Tag Archives: fujifilm x-t3

kamera-mirrorless-aps-c-terbaik-untuk-produksi-video

5 Kamera Mirrorless APS-C Terbaik Untuk Produksi Video

Saat ini, kemampuan perekam video di kamera mirrorless merupakan aspek penting ketika hendak meminang kamera baru. Terlebih bila tujuan Anda memang untuk memproduksi konten video.

Berikut ini adalah rekomendasi lima kamera mirrorless dengan sensor APS-C yang punya fitur-fitur video-centric. Menurut saya sangat cocok untuk para content creator dan juga videografer yang rutin mengambil stock footage.

Kenapa memilih sistem APS-C? Sebab menawarkan keseimbangan antara harga dan kualitas, harga body kamera dan lensa-lensanya lebih terjangkau dengan kualitas yang mencukupi.

Sebelum itu, saya ingin mention bahwa di sistem Micro Four Thirds ada Panasonic Lumix GH5 yang kemampuan perekam videonya tak diragukan lagi. Baiklah mari mulai, daftar di bawah ini berdasarkan harga yang paling terjangkau.

1. Canon EOS M6 Mark II – Rp12.740.000

Canon-EOS-M6-Mark-II

Kamera yang dirilis pada tahun 2019 ini mengusung sensor CMOS baru APS-C dengan resolusi tertinggi di kelasnya, yaitu 32.5MP. Kamera ini sanggup merekam video hingga UHD 4K (3840×2160 piksel) 30fps full tanpa crop, serta didukung sistem Dual Pixel autofocus dengan subject tracking dan face/eye detection.

Canon EOS M6 Mark II juga menawarkan mode high frame rate 1080p 120fps, di samping opsi 1080p 60fps dan 1080p 30fps. Fitur lainnya ialah terdapat mode HDR video yang sepenuhnya otomatis, LCD 3 inci touchscreen yang dibawanya bisa dimiringkan ke atas hingga 180 derajat dan 45 derajat ke bawah, dan punya kelengkapan port mikrofon.

Harus saya akui, Canon EOS M6 Mark II masih lebih condong ke arah fotografi. Kamera ini belum dibekali dengan dukungan picture profile untuk fleksibilitas color grading, tanpa port headphone untuk monitor audio, dan tidak memiliki fitur peringatan zebra. Namun setelah EOS M50, EOS M6 Mark II punya fitur video terbaik diantara kamera mirrorless APS-C dari Canon.

2. Sony A6400 – Rp13 Juta

Sony-A6400

Masuk ke poin kedua, kita sudah mendapatkan kamera mirrorless hybrid dengan kemampuan still dan video yang sama baiknya. Adalah Sony A6400 yang dirilis pada tahun 2019 dengan sensor APS-C beresolusi 24MP dan prosesor Bionz X baru dengan teknologi real-time tracking.

Sony A6400 dapat merekam video UHD 4K (menggunakan oversampling 6K) 24fps atau 25fps tanpa crop, 30 fps dengan crop 1.2x, dan 1080p hingga 120fps. Lengkap dengan fitur video seperti focus peaking yang berguna saat menggunakan manual focus, zebra, dan dukungan picture profile S-Log & HLG.

Selain itu, layar sentuh 3 incinya bisa di flip 180 derajat ke depan, punya port headphone, dan HDMI. Namun, tidak ada port headphone dan tidak mendukung perekakaman video 10 bit menggunakan external recorder lewat HDMI.

3. Fujifilm X-T3 – Rp19,5 Juta

Fujifilm-X-T3

Kamera mirrorless flagship Fujifilm ini dirilis pada tahun 2018 dan merupakan kamera pertama Fuji yang menggunakan sensor baru BSI CMOS X-Trans 26MP dengan X-Processor 4. Meski penerusnya sudah ada, kemampuan video kamera ini masih terbilang sangat mumpuni.

Fujifilm X-T3 memiliki kemampuan merekam video UHD/DCI 4K hingga 60fps dengan bitrate maksimum 400Mbps 4:2:0 10-bit secara internal. Serta, resolusi 1080p hingga 120fps dengan crop 1.29x.

Fitur video lainnya seperti dukungan F-Log, focus peaking, zebra, dan magnification untuk mendapatkan fokus dan exposure yang tepat. Serta, mode Movie Silent Control yang menyediakan kontrol ke layar sentuh. Perlu dicatat, layar X-T3 ini hanya bisa dimiringkan ke atas-bawah maupun ke kiri.

4. Sony A6600

Sony-A6600

Sony A6600 adalah kamera mirrorless flagship APS-C Sony penerus A6500 yang dirilis tahun 2019. Fitur pembeda utama antara A6600 dengan A6400 atau seri di bawahnya ialah adanya 5-axis in-body image stablization, menggunakan jenis baterai baru NP-FZ1000 seperti yang terdapat pada Sony A7 III, punya port headphone untuk monitor audio, tetapi kehilangan flash internal.

IBIS pada Sony A6600 memungkinkan kita menggunakan shutter speed yang lebih rendah hingga 5 stop saat memotret dalam kondisi low light dan membantu mendapatkan pergerakan yang lebih smooth saat merekam video secara hand-held. Menurut CIPA, baterai NP-FZ1000 sendiri sanggup memberikan 810 jepretan sekali charge dan menjadikan A6600 punya ketahanan baterai terbaik di kelasnya.

Sisanya identik dengan A6400, sebut saja sensor APS-C beresolusi 24MP dan prosesor Bionz X baru dengan teknologi real-time tracking. Dapat merekam video UHD 4K (menggunakan oversampling 6K) 24fps atau 25fps tanpa crop, 30 fps dengan crop 1.2x, dan 1080p hingga 120fps. Lengkap dengan fitur video seperti focus peaking yang berguna saat menggunakan manual focus, zebra, dan dukungan picture profile S-Log & HLG. Selain itu, layar sentuh 3 incinya bisa di flip 180 derajat ke depan.

5. Fujifilm X-T4 – Rp26.999.000

Fujifilm-X-T4

Fujifilm X-T4 menggunakan sensor dan prosesor yang sama seperti X-T3 yang juga terdapat pada X-T30, X-Pro3, dan X100V. Adalah sensor gambar BSI CMOS X-Trans 26MP dengan X-Processor 4.

Sebagai penerus X-T3, X-T4 membawa pembaruan dan peningkatan yang sangat signifikan. Sebut saja, 5-axis in-body image stabilization atau IBIS yang mampu mengurangi guncangan hingga 6,5 stop.

Mekanisme layarnya kini sudah fully articulated yang sangat berguna untuk memastikan framing dan autofocus yang tepat. Dilengkapi mode film simulation baru Eterna Bleach Bypass dan menggunakan jenis baterai baru NP-W235 yang memiliki kapasitas sekitar 1,5 kali lebih besar dibanding NP-W126S.

Capability videonya, Fujifilm X-T4 ini dapat merekam video UHD/DCI 4K 30fps tanpa crop dan 60fps dengan crop 1.18x dengan bitrate maksimum 400Mbps 4:2:0 10-bit secara internal. Serta, rekaman video slow motion 1080p pada 240fps.

Firmware Update Sempurnakan Kompatibilitas Fujifilm X-T3 dengan Gimbal dan Drone

Reputasi Fujifilm di ranah kamera mirrorless tentu sudah tidak perlu diragukan lagi. Namun di saat pabrikan-pabrikan lain sudah sejak lama menawarkan kombinasi yang pas antara kapabilitas fotografi dan videografi, Fujifilm baru memulai tren tersebut tahun lalu, tepatnya ketika Fujifilm X-H1 dirilis.

Fujifilm X-T3 yang diluncurkan beberapa bulan setelahnya terus mempertahankan tren tersebut. Selain sangat cekatan dalam memotret, kemampuan merekam videonya pun turut menuai banyak pujian. Ya, kamera mirrorless Fujifilm akhirnya mulai dilirik kalangan videografer, dan sejumlah profesional di bidang ini bahkan tidak segan memakainya untuk kebutuhan komersial dengan bantuan sebuah gimbal.

Masalahnya, saat X-T3 dipasangkan ke gimbal seperti DJI Ronin S atau Ronin SC, skema kontrol via USB-nya jadi amat terbatas. Beruntung Fujifilm merupakan salah satu pabrikan yang paling peduli terhadap suara konsumen, dan mereka baru saja merilis firmware update untuk membenahi masalah tersebut.

DJI Ronin SC / DJI
DJI Ronin SC / DJI

Berkat firmware versi 3.10 ini, pengguna jadi bisa mengoperasikan lebih banyak fungsi selagi kamera tersambung ke gimbal atau drone via USB. Kalau sebelumnya mereka hanya bisa mengaktifkan tombol shutter, sekarang mereka akhirnya dapat memulai dan menghentikan perekaman video, tidak ketinggalan juga mengatur fokus secara manual.

Pengaturan parameter exposure untuk perekaman video juga dapat disesuaikan lewat kontrol pada gimbal atau drone. Jadi tanpa harus menyentuh kamera secara langsung, pengguna sudah bisa mengganti shutter speed, aperture, ISO maupun exposure compensation-nya. Singkat cerita, update ini bakal semakin memudahkan penggunaan X-T3 bersama gimbal atau drone.

Sumber: Cinema5D dan Fujifilm.

fujifilm-x-t30-versi-hematnya-x-t3-dengan-x-trans-4-26mp

Fujifilm X-T30, Versi Hematnya X-T3 dengan X-Trans 4 26-MP

Berbeda dengan Canon, Nikon, dan Panasonic yang tengah sibuk mengembangkan ekosistem mirrorless full frame mereka masing-masing, Fujifilm masih enggan berkecimpung di ranah full frame.

Setidaknya untuk saat ini, menurut mereka peningkatan yang dibawa oleh sensor full frame dari APS-C tidak terlalu signifikan dan Fujifilm lebih memilih lompat langsung ke medium format.

Setelah merilis Fujifilm X-T3, kamera mirrorless APS-C flagship dengan sensor X-Trans 4 pada bulan September 2018 lalu, kini mereka telah mengumumkan Fujifilm X-T30.

7375721263

Penerus dari Fujifilm X-T20 ini mengangkut banyak fitur baru yang terdapat pada Fujifilm X-T3, sensor baru BSI CMOS X-Trans 4 26-megapixel salah satunya.

Fujifilm X-T30 juga didukung X-Processor 4 dengan CPU quad-core yang sama. Memiliki sistem AF hybrid 425 poin mencakup seluruh frame dan native ISO terendahnya adalah 160. Ia mampu memotret berturut-turut hingga 20 fps dengan continuous autofocus dan 8 fps dengan mechanical shutter.

9175420850

Selain itu, fitur seperti face detection diklaim lebih cepat dibanding X-T20, eye detection AF kini dapat digunakan dalam mode AF-C, dan phase detection AF dapat bekerja di kondisi cahaya yang lebih rendah.

Urusan perekaman video, Fujifilm X-T30 memang tidak secakap X-T3 yang mampu merekam video 4K 60 fps. X-T30 hanya mampu merekam video 4K 30 fps saja, 8-bit 4:2:0 internal recording dan 10-bit 4:2:2 ke external recorder melalui HDMI.

6219299555

Soal tampilan, bisa dibilang keduanya punya desain mirip-mirip. Namun, dimensi Fujifilm X-T30 sedikit lebih ringkas (119x72x60 mm) dan bobotnya lebih ringan hanya 423 gram. Layarnya sudah touchscreen dengan mekanisme tilting yang bisa dimiringkan ke atas-bawah, berukuran 3 inci dengan resolusi 1,04 juta dot.

Di atas layar terdapat viewfinder electronic dengan panel OLED resolusi 2,36 juta dot. Tentu saja, Fujifilm X-T30 sudah dilengkapi konektivitas WiFi dan Bluetooth. Daya tahan baterainya sendiri diklaim lebih lama, hingga 380 jepretan sekali charge.

3061679876

Harga Fujifilm X-T30 dibanderol US$899 atau sekitar Rp12,6 juta untuk body only. Bila dengan lensa XC 15-45mm F3.5-5.6 OIS Power Zoom dibanderol US$999 (Rp14 juta) dan US$1.299 (Rp18,3 juta) dengan lensa 18-55mm F2.8-4.

Fujifilm juga turut mengumumkan lensa prime wide-angle XF 16mm f/2.8 R WR. Focal lenght 16mm ini setara dengan 24mm di full frame dan dibanderol US$400 atau sekitar Rp5,6 juta.

Sumber: DPreview

Fujifilm Belum Tertarik Mengembangkan Kamera Mirrorless Full-Frame

Hari ini (27/9/2018), Fujifilm Indonesia meresmikan kantor barunya di Surabaya. Sebelumnya menumpang di Sinarmas Land Plaza, kantor Fujifilm di Surabaya sekarang berdiri sendiri di Jalan Tegalsari No. 2D (sangat dekat dengan showroom-nya yang bertempat di Tunjungan Plaza).

Selain tentu saja untuk urusan operasional, kantor baru ini juga dirancang supaya Fujifilm bisa lebih mudah menyapa konsumen secara langsung; di lobi kantornya ada area hands-on kecil, meski untuk urusan penjualan masih diserahkan ke showroom sepenuhnya. Showroom-nya sendiri disebut menerima respon yang bagus dari konsumen, dan terbukti sanggup membantu meningkatkan angka penjualan.

Eko Yulianto, Branch Manager Fujifilm Indonesia untuk kantor cabang Surabaya, menjelaskan fasilitas-fasilitas kantor baru di depan area hands-on / Foto pribadi
Eko Yulianto, Branch Manager Fujifilm Indonesia untuk kantor cabang Surabaya, menjelaskan fasilitas-fasilitas kantor di depan area hands-on / Foto pribadi

Namun seperti yang bisa Anda lihat di judul, bukan itu yang ingin saya bahas lebih lanjut. Kesempatan ini saya manfaatkan untuk berbincang dengan sejumlah perwakilan Fujifilm Indonesia mengenai tren kamera mirrorless terkini. Dua sosok yang saya ajak bicara adalah Noriyuki Kawakubo (Presiden Direktur Fujifilm Indonesia) dan Anggiawan Pratama (Marketing Manager Fujifilm Indonesia).

Full-frame itu ‘nanggung’

Lini GFX adalah jawaban Fujifilm terhadap maraknya tren mirrorless full-frame / Fujifilm
Lini GFX adalah jawaban Fujifilm terhadap maraknya tren mirrorless full-frame / Fujifilm

Seperti yang kita tahu, mirrorless full-frame menjadi topik terhangat di industri kamera belakangan ini. Nikon, Canon, bahkan Panasonic semuanya telah memperkenalkan kamera mirrorless full-frame bikinannya untuk bersaing dengan lini Sony a7. Bagaimana dengan Fujifilm?

Fujifilm rupanya belum tertarik mengembangkan kamera mirrorless full-frame, setidaknya untuk saat ini. Ada sejumlah alasan yang dibeberkan, baik oleh Noriyuki maupun Anggiawan. Yang pertama, Fujifilm percaya lini kamera X-Series dengan sensor APS-C sudah cukup mampu bersaing dengan kamera bersensor full-frame.

Sikap Fujifilm ini sejatinya tidak berbeda dari ketika mereka memperkenalkan kamera X-Pro1 di tahun 2012. Kala itu, Fujifilm dengan percaya diri mengatakan bahwa sensor APS-C X-Trans bikinannya bisa disetarakan dengan sejumlah sensor full-frame.

Noriyuki sendiri mengakui bahwa sensor full-frame secara teknis memiliki keunggulan dibanding APS-C, meski perbedaan hasil fotonya mungkin tidak terlalu dramatis. Itulah mengapa Fujifilm punya lini GFX; daripada lompat ke full-frame, lebih baik langsung lompat lebih jauh lagi ke medium format.

Noriyuki Kawakubo (kanan), menyebut lini GFX dengan sensor medium format sebagai "super full-frame" / Foto pribadi
Noriyuki Kawakubo (kanan), menyebut lini GFX dengan sensor medium format sebagai “super full-frame” / Foto pribadi

Lini GFX pada dasarnya merupakan jawaban Fujifilm kepada mereka yang menanyakan “mana mirrorless full-frame dari Fuji?” Noriyuki pun sempat mengutarakan istilah super full-frame sebagai julukan lini GFX, dan Fuji memang menggunakan jargon tersebut untuk menjelaskan sensor medium format ke kalangan konsumen yang lebih awam.

Alasan yang kedua, kalau dikaitkan dengan Indonesia, pangsa pasar kamera mirrorless full-frame tergolong kecil; cuma sekitar 9%. Jadi ketimbang bersusah payah bersaing di pasar yang kecil, Fujifilm lebih memilih berfokus di pasar yang lebih luas, dalam konteks ini mirrorless APS-C – kamera terlaris Fuji di Indonesia sendiri adalah seri X-A yang masuk kelas entry-level.

Bukan tidak mungkin ke depannya Fujifilm bakal merilis kamera mirrorless full-frame, apalagi jika Nikon, Canon dan Panasonic terbukti bisa mencuri pangsa pasar yang selama ini didominasi Sony. Namun kemungkinannya terbilang kecil apabila Fuji tetap berpegang teguh pada prinsipnya untuk menawarkan sesuatu yang berbeda.

Fujifilm kini lebih serius di sektor video

Setelah X-H1, Fujifilm X-T3 sekali lagi menghadirkan banyak penyempurnaan di sektor video / Fujifilm
Setelah X-H1, Fujifilm X-T3 sekali lagi menghadirkan banyak penyempurnaan di sektor video / Fujifilm

Fujifilm X-T3 yang dirilis baru-baru ini adalah kulminasi keseriusan Fuji untuk berbenah di sektor video, setelah sebelumnya lebih dulu dibuktikan melalui Fujifilm X-H1 yang benar-benar video-oriented. Apa yang sebenarnya menjadi motivasi Fujifilm? Apakah karena tren yang digalakkan kompetitor belakangan ini?

“Bukan karena kompetitor,” jelas Anggiawan. Sejak awal Fuji memang berfokus pada aspek fotografi, tapi semakin lama semakin banyak konsumen yang menginginkan paket lengkap dari kamera mirrorless yang dibelinya – bukan hanya untuk foto, tapi juga video. Masukan dari konsumen inilah yang menjadi dorongan utama bagi Fujifilm.

Bicara soal X-T3, saya pun tergerak untuk menanyakan kabar mengenai seri X-Pro. Sebelumnya, seri X-Pro selalu menjadi yang pertama kebagian sensor X-Trans generasi terbaru – X-Pro2 yang dirilis di bulan Januari 2016 adalah kamera pertama yang membawa sensor X-Trans III, disusul X-T2 di bulan Juli 2016. Namun situasinya berubah tahun ini; X-T3 adalah kamera pertama yang mengusung sensor X-Trans generasi keempat.

Menurut Anggiawan, nasib seri X-Pro masih belum bisa dipastikan. Mereka belum menerima kabar dari Fujifilm pusat apakah seri ini masih akan dilanjutkan atau tidak. Kalau melihat pasar, seri X-T yang juga diposisikan sebagai flagship mendampingi seri X-Pro memang terbukti lebih laris, dan ini sejatinya bisa menjelaskan mengapa X-T3 dirilis lebih dulu ketimbang X-Pro3.

Fujifilm X-T3 Datang Membawa Sensor Generasi Baru dan Kapabilitas Video Superior

Sebelum Fujifilm X-T2 diluncurkan dua tahun lalu, tidak ada kamera dari lini X-Series yang jago perihal video. Pernyataan ini bukan semata karena X-T2 adalah yang pertama menawarkan opsi perekaman dalam resolusi 4K, tetapi memang hasil rekaman videonya tergolong jelek untuk standar kamera mirrorless.

Kondisinya sudah berubah drastis sekarang. Fujifilm X-H1 yang dirilis di bulan Februari kemarin sejatinya didedikasikan bagi kalangan videografer selagi masih menawarkan kualitas foto khas lini X-Series. Formula ini terus dimatangkan sampai akhirnya lahir Fujifilm X-T3.

Kalau hanya mengamati fisiknya secara sepintas, sulit rasanya membedakan antara X-T3 dan pendahulunya. Fujifilm memang tidak banyak mengubah desainnya, kecuali memperbesar ukuran kenop-kenop di panel atas serta tombol-tombol di panel belakang. Yang berubah signifikan adalah jeroan alias bagian dalamnya.

Fujifilm X-T3

X-T3 merupakan kamera pertama yang mengemas sensor X-Trans 4; masih APS-C, tapi kini beresolusi 26 megapixel dan sudah menganut desain backside-illuminated demi semakin meningkatkan performanya di kondisi minim cahaya. Native ISO terendah yang bisa dipilih sekarang ISO 160, bukan lagi ISO 200 seperti pada sensor X-Trans generasi sebelumnya.

Sensor ini hadir bersama chip X-Processor 4 yang berinti empat (quad-core) dan menjanjikan kinerja tiga kali lebih cepat dari sebelumnya. Prosesor baru ini juga merupakan salah satu alasan terbesar mengapa X-T3 semakin cekatan untuk urusan perekaman video.

Selain menawarkan resolusi maksimum 4K 60 fps, X-T3 juga sanggup menghasilkan output video 10-bit 4:2:0 langsung ke SD card yang terpasang (menggunakan codec H.265/HEVC) atau 10-bit 4:2:2 ke external recorder via HDMI. Barisan angka ini mungkin terdengar membingungkan bagi konsumen secara luas, tapi sangat penting di mata videografer.

Sepintas kapabilitas video X-T3 terdengar lebih superior ketimbang X-H1, akan tetapi X-H1 masih lebih unggul soal satu hal, yaitu image stabilization 5-axis. Kalau merekam tanpa bantuan tripod atau gimbal, X-H1 yang memang video-oriented pasti dapat menghasilkan video yang lebih bagus ketimbang X-T3.

Fujifilm X-T3

Sistem autofocus-nya juga ikut disempurnakan, kini mengandalkan 2,1 juta phase detection pixel dengan coverage 100% (jumlah total titik fokusnya 425). Fujifilm mengklaim kinerja sistem AF milik X-T3 1,5 kali lebih cepat dari X-T2, plus mampu mengunci fokus pada tingkat pencahayaan serendah –3EV (X-T2 cuma sampai –1EV). Lebih lanjut, fitur Eye Detection AF di X-T3 dapat diaktifkan dalam mode AF-C maupun ketika merekam video.

Untuk memotret tanpa henti, X-T3 mencatatkan angka 11 fps menggunakan shutter mekanis, atau 20 fps dengan shutter elektronik. Andai perlu lebih ngebut lagi, pengguna bisa mengaktifkan mode “Sports Finder” yang akan meng-crop gambar sebesar 1,25x, tapi mendongkrak kecepatannya menjadi 30 fps.

Fujifilm X-T3

Beralih ke aspek pengoperasian, X-T3 dibekali viewfinder elektronik (EVF) berpanel OLED dengan resolusi 3,69 juta dot dan tingkat perbesaran 0,75x, serta yang cukup langka, refresh rate setinggi 100 fps tanpa harus mengandalkan bantuan aksesori opsional vertical grip seperti sebelumnya. Tidak seperti pendahulunya, X-T3 kini dilengkapi layar sentuh, dan layar ini masih bisa dimiringkan ke atas-bawah maupun ke kiri.

Soal konektivitas, X-T3 pun juga lengkap. Jack headphone maupun mikrofon semuanya ada, demikian pula HDMI dan USB-C, serta Wi-Fi dan Bluetooth. Baterainya diklaim bisa bertahan sampai 390 jepretan, sedikit lebih awet ketimbang kamera mirrorless full-frame Nikon dan Canon yang diumumkan baru-baru ini.

Fujifilm berniat memasarkan X-T3 mulai 20 September mendatang seharga $1.500 (body only) atau $1.900 bersama lensa XF 18–55mm f/2.8–4. Seperti biasa, pilihan warna yang tersedia ada dua: serba hitam atau kombinasi silver dan hitam.

Sumber: DPReview.