Sudah bukan rahasia apabila game free-to-play (F2P) selalu juara dalam hal banyak-banyakan pemain. Namun pada kenyataannya, game premium pun juga bisa memiliki jumlah pemain yang masif, terutama jika dibarengi dengan strategi pemasaran yang apik, seperti misalnya mengikutkan game-nya ke dalam sebuah layanan subscription.
Di artikel ini, saya telah merangkum 5 game keluaran tahun 2021 dengan jumlah pemain/unduhan terbanyak. Berhubung yang masuk hitungan hanyalah game yang dirilis di tahun 2021, Anda jelas tidak akan menemukan game-game yang sudah lama eksis dan masih sangat populer seperti Fortnite atau Apex Legends di sini. Namun seperti yang saya bilang, game yang tercantum tidak semuanya F2P.
Pokémon Unite – 50 juta unduhan
Diluncurkan lebih dulu di Nintendo Switch pada bulan Juli 2021, Pokémon Unite merupakan salah satu fenomena industri video game tahun ini. Per Desember 2021 ini, game tersebut sudah diunduh sebanyak 50 juta kali. Cukup mengesankan mengingat versi Android dan iOS-nya baru dirilis pada bulan September.
Game anyar lain yang luar biasa populer tahun ini adalah PUBG: New State. Hanya sekitar satu bulan lebih sejak peluncurannya di tanggal 11 November 2021, game ini rupanya telah menerima lebih dari 45 juta unduhan. Hype seputar game ini memang sudah dibangun sejak pertengahan tahun, jadi tidak heran apabila popularitasnya langsung meledak dalam waktu yang singkat.
Menjelang pergantian tahun, PUBG: New State juga baru kedatangan update besar pertamanya. Salah satu fitur baru yang paling menarik adalah Merit Point System, yang dirancang untuk mengurangi kebiasaan toxic para pemain.
Forza Horizon 5 – 10 juta pemain
Seperti yang saya bilang di awal, menawarkan game premium via layanan subscription merupakan cara yang sangat efektif dalam membangun userbase yang besar, dan Forza Horizon 5 adalah contoh terbaiknya. Game ini dirilis pada tanggal 9 November 2021 lalu di PC, Xbox Series X/S, Xbox One, dan layanan subscription Xbox Game Pass sekaligus. Dalam kurun waktu hanya 10 hari, game ini rupanya berhasil menggaet lebih dari 10 juta pemain.
Forza Horizon 5 merupakan sukses besar bagi Xbox Game Studios. Di ajang The Game Awards 2021, game ini membawa pulang tiga penghargaan sekaligus: Best Sports/Racing Game, Best Audio Design, dan Innovation in Accessibility. Menariknya, seri game balap yang amat sukses ini sebenarnya berawal dari sebuah spin-off.
Back 4 Blood – 6 juta pemain
Contoh lain game premium dengan userbase yang besar berkat keterlibatan layanan subscription adalah Back 4 Blood. Seperti Forza, penerus tak resmi seri Left 4 Dead ini juga dirilis di Xbox Game Pass di hari pertama peluncurannya pada 12 Oktober 2021 kemarin. Sekitar dua minggu kemudian, Back 4 Blood dikabarkan telah dimainkan oleh lebih dari 6 juta pemain.
Kesuksesan Forza Horizon 5 dan Back 4 Blood ini semestinya bisa memicu ketertarikan developer dan publisher lain untuk mempertimbangkan layanan subscription dalam strategi pemasarannya, khususnya buat game-game premium yang memiliki elemen multiplayer. Pasalnya, seperti yang kita tahu, userbase yang besar memang merupakan salah satu kunci keberhasilan dari suatu game multiplayer.
FIFA 22 – 9,1 juta pemain
2021 punya dua game sepak bola baru, yakni FIFA 22 dan eFootball 2022, akan tetapi yang bernasib mujur cuma satu. Di saat eFootball 2022 banyak dianggap sebagai salah satu game tergagal tahun ini, FIFA 22 justru bisa dibilang cukup berhasil. Dalam kurun waktu cuma seminggu sejak dirilis pada 1 Oktober kemarin, FIFA 22 diklaim sudah memiliki 9,1 juta pemain.
Ketersediaannya di beberapa platform sekaligus tentu menjadi salah satu alasan di balik kesuksesannya — FIFA 22 bahkan juga tersedia di layanan cloud gaming Google Stadia. Namun menariknya, FIFA 22 sebenarnya mempunyai perbedaan yang cukup drastis antara versi konsol last-gen dan next-gen, utamanya terkait pergerakan dan animasi pemain, yang terkesan lebih realistis di konsol next-gen berkat pemanfaatan teknologi Hypermotion.
Sebagian besar orang mungkin mengenal PUBG sebagai game free-to-play (F2P). Mereka tidak salah, kalau yang dimaksud adalah PUBG Mobile. Lain cerita untuk PUBG: Battlegrounds yang tersedia di PC, PlayStation dan Xbox, sebab versi ini dari awal dan hingga sekarang masih merupakan game premium.
Semua itu bakal berubah mulai tahun depan. Lewat acara The Game Awards 2021, PUBG Studios mengumumkan bahwa PUBG: Battlegrounds bakal bertransisi menjadi game F2P mulai 12 Januari 2022. Versi F2P-nya ini bakal tersedia di PC via Steam, PS5, PS4, Xbox Series X/S, dan Xbox One.
Pasca transisinya menjadi game F2P, PUBG: Battlegrounds bakal menawarkan upgrade akun bersifat opsional yang diberi nama Battlegrounds Plus. Upgrade ini wajib dimiliki apabila pemain ingin berpartisipasi dalam Ranked Mode maupun Custom Match. Kabar baiknya, Battlegrounds Plus hanya perlu dibeli satu kali seharga $13, dan para pembelinya juga bakal mendapat bonus sejumlah in-game item.
