimewa karena X-A3 mampu mendeteksi objek di jarak 7cm dari permukaan lensa, serta ditopang proses fokus yang lebih gesit walaupun kamera dioperasikan di ruang berpencahayaan temaram.
Uniknya lagi, X-A3 turut ditunjang flash pop-up pintar. Ia mampu menyesuaikan cahaya secara akurat di tiap skenario – baik foto makanan, di dalam ruang atau sewaktu mengambil gambar benda-benda berukuran kecil. ‘Kepintaran’ tersebut menjaga keaslian warna serta level kecerahannya. Kemampuan ini dipamerkan langsung oleh perwakilan Fujifilm Iindonesia: ia mengambil foto telapak tangan di jarak dekat dengan menyalakan flash. Bukannya overexposure, teksturtangan tampak jelas dan warnanya natural.
Berbicara spesifikasi, Fujifilm mengombinasikan sensor APS-C 24,2-megapixel (23,5×15,7mm), engine image processing spesial dan lensa Fujinon untuk menghidangkan kualitas gambar prima. Fuji bilang, X-A3 sangat andal dalam mereproduksi warna kulit, dan dengan begini, foto-foto individu merupakan kemahiran utamanya. Sensor APS-C sanggup menghidangkan efek bokeh yang cantik serta menangani foto-foto macro bahkan sewaktu depth of field-nya dangkal.
X-A3 mempunyai jangkauan sensitivitas ISO normal dari 200 sampai 6400, tapi juga bisa diekspansi hingga 12800 serta 25600 jika Anda bermaksud meminimalisir efek getaran. Produsen menjanjikan tingkat noise yang rendah, meskipun Anda menggunakannya di malam hari atau di ruang-ruang minim pencahayaan ketika ISO tinggi diperlukan.
Kamera ini turut menawarkan 11 mode Film Simulation, di antaranya ada Provia (menyajikan warna khas Fujifilm), Velvia (cerah dengan saturasi tinggi), Astia (berwarna lembut), tone Classic Chrome, serta monokromatik dan Sepia. Terdapat pula berbagai pilihan filter (ada 10) semisal Fisheye, Cross Screen, Toy Camera, Miniatur, Dynamic Tone, Pop Color, Soft Focus, High Key, Low Key dan Partial Color.
Proses pemakaian jadi lebih sederhana berkat kehadiran layar sentuh, bisa untuk menentukan fokus atau mengaktifkan zoom. X-A3 juga kompatibel ke app Fujifilm Camera Remote, memungkinkan Anda mengakses hasil jepretan serta mengutak-atik setting kamera dengan smartphone, tersambung via Wi-Fi (hampir serupa app Sony PlayMemories).
Fujifilm berencana untuk memasarkan X-A3 di Indonesia mulai tanggal 25 November, membanderolnya di harga Rp 8,8 juta.
Cukup mengejutkan dari Leica, pabrikan asal Jerman yang biasa memproduksi kamera high-end tersebut baru-baru ini mengumumkan sebuah kamera instan. Dijuluki Leica Sofort, cara kerjanya mirip seperti Fujifilm Instax. Dan pada kenyataannya, Sofort menggunakan format yang sama seperti Instax.
Desainnya cukup menarik dan orisinil; kotak, ringkas serta tersedia dalam tiga pilihan warna, yaitu putih, oranye dan mint. Sofort dibekali sebuah optical viewfinder untuk semakin menumbuhkan aura klasik yang diusungnya, plus sebuah LED flash seandainya dibutuhkan di kondisi yang minim cahaya.
Leica ingin memastikan bahwa Sofort dapat digunakan dengan mudah. Selain mode pemotretan manual, terdapat sejumlah mode otomatis yang telah dioptimalkan untuk skenario-skenario tertentu, misalnya “Macro”, “Party and People”, “Sport and Action”, “Double Exposure”, dan tentu saja, “Selfie”.
Bersamaan dengan Sofort, Leica juga akan memasarkan filmnya sendiri yang tersedia dalam opsi hitam-putih atau berwarna, masing-masing dihargai €14 dan €12 untuk paket berisi 10 lembar. Mengingat Sofort menggunakan format milik Instax, pengguna juga bisa memakai film keluaran Fujifilm.
Hal yang paling mengejutkan adalah perihal banderol harganya. Di saat kita memprediksi harga selangit, ternyata Leica Sofort hanya dipatok $300 saja. Harga ini tentunya masih lebih mahal ketimbang model tertinggi Fujifilm Instax, tapi memang logo dot merah Leica tampaknya masih menjadi indikator premium dari kamera instan ini.
Ada beragam sebab mengapa belakangan kamera mirrorless Fujifilm banyak dipilih para fotografer. Perhatian sang produsen pada warna, detail dan desain ialah alasan umum mengapa ia begitu disukai (juga digemari penulis kami, Glenn). Kira-kira dua bulan silam lalu, Fuji menyingkap versi terjangkau dari X-T1, dan kali ini mereka memperkenalkan model spin-off-nya. Continue reading Kamera Fuji X-T1 IR, Ditujukan Buat ‘Sherlock Holmes Modern’→