Tag Archives: Gamifikasi

Primeskills Hadirkan Platform Edtech Berbasis “Extended Reality” dan Gamifikasi

Perkembangan teknologi telah menciptakan transformasi di berbagai sektor, salah satunya pendidikan. Proses belajar-mengajar yang semula tradisional kini semakin melibatkan teknologi, seperti yang tengah dikembangkan oleh Primeskills, startup edtech berbasis extended reality (XR) dan gamifikasi.

Startup ini didirikan di 2020 oleh William Irawan dengan misi menciptakan masa depan di mana masyarakat bisa mendapat pendidikan merata dan terdistribusi. Indonesia diprediksi mengalami bonus demografi pada 2030 mendatang. Populasi penduduk usia kerja diperkirakan melebihi 208 juta jiwa dengan sekitar 69% masuk dalam angkatan kerja.

Meski begitu, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa angka pengangguran di Indonesia telah mencapai 5,83% dari total penduduk usia kerja. Dari jumlah tersebut, hampir 14% di antaranya merupakan lulusan jenjang pendidikan diploma dan sarjana (S1). Primeskills melihat skill gap sebagai salah satu penyumbang tingginya angka pengangguran di Indonesia.

Dalam keterangan resminya, William mengungkapkan, “berangkat dari masalah tersebut, kami mengembangkan inovasi training berbasis XR dan gamifikasi untuk mempersempit jarak keterampilan antara lulusan dan industri saat ini, seperti pembuatan modul dan konten menggunakan teknologi virtual reality (VR) demi meningkatkan kualitas pembelajaran.

Hal ini didukung oleh riset global Price Waterhouse Cooper (PwC) di mana para peserta pelatihan dengan menggunakan AR dan VR mengaku empat kali lebih cepat dan fokus berlatih dibanding di dalam kelas, 275% lebih percaya diri untuk mengaplikasikan pembelajaran keterampilan setelah training, dan 3,75 kali lebih terkoneksi secara emosional dengan materi yang diajarkan. Hal ini membuktikan AR dan VR dapat meningkatkan inovasi dan produktivitas.

Primeskills memosisikan diri sebagai enabler modul pembelajaran menggunakan teknologi terkini, yaitu Virtual Reality (VR), Augmented Reality (AR), dan Learning Experience Platform, menjadikan pelatihan menjadi lebih imersif, lebih mudah dipahami, dan lebih efisien dalam proses pembelajarannya.

Melalui model bisnis B2B, Primeskills menyediakan kebutuhan mitra bisnisnya, mulai dari penyediaan perangkat VR Headset, pengembangan modul pembelajaran interaktif yang terkostumisasi dengan kebutuhan mitra bisnis, hingga layanan purna jual secara berkala, serta beberapa sistem pendukung pembelajaran yang memungkinkan mitra bisnis menggabungkan pembelajaran yang sudah ada dan modul yang dihasilkan oleh Primeskills dengan mudah.

Perusahaan membentuk ekosistem teknologi VR, dari proses menyediakan kurikulum, development, penyediaan hardware, hingga after sales. Primeskills telah merampungkan modul untuk beberapa industri, di antaranya industri perbankan, pendidikan, hospitality, dan healthcare.

Teknologi XR yang dikembangkan Primeskills merupakan gabungan dari seluruh immersive technology, seperti AR, VR, dan mixed reality (MR). Primeskills percaya dengan tidak hanya berfokus pada satu atau dua gaya belajar, melainkan menggabungkan dari auditori, visual, serta kinestetik sehingga diharapkan delivery pembelajaran jauh lebih efektif dan lebih mudah dipahami.

Target bisnis

Sepanjang 2022, Primeskills telah bekerja sama dengan beberapa institusi perbankan. Salah satunya, bersama CIMB Niaga telah menyelesaikan total lebih dari 1.500 jam pelatihan modul VR Training dan mendistribusikan total 325 unit VR Headsets ke 95 kota di seluruh Indonesia. Kerja sama ini merupakan salah satu penerapan VR training business-to-business (B2B) terbesar di Asia Tenggara.

Perusahaan juga telah bermitra dengan Universitas Kristen Petra untuk mengembangkan platform pembelajaran dan modul-modul XR interaktif untuk menjangkau pasar B2C. Salah satunya membuat metode pembelajaran berbasis digital yang mengombinasikan visual novel dan XR agar semakin menarik.

Di samping itu, termasuk dalam portofolio Primeskills, salah satu perusahaan retail terbesar Kawan Lama Group. Primeskills berperan menyediakan public showcase pada offline store mereka yang menggabungkan teknologi imersif khususnya VR yang dibuat, seperti situasi kehidupan asli untuk mempromosikan produk-produk unggulan mereka.

Di pemerintahan, Primeskills memenuhi kebutuhan VR Assessment untuk Kemendagri guna kebutuhan penilaian karyawan. Selain itu, pada awal tahun 2022 Primeskills telah menjalin kerjasama lanjutan dengan Kemenag RI untuk mendukung acara tahunan Hari Santri Nasional.

Secara spesifik, di tahun 2023 Primeskills akan terus mendorong peningkatan kualitas keterampilan lulusan universitas agar relevan dengan kebutuhan industri demi menekan angka skill gap di Indonesia, melalui pengalaman praktik dan soft skill training menggunakan teknologi XR dan gamifikasi.

Dalam wawancara terpisah, perusahaan mengungkapkan tengah fokus  adalah pada industri yang membutuhkan banyak pelatihan soft skills karena beberapa produk dan para ahli yang bekerja sama dengan kami bergerak pada bidang pelatihan tersebut seperti pelatihan leadership, coaching, customer services, sales, manners, public speaking, dsb.

“Sasaran target kami dimulai dari industri pendidikan hingga industri yang berfokus pada pengembangan SDM. Harapannya, kami dapat berperan aktif untuk meminimalisasi skill gap dan mendukung lulusan dari industri pendidikan untuk siap kerja,” tambah William.

Pihaknya meyakini teknologi teknologi imersif mampu menjadi solusi untuk tantangan skill gap di masa mendatang. Oleh karena itu, Primeskills akan terus meningkatkan performa kualitas teknologi dan berfokus dengan industri yang relevan, juga disesuaikan dengan tujuan di atas, yