Startup insurtech Futuready mengumumkan tutup operasional di Indonesia.
“Mohon maaf kami, PT Futuready Insurace Broker (FIB), sudah tidak beroperasi lagi,” dikutip dari situs resmi Futuready, diakses pada hari ini (4/7).
Perusahaan melanjutkan, “dari kami semua di FIB, terima kasih banyak telah memercayai kami selama ini. Adalah hal yang menyenangkan telah menyediakan produk asuransi bagi Anda secara online sejak 2016.”
Tidak disebutkan penyebab keputusan tersebut diambil.
Sebelumnya, induk Futuready, Aegon Group, menjual bisnisnya di Thailand pada November 2022 kepada perusahaan ekuitas swasta berbasis di Singapura, The Huntington Group. Di Thailand, sebelumnya menjalankan bisnis sebagai telemarketing sejak 2007, kemudian rebrand jadi Futuready Thailand yang menawarkan solusi asuransi yang berfokus pada konsumen melalui saluran afinitas dan mitra.
Di Indonesia, Aegon, mengempit 80% kepemilikan saham di Futuready. Aegon merupakan perusahaan asuransi jiwa dan manager aset yang berbasis di Den Haag, Belanda.
Saat pertama kali beroperasi di Indonesia pada 2016, Futuready memanfaatkan lisensi sebagai broker asuransi yang diperoleh dari OJK. Petinggi saat itu, Sendy, menyampaikan broker memiliki posisi yang unik karena dapat membantu nasabah dalam berasuransi. Broker melaksanakan tugasnya membantu nasabah menentukan pilihan produk asuransi terbaik dengan objektif dan transparan.
Tidak hanya konsultasi, perusahaan juga dapat memberikan jasa keperantaraan dalam penutupan asuransi serta penanganan penyelesaian klaimnya dengan bertindak atas nama dan demi kepentingan nasabah, bukan kepentingan perusahaan asuransi.
Setelah Sendy, posisi tertinggi Futuready Indonesia diisi oleh Keet Peng Onn sejak Agustus 2019. Onn sebelumnya menduduki beberapa posisi penting di Aegon Group.
Putar otak pasarkan asuransi
Di Indonesia, penetrasi masyarakat terhadap produk asuransi terbilang rendah. Data OJK menunjukkan, tingkat penetrasi asuransi di Indonesia pada 2021 mencapai 3,18% persen, yang terdiri dari penetrasi asuransi sosial (1,45%), asuransi jiwa (1,19%), asuransi umum (0,47%), dan sisanya asuransi wajib.
Sementara itu, kontribusi aset industri asuransi baru mencapai 5,8% terhadap PDB dengan penetrasi di bawah 4%. Padahal, untuk menjadi negara maju, kontribusi asuransi harus mencapai 20% dari PDB.
Founder & CEO PasarPolis Cleosent Randing merinci ada beberapa permasalahan mendasar yang ada dalam industri asuransi. Misalnya, inovasi yang tidak terlalu kencang, produk yang tidak terjangkau untuk masyarakat luas, hingga proses bisnis banyak yang masih manual. Dari sini, banyak sekali kesempatan digitalisasi yang dapat dilakukan oleh pemain insurtech.
Dengan kondisi tersebut, pendekatan PasarPolis adalah membangun digital engagement, menautkan asuransi sebagai bagian dari gaya hidup digital masyarakat Indonesia, dengan menghadirkan layanan embedded insurance.
“Seperti saat orang membeli barang di marketplace, asuransi berasa seperti udara [sesuatu yang mengiringi, dalam hal ini untuk perlindungan barang]. Jadi tujuannya mendatangkan asuransi ke kehidupan orang, bukan orang yang datang untuk mencari asuransi. Kemitraan ini adalah strategi terbaik untuk mengakses pelanggan,” jelas Cleo.
Co-Founder & COO Qoala Tommy Martin menambahkan, tiap kali ada inovasi yang mengubah perilaku masyarakat akan menimbulkan risiko baru. Kesempatan inilah yang bisa digarap perusahaan asuransi, sehingga produknya juga dituntut untuk terus berinovasi. Dunia asuransi itu sendiri dikenal sebagai industri yang kaku dengan proses kerja yang tidak sedinamis layanan insurtech.
“Asuransi harus menjadi lifestyle yang bukan dicari untuk satu tahun, tapi bisa dibeli beberapa kali dalam setahun. Makanya harus dikaitkan dengan lifestyle,” ujarnya.
Kedua perusahaan di atas juga mulai tancap gas memanfaatkan kanal distribusi yang paling banyak dicari konsumer, yakni keagenan. Fuse bahkan hanya memfokuskan diri di model bisnis ini saja.
Bisnis keagenan
Sebelumnya, Direktur Eksekutif AAJI Togar Pasaribu menyampaikan, bagi perusahaan asuransi jiwa, agen itu ibarat darah segar. Bila tidak melakukan rekrutmen, akan membahayakan perusahaan yang mengadopsi strategi agency. Namun, catatan ini hanya berlaku bagi perusahaan asuransi jiwa yang menggunakan agency sebagai kanal distribusinya.
Togar juga menegaskan model keagenan tidak bisa dipisahkan dari budaya masyarakat Indonesia hingga seluruh masyarakat memahami pentingnya proteksi asuransi jiwa bagi dia dan keluarganya. Sebab, produk asuransi sampai saat ini masih ‘dijual’, bukan ‘dibeli’.
Bisnis keagenan ini termasuk mahal dan memiliki turnover yang tinggi. Kendati begitu, perusahaan yang mengandalkan kanal ini tetap harus melakukan perekrutan agar tetap tumbuh dalam kondisi apapun. Togar menyebut ada rumusan umum dalam merekrut agen, yakni 10:3:1. Artinya, dari setiap 10 orang yang diundang, hanya tiga orang yang tertarik dan mengikuti pelatihan. Namun pada akhirnya hanya satu orang yang bersedia menjadi agen asuransi jiwa.
“Kalau dianalogikan, mie instan itu tinggal taruh di display, lalu orang datang membelinya. Produk asuransi jiwa enggak bisa begitu. Dia harus ditawarkan. Nah, inilah yang menyebabkan kenapa peranan tenaga pemasar asuransi jiwa menjadi penting,” katanya.