Di tahun pertamanya beroperasi sebagai bank digital, PT Bank Neo Commerce Tbk (IDX: BBYB) telah mencatatkan milestone yang signifikan. Hingga semester I 2022, aplikasi BNC telah diunduh sebanyak 26 juta kali, nasabahnya menembus 18,5 juta dengan Monthly Active User (MAU) sekitar 3 juta.
Pencapaian ini tak lepas–salah satunya–dari strategi gamification di dalam aplikasi untuk memberikan daya tarik dan engagement lebih terhadap konsep ber-digital banking di Indonesia.
Jika tahun lalu Direktur Utama Bank Neo Commerce Tjandra Gunawan bicara top of mind, kali ini ia mengungkap sejumlah poin penting terkait upaya memperkuat fundamental bisnis, pengembangan fitur dan produk secara seamless, dan strateginya meningkatkan user stickiness.
Ceritakan kilas balik transformasi BNC dalam dua tahun terakhir?
Jawab: Pertama kali bergabung pada Maret 2020, saya dihadapkan pada tantangan combo. Covid-19 datang ke Indonesia. Memang pandemi mendorong akselerasi digital. Namun, di awal pandemi, banyak orang menarik dana dari bank kecil karena ingin mencari aman saat krisis terjadi. Sementara, saat itu Bank Yudha Bhakti (BYB) masih bank BUKU I. Kami sempat keliyengan karena likuiditas terbatas.
Namun, tanpa itu, sebetulnya tantangan saya sudah cukup berat. Founder Akulaku William Li meminta saya untuk mentransformasikan Bank Yudha Bhakti (BYB) menjadi bank digital terbesar di Asia dalam tiga tahun. Saat baru berpikir strateginya, datang lagi tantangan kedua, yakni OJK terbitkan aturan terkait modal inti minimum.
Apa yang kami lakukan dalam dua tahun terakhir? Kami fokus pada rencana, kami eksekusi dan deliver. Bagi saya, ideas is important, but what much more important is the execution. Saya turun ke lapangan, terlibat dalam detail, dan make sure eksekusi terjadi. Bagi neobanker (karyawan BNC), they haven’t seen what I see. Sebagai leader, saya harus bawa mereka menuju visi kami.
BYB sebelumnya adalah bank pensiunan. Transformasi kami bukan sekadar lompat, tapi quantum leap. Banyak step, tapi harus cepat. Jadi, mindset penting untuk deliver ke pasar. Perlu juga satu hal yang mengikat agar visi bisa berjalan, yakni culture. Kami ubah culture dari sebelumnnya gaya kerja BYB yang birokratif dan manual. Kami tanamkan nilai-nilai pada Neo Culture.
Selain itu, bagaimana mencari talent tepat di posisi tepat. Terkadang saya menemukan talent bagus, tapi belum ada posisinya. Kami masukkan, buat posisinya, karena ini untuk masa depan.
BNC mencatat milestone signifikan dalam dua tahun. Bagi bank, apakah pencapaian ini terlalu cepat?
J: Tergantung, apakah bank sudah mempersiapkan diri atau belum? Umpamanya begini, ada dua orang bertani di tempat yang jarang turun hujan. Keduanya sama-sama berdoa meminta hujan. Bedanya, petani A menyiapkan tanah, petani B tidak. Di saat hujan turun, siapa yang lebih siap? Nah, kami tidak hanya berharap, kami mempersiapkan diri sejak 2020. Pertumbuhan cepat akan berbahaya apabila tidak dibarengi dengan persiapan selanjutnya.
Tahun lalu, saya pimpin leaders meeting. Saya sampaikan saat itu, “we’ve been blessed with more than 14 million users. Sepertinya mindset kita harus balik ke titik zero. Don’t celebrate victory too early. It’s not there yet!“. Di 2022, we need something new. What are we gonna do? Saya dorong untuk switch ke mindset awal, seolah-olah kami belum punya pengguna. Work hard lagi, jadi tidak terlena. 18 juta pengguna BNC saat ini menjadi fuel kami.
Saya pikir 75% dari visi-misi kami sudah tereksekusi. Tidak terelakkan pasti ada evaluasi, tapi kami perbaiki terus. Nah, 25% ini mencakup apa saja? Saya sempat mendapat pertanyaan dari analis di perusahaan sekuritas terkemuka. Kapan BNC bisa untung? Saya tanya balik, apakah bank bertransformasi [hanya] mengejar profitabilitas?
Misi suci kami adalah menjangkau unbanked dan underserved. That’s why we become digital. Terbukti selama puluhan tahun di sektor bricks and mortar, bank yang mengandalkan kantor cabang tidak berhasil menjangkau unbanked dan underserved. Statistik berbicara. Indonesia negara kepulauan sehingga menggunakan gaya konvensional tidak efektif. Namun, sejak beberapa tahun terakhir, pemerintah smendorong pengembangan infrastruktur teknologi.
Kami bukan simply menjadi bank profitable saja. Kalau hanya kejar itu, kami tidak perlu bertransformasi. Lihat laporan keuangan di 2020, kami sudah profit. Mengejar profitabilitas tentu, tapi itu bukan nomor satu.
Apa hipotesis utama BNC mengadopsi model gamified banking?
J: Kami lakukan analisis, sebanyak 86% dari total pengguna kami adalah kaum milenial. Apa yang menarik bagi mereka? Mereka suka something fun, not boring. Dari sini, kami coba coba masuk dengan model gamification. Kalau kami jelaskan produk deposito dengan bunga 8%, respons mereka mungkin sebatas tertarik saja. Tapi ya sudah berhenti sampai di situ.
Kami pakai gamification untuk memperkenalkan produk-produk kami. Kami arahkan mereka menjajal fitur dengan melakukan sejumlah task. Misalnya, undang teman dapat koin. Jadi, lebih fun tanpa harus menggurui mereka. Alhasil, produk kami mulai dikenal, jumlah pengguna kami tumbuh, layanan deposito maupun saving naik. Kami juga create Neo World dan Neo Business di mana pengguna BNC bisa saling berinteraksi dan mempromosikan bisnis mereka. Kami coba connecting people.
Mengenai benchmark, kami terinspirasi dengan model gamification [bank] di Tiongkok. Banyak pengalaman atau user experience yang kami adopsi dan kemas sesuai dengan kultur Indonesia. Misal, Neo Angpau yang dikemas agar cocok dengan nuansa Lebaran.
Apa strategi Anda selanjutnya dengan milestone ini?
J: Seiring dengan bertumbuhnya pasar, bank digital atau bank yang punya digital arm dan digital channel akan menjadi pilihan. Kami memilih fokus pada milestone karena kami harus memberikan sesuatu yang fundamental, kembali pada basis pengguna kami.
Sejauh ini kami sudah meluncurkan produk Neo Loan, Neo Emas, dan Remittance. Untuk menghadirkan layanan remitansi, bank harus menjadi bank devisa. Kami pikir bagaimana close gap mengingat persyaratan menjadi bank devisa butuh waktu paling tidak 1,5 tahun-2 tahun. Kami pun bekerja sama dengan DigiAsia.
Kemudian, kami sedang menyiapkan fitur cash withdrawal tanpa kartu atau cardless. Kalau pakai kartu, kurang pas dengan spirit digitalisasi. Pengguna bisa tarik tunai di convenience store, seperti Indomaret atau Alfamart, dan ATM. Kami coba menyederhanakan caranya sehingga pengguna bisa tarik uang di mana dan kapan saja. Sekarang masih tahap pengembangan dan menunggu approval.
Kami akan terus menciptakan seamless experience. BNC termasuk bank digital yang sudah sepenuhnya e-KYC dan menggunakan biometric. Pembukaan rekening kami tidak pakai video call. Kami juga akan perluas kolaborasi menjadi open ecosystem. Mungkin ada bank digital yang hanya fokus pada ekosistem yang dimiliki grup. Kami terbuka dengan ekosistem lain. Kami percaya bahwa kunci digitalisasi untuk maju adalah kolaborasi, bukan berkompetisi.
Bagaimana Anda meningkatkan user stickiness pengguna dan MAU?
J: Kami memetakan user kami ke dalam empat kluster antara lain (1) kluster pengguna yang hobi mengumpulkan koin referral, (2) kluster pengguna produk tabungan dan deposito, (3) kluster pengguna transaksional, suka top up dan lakukan pembayaran, (4) kluster pengguna lending, dan (5) kluster investasi.
Demi meningkatkan user stickiness, kami meyakini kluster 3, 4, dan 5 akan menjadi motor penggerak BNC. Untuk kluster 3, kami sedang menyiapkan fitur QRIS yang akan meluncur sebentar lagi. Kluster ini akan menaikkan utilisasi pengguna sehingga semakin engage dengan aplikasi BNC. Pada kluster 4, kami akan menambah opsi investasi lain, seperti reksa dana, yang ditarget meluncur pada kuartal III 2022.
Saat ini, Neo Loan baru untuk segmen retail. Namun, kami berencana masuk ke UMKM juga. Di luar Neo Loan, kami sebetulnya sudah masuk ke UMKM lewat skema channeling dan approach langsung. Ini alasan kami menampilkan Neo Business untuk menghubungkan pengguna dengan pelaku usaha. Ekosistem kami masih clean, kami punya data untuk approach user yang tepat.
Sebetulnya teknologi kami sudah siap, tapi harus tunggu approval OJK untuk beberapa produk. Dengan strategi ini, kami targetkan jumlah pengguna BNC dapat mencapai 28-30 juta tahun ini.
Ada rencana penambahan modal tahun ini?
J: Saya harus luruskan terkait pemberitaan di media yang menyebut kami mencari investor baru. Lebih tepatnya, banyak investor approach yang tertarik dengan performance kami, baik investor dalam maupun luar negeri. Namun, ini masih undisclosed.
Begini, Indonesia merupakan pangsa pasar menarik dengan pertumbuhan digital paling pesat di Asia Tenggara. Ketika pandemi, tanpa sadar [perilaku] kita menjadi lebih digital. Ini yang membuat investor tertarik. Makanya jangan kaget apabila ada yang beli bank atau berinvestasi di bank.
Saya percaya dengan fundamental. Berinvestasi untuk jangka panjang apabila percaya dengan fundamental bisnis. Ini yang saya tawarkan ke investor. Kami showcase kinerja kami. Per Desember 2021, kami sudah salurkan kredit Rp4 triliun dan Net Interest Margin (NIM) mencapai 5,15%. Di semester I 2022, penyaluran pinjaman naik menjadi Rp7 triliun dan NIM mencapai 10,16%.
Memang kinerja kuartal I kurang bagus. Kami rugi Rp416 miliar. Biar adil saja, rugi kami turun 54% menjadi Rp194 miliar di kuartal II. Pendapatan kami naik, expense turun. Namun, kami harap bisa profitable dari month by month.
Akulaku sebagai controllingshareholder betul-betul work hand-in-hand dengan kami agar BNC menjadi bank terdepan di Indonesia dan diperhitungkan di Asia. Belum lama ini Akulaku juga menjadi unicorn dan ini membuka jalan kami lebih lebar.
The general perspective on gaming from society is quite polarizing. On the one hand, the US military sees the potential that gaming can bring and uses it as a tool to train their troops. On the other hand, the World Health Organization recognizes something called gaming disorder, despite the fact that gaming has been used to treat mental disorders. Many parents also often complained that games are the culprit behind their children’s laziness. However, games have been used as a learning tool in many modern education systems and classes.
Along with the skyrocketing popularity of games, more and more parties are interested in using gaming and its innovations in other fields, ranging from education, health, and the military.
MILITARY
Believe it or not, the US military has actually been sponsoring game developers for a very long time. For more than two decades, from the 1960s to the 1990s, the US military is highly active in funding technological developments in the gaming industry. In fact, the creation of Spacewar! — which is considered to be the first-ever game — was made possible thanks to funding from the Pentagon. Both parties are clearly benefiting from this relationship. From the game developer’s standpoint, they now have a larger financial resource to work with. As for the military, they will hopefully get a quality training simulation, as mentioned by The Atlantic.
Generally speaking, the military uses gaming for three main purposes: recruiting new soldiers, training existing troops, and dealing with post-traumatic stress disorder (PTSD) experienced by veterans. America’s Army is an example of a game created to recruit young people into the military. This FPS game was created and released by the US Army in 2002 and can be played for free by anyone. In 2008, Richard Beckett — Chief of Advertising and Public Affairs in the US Army — said that America’s Army was used in various social activities, including LAN parties, which were part of US Army’s “Future Soldier Sustainment” program.
“Events like LAN parties are useful because we want the recruits to see the recruiters as regular folks, like themselves… and to help future soldiers to stay the course,” Beckett told Ars Technica. He explained that these social activities also act to keep the new military recruits to stay in the Boot Camp since they need to wait up to six months before being assigned. Social activities also create a sense of inclusion and welcome to the enlistees.
Along with the increasing popularity of game content broadcasts, the US military is also interested in exploring game streaming platforms. Currently, both the US Army and Navy have Twitch channels. The military’s goal in creating a channel on Twitch is not to treat it as some form of recruitment program. Instead, they want to use streaming as a means to increase exposure and engage with the audience, especially the younger demography. However, the existence of a Twitch channel from the US Army or Navy does spark several backlashes. For instance, many Twitch viewers seize this opportunity to ask about sensitive topics such as Eddie Gallagher or various accused war crimes committed by US soldiers.
Other than recruiting new soldiers, the US military also uses gaming to train their troops. Some games have been specifically made as a military training tool with specific functionalities. For example, the game DARWARS Ambush was created to teach infantry tactics, convoy operations, and the Rules of Engagement. According to a GamesIndustry report, by the end of 2008, more than three thousand copies of DARWARS Ambush had been distributed to the Army, Air Force, Navy, Coast Guard, and Marines.
UrbanSim and Tactical Iraqi are two other examples of games that have been utilized for military training. Both of these games focus on teaching foreign language skills and fighting rebels. War simulators such as Virtual Battlespace 2 allow military commanders to simulate scenarios that may potentially occur on the battlefield, such as ambushes, Improvised Explosive Device (IED) explosions, and medical evacuation.
Lastly, the military uses gaming to overcome psychological traumas experienced by veterans, such as PTSD. In the journal titled Virtual Reality Exposure Therapy for Combat-Related PTSD, the Institute of Medicine states that Cognitive Behavioral Therapy (CBT) with exposure therapy is the only type of remedy recommended for treating PTSD.
In exposure therapy, patients with PTSD will usually be asked to recall and re-exposing themselves to their traumatic experiences. Unfortunately, one of the symptoms of PTSD is the reluctance or inability to remember the traumatic event that caused the PTSD itself. This is where VR simulators come in. VR is perfect for exposure therapy since it can be utilized to recreate the source of the trauma. Thus, the existence of simulations such as Virtual Afghanistan has helped veterans overcome their trauma.
However, the US military’s decision to be active in the gaming industry also had its downsides. One of the most controversial military games that has been released is Full Spectrum Warrior. The game, launched in 2003, is available in two versions: a commercial version and a military-specific version, which can be accessed with a special code. Although the game won awards in the Best Original Game and Best Simulation Game categories at E3 2003, the US military eventually did not utilize it for training, deeming it to be too unrealistic. In addition, the cost incurred by the US Army to get and develop the game was also incredibly massive.
HEALTH
Of course, military veterans aren’t the only ones experiencing PTSD. Normal people like us also can also be affected by this mental disorder. Therefore, the existence of VR Exposure Therapy (VRET) not only benefits the military but also the healthcare industry as well. In addition to PTSD, VRET can also be used to treat other mental disorders, such as phobias or anxiety disorders. Similar to how the military uses VRET, patients with these disorders will be exposed to the source of their trauma or fear with the help of VR simulations. Since the virtual world can be carefully controlled (and is obviously not real), the patient’s therapy is ensured to be safe.
The use of games in the healthcare industry is not limited to the department of psychology. Games, especially VR, can also be used by health workers to hone their skills or learn new procedures, which should decrease the chance of human error when performing in real medical situations. According to a journal titled Gaming science innovations to integrate health systems science into medical education and practice, Health workers can use VR for many different purposes, such as learning to perform endoscopy or creating a simulation of an operating room.
Interestingly, mobile games can also help prospective doctors to learn new skills. The iPad game called PAtient Safety in Surgical Education (PASSED) can display various cases from the archive of sentinel (or unexpected) events and serious reportable events in the hospital. Medical students can use this game to gain knowledge or increase their awareness regarding patient safety.
Everyone knows that prevention is better than cure. Games, fortunately, can also improve the healthy lifestyle of many people in our society. For instance, Pokemon Go is one of the few games that incentivizes people to go out of their homes and walk. Nintendo’s WiiFit, which utilizes the Wii Balance Board, promotes exercise to its users. In addition to encouraging players to be more active in sports, these types of games can also be used to measure one’s physical abilities. As mentioned in the article called Innovation in Games: Better Health and Healthcare, health workers can, in turn, use this technology to see a patient’s physical progress, especially in patients affected by diseases that degrade motoric functions such as Parkinson’s.
Games, of course, promote the element of a challenge, which is also perfect for curing or overcoming addictions. One example of a game created to help players quit smoking is My Stop Smoking Coach, released in 2008. The game can run on several platforms, including iPhone and Nintendo DS. Escape from Diab from Archimage Inc., released in 2006, is another example of a game that promotes a healthy lifestyle. This game focuses specifically on preventing obesity and type 2 diabetes.
EDUCATION
Games are often blamed as the culprit behind students’ reluctance to learn. Funnily enough, studies that investigate the use of gaming as a learning tool have been around since the 1980s. At that time, the researchers observed that various commercial games — especially games in the strategy, simulation, or RPG genres — had used learning theory to encourage players to study the elements of the game itself.
Of course, using gaming in education does not mean that all the topics in the curriculum must be “packaged” in games. According to a study titled Gaming in Education: Using Games as a Support Tool to Teach History, there are many benefits that games can bring to teaching and learning activities. Firstly, games can encourage or incentivize students to participate in the class and directly apply what they have learned. Secondly, games can also help students recall the topics or points taught in the class. Games can also improve computer and visual literacy. Furthermore, the competitive nature of games can also push students to think creatively when solving problems. Lastly, games can teach various important soft skills, ranging from critical thinking, interacting and collaborating with friends, and even sportsmanship.
The journal titled Digital Games in Education: The Design of Games-Based Learning Environments discusses how games can motivate students and increase their focus. Indeed, games do, in some way, have some elements that teach players to fully focus on in-game tasks. These elements include clear goals, good feedback — both direct and indirect, and a fine balance between challenge difficulty and player’s skills. Apart from keeping students focused, all of these elements can also help students to be more interactive in class, which improves their educational achievements.
TECHNOLOGY
The controller is the primary input device for most consoles in existence. As the console changes, the controller inevitably also evolves. Despite the vast popularity of controllers, countless game companies continue to invent and experiment with new input mechanisms. In 2006, Nintendo launched the Wii Remote or Wiimote at the same time as the Nintendo Wii. One of the primary features of the device is scanning the movement of the user’s hand. Three years later, Nintendo launched the successor to the Wii Remote, the Wii MotionPlus, which can detect even more complex motions. Microsoft also launched the Kinect in 2010. Equipped with various motion sensors such as an RGB camera, infrared projector, and detector, Kinect can detect the motion of the user’s whole body.
Motion sensing technology has also been used in fields outside of gaming. In mobile applications, for instance, the gyroscope in a smartphone can be utilized to detect movements. One company that is interested in using motion-sensing technology is Limix. This Italian company invented and produces wearables called Talking Hands. This device can translate sign language in voice using a smartphone or Bluetooth speaker, as mentioned by HeadStuff. The existence of Talking Hands shows how motion-sensing technology can be used to help the disabled.
Games are also frequently the driving factors for today’s hardware development. Most games today and even in the future will require high-performance hardware. Due to the insatiable demands of gamers to increase the power of computing, hardware manufacturers inevitably have to fulfill these demands and create faster and more powerful technology. These high-performance hardware can also be utilized for other activities that require significant computing power, such as cryptocurrency mining.
GAMIFICATION
We have seen how the elements of gaming can be applied in four different industries. In reality, however, many in-game aspects are also applicable or translatable in non-gaming environments. Staple gaming elements like point systems, badges, the use of avatars, leaderboards, performance graphs, and teamwork. As a result, the term gamification emerged. If you are interested in seeing how gamification is put into practice in non-gaming fields, you can read more about it here.
According to self-determination theory, people are motivated to grow and change by three innate psychological needs: competence, autonomy, social connectedness or relatedness. Competence will be met when a person fully masters or feels proficient in a particular skill. The element of gaming that is suited for achieving competence is the awarding of points and badges. Leaderboards and performance graphs can also aid in this matter. In games, points serve as direct feedback or reward. If a player earns points after successfully performing an activity, the player will be motivated to continue doing the task in order to increase his or her points.
On the other hand, performance graphs can show a person’s progress or achievements after a certain period of time. For example, on the Duolingo app, each week, you’ll get a graphical report of how much time you’ve spent studying on the app over the last seven days. From that graph, you can clearly check if you are progressing at a rate that you want. Both badges and leaderboards can be used as an assessment of a person’s overall performance. Badges in games are usually given to players after they achieved a unique target or task. Leaderboards function to compare the performances between players. Ultimately, points, badges, leaderboards, and performance charts are useful visualizations of a person’s proficiency or mastery, which also create the drive for them to continue to improve.
The second psychological need that must be met in the self-determination theory is autonomy, which suggests that people need to be in control of their behavior and goals when conducting an activity. The need for autonomy consists of two aspects: freedom in decision-making and satisfaction with completing meaningful tasks. The use of avatars can be a way to fulfill the first aspect. Choosing an avatar — which represents the player and their personality — makes players feel that they have control over the decisions they make. The second aspect can be fulfilled with narration or stories. Stories are the essence of many games today. More often than not, tasks or missions in games mostly repeat the same formula. Go to A and complete a set of objectives, then go to B to complete a different set of objectives, and the process is repeated. After a few iterations of these, players can easily get bored. However, the presence of a story makes each mission unique and creates a different sense of accomplishment when a player successfully completes it.
The last component in self-determination theory is social connectedness, which is fulfilled when a person establishes some sense of belonging or attachment to a particular group. Games create a feeling of connectedness by frequently incorporating multiplayer elements. Players, therefore, have to work together with the group to achieve the goal. Single-player games can also achieve this by using NPCs as virtual entities.
Conclusion
Today, there is still an assumption that games are nothing more than a mere child’s entertainment. Interestingly, however, the gaming industry is currently bigger than the film and music industry. Our society also often argues that games impose many negative impacts. Contrary to their beliefs, many gaming concepts and elements have been utilized in various non-gaming fields. Even though gaming generally serves as a medium of entertainment, they also have other aspects that make them incredibly beneficial to us. Fortunately for many people in the pandemic, games were also the only thing that kept them happy, sane, and connected with their friends or family.
Featured image: Freepik. Translated by: Ananto Joyoadikusumo
Startup edtech Titik Pintar mengumumkan telah mengantongi pendanaan tahapan pre-seed dengan nilai yang tidak disebutkan awal tahun ini. Pendanaan ini merupakan salah satu investasi pertama dari Indonesia Women Empowerment Fund (IWEF), dana yang bertujuan untuk menciptakan dampak sosial dan dikelola bersama oleh Moonshot Ventures serta YCAB Ventures.
Sebelumnya, Titik Pintar juga mendapatkan hibah dari Pemerintah Belanda dan juga investasi dari sejumlah angel investor. Titik Pintar juga merupakan salah satu lulusan DSLaunchpad, program akselerasi startup virtual yang diinisiasi oleh DailySocial.
Kepada DailySocial, Founder & CEO Titik Pintar Robbert Deusing mengungkapkan, untuk jangka pendek pendanaan akan digunakan untuk meningkatkan kualitas produk. Mereka juga ingin menghadirkan lebih banyak konten berkualitas, yaitu dengan meluncurkan Sahabat Pintar, di mana guru-guru, desainer, dan para animator bisa berkolaborasi membuat konten berkualitas.
“Kami bertujuan mengumpulkan kreator konten terbaik, untuk terus memproduksi konten sekaligus menjaga kualitasnya. Saat ini kami sedang membangun fitur multiplayer, yang akan memberikan tantangan untuk para pengguna sehingga mereka semakin tertarik. Kami juga mendapat banyak masukan yang baik soal fitur baru ini,” kata Robbert.
Selain multiplayer, produk lain yang akan dikembangkan adalah sesi konsultasi secara online bersama guru. Para guru nantinya akan membantu anak-anak yang kesulitan melanjutkan permainan dengan memberi penjelasan lebih. Titik Pintar akan memberikan info soal proses pembelajaran anak, sehingga para guru bisa melihat apa yang perlu diperbaiki. Mereka juga bisa mendapatkan pemasukan tambahan dengan sesi konsultasi ini.
“Untuk Sahabat Pintar, kami membatasi jumlah guru hingga 25 orang, sehingga kami bisa fokus ke kualitas kontennya dan memastikan kalau kami menjalankan hal yang tepat. Kami akan berupaya menambah hingga 1000 guru secara perlahan untuk permulaan,” kata Robbert.
Misi jangka panjang Titik Pintar selanjutnya adalah, membuat belajar menjadi menyenangkan bagi semua anak di Indonesia. Dengan menghadirkan konten yang dapat diakses dari mana saja untuk semua orang dan bisa meningkatkan hasil pembelajaran untuk semua pengguna Titik Pintar.
Gamifikasi untuk pengguna
Saat ini Titik Pintar telah memiliki 10 ribu pengguna aktif setiap bulannya. Selama pandemi, perusahaan mengalami pertumbuhan positif. Dengan makin meningkatnya kegiatan secara online, banyak orang tua yang kemudian mempercayai platform membuat belajar lebih menyenangkan untuk anak-anak sekolah dasar di saat pandemi maupun setelahnya.
Disinggung fitur apa yang menjadi pilihan pengguna, disebutkan mata pelajaran sains yang terfavorit. Secara demografi, platform lebih banyak digunakan oleh pengguna perempuan dibandingkan laki-laki. Sementara beberapa pengguna menyukai Pintar Pod, sebuah minigame yang bisa dimainkan setelah menyelesaikan soal-soal utama. Selain itu, anak-anak juga suka mendapatkan Koin Pintar (yang akan diberikan setiap menyelesaikan soal), untuk mengubah tampilan avatar.
“Pemain terkenal yang sudah ada di luar sana menargetkan pelajar di tingkat yang lebih tinggi. Kami fokus ke pelajar sekolah dasar. Gamifikasi juga menjadi DNA kami, dan merupakan metode pembelajaran yang tepat untuk anak-anak, yaitu belajar sambil bermain,” kata Robbert.
Ketika saya SD, saya sering bermain game Puzzle Bobble. Beberapa waktu lalu, saya melihat adik saya memainkan game serupa, di aplikasi Shopee. Sementara bulan lalu, saya mendapatkan rilis dari Tinder, memperkenalkan fitur barunya, “Swipe Night”, berupa cerita interaktif yang mengingatkan saya akan game-game buatan Telltale Games.
Semua hal ini membuat saya berpikir: unsur-unsur game apalagi yang ada dalam aplikasi non-gaming? Kenapa aplikasi e-commerce dan kencan online memasukkan unsur-unsur game padahal aplikasinya tak ada sangkut pautnya dengan game? Bukankah game adalah hal tak berguna yang hanya merusak masa depan?
Dalam usaha saya untuk menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas, saya menemukan istilah menarik: gamifikasi. Dan kali ini, saya akan membahas segala sesuatu tentang gamifikasi.
Apa sih Gamifikasi Itu?
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang gamifikasi, saya menghubungi Eko Nugroho, CEO dari Kummara Group, perusahaan yang fokus pada game serius, pembelajaran via gaming, dan gamifikasi secara umum. Eko menjelaskan, pada dasarnya, gamifikasi adalah penggunaan unsur game di bidang selain game, mulai dari edukasi, tempat bekerja, hingga militer.
Unsur game yang digunakan dalam gamifikasi juga tidak selalu sama. Dalam kasus Shopee, mereka memasukkan game utuh ke dalam aplikasinya. Namun, gamifikasi tidak harus selalu seperti itu. Penerapan gamifikasi bisa sesederhana penggunaan sistem poin atau memasang leaderboard pada aplikasi.
Eko memberikan contoh gamifikasi dalam dunia edukasi. Misalnya, setelah lulus tingkat pendidikan tertentu, maka seseorang akan mendapatkan sertifikasi. Sistem ini serupa dengan penerapan sistem badge pada game. Ketika Anda berhasil mendapatkan pencapaian tertentu, usaha Anda akan dihargai dengan “badge”. Menurut Eko, penggunaan unsur game dalam bidang non-gaming sudah dilakukan sejak lama. Namun, istilah “gamifikasi” baru mulai muncul pada 2000-an.
Sayangnya, sama seperti segala sesuatu di dunia ini, gamifikasi juga bisa memberikan dampak buruk jika tidak diterapkan dengan benar. Eko kembali memberikan contoh dalam dunia edukasi. “Dunia pendidikan yang ‘menuhankan’ nilai, hal ini membuat para murid termotivasi untuk berbuat curang dan bukannya belajar lebih baik,” kata Eko.
Optimasi dan Tujuan Gamifikasi
Salah satu alasan mengapa penerapan gamifikasi tidak selalu optimal adalah karena masih banyak orang yang memiliki pemikiran yang salah tentang gamifikasi. Eko mengungkap, masih banyak orang yang mengira bahwa gamifikasi itu sekadar menggunakan sistem poin atau badge. “Menggunakan sistem poin atau badge memang gamifikasi. Tapi, gamifikasi itu lebih dari itu,” ujar Eko. “Gamifikasi harus bisa didesain dengan baik.”
Alasan lain mengapa penggunaan gamifikasi terkadang tidak optimal adalah karena terkadang. orang-orang yang hendak menerapkan gamifikasi ingin mengimplementasikannya dengan cepat. Padahal, gamifikasi hanya akan bisa optimal jika ia memang diimplementasikan dengan tepat. “Misalnya, pembaca Hybrid adalah orang-orang pada umur 18-30 tahun. Mendadak, Hybrid menambahkan fitur gamifikasi, tapi UI/UX-nya old school. Ya, gamifikasi tidak akan maksimal,” kata Eko.
Lalu, bagaimana cara menentukan apakah penerapan gamifikasi sudah optimal? Menurut Eko, optimal atau tidaknya gamifikasi tergantung pada apakah tujuan dari gamifikasi itu sendiri berhasil dicapai. Tolok ukur lainnya adalah apakah gamifikasi bisa memberikan pengalaman yang lebih baik pada konsumen. “Pada aplikasi, kalau fitur gamifikasi membuat pengguna tertarik menggunakan mencoba, hal itu berarti gamifikasinya berjalan dengan baik,” ujarnya.
Dalam jangka panjang, fitur gamifikasi yang optimal bisa menumbuhkan loyalitas konsumen. Contoh yang Eko berikan adalah sistem frequent flyers yang digunakan oleh maskapai penerbangan. Dalam sistem itu, semakin sering seseorang menggunakan layanan maskapai tertentu, maka semakin tinggi kelasnya dan semakin baik pula layanan yang dia dapatkan. Pada awalnya, seseorang mungkin menggunakan satu maskapai karena memang perlu. Namun, lama-kelamaan, dia akan enggan untuk menggunakan maskapai lain karena layanan yang dia dapatkan sudah sangat baik.
Sistem serupa juga diterapkan oleh perusahaan transportasi online. Tak hanya menumbuhkan kesetiaan, gamifikasi juga bisa digunakan dengan tujuan untuk memperkenalkan produk baru. Misalnya, pada awal kemunculan transportasi online, mereka sering memberikan “reward” berupa voucher atau diskon. Hal ini mendorong konsumen untuk mencoba menggunakan transportasi online. Setelah konsumen terbiasa, diskon atau voucher itu pun perlahan dihilangkan. Namun, konsumen yang sudah terlanjur merasa senang dengan layanan yang ditawarkan tetap menggunakan layanan transportasi online.
Satu hal yang harus diingat, Eko mengingatkan, fitur gamifikasi hanya akan bisa berfungsi optimal jika produk yang diperkenalkan memang berkualitas. “Mengenalkan produk baru kan susah. Jadi, supaya konsumen mau mencoba produk atau layanan baru, perusahaan menggunakan konsep gamifikasi. Namun, gamifikasi tidak bisa berdiri sendiri. Perusahaan harus memang punya produk yang baik,” ujar Eko. Dia juga menekankan, jangan sampai fitur gamifikasi justru membuat pelanggan merasa tertipu.
Tujuan dari gamifikasi, jelas Eko, sebenarnya tak hanya menumbuhkan loyalitas atau memperkenalkan produk baru. “Tergantung pada aplikasi,” jawab Eko ketika ditanya tentang tujuan gamifikasi pada aplikasi non-gaming. “Misalnya pada e-commerce, mereka menggunakan konsep game agar pengguna menggunakan aplikasi lebih lama. Dengan begitu, para pemain bisa diekspos ke banyak hal. Contoh, ketika kita bermain game, kita bakal dapat voucher atau diskon. Contoh lainnya, ketika kita main, kita disajikan iklan.”
Lebih lanjut, dia menjelaskan, fitur gamifikasi dalam aplikasi tak melulu blak-blakan seperti yang sudah dibahas. Dia menjadikan LinkedIn sebagai contoh. “Kalau kamu isi data diri, bar completion-nya akan terisi. Di sini, tujuan gamifikasi adalah mendorong pengguna untuk memberikan data diri mereka,” ujarnya. “Jadi, tujuan dari gamifikasi itu ya tergantung masing-masing aplikasi.”
Contoh Gamifikasi dalam Aplikasi
Tokopedia adalah salah satu aplikasi non-gaming yang menggunakan strategi gamifikasi. Menurut Bety Rosalina, Buyer Engagement Lead, Tokopedia, mereka mulai menampilkan fitur gamifikasi sejak 2017. Tujuannya adalah untuk memberikan pengalaman belanja yang interaktif dan lebih menaik.
Salah satu fitur gamifikasi yang Tokopedia gunakan dinamai Lucky Egg. Fitur ini sangat sederhana. Anda cukup “membuka” Lucky Egg di Tokopedia dan Anda akan mendapatkan hadiah berupa kupon atau voucher. Bety mengatakan, kupon yang diberikan telah disesuaikan dengan masing-masing pelanggan. Sekarang, Tokopedia juga menampilkan fitur gamifikasi lain, yaitu TopQuest. Dalam game, ketika Anda mendapatkan quest atau misi, maka Anda harus menyelesaikannya — terkadang dengan batas waktu tertentu — untuk mendapatkan hadiah. Cara kerja TopQuest persis seperti itu. TopQuest mendorong Anda untuk melakukan kegiatan tertentu untuk mendapatkan hadiah berubah cashback atau voucher.
“Tokopedia juga menghadirkan Tap Tap Kotak sebagai lanjutan dari fitur Lucky Egg,” ujar Bety. Sama seperti Lucky Egg, keuntungan yang didapat pelanggan dari Tap Tap Kotak adalah hadiah. Sementara bagi para mechant, manfaat Tap Tap Kotak adalah mereka bisa membangun engagement yang lebih interaktif dan lebih personal. “Hingga Agustus 2020, jumlah kotak yang dibuka mencapai lebih dari 25 juta kali. Bahkan ada lebih dari 40 ribu kotak Tap Tap Kotak yang dibuka per menit selama malam perayaan festival belanja bulanan Waktu Indonesia Belanja (WIB) pertama Tokopedia yang berlangsung pada 29 Juli 2020,” ujar Bety.
Bety menceritakan, fitur-fitur gamifikasi pada Tokopedia merupakan hasil kolaborasi dari tim internal Tokopedia, yang terdiri dari 9 orang, termasuk software engineers dan product manager.
Selain Tokopedia, Tinder menjadi aplikasi non-gaming lain yang memasukkan fitur gamifikasi. Tinder menamai fitur gamifikasi mereka “Swipe Night”. Bagi Anda yang tidak tahu, Swipe Night merupakan cerita interaktif. Di sini, Anda bisa memilih opsi yang berbeda yang akan memengaruhi jalan cerita. Mekanisme ini mengingatkan saya akan game-game buatan Telltale Games, seperti The Wolf Among Us. Hanya saja, opsi yang Anda ambil di Swipe Night tidak hanya memengaruhi alur cerita, tapi juga match yang Anda dapatkan.
Di Indonesia, fitur Swipe Night baru hadir pada awal September 2020 lalu. Proses pembuatan Swipe Night sendiri cukup lama. Kegiatan syuting untuk cerita Swipe Night telah dimulai sejak Q3 2019. Memang, pandemi jadi salah satu alasan mengapa fitur baru diluncurkan September 2020. Pada awalnya, Tinder berencana untuk memperkenalkan Swipe Night pada Maret 2020.
Berbeda dengan Tokopedia yang ingin menawarkan pengalaman belanja lebih interaktif, tujuan Tinder menghadirkan fitur gamifikasi adalah untuk memudahkan penggunanya memulai percakapan.
“Kami sadar bahwa orang-orang lebih mudah mengobrol ketika mereka berbagi pengalaman yang sama, seperit ketika menghadiri konser atau saat mereka tengah hangout bersama,” kata perwakilan Tinder pada Hybrid.co.id. “Kami ingin Swipe Night jadi bahan pembuka pembicaraan.” Selain itu, Tinder juga berharap, fitur Swipe Night akan membantu para penggunanya untuk membangun chemistry yang lebih baik.
Pihak Tinder menjelaskan, ide untuk membuat fitur Swipe Night muncul ketika mereka mengamati kebiasaan berkencan para Gen Z. Fortnite menjadi salah satu sumber inspirasi mereka. Memang, satu tahun belakangan, Fortnite juga mulai mengundang musisi ternama untuk melakukan konser digital di game tersebut. Tinder ingin melakukan hal serupa. Hanya saja, mereka juga ingin memastikan bahwa fitur gamifikasi yang mereka tanamkan sesuai dengan tema Tinder sebagai aplikasi kencan.
“Kami akhirnya memutuskan untuk membuat konten dengan sudut pandang orang pertama. Di sini, para pengguna Tinder akan jadi karakter utama dan mereka bisa melakukan berbagai aksi atau membuat pilihan yang akan menunjukkan kepribadian mereka,” jelas perwakilan Tinder. “Selain itu, penting juga untuk mencantumkan hasil pengalaman mereka di bio.”
Tinder berharap, setelah mencoba Swipe Night, para pengguna akan tertarik untuk membicarakan pengalaman mereka, sama seperti setelah mereka menonton bioskop atau seri TV.
Sebelum diluncurkan secara global, fitur Swipe Night telah tersedia di Amerika Serikat terlebih dulu. Tinder mengungkap, tanggapan yang mereka dapatkan positif. “Sesuai dengan janji awal, Swipe Night dapat meningkatkan jumlah match dan dapat membantu pengguna kami untuk memulai percakapan,” aku Tinder. “Contohnya, total match di AS naik 26% sementara total percakapan naik 12%.”
Proses Pembuatan Gamifikasi
Jika setiap aplikasi dapat menerapkan sistem gamifikasi yang berbeda-beda, serumit apa proses pembuatan gamifikasi? Eko mengungkap, semua developer sebenarnya bisa menanamkan fitur gamifikasi pada aplikasi. Hanya saja, setiap developer memiliki pemahaman akan gamifikasi yang tidak sama. Eko memberikan analogi ketika Anda meminta tukang bangunan untuk membangun rumah. Semua tukang bangunan akan bisa membangun rumah, hanya saja, mereka akan membangunnya berdasarkan apa yang mereka ketahui saja. Lain halnya jika Anda meminta bantuan arsitek.
“Jika Anda ngomong dengan arsitek, dia tidak akan langsung membuatkan rumah yang Anda minta. Dia justru akan memberikan beberapa pertanyaan, seperti apa fungsi rumah, siapa yang akan tinggal di rumah tersebut, dan karakteristik dari orang yang akan tinggal nantinya. Setelah itu, sang arsitek baru akan mendesain rumah dan memanggil tukang bangunan untuk membangun rumah tersebut,” cerita Eko.
Eko menjelaskan, jika perusahaan sekadar ingin memasang sistem poin atau badge pada aplikasinya, maka developer manapun bisa melakukan itu. Namun, jika perusahaan ingin mengoptimalkan fitur gamifikasi agar ia tepat sasaran, maka tidak ada salahnya mereka meminta bantuan “arsitek” gamifikasi.
“Sama seperti konsultan di bidang lain, biasanya kita akan mempelajari terlebih dahulu keadaan klien, seperti target mereka siapa, objektif mereka melakukan gamifikasi apa, dan bagaimana infrastruktrur aplikasi/situs yang telah mereka miliki,” ungkap Eko. Setelah itu, baru mereka akan membuat strategi yang sesuai. Sayangnya, tidak semua klien memahami hal ini. “Ada juga yang pola pikirnya, ‘pokoknya mau seperti Candy Crush, biar pelanggan main terus’,” ujarnya. “Namun, hal ini memang bukan sepenuhnya salah mereka, karena konsep tentang gamifikasi itu memang masih terbatas. Sebagian orang masih merasa, gamifikasi akan bisa mengubah segala sesuatu secara instan.”
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang proses pembuatan fitur gamifikasi, saya mengobrol dengan Garibaldy Wibowo Mukti, Co-founder dan CEO dari Nightspade Studio, yang bertanggung jawab dalam membuat fitur gamifikasi untuk Tokopedia. Seperti apa game yang mereka buat untuk aplikasi e-commerce tersebut? Anda bisa melihat contohnya pada video di bawah.
“Tokopedia memang memberikan gambaran akan game yang mereka mau, maunya kira-kira seperti apa,” jawab pria yang akrab dengan panggilan Gerry ini ketika ditanya tentang proses pembuatan game untuk Tokopedia. “Tapi yang flesh out dari kita. Kita mengusulkan beberapa ide dan mereka pilih mana ide yang mau kita buat secara detail.” Secara sederhananya, proses dimulai dari briefing oleh klien — dalam hal ini Tokopedia — lalu diikuti oleh high level pitch dan terakhir, proses fleshing out. Sejak awal, Gerry mengungkap, Tokopedia juga telah menjelaskan tujuan mereka membuat gamifikasi.
“Secara umum, mereka ingin bisa menggaet lebih banyak user dan membuat mereka menggunakan aplikasi lebih lama,” jelas Gerry tentang alasan Tokopedia membuat fitur gamifikasi. “Dan gamifikasi memang bisa mendorong pelanggan stay lebih lama. Sama seperti WiFi di cafe-lah. Dengan adanya WiFi, orang-orang bakal stay lebih lama, mungkin akan pesan minuman lain.” Sambil bercanda dia menambahkan, “Bahkan ada orang-orang yang ke cafe hanya untuk mendapatkan WiFi.”
Game Mandiri vs Game di Aplikasi Non-Gaming
Kriteria dari game yang akan dimasukkan dalam aplikasi non-gaming berbeda dengan game yang developer buat untuk berdiri sendiri. Daripada fokus pada gameplay yang kompleks, pertimbangan utama dalam membuat game di aplikasi non-gaming justru kesederhanaan gameplay. “Game-nya harus yang mudah dimengerti oleh user, tidak bisa game yang hardcore gitu,” kata Gerry.
Kriteria lainnya adalah waktu bermain yang singkat. “Karena tujuan utama orang buka Tokopedia bukan untuk bermain game,” ujar Gerry. “Game juga harus bisa dimainkan dengan lancar di perangkat low-end. Jangan sampai game-nya menggunakan fitur-fitur tertentu yang hanya ada di perangkat-perangkat khusus. Selain itu, aset visual dan audio harus sekecil mungkin agar waktu download jadi singkat.” Dia mengaku, biasanya, limitasi utama dalam membuat game di aplikasi non-gaming adalah dari segi teknis. “Sisanya, gameplay harus user-friendly dan engaging. Dan walau waktu bermainnya sinngat, tapi punya depth atau konten yang membuat orang untuk bermain lagi dalam waktu lama.”
Dalam proses pembuatan, membuat fitur gamifikasi di aplikasi non-gaming tak melulu lebih sulit atau lebih mudah. “Sebenarnya tergantung klien,” aku Gerry. “Kalau klien memang sudah tahu tentang game development, atau setidaknya tahu dengan jelas apa yang diharapkan dari game, itu lebih gampang. Untuk klien yang belum tahu apa-apa tentang game dan tiba-tiba mau buat game… Nah, klien kayak gini yang biasanya lebih susah untuk di-handle.”
Gamifikasi Tanpa Aplikasi
Anda mungkin akan berpikir, gamifikasi hanya bisa diterapkan dalam aplikasi. Namun, Eko dari Kummara berpendapat lain. Menurutnya, unsur dalam game juga bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari tanpa aplikasi. Dalam situsnya, Eko menjelaskan, selama kita memahami fungsi dari unsur-unsur gamifikasi — seperti sistem poin, badge, atau leaderboard — maka hal-hal itu bisa diaplikasikan dalam media/format lain selain aplikasi. Lalu, sebenarnya, apa fungsi dari sistem poin, badge, dan leaderboard?
Pada dasarnya, sistem poin dalam game berfungsi sebagai cara untuk memberikan feedback langsung pada pemain, untuk menunjukkan bahwa setiap aksi akan memiliki konsekuensi. Kenapa ini penting? “Ketika kita bisa melihat dampak dari aksi atau pilihan kita dalam waktu singkat atau bahkan secara instan, kita umumnya lebih serius,” tulis Eko. Misalnya, dalam game, jika Anda berhasil melakukan sesuatu — membalap pemain lain di balapan sebagai contoh — Anda akan langsung mendapatkan poin. Sayangnya, hal ini tidak Anda temukan dalam dunia nyata. Jika Anda belajar dengan rajin, Anda tidak dapat melihat status INT Anda naik. Karena itulah digunakan sistem poin/nilai di dunia pendidikan.
Sementara itu, leaderboard berfungsi untuk mengasah sifat kompetitif manusia. Ketika Anda memiliki pembanding, Anda biasanya akan terdorong untuk menjadi lebih baik. Contohnya, ketika saya SD, saya selalu didorong untuk mendapatkan peringkat pertama di kelas. Namun, hal ini merupakan pisau bermata dua. Bagi sebagian orang, memiliki pesaing akan mendorong mereka untuk menjadi lebih baik. Tapi, bagi sebagian orang lainnya, hal ini justru bisa menjadi pematah semangat.
Dalam tulisannya, Eko juga memberikan contoh bagaimana gamifikasi bisa diterapkan untuk mendorong masyarakat mematuhi protokol kesehatan. Salah satunya adalah dengan memasang stiker pada restoran, pedagang kaki lima, atau angkutan umum bahwa harga naik dua kali lipat bagi orang-orang yang tidak menggunakan masker.
Dalam game, Anda tidak melulu mendapatkan reward ketika sukses melakukan sesuatu. Ketika Anda gagal, Anda juga akan mendapatkan hukuman. Misalnya, gagal menghindari serangan musuh akan membuat HP Anda berkurang. Dengan menaikkan harga untuk orang-orang yang tidak menggunakan masker, maka mereka akan langsung dapat merasakan dampak dari keputusan mereka.
Sebaliknya, masyarakat juga bisa didorong untuk lebih patuh pada protokol kesehatan dengan pemberian hadiah atau reward. Contoh yang Eko berikan adalah pemberian voucher bagi orang-orang yang mau melakukan rapid test mandiri.
Naratif serta random check juga bisa digunakan untuk mendorong masyarakat untuk melakukan karantina mandiri. Pemerintah Kabupaten Sragen pernah melakukan ini pada April 2020 lalu. Mereka menyebarkan naratif bahwa orang-orang yang tidak melakukan karantina mandiri akan diberi hukuman berupa isolasi di rumah yang dianggap angker. Jika pemerintah melakukan random check secara rutin, hal ini akan membuat masyarakat percaya bahwa mereka akan mendapatkan hukuman jika mereka tidak mematuhi protokol kesehatan. Pada akhirnya, masyarakat akan memiliki kesadaran diri yang lebih tinggi untuk disiplin.
Penutup
Beberapa tahun lalu, ketika saya masih menjadi jurnalis teknologi, perusahaan vendor smartphone berlomba-lomba untuk menyediakan fitur dua kamera belakang, bahkan pada smartphone kelas entry-level sekalipun. Dan memang, smartphone harga Rp1 jutaan pun bisa punya dua kamera belakang. Hanya saja, performanya tentu tidak sebaik smartphone flagship dengan harga belasan juta.
Saya rasa, gamifikasi juga seperti itu. Perusahaan bisa saja sekadar “menempelkan” fitur-fitur gamifikasi, seperti sistem poin atau leaderboard, pada aplikasinya. Namun, apakah fitur itu hanya menjadi gimmick atau memang punya fungsi tersendiri, hal itu tergantung pada seberapa serius menggarap gamifikasi pada aplikasi atau perusahaan mereka.
Gamifikasi kini menjadi barang yang lumrah untuk kalangan perusahaan teknologi dalam rangka meningkatkan engagement dengan pengguna. Hampir semua platform e-commerce di Indonesia menerapkannya.
Shopee menjadi platform paling gencar merilis rangkaian gamifikasi ke strategi pemasarannya. Strategi ini berbentuk in-app game dan pertama kali diinisiasi pada 2018. Gamifikasi melengkapi rangkaian pengalaman yang berbeda yang ingin ditawarkan perusahaan ke para pengguna.
Game pertama yang dirilis adalah Goyang Shopee yang diklaim dimainkan 500 juta kali hingga pertengahan tahun lalu. Strategi ini kemudian disusul Shopee Tanam, Shopee Tangkap, dan Shopee Lempar. Saat ini rangkaian permainan terbaru mencakup Shopee Candy, Shopee Poly, Shopee Joget, dan Shopee Capit.
Gameplay dan instruksi setiap game tersebut cenderung mudah diikuti. Misalnya Shopee Candy memiliki konsep serupa permainan populer Candy Crush.
Game lainnya yang cukup populer adalah Shopee Tanam. Pengguna harus rajin menyiram tanaman dengan air sampai panen untuk mendapat hadiah yang diinginkan. Mereka harus sabar menunggu sampai wadah air terisi penuh selama tiga setengah jam atau saling membantu tanaman milik teman-temannya agar tujuan cepat tercapai.
Hadiahnya bervariasi, mulai dari koin untuk berbelanja di Shopee, gratis ongkos kirim, voucher belanja, dan sebagainya. Strategi ini dianggap berhasil membuat konsumen rajin mengunjungi aplikasi sekadar untuk melanjutkan game yang ia tinggalkan.
“Dengan adanya berbagai inovasi tersebut, aplikasi Shopee terbukti meraih peringkat pertama untuk aplikasi e-commerce dengan pengguna aktif terbanyak, jumlah download dan total time spent in-app on Android berdasarkan App Annie,” kata Direktur Shopee Indonesia Handhika Jahja saat konferensi pers secara virtual beberapa waktu lalu.
Secara terpisah, dalam wawancara bersama DailySocial, PR Lead Shopee Indonesia Aditya Maulana menambahkan, inisiatif ini juga dimanfaatkan mitra brand dan mitra penjual sebagai salah satu strategi yang dapat meningkatkan online presence dan menarik minat pengguna dengan menghadirkan hiburan saat berbelanja.
Dalam merilis game-game tersebut, Aditya menuturkan, perusahaan mendengarkan tanggapan dan permintaan pengguna. Salah satunya dengan inovasi layanan terbaik yang sesuai dengan preferensi belanja masing-masing pengguna.
“Berangkat dari pemahaman tersebut, setiap in-app games yang dihadirkan Shopee bertujuan untuk memberikan pengguna pengalaman menyenangkan, serta dapat memberikan keuntungan saat berbelanja seperti koin Shopee atau potongan belanja langsung pada pembelanjaan berikutnya.”
Dia melanjutkan, “Seperti salah satu in-app game kesayangan para pengguna yaitu Shopee Tanam. Inisiatif ini merupakan cerminan sisi kreatif dan inovatif Shopee yang juga mengakomodir waktu luang panga pengguna selama berada di rumah.”
Pihak Shopee tidak menyebutkan statistik dampak kehadiran in-app game ini.
Bukalapak juga melihat gamifikasi sebagai cara meningkatkan engagement dengan pengguna. “Fitur ini adalah sarana perusahaan untuk terus dekat dengan pengguna. Tentunya, melalui game, kami ingin pengguna kami bersenang-senang sambil berbelanja di aplikasi Bukalapak, sekaligus sarana menjadikan Bukalapak sebagai everyday platform,” tutur Head of New Customers and O2O Growth Bukalapak Hans Calvin.
Hans mengklaim kehadiran gamifikasi efektif menjadi pendukung terhadap kenaikan GMV. Dikatakan 80% pengguna Bukalapak yang terbiasa bermain in-app game secara otomatis menjadi pengguna aktif bulanan. Dari angka tersebut, sebanyak 30% pengguna di antaranya aktif dan rutin bertransaksi di aplikasi.
“Hal tersebut mendorong kami untuk memberikan banyak hadiah yang bernilai besar sebagai daya tarik games di aplikasi kami, agar kami dapat terus melanjutkan tekad kami, dekat dengan pengguna.”
Rangkaian in-app game yang dirilis perusahaan di antaranya Pencetmania, Roda Rejeki, Gosok-Gosok, Potongan Kakap, Contekan TTM, Serbu Seru, Ajak-ajak Berhadiah, Pohon Rejeki, Bonus Beruntun, dan Seru Berhadiah. Dalam menciptakan game tersebut, tim yang ia pimpin melihat setiap game memiliki siklus hidup seperti layaknya online game pada umumnya.
“Kemunculannya di awal biasanya banyak menarik para pengguna kami, tetapi perlahan kemudian traffic-nya menurun. Oleh karena itu, untuk mempertahankan antusiasme pengguna, kami merilis dan memperbarui aneka game tersebut setiap tiga bulan.”
Grab dan Gojek
Kedua kompetitor ini salip-menyalip dalam menyediakan fitur di dalam aplikasinya. Gojek lebih dahulu memperkaya fitur game GoGames lewat kerja sama dengan pihak ketiga platform online game lokal MainGame yang diresmikan pada Mei lalu. Sebelumnya, perusahaan telah bekerja sama dengan Area 120 (divisi eksperimental Google) bernama GameSnacks.
Dalam keterangan resmi, Head of Third Party Platform Gojek Sony Radhityo berharap ketersediaan permainan ringan ini dapat mengisi waktu luang pelanggan di tengah karantina mandiri yang telah dilakukan masyarakat selama pandemi.
Baik MainGame ataupun Gamesnacks sama-sama berbasis HTML 5 dan Progressive Web App yang dapat menjangkau semua kalangan karena relatif lebih efisien dan bersahabat untuk semua tipe gawai. Pengguna dapat memainkan berbagai game tanpa harus repot mengunduh aplikasi satu per satu.
Menurut data internal Gojek, pada periode Maret-Mei 2020, fitur GoGames mengalami kenaikan jumlah sesi permainan hingga 64 kali lipat dibandingkan periode Januari-Februari 2020. Jenis game yang paling banyak diakses adalah Bubble Woods (Gamesnacks) dan Cake Slider (MainGame).
Sedangkan Grab mulai menguji coba fitur serupa bernama First Games. Fitur ini baru digulirkan untuk sebagian pengguna dan hanya tersedia di platform Android. Perusahaan belum bersedia memberikan pernyataan lebih lanjut terkait ini.
“Kami secara berkala melakukan uji coba layanan baru di aplikasi kami untuk terus berusaha memberikan nilai tambah pagi pelanggan kami,” ujar juru bicara Grab Indonesia saat dihubungi DailySocial.
Grab menempatkan First Games sebagai cara meningkatkan engagement dengan pengguna karena menyediakan hadiah poin yang dapat ditukarkan dengan voucher, seperti Iflix, Grab, dan pulsa. Tersedia dua mode game yang dapat dipilih, permainan kasual dan arena games untuk melawan banyak pemain (multiplayer) yang memiliki dua subkategori: player vs player (PVP) dan turnament memperebutkan poin atau voucher.
Adapun genre game yang tersedia, mulai dari strategi, aksi, olahraga, puzzle, dan arcade, bisa langsung dimainkan tanpa memerlukan login. Pengguna dapat saling berkompetisi di satu turnamen untuk memperebutkan hadiah.
Grab saat ini mengembangkan fitur Play with Friends untuk bermain bersama teman, sementara baru tersedia untuk game Ludo.
Masih tahap awal
Secara industri, implementasi gamifikasi sebenarnya tidak hanya untuk kebutuhan pemasaran, khususnya meningkatkan engagement. Strategi ini juga dapat digunakan untuk kebutuhan berkaitan pelatihan karyawan atau HR. Di Eropa misalnya, gamifikasi mulai diterapkan untuk industri manufaktur karena masih jauh dari proses digitalisasi.
Sebuah webinar bertopik in-app games yang diselenggarakan British Council Indonesia mengundang Windo Hutabarat, seorang akademisi yang bekerja sebagai Research Associate in Digitalisation of Manufactoring Process University of Sheffield, Inggris. Salah satu kasus yang pernah ia tangani adalah membantu Airbus untuk proses training engineer baru yang perlu medium jig untuk pembelajarannya.
Permasalahan pada waktu itu adalah jumlah jig yang terbatas, namun pelatihan perlu tetap dilakukan karena merupakan komponen penting. Di samping itu, Airbus juga punya kendala bahasa karena jig tersebut dibuat di Tiongkok.
“Dari pain point tersebut, tantangannya adalah bagaimana mengurangi waktu training jig tanpa mengurangi kualitas latihan. Di situ kami memanfaatkan gamifikasi tanpa bermaksud ada proses pelatihan yang dihilangkan,” terang Windo.
Dari serangkaian proses gamifikasi yang dilakukan untuk Airbus, ada temuan menarik saat evaluasi antara karyawan yang melakukan pelatihan secara manual dengan memakai gamifikasi. Untuk masalah hafalan antara keduanya tidak ada bedanya. Tapi untuk interpretasi pengetahuan, orang yang dilatih dengan game punya skor jauh lebih tinggi
“Pada intinya di dunia aerospace, digitalisasi memegang peranan penting untuk meningkatkan produktivitas kerja di masa mendatang. Tapi proses transisinya sangat menantang, oleh karenanya gamifikasi dan industri game bisa dimanfaatkan untuk memperlancar transisi tersebut.”
Dia juga menekankan bahwa pada dasarnya dalam komponen gamifikasi itu harus disesuaikan dengan obyektif yang ingin dituju dan mengaitkannya dengan keinginan manusia untuk merangsang agar tertantang. “Harus menantang agar orang tertarik, punya unsur reward, dan punya aturan yang jelas agar bisa diikuti semua pemain.”
Bisnis gamifikasi B2B Agate
Implementasi gamifikasi di Indonesia sendiri, menurut Co-Founder dan Head Consultant Agate Vincentius Hening W. Ismawan, baru memasuki tahap awal dan dari sisi pemanfaatannya belum semasif di luar negeri. Dengan kata lain, ruang untuk bisnis gamifikasi di ranah enterprise masih terbuka luas.
Dia mencontohkan, ada program loyalitas di luar negeri yang sudah memanfaatkan gamifikasi. Seperti diketahui, umumnya poin-poin yang dkumpulkan dari program ini punya masa berlaku. Namun dengan gamifikasi, pengguna bisa lebih legowo menerima kekalahan dan ikut merasakan keseruan dari bermain game.
“Orang akan less offended ketika kalah main game untuk mendapatkan poin karena itu adalah bagian dari keseruannya. Di Amerika [Serikat] juga menggunakan serious game untuk bagian simulasi militer. Di Indonesia belum sampai sejauh itu,” terangnya.
Dia melanjutkan, “Pemahaman orang Indonesia terhadap gamifikasi ini masih samar-samar. Mereka mengira punya game itu adalah something new yang bisa solve everything. Padahal baru bisa solve everything kalau diimbangi dengan konten yang bagus karena gamifikasi punya KPI untuk mengukur learning journey seseorang.”
Kiprah Agate menyeriusi gamifikasi ini sudah dilakukan sejak 10 tahun lalu dengan mendirikan divisi sendiri bernama Agate Level Up untuk menangani klien B2B. Hampir separuh dari total tim Agate yang berjumlah 250 orang, ditempatkan untuk menangani bisnis ini.
Perusahaan cukup percaya diri dengan koleksi solusi gamifikasi yang mereka sediakan, tentunya berkat dari jam terbangnya. Solusi tersebut berupa platform manajemen pembelajaran karyawan, pelatihan, penilaian, dan simulasi. Juga, kebutuhan pemasaran buat konsumer, seperti kebutuhan gamifikasi untuk akuisisi konsumen baru, on-ground engagement, dan retention & loyalty game.
Jajaran penggunanya datang dari beragam industri, seperti FMCG, telekomunikasi, finansial, teknologi, farmasi, otomotif, F&B, kosmetik, hingga properti. Tak hanya Indonesia, penggunanya juga datang dari negara-negara kawasan Asia Pasifik dan Amerika Serikat. Bukalapak dan Tokopedia tercatat sebagai pengguna Agate untuk mengembangkan fitur gamifikasi di dalam aplikasi mereka.
Vincentius menjelaskan, implementasi gamifikasi yang paling banyak dimanfaatkan penggunanya adalah in-app enhancement yang memanfaatkan pustaka game versi HTML5 Agate yang luas dan dapat disesuaikan dengan aplikasi tanpa mengubah tampilan sama sekali. Solusi ini diarahkan untuk perusahaan yang sudah memiliki platform-nya sendiri.
“Makanya wajar bila in-app game ini banyak dimanfaatkan pemain e-commerce karena terbukti enggak hanya bisa meningkatkan time spent pengguna karena berkaitan erat dengan retensi. Secara umum, klien kami mengatakan cara ini mampu meningkatkan retensi hingga 30%. Retensi buat e-commerce itu penting karena dekat dengan MAU dan GMV. Jadi game itu punya andil kontribusi ke sana.”
Contoh lainnya yang pernah ditangani Agate adalah kebutuhan pelatihan karyawan untuk industri finansial. Dalam perbankan, terdapat aturan bahwa setiap perusahaan harus mengalokasikan dana sebesar 5% untuk mengadakan program pelatihan. Sekarang banyak perbankan yang memanfaatkan budget tersebut untuk membuat e-learning. Solusinya adalah micro learning & game based content.
“Ada solusi yang lebih kompleks lagi, seperti standalone game based learning untuk pelatihan SOP, VR simulation, dan game based assessment banyak kerja sama dengan psychometric expert untuk kebutuhan rekrutmen.”
Vincentius melanjutkan, dalam setiap solusi ini biasanya perusahaan membutuhkan tim expertise dari non engineer untuk penerapan gamifikasi di luar dunia hiburan. Untuk solusi game based assessment, misalnya, Agate membutuhkan expert di bidang psychometric expert untuk menerjemahkan data-data analitik yang sudah dikumpulkan setiap orang saat rekrutment.
“Game itu harus punya unsur adiktif, membuat orang jadi penasaran. Oleh karenanya, konten gamifikasi itu sangat diperhatikan. Biasanya kami banyak berdiskusi dengan best practice-nya, yakni platform owner-nya tersebut, pengamat industri, dan sebagainya,” tutupnya.
AR&Co, divisi WIR Group yang bergerak di bidang teknologi kreatif dan realitas digital, merilis aplikasi permainan berbasis AR dan Geolocation bernama Minar (Mining with AR). Aplikasi ini diharapkan menjadi channel marketing buat brand dalam menarik pengguna baru dengan pendekatan yang interaktif.
Managing Director Minar Mario Khoe menjelaskan, cara kerja game ini cukup mudah. Pengguna hanya perlu mencari dan menambang batu-batu Minar di lokasi sekitar pengguna yang telah ditentukan. Layar smartphone diketuk terus menerus, sebagai metode menambang, sampai batu habis ditambang.
Batu-batu ini memiliki nilai ekonomis di dunia nyata yang dapat ditukarkan dengan berbagai manfaat, seperti voucher pulsa, makan, menginap, dan sebagainya. Semakin sering pengguna menambang, akan semakin banyak manfaat yang bisa ditukarkan.
“Positioning kita sebagai aplikasi game berbasis AR dan geolocation dengan nilai ekonomis. Minar punya tiga jenis currency. Semua masyarakat bisa menukarkan currency dengan benefit di dunia nyata,” terangnya, kemarin (24/4).
Bagi brand, Minar memiliki pendekatan yang menarik dalam menjaring loyalitas pengguna. Tersedia dashboard yang dapat dimanfaatkan untuk memonitor pergerakan voucher, demografi pengguna, hingga memantau voucher mana yang paling banyak diincar. Dengan demikian strategi pemasaran dapat lebih terukur, efisien, dan hasilnya lebih maksimal.