Bagaimana nasib mereka yang sudah membeli PUBG: Battlegrounds dari jauh-jauh hari? Well, mereka secara otomatis bakal mendapatkan PUBG – Special Commemorative Pack yang mencakup sejumlah item kosmetik, plus upgrade Battleground Plus itu tadi. Jadi tidak perlu menyesal seandainya Anda baru membeli game-nya kemarin.
PUBG Studios memang tidak menyebutkan alasan mereka mengubah karya pertamanya ini menjadi game F2P. Namun kalau kita amati, sebagian besar game di kategori battle royale memang banyak yang berstatus F2P, mulai dari Fortnite, Apex Legends, sampai Call of Duty: Warzone. Jadi wajar kalau PUBG sekarang ingin ikut menyesuaikan.l
Perubahan PUBG: Battlegrounds menjadi game F2P secara langsung bakal mendatangkan banyak pemain baru, dan itu berarti peluang adanya cheater pun semakin besar. Tim PUBG Studios sadar betul akan hal itu, dan mereka sudah punya rencana besar untuk mengantisipasinya.
Yang paling utama adalah dengan menyempurnakan solusi anti-cheat rancangan mereka sendiri, Zakynthos. Mulai tahun depan, Zakynthos bakal menerima sejumlah fungsionalitas baru, di antaranya analisis otomatis berbasis machine learning, serta monitoring selama 24 jam untuk Ranked match di kalangan upper rank.
Zakynthos juga bakal menerapkan algoritma hardware ban baru yang lebih efektif dan mampu mencegah celah-celah yang sebelumnya masih bisa dibobol. Singkat cerita, tim PUBG Studios bakal lebih serius lagi memerangi cheater pasca transisi ini.
Warner Bros. Games baru saja mengumumkan MultiVersus, sebuah crossover fighting game anyar dengan deretan karakter yang berasal dari koleksi IP milik mereka, mulai dari Looney Tunes, DC Comics, Scooby Doo, bahkan sampai Game of Thrones.
Tentu saja ini bukan pertama kalinya sebuah franchise besar mencoba meniru formula sukses yang dipopulerkan oleh Nintendo lewat seri Super Smash Bros., sebab ada Nickelodeon All-Star Brawl yang baru saja dirilis bulan lalu. Namun tidak seperti kedua game tersebut, MultiVersus merupakan sebuah game free-to-play (F2P).
Selain mode 1v1, MultiVersus juga menawarkan mode 2v2 dan 4-Player Free For All. Dalam mode 2v2, para pemain dituntut untuk menerapkan strategi kerja sama yang efektif, sebab karakter-karakter dalam MultiVersus memang dirancang untuk melengkapi satu sama lain secara dinamis.
Salah satu contohnya, ketika Bugs Bunny menggunakan skill untuk menggali terowongan di bawah tanah, rekan setimnya juga bisa ikut masuk ke lubang tersebut dan melancarkan serangan kejutan dari titik keluar di sisi yang berlawanan.
Sejauh ini MultiVersus memiliki 13 karakter, masing-masing dengan pengisi suara aslinya, namun jumlahnya dipastikan bakal bertambah seiring berjalannya waktu. Selain dari IP yang sudah terkenal, WB turut merancang karakter baru untuk MultiVersus.
Sebagai game F2P, sudah sewajarnya MultiVersus menawarkan konten in-app purchase, semisal skin untuk tiap karakter — Superman dengan skin Black Lantern kelihatan sangat keren — dan WB Games berniat menghadirkannya dalam format season-based. Cuplikan di trailer-nya juga sempat memperlihatkan elemen dari sistem battle pass.
Cross-play dan cross-progression merupakan fitur standar untuk MultiVersus, dan pengembangnya berjanji untuk menyediakan dedicated server dari hari pertama peluncuran guna meminimalkan problem seputar koneksi. Selain online, MultiVersus juga mendukung local multiplayer.
MultiVersus dikembangkan oleh studio baru bernama Player First Games. Permainan rencananya akan dirilis di tahun 2022 di PC, PlayStation, dan Xbox. Entah kenapa alasannya, WB Games tampaknya tidak punya rencana untuk menghadirkan game ini di Nintendo Switch.
Bagi yang sudah tidak sabar, pengembang MultiVersus berencana menggelar sesi playtest dalam waktu dekat. Kalau tertarik, silakan mendaftarkan diri melalui situs resminya.
Kabar baik bagi seluruh fans Gundam di seluruh dunia, karena Bandai Namco secara resmi mengumumkan game Mobile Suit Gundam terbarunya yang berjudul Gundam Evolution. Dan Bandai-Namco menghadirkan gameplay yang benar-benar baru untuk game satu ini.
Berbeda dengan game-game Gundam sebelumnya yang selalu menggunakan sudut pandang orang ketiga, Gundam Evolution akan menggunakan sudut pandang orang pertama yang otomatis membuat game-nya menjadi sebuah first-person shooter.
Banyak yang beranggapan bahwa gameplay dari Gundam Evolution ini mirip dengan game Overwatch. Anggapan tersebut muncul karena memang dari video gameplaytrailer-nya ada beberapa aspeknya yang punya kemiripan dengan game FPS milik Blizzard tersebut.
https://www.youtube.com/watch?v=5N76riih95A
Yang paling terlihat tentu adalah sistem permainannya, dengan 6vs6 pemain di dalam sebuah arena sempit yang membuat pertarungannya lebih konstan dan intens. Tampilan UI yang diusung pun memiliki kemiripan alagame shooterkompetitif lainnya yang memang mudah dibaca untuk para pemainnya.
Akan ada 3 mode yang telah dikonfirmasi yaitu ‘Point Capture‘, yang akan membuat kedua tim bertarung untuk mempertahankan kontrol terhadap area tertentu dalam map. Sedangkan ‘Domination‘ mengharuskan kedua tim untuk mendominasi 3 titik dalam map.
Dan terakhir adalah ‘Destruction‘ yang mirip dengan sistem klasik Counter Strike yang mengharuskan satu tim untuk menyerang dan menghancurkan objektif sedangkan tim lainnya bertahan.
Gundam Evolution nantinya akan menghadirkan berbagai mecha Gundam dari berbagai seri yang nantinya akan memiliki kemampuan uniknya masing-masing. Untuk awalnya, setidaknya sudah ada 12 Gundam yang telah resmi dikonfirmasi dalam website resminya, yaitu:
RX-78-2
Barbatos
ZakuII
Sazabi
∀ Gundam
GM Sniper II
Methuss
Pale Rider
Asshimar
Dom Trooper
Guntank
GM
Gundam: Evolution direncanakan untuk meluncur pada tahun 2022 mendatang dan akan menjadi game free-to-play untuk platform PC. Sayangnya Bandai Namco hanya mengkonfirmasi jadwal rilis untuk Jepang dan belum ada kejelasan kapan game ini akan dirilis untuk wilayah di luar Jepang.
Kesuksesan game free-to-play FPS Valorant di platform PC kelihatannya membuat publisherRiot Games tertarik untuk membawa gamenya ke platform lain.
Setelah sebelumnya muncul berbagai rumor mengenai game ini akan menuju platform lain, Riot Games secara resmi mengumumkan bahwa game Valorant akan menuju platform mobile.
“Salah satu tujuan kami di tahun pertama ini adalah untuk mendapatkan kepercayaan dan rasa hormat dari komunitas FPS di seluruh dunia,” ungkap sang eksekutif produser, Anna Donlon.
Thank you to everyone who’s joined for our first year of VALORANT // Now, reload and ready up — because we’re just getting started. pic.twitter.com/s2nZk2jCvZ
Pengumuman tersebut sekaligus menjadi perayaan ulang tahun pertama dari Valorant pada 2 Juni lalu. Riot mengonfirmasi bahwa Valorant Mobile akan dirilis baik untuk Android maupun iOS.
Meskipun akan mengusung game yang serupa dengan versi PC-nya, Riot Games mengatakan bahwa Valorant tidak akan mendukung fitur cross-play antara PC dan mobile. Karena versi mobile-nya ini diposisikan sebagai perluasan pasar dari Valorant PC dan bukan untuk mengarahkan para pemain yang sudah bermain di PC untuk berpindah ke mobile.
Ini juga bukanlah kali pertama bagi Riot Games membawa gamenya ke platform mobile karena sebelumnya mereka juga sudah sukses membawa game MOBA mereka, League of Legends, menuju mobile dengan judul Wild Rift.
Dengan keberhasilan Wild Rift yang semakin populer di platform mobile. Tentunya tidak mengejutkan bahwa Valorant memilih platform mobile sebagai rumah keduanya, apalagi dari versi PC-nya saja Valorant kini bisa mendapatkan hingga 14 juta pemain aktif per bulannya.
Sayangnya, Riot Games belum memberikan detail lebih lanjut mengenai Valorant Mobile ini selain bahwa versi mobile-nya akan memiliki semua yang didapat ketika bermain di PC. Begitu juga dengan tanggal rilis yang masih belum diumumkan oleh pihak Riot.
Lima tahun pasca diluncurkan pertama kali, Rocket League telah dimainkan oleh lebih dari 75 juta orang. Game sepak bola sekaligus mobil-mobilan akrobatik (soccar) itu terbukti sangat populer sekaligus punya ekosistem esports yang sehat, namun ternyata developer-nya (Psyonix) masih punya rencana yang lebih besar lagi.
Dalam waktu dekat, Psyonix bakal merilis update yang amat signifikan, sekaligus yang akan mengubah Rocket League menjadi game free-to-play. Ya, Rocket League tidak lama lagi bakal bisa dimainkan secara gratis di semua platform (PC, PS4, Xbox One), dan ini tentu berpotensi menumbuhkan komunitas pemainnya menjadi lebih besar lagi.
Psyonix berjanji untuk tidak mengubah gameplay Rocket League. Malahan, mereka akan menyempurnakan fitur-fitur seperti Tournaments dan Challenges, serta membenahi tampilan menunya supaya lebih mudah dinavigasikan, terutama bagi para pemain baru. Bersamaan dengan debut Rocket League sebagai game gratisan, platform distribusi versi PC-nya juga akan dipindah dari Steam ke Epic Games Store.
Tentu saja kita tidak perlu terkejut mendengar berita ini, sebab Epic Games memang sudah mengakuisisi Psyonix sejak tahun lalu. Pasca pergantiannya menjadi game free-to-play, Rocket League bakal lenyap dari Steam, akan tetapi pemain lama tetap bisa memainkannya sekaligus menerima update lewat platform milik Valve tersebut.
Selain gratis, Rocket League nantinya juga akan mendukung fitur cross-platform sepenuhnya. Ini berarti semua pemain bisa membawa progresnya dari satu platform ke yang lain – dari console ke PC ataupun sebaliknya – menggunakan satu akun Epic Games. Progres yang dimaksud di sini mencakup semua item yang dimiliki dan pernah dibeli, progres Rocket Pass maupun Competitive Rank.
Bicara soal pernah membeli, apakah mereka yang sudah membeli Rocket League dan memainkannya sejak lama akan mendapat fasilitas ekstra? Tentu saja. Semua pemain yang membeli Rocket League sebelum versi gratisannya meluncur nanti – saat ini versi PC-nya di Steam dibanderol Rp 136 ribu – bakal menerima sejumlah hadiah. Berikut rinciannya:
Semua Rocket League-branded DLC yang dirilis sebelum free-to-play
Titel “Est. 20XX” dengan “XX” yang mengindikasikan tahun pertama pemain menyentuh Rocket League
200+ common item yang telah di-upgrade ke kualitas “Legacy”
Golden Cosmos Boost
Dieci-Oro Wheels
Huntress Player Banner
Psyonix sejauh ini belum memastikan kapan persisnya versi gratisan Rocket League bakal dirilis. Mereka cuma bilang “later this summer“, yang berarti tidak akan lewat dari bulan September 2020.
Jika Anda pernah bermain game multiplayer yang kompetitif, khususnya yang gratisan, kemungkinan besar Anda pernah bertemu dengan gamer toxic. Gamer toxic ini sebenarnya ada banyak jenis-jenisnya seperti para pemain yang lebih suka menyalahkan rekan satu timnya, semaunya sendiri dalam bermain (saat memilih role, misalnya), AFK atau rage quit, menggunakan cheat, ataupun perilaku menyebalkan lainnya.
Faktor-faktor ini saya kira memang harus dicari tahu sebelum mencari solusinya. Dari beberapa faktor yang bisa Anda baca di artikel sebelumnya tadi, menurut saya, memang ada yang bisa dicari solusinya dari sisi game publisher namun juga ada yang mungkin di luar jangkauan game publisher.
Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap toxic-nya gamer yang mungkin berada di luar jangkauan game publisher itu adalah elemen kompetitif, kultur sosial negatif (sekarang ini), ataupun soal sistem free-to-play.
Elemen kompetitif tentunya tak bisa dihilangkan juga jika memang hal tersebut yang jadi nilai jual utama game-game kompetitif. Sedangkan dari faktor sistem free-to-play, ada beberapa alasan kenapa hal ini juga berpengaruh dalam merebaknya jumlah gamer toxic.
Pertama, karena bisa dimainkan gratis, para pemain toxic jadi tidak merasakan konsekuensi untuk berperilaku seenaknya sendiri. Jika akun mereka di-ban karena terlalu banyak menerima laporan negatifmereka juga bisa dengan mudah membuat akun baru.
Kedua, karena free–to-play dan salah satu tujuan/tolak ukur kesuksesan sebuah game adalah jumlah pemain, mengatur perilaku orang banyak itu jadinya jelas lebih sulit ketimbang mengatur perilaku lebih sedikit orang.
Sistem free-to-play tadi, meski berpengaruh, memang mungkin tak bisa diubah begitu saja. Namun sistem reward and punishment tadi yang mungkin bisa diperbaiki untuk mencegah perilaku toxic.
Solusi yang bisa dilakukan publisher game dalam mengurangi gamer toxic
Setelah membahas penyebabnya secara singkat tadi, menurut saya, inilah mindset yang bisa dimiliki oleh publisher untuk mengurangi perilaku toxic.
Saya percaya bahwa solusi paling efektif dan paling mudah diimplementasikan adalah dengan lebih menekankan pada hadiah (reward) untuk perilaku baik ketimbang hukuman untuk perilaku toxic. Meski hampir semua game sudah memiliki sistem reputasi, misalnya sistem Honor di League of Legends ataupun Credit Score di MLBB, penekanannya lebih pada hukuman buat gamer toxic. Implementasi hukuman ini yang tidak efektif dan mudah disiasati.
Di MLBB misalnya, para pemain yang memiliki Credit Score rendah memang akhirnya akan dilarang untuk bermain Ranked. Namun batasan minimal Credit Score untuk bermain mode Ranked ini terlalu rendah dan hukumannya pun mungkin tak terlalu berarti. Apalagi, selain bisa dengan mudah membuat akun baru dan menanjak Rank setidaknya sampai Grand Master atau Epic, praktek jual beli akun dan jasa joki juga masih marak ditemukan.
Sistem hukuman Credit Score ini juga masih sangat bergantung pada laporan para pemainnya. Dengan meningkatnya perilaku individualis tiap-tiap orang di zaman modern, sistem laporan tadi juga mungkin tidak efektif. Misalnya saja seperti ini, di MOBA, satu tim berisikan 5 orang. Misalnya saja saya hanya toxic terhadap 1 orang, hanya orang itu saja yang merasa dirugikan dan melaporkan saya — sedangkan 3 orang lainnya mungkin tidak merasa memiliki alasan untuk melaporkan saya.
Sebaliknya, jika penekanan sistemnya lebih kepada reward buat mereka-mereka yang berperilaku baik, hal tersebut mungkin akan lebih efektif untuk membangun kultur positif di dalam komunitas.
Mengubah penekanan pada perilaku terpuji, di bayangan saya, bisa jadi seperti contoh berikut. Jika seorang pemain berhasil mempertahankan reputasi (Honor, Credit Score, atau apapun namanya) di tingkat tertinggi dalam satu bulan penuh, ia bisa mendapatkan mata uang yang bisa dibelanjakan. Memberikan ataupun mendapatkan reputasi baik (Like, misalnya) dari pemain lainnya juga bisa mendapatkan reward.
Contoh konkretnya, jika hal tersebut diterapkan di MLBB, misalnya seperti ini. Jika saya bisa mempertahankan Credit Score di angka 110 terus menerus dalam 30 hari, saya akan mendapatkan 100 Diamond. Di MLBB, kita juga bisa memberikan Like/Love kepada pemain lain setelah setiap pertandingan. Setiap kita memberikan Like ke satu pemain, kita akan mendapatkan 10 Gold. Setiap Like yang kita dapat dari pemain lain, kita juga akan mendapatkan 50 Gold.
Jadi, hanya dengan selalu berlaku positif saja, kita bisa mendapatkan 90 Gold tambahan setiap pertandingan dan 100 Diamond per bulan. Tentunya, nominal dan currency reward tadi bisa saja disesuaikan dengan perhitungan masing-masing publisher. Namun, intinya, publisher game harus memberikan alasan dan tujuan yang jelas dan berharga kenapa kita harus berperilaku positif di game mereka. Selain memberikan konsekuensi untuk perilaku negatif — seperti yang sekarang sudah berlaku. Jika ingin lebih jauh lagi, ada ranking juga buat para pemain yang bisa mempertahankan Credit Score paling lama.
Menurut saya, hal ini sebenarnya mudah diimplementasikan (hanya tinggal menghitung berapa nominal dan currency yang masuk akal saja) dan akan lebih efektif untuk mendorong kultur positif di komunitas game tersebut. Dengan kultur positif yang semakin tinggi, otomatis, perilaku toxic juga akan semakin berkurang.
Penutup
Terakhir, ibaratnya saja seperti ini. Baik dengan orang tua, guru, atau atasan, hukuman, teguran, atau cacian saat berlaku negatif itu memang nyatanya lebih sering kita rasakan ketimbang pujian ataupun hadiah saat berlaku positif. Hal ini jadi lebih membuat kita mencari aman ketimbang mengambil inisiatif untuk berlaku positif.
Game sendirijuga sebenarnya sudah menekankan sistem reward dan punishment yang lebih gamblang dan efektif. Anda harus farming jika ingin mendapatkan uang dan EXP. Sebaliknya, Anda tidak boleh sering mati juga jika tidak ingin kehilangan waktu untuk farming. Sistemnya memang dibuat untuk mendorong yang positif dan menghindari yang negatif.
Gameplay-nya tentu saja jadi tidak akan efektif jika Anda hanya didorong untuk menghindari yang negatif. Jika Anda hanya perlu mencari aman, kemungkinan besar, sebagian besar pemain akan lebih memilih untuk bermain pasif.
Apakah Anda setuju dengan solusi ini? Atau apakah Anda memiliki solusi lain yang lebih efektif dan masuk akal untuk dilakukan dalam mengurangi perilaku gamer toxic?
Seiring dengan meningkatnya popularitas game free-to-play, muncul juga istilah game pay-to-win. Konsep pay-to-win sebenarnya sudah bisa ditemukan saat jaman-jaman keemasan MMO gratisan di PC saat awal-awal tahun 2000an. Namun, sayangnya, di platform mobile, game-game semacam ini seakan beranak pinak kian banyak.
Sebagian besar isi dari tulisan ini memang opini saya. Namun, sebagai justifkasi opini, saya telah mengeluarkan uang setidaknya puluhan juta di game-game free-to-play, yang kebanyakan pay-to-win. Saya juga sudah berkecimpung di industri game sejak 2008, termasuk bekerja di publisher game ataupun aplikasi yang memiliki micro transactions alias in-app purchases. Karena pekerjaan saya di industri ini juga, saya telah menamatkan setidaknya 2000 game single-player (yang biasanya premium) dan mencoba belasan ribu game-game free-to-play (baik di mobile ataupun PC).
Definisi game pay-to-win
Sebelum kita mengurai lebih jauh tentang masalah sistem bisnis ini, mungkin ada yang belum tahu apa itu game pay-to-win. Buat Anda yang sudah tahu, Anda tetap bisa membaca bagian ini untuk mendeteksi ‘gejalanya’ sebelum terlanjur basah merogoh kocek.
Game pay-to-win adalah game-game yang menjadikan advantage di game sebagai komoditas. Bentuk advantage tadi bisa berupa barang premium (baik itu equipment, karakter, item, pet, dan kawan-kawannya) yang fungsinya lebih baik dari barang gratisan ataupun yang berupa semacam ‘steroid’ untuk mempercepat progresi di game.
Mungkin memang sejumlah game terang-terangan menjual barang premium yang fungsinya lebih baik dari yang gratisan dan barang tersebut memang tak bisa didapatkan tanpa membayar. Namun, tidak sedikit juga publisher dan developer game gratisan sekarang yang kian pintar untuk tidak terang-terangan menjual barang-barang tersebut dan mengaburkan konsep pay-to-win. Inilah yang saya maksud dengan ‘steroid’ di paragraf sebelumnya.
Mungkin bisa jadi Anda tidak setuju dengan ini, namun bagi saya, istilah game ‘free-to-play‘ itu saat ini sudah bisa dibilang menyesatkan (bahasa gaulnya, misleading). Kenapa? Karena sebagian besar game-game free-to-play sekarang sudah membatasi jatah Anda bermain setiap harinya — dengan sistem stamina, energi, atau apapun istilahnya. Bahkan untuk bermain saja, Anda harus membayar jika ingin waktu yang lebih lama. Setidaknya, dulu di jaman game gratisan di PC, sebagian besar mengizinkan Anda grinding/farming 24 jam non-stop.
Sistem pembatasan waktu bermain dan menjual kesempatan untuk bisa bermain lebih lama, bagi saya, sudah masuk kategori pay-to-win. Inilah satu hal yang mungkin harus Anda sadari jika ingin menghindari game-game pay-to-win.
Kenapa saya bisa bilang demikian? Setiap game gratisan (hampir) selalu ada sistem progresi (bisa berupa level, koleksi karakter, equipment rarity, dan lain sebagainya) yang membutuhkan berbagai macam resources (gold, exp, dkk.) termasuk waktu bermain. Jadi, semakin lama Anda bermain, semakin cepat Anda mengumpulkan resource tadi.
Misalnya saja seperti ini, jika Anda bermain gratis sepenuhnya, Anda hanya bisa bermain 10x sehari. Namun, buat yang bayar, mereka bisa bermain sampai 30x sehari. Kira-kira, pemain mana yang bisa mengumpulkan resource lebih banyak dalam sebulan?
Istilah yang sering digunakan para publisher atau developer untuk berkilah adalah “pay for convenience” karena semua barang-barang atau resource juga bisa didapatkan secara gratis. Namun, di game-game yang punya sistem progresi, biasanya juga ada yang istilahnya “snowball effect“.
Mari kita kembali ke pengandaian antara pemain yang bisa bermain 10x dan 30x sehari tadi. Untuk bisa sampai ke level 10 misalnya, kita butuh 300x main. Pemain gratisan memang bisa mencapai level 10 dalam waktu 30 hari. Namun dalam waktu 30 hari, pemain yang bermain 30x sehari mungkin sudah mencapai level 15-20. Semakin lama, jarak antara dua pemain tadi, akan semakin besar sampai ada batasan konten (level cap, misalnya) di game tersebut.
Jadi, silakan percaya saya atau tidak, jika ada yang bilang game-nya tidak pay-to-win namun menjadikan kesempatan bermain sebagai komoditas, Anda yang bermain gratis akan (hampir) selalu ketinggalan langkah dengan yang bayar.
Kenapa ada sistem pay-to-win?
Ada beberapa alasan dan tujuan kenapa sistem ini ada. Pertama adalah pendapatan atau profit yang lebih cepat untuk publisher/developer. Game-game yang tidak punya micro-transaction hanya punya 2x kesempatan untuk mendapatkan uang dari penggunanya. Pertama adalah saat game tersebut dirilis. Kedua adalah saat game tersebut mengeluarkan premium add-on atau DLC. Sedangkan membuat game ataupun merilis DLC baru juga tidak secepat mengimplementasikan item untuk dijadikan in-app purchase.
Sedangkan game-game yang punya micro-transaction, apalagi yang jualan stamina, energi, dan kawan-kawannya tadi, bisa mendapatkan uang setiap harinya selama game tersebut masih ada pemainnya. Tidak sedikit dari game-game gratisan yang dibuat hanya untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Kedua, pergeseran tren konsep game sebagai produk retail jadi game as a service (GaaS). Dulu, game memang hanya bisa dijual layaknya produk retail alias jual putus. Setelah Anda beli game-nya, Anda bebas melakukan apapun dengan produk tersebut. Mau dimainkan, dibuang, dikasihkan, atau dipinjamkan ke orang juga silakan. Game-game yang diperlakukan layaknya produk retail ini (yang jual putus) sekarang juga masih ada tapi seringnya single-player atau mencari pemasukan dari penjualan DLC secara berkala (tidak setiap hari).
Sedangkan untuk GaaS, yang Anda bayarkan adalah akses/layanan ke game tersebut (atau fitur yang ada di dalamnya). Nah, karena yang dijual adalah layanan (service), tentunya butuh biaya juga untuk bisa terus mempertahankan layanan itu ada. Misalnya biaya untuk sewa server, biaya untuk membayar para pekerjanya, biaya untuk beriklan ataupun yang lain-lainnya.
Para pekerja untuk publisher yang produknya GaaS juga biasanya lebih banyak. Misalnya, salah satu publisher Indonesia yang dulu dikenal dengan MMO gratisannya bahkan bisa memperkerjakan ratusan orang hanya untuk sebagai Game Master (orang-orang yang mengawasi para pemain di dalam game) — belum termasuk untuk divisi-divisi lainnya.
Game-game single-player yang tidak punya micro-transaction (yang jual putus), biasanya, juga tidak punya anggaran iklan setiap bulan — hanya saat rilis game atau DLC baru. Sedangkan untuk GaaS, biaya marketing atau user acquisition bisa jadi pengeluaran terbesar mereka setiap bulannya.
Oh iya, berhubungan dengan GaaS ini, saya juga ingin mengingatkan Anda untuk tidak mudah terbuai atau memberikan penilaian terlalu cepat. Setiap yang namanya produk layanan, kebijakannya bisa berubah sewaktu-waktu. Misalnya, game-game gratisan yang tadinya mungkin tidak terlalu parah soal aspek jualannya (pay-to-win-nya) bisa jadi berubah setelah setahun kemudian.
Kenapa bisa begitu? Saya tahu (meski saya tidak bisa sebut nama) memang ada yang strateginya seperti jual narkoba. Kasih gratis dulu, setelah kecanduan baru diperas habis-habisan.
Contohnya dari pengalaman saya saja dengan salah satu game. Awalnya, salah satu game yang saya mainkan dulu tidak menekankan pada sistem gacha (alias random chances atau RNG) sebagai cara utama mendapatkan keuntungan. Jujur saja, saya memang benci yang semacam itu karena saya tidak suka beli kucing dalam karung. Saya pun bermain selama setahun dan mengeluarkan biaya sampai sekitar Rp30 juta untuk game tersebut. Masuk tahun kedua, semuanya berubah. Barang-barang baru di tahun kedua hanya bisa didapatkan lewat sistem gacha.
Awalnya, saya jadi berat meninggalkan game tersebut karena saya merasa sudah investasi uang dan waktu yang tidak sedikit. Meski akhirnya saya pun merelakan dan mengingatnya sebagai bahan pembelajaran atas kebodohan saya. Setelah berbincang dengan beberapa orang di balik layar, ternyata strategi semacam itu memang sengaja digunakan.
Alasan terakhir kenapa sistem pay-to-win ada adalah, sama seperti setiap produk yang ada di muka bumi ini, karena ada pasarnya. Sistem pay-to-win memanfaatkan sifat dasar manusia yang memang lebih senang saat menang dan cenderung memilih jalan pintas. Sifat ini mungkin memang naluriah di setiap manusia. Saya sendiri juga tidak menafikkan kepuasan batin yang saya dapatkan saat bisa membantai para pemain gratisan dengan sangat mudah setelah mengeluarkan jutaan Rupiah di satu game.
Jika kita analogikan dengan olahraga, klub bola yang kaya raya rela mendatangkan pemain bintang yang mahal demi mendapatkan lebih banyak kemenangan. Namun, sayangnya, ada lebih banyak aturan di sepak bola untuk menjaga semangat fair-play. Jika sepak bola lebih terang-terangan menggunakan sistem pay-to-win, pemain yang bayar lebih mahal boleh lari lebih lama ketimbang yang tidak bayar sama sekali.
Di luar game, ada norma-norma (sosial, budaya, dan hukum) ataupun etika yang menjunjung tinggi nilai keadilan sosial sehingga mungkin jadi tak terlalu kelihatan. Sedangkan di game pay-to-win, sistem tersebut malah dijadikan komoditas dan fitur utama.
Jual-beli ijazah atau jasa pembuatan skripsi misalnya, meskipun mungkin memang ada, tidak diiklankan segamblang itu. Sedangkan in-app purchase bahkan ditunjukkan lewat pop-up di depan mata.
Apakah sistem pay-to-win memang yang terbaik untuk publisher/developer game?
Jika memang sistem pay-to-win bisa menghasilkan uang dengan cepat, tidak dilarang (setidaknya setahu saya belum ada aturannya seperti di sepak bola tadi), dan memang memanfaatkan sifat dasar manusia, apakah sistem ini memang yang terbaik buat publisher/developer game?
Well, tergantung tujuannya. Jika tujuannya adalah mengeruk uang sebesar-besarnya dalam waktu sesingkat-singkatnya, sistem ini memang terbukti efektif — saya tidak menyangkalnya. Namun jika tujuannya adalah membangun bisnis jangka panjang, menurut saya, sistem ini tidak bisa digunakan.
Kenapa?
Pertama, game-game yang terlalu berlebihan dalam menyodorkan sistem pay-to-win mungkin memang hampir selalu bisa menemukan segelintir pemain sultan (atau whales istilah bahasa Inggrisnya) yang mau merogoh koceknya dalam-dalam. Namun, sifat naluriah manusia jugalah yang nantinya akan jadi masalah. Meski kita memang suka dengan kemenangan mudah, kita juga suka mencari tantangan. Kita akan cepat bosan jika tidak menemukan tantangan baru. Namun di sisi lain, harapan jugalah yang membuat kita untuk terus berjalan. Memang sifat-sifat manusia itu seringnya kontradiksi satu dengan yang lainnya.
Ibaratnya, Messi atau Ronaldo pasti akan bosan bermain bola melawan Anda terus-terusan karena Anda tidak akan bisa memberikan tantangan yang berarti untuk pemain sekelas mereka. Anda juga pasti malas terus-terusan melawan mereka karena tahu tak ada harapan untuk bisa menang.
Hal itu jugalah yang terjadi di game-game pay-to-win yang sudah tutup usia. Pemain sultan lama-lama bosan mem-bully pemain gratisan. Sebaliknya, pemain gratisan juga malas di-bully terus-terusan. Menyeimbangkan antara tantangan dan harapan para pemainnya adalah kunci dari game-game gratisan yang berumur panjang.
Kedua, sepanjang karier saya dari 2008 tadi, tanggung jawab utama saya adalah mengurus user/pengguna (bagaimana memberikan konten yang berkesan dan bermanfaat, menyuguhkan pengalaman yang menyenangkan, menarik perhatian, dkk.). Jadi, saya tahu setiap pengguna itu akan bertambah pintar cepat atau lambat. Bedanya hanyalah ada yang bisa dibodohi 1x tapi ada juga yang bisa dibodohi berkali-kali wkakwkakwka… Demikian juga dengan game-game pay-to-win.
Buat yang menantikan rilisnya Cyberpunk 2077, saya yakin betul mereka pernah memainkan The Witcher. Demikian juga dengan mereka-mereka yang dulu menantikan RDR2, kemungkinan besar adalah para fans dari seri GTA. Maksudnya, para gamer itu juga tidak sebodoh itu. Kita tahu produk dari siapa saja yang memberikan kita kenangan manis untuk dikenang.
Game-game yang memberikan kesan positif yang di akhir permainan membuat para pemainnya menantikan produk-produk baru dari para pembuat game-game tersebut.
Sedangkan game-game pay-to-win, buat saya, lebih mengingatkan saya pada kebodohan diri saya sendiri dan bagaimana mereka berhasil membodohi saya. Jadinya, saya akan menghindari game-game dari rilisan publisher yang sama. Makanya, tidak sedikit juga publisher game pay-to-win yang mencoba mengaburkan/mengganti namanya karena sudah tahu banyak orang jera dengan produk mereka. Kalaupun ada yang masih menggunakan brand yang sama, popularitas game-game baru mereka sudah jauh berkurang dibanding yang sebelum-sebelumnya.