Batu Minar dapat dikustomisasi lokasinya sesuai kebutuhan masing-masing brand dengan reward yang mereka inginkan demi meningkatkan tingkat kunjungan. Tidak hanya brand besar yang berkesempatan jadi mitra. Skema ini juga terbuka untuk mitra UKM.
Rencana tahun ini
Mario menjelaskan, tahun ini perusahaan akan fokus pada penambahan jumlah brand yang memanfaatkan Minar, setidaknya mencapai 60 brand, dari berbagai skala industri. Disebutkan sejauh ini ada beberapa brand ternama yang telah bergabung, termasuk McDonald’s, Electronic City, Alfamart, Hotel Sahid, dan Papa Ronz.
Minar sendiri diperkenalkan sejak November 2018 di event Disrupto, namun baru mulai aktif dipasarkan secara organik pada bulan ini. Mario mengklaim Minar telah diunduh lebih dari 100 ribu kali dalam kurun waktu seminggu.
Peningkatan unduhan harian rata-rata 30-35% dan diyakini akan terus meningkat. Pengguna tersebar di 27 kota, menyesuaikan dengan persebaran gerai brand. Untuk sementara, Minar hanya tersedia untuk pengguna Android. Versi iOS-nya segera menyusul pada tahun ini.
Dari segi sistem reward, pihaknya akan terus mengembangkan lebih jauh agar tidak sekadar memberi voucher pulsa dan makan, tetapi juga tagihan sehari-hari.
Platform permainan berbasis blockchain
Selain mengembangkan platform permainan berbasis AR, AR&Co juga tengah menjajaki model bisnis yang tepat untuk mengembangkan permainan berbasis blockchain. Untuk hal ini perusahaan telah menjalin kerja sama dengan enabler blockchain Asia Infinity Blockchain Ventures (IBV).
“Targetnya kami ingin bangun gaming dengan nilai tambah blockchain, namun jenis blockchain apa yang dipakai belum ditentukan. mengingat ini ada aturannya dari pemerintah. Untuk itu kami masih menentukan konsep.”
Setalah menjalankan bisnis sebagai platform social blog, akhir Desember 2016 lalu Selasar resmi melakukan pivot menjadi platform tanya jawab dan jurnal khusus bahasa Indonesia. Startup yang didirikan CEO Miftah Sabri, COO Pepih Nugraha dan Chief Content Officer Arfi Bambani ini berangkat dari pengalaman serta potensi untuk kemudian menghadirkan platform yang serupa dengan Quora dari Amerika Serikat.
“Dengan latar belakang saya sebagai seorang dosen dan entrepreneur, saya melihat kesuksesan yang telah dicapai oleh Huffington Post dan BuzzFeed di Amerika Serikat nampaknya bisa menjadi peluang juga di tanah air. Setelah menjalankan bisnis sebagai social blog selama 2 tahun, akhirnya Desember 2016 Selasar resmi bertransformasi,” kata Miftah.
Saat ini Selasar mengklaim telah memiliki sekitar 25 ribu pengguna yang kebanyakan berasal dari kalangan mahasiswa dan akademisi yang kerap menulis di jurnal Selasar dengan topik politik hingga gaya hidup. Dengan konsep terbaru diharapkan Selasar bisa menjangkau lebih banyak lagi kalangan untuk bisa dengan aktif memanfaatkan platform tanya/jawab hingga jurnal di Selasar.
“Bukan hanya jurnal dengan topik yang umum, di Selasar nantinya pengguna juga bisa menuliskan fiksi hingga puisi sesuai dengan minat yang ada. Untuk menjamin konten tersebut original dan relevan, kami juga melakukan kurasi terlebih dahulu,” kata Miftah.
Proses filtering dan verifikasi pengguna
Selasar menawarkan pilihan media sosial Facebook dan Google untuk pengguna yang ingin mendaftar dan memanfaatkan platform tanya/jawab dan jurnal di Selasar, sementara untuk pengguna yang enggan untuk mendaftar bisa memanfaatkan pilihan Topik secara langsung. Saat ini Topik yang paling banyak dicari oleh pengguna adalah gaya hidup dan politik.
“Karena suasana politik sedang memanas, jadi tulisan, tanya dan jawab tentang politik makin marak bermunculan di Selasar. Namun kami juga memiliki topik lainnya mulai dari teknologi, startup, astronomi, personal finance, internasional, kecantikan dan masih banyak lagi,” kata Miftah.
Secara demografi saat ini pengguna terbanyak dari Selasar adalah pria dewasa, untuk kalangan millennial hingga perempuan masih belum banyak jumlahnya. Hal inilah yang kemudian menjadi tantangan dari Selasar, agar bisa menjangkau semua kalangan di Indonesia.
“Sebenarnya sejak awal kami tidak menargetkan pasar secara khusus, namun karena platform social blog yang sebelumnya diluncurkan lebih banyak menarik perhatian kalangan pria, akhirnya saat ini kami lebih banyak memiliki pengguna dari kalangan pria. Namun ke depannya kami berharap Selasar bisa digunakan untuk semua kalangan,” kata Miftah.
Untuk memastikan kebenaran dari pengguna, Selasar melakukan proses penyaringan yang ketat dan verifikasi. Hal tersebut untuk memastikan konten yang positif sesuai dengan kultur dari Selasar yaitu ramah, respect, dan internet positif.
“Kami juga menyediakan fitur flag untuk pengguna yang merasa terganggu dengan tulisan atau jawaban serta pertanyaan yang ada di Selasar. Kami juga memastikan tim Selasar memperhatikan hal-hal tersebut,” kata Miftah.
Fokus Selasar di tahun 2017
Meskipun masih terbilang baru semenjak pivot dilancarkan, saat ini Selasar telah memiliki rencana sepanjang tahun 2017. Mulai dari pengembangan web based dalam kuartal pertama, pengembangan aplikasi mobile platform Android dan iOS, kemudian di akhir tahun 2017 Selasar bakal meluncurkan gamification untuk pengguna yang bisa dimanfaatkan untuk monetisasi. Selain itu Selasar juga akan menciptakan Corporate Account untuk sektor perbankan hingga financial technology (fintech) yang ingin memanfaatkan platform tanya/jawab di Selasar.
“Kami menyadari sebagai platform seperti Selasar harus bisa melancarkan monetisasi untuk bisnis. Untuk itu gamification merupakan pilihan yang paling sesuai bagi pengguna Selasar atau yang kami sebut Selasares,” kata Miftah.
Terkait investor Selasar, Miftah enggan untuk menyebutkan siapa dan berapa jumlah investasi yang telah didapatkan. Saat ini Selasar juga tengah melakukan penggalangan dana untuk putaran Seri A.
“Kami sudah mendapatkan investor yang berlokasi di Singapura dan untuk mendukung rencana yang ada kami juga tengah melakukan penggalangan dana. Sudah ada beberapa yang tertarik dan menerima model bisnis yang kami miliki,” tutup Miftah.
Tahun 2016 bukan berarti stigma negatif terhadap video game sudah luntur. Pada kenyataannya, stigma ini muncul karena kebiasaan bermalas-malasan sejumlah gamer; seharian penuh bisa mereka habiskan untuk bermain game, dengan makan dan minum seadanya, dan tidak ada waktu yang disisihkan untuk beraktivitas fisik demi menjaga kebugaran tubuhnya.
Game macam Pokemon Go setidaknya bisa sedikit memberi kesadaran terkait pentingnya beraktivitas fisik; dimana para pemain didorong untuk keluar dari rumahnya, mengunjungi berbagai lokasi demi menangkap Pokemon langka. Sadar atau tidak, kegiatan ini setidaknya sudah berkontribusi terhadap kebugaran tubuh para pemain Pokemon Go – meski saya tahu tidak sedikit juga yang bermain curang.
Pendekatan lain dilakukan oleh 2K selaku publishergame NBA 2K17. Mereka baru-baru ini mengajak Fitbit menjadi mitranya dalam menerapkan konsep serupa dengan Pokemon Go, dimana pemain didorong untuk beraktivitas fisik kalau mau mendapatkan insentif dalam game.
Pemain bisa menggunakan perangkat Fitbit model apa saja. Saat target tercapai, misalnya 10.000 langkah dalam satu hari, mereka akan menerima bonus sementara terhadap performa karakter bikinannya yang mereka mainkan dalam game selama lima pertandingan ke depan dalam hari tersebut.
Bonus atribut tersebut mencakup peningkatan agility maupun ketangkasan dalam melakukan dunk atau layup. Sederhananya, semakin sering Anda beraktivitas dengan Fitbit, semakin jago Anda bermain NBA 2K17, paling tidak secara teori.
Untuk sekarang, tantangannya baru melibatkan penghitungan langkah kaki saja. Namun sudah ada wacana ke depan dimana perangkat bisa mendeteksi ketika pemain benar-benar bermain basket, kemudian diterjemahkan menjadi bonus atribut lain dalam game.
Kalau Anda punya PS4 atau Xbox One dan sebuah fitness tracker buatan Fitbit, nantikan update menarik NBA 2K17 yang rencananya akan dirilis pada tanggal 25 November, bertepatan dengan perayaan Black Friday.
Raksasa piranti lunak, Microsoft kembali mengucurkan dana segar untuk memperkuat lini usaha melalui pembelian sebuah perusahaan bernama Incent Games. Incent Games merupakan perusahaan di balik FantasySalesTeam, sebuah platformgamification populer di dunia.