Penutup
Jadi apakah game-game pay-to-win masih akan terus ada? Menurut saya, iya. Hal ini sama saja dengan pertanyaan apakah kebanyakan media daring masih akan terus menggunakan click-bait dan trik-trik picisan lainnya untuk mencari perhatian. Faktanya, akan selalu ada para pelaku industri yang memilih uang atau hasil cepat ketimbang membangun brand loyalty untuk jangka panjang.
Namun demikian, Anda sebagai user/pengguna juga tentunya sudah mulai bisa lebih jeli dalam memilih produk seperti apa yang ingin Anda gunakan ataupun berikan dukungan. Apakah Anda lebih suka produk yang memanfaatkan kebodohan Anda? Atau Anda memilih produk yang memang bertujuan memberikan pengalaman yang terbaik? Jawabannya sepenuhnya di tangan Anda.
Suka atau tidak, free-to-play (F2P) adalah masa depan industri gaming, terutama di ranah mobile. Model bisnis seperti ini sejatinya merupakan win-win solution bagi konsumen dan developer: konsumen senang karena tidak perlu mengeluarkan uang untuk bisa bermain, sedangkan developer senang karena bisa meraup untung lebih banyak dari pemain yang bersedia mengucurkan dana.
Memangnya seberapa besar untung yang bisa didapat dari game F2P? Coba tanya ke Epic Games selaku developer Fortnite Battle Royale. Hanya sebulan setelah versi mobile-nya dirilis, nilai pemasukannya sudah mencapai angka $15 juta. Yang lebih mengejutkan lagi, itu baru di iOS saja, sebab versi Android-nya masih belum siap.
Oke, angka sefantastis ini mungkin hanya berlaku ketika model bisnis F2P dikawinkan dengan genre battle royale, tapi intinya F2P merupakan bisnis yang sangat menggiurkan bagi developer game. Jadi jangan salahkan kalau ke depannya populasi game mobile premium makin menipis.
Salah satu yang terkena dampaknya adalah seri game “GO” besutan Square Enix Montreal. Berbicara kepada PC Games Insider, Patrick Naud selaku pimpinan studionya mengungkapkan bahwa mereka tidak akan melanjutkan seri ini ke depannya. Atau dengan kata lain, tidak akan ada lagi game GO untuk franchise lain selain tiga yang sudah ada, yaitu Hitman, Tomb Raider dan Deus Ex.
Tiga game tersebut, Hitman GO, Lara Croft GO dan Deus Ex GO, terbukti berhasil menuai pujian dari banyak pihak, baik dari segi gameplay maupun visualnya yang unik. Pemasukannya pun tergolong lumayan kalau kata Patrick. Akan tetapi jumlah pemainnya terbilang sedikit, dan penyebabnya tidak lain dari harga yang harus dibayar saat hendak mengunduh game, meski mungkin hanya sekitar $5 saja.
Patrick lanjut menjelaskan bahwa konsumen sekarang memiliki banyak pilihan game bagus yang bisa dimainkan secara cuma-cuma. Sederhananya, kenapa harus membayar ketika ada yang gratis? Mindset seperti ini mungkin terkesan negatif, tapi pada kenyataannya tidak sedikit game F2P yang benar-benar bagus, seperti salah satunya Fortnite itu tadi.
Kendati demikian, ini bukan berarti Square Enix Montreal sudah benar-benar menyerah di ranah game mobile. Mereka masih akan terus berkarya, hanya saja seri GO tidak akan dilanjutkan. Jujur saya sedikit sedih, sebab Hitman GO dan Lara Croft GO terbukti sangat adiktif sampai-sampai Square Enix Montreal memutuskan untuk menggarap versi console dan PC-nya.
Salah satu game RTS (real-time strategy) terpopuler, StarCraft II garapan Blizzard, bakal dijadikan game free-to-play mulai tanggal 14 November mendatang. Ini merupakan kejutan terbesar yang Blizzard umumkan sejak StarCraft II pertama dirilis di tahun 2010, di samping versi remastered dari StarCraft orisinil tentunya.
Istilah free-to-play pastinya berkaitan dengan sejumlah batasan, namun Blizzard tampaknya sudah memikirkan semuanya dengan matang. Yang dapat kita nikmati secara cuma-cuma spesifiknya adalah StarCraft 2: Wings of Liberty, alias campaign yang pertama.
StarCraft II sendiri punya beberapa expansion, dan expansion-nya ini tidak termasuk sebagai gratisan. Kendati demikian, khusus untuk mereka yang sudah pernah membeli StarCraft II: Wings of Liberty, Blizzard bakal menghadiahi mereka dengan expansion Heart of the Swarm secara cuma-cuma.
Yang lebih menarik lagi, ternyata bukan cuma single-player campaign yang Blizzard gratiskan, tapi juga mode ranked multiplayer-nya. Syaratnya hanya satu: pemain harus memperoleh achievement 10 First Wins of the Day di mode Unranked atau Versus A.I. terlebih dulu sebelum bisa membuka mode multiplayer ini secara permanen.
Terakhir, tiga Co-op Commander berikut, yakni Raynor, Kerrigan dan Artanis, ternyata juga bisa dimainkan secara cuma-cuma. Untuk Co-op Commander lainnya, Anda dapat memainkannya tanpa biaya, tapi hanya sampai level lima saja.
Jadi kalau mau disimpulkan, Anda sekarang bisa memainkan mode multiplayer, semua Co-op Commander dan single-player campaign pertama StarCraft II tanpa dipungut biaya sepeser pun. Meski sudah hampir di penghujung tahun, 2017 merupakan saat yang tepat untuk mulai menekuni genre RTS kompetitif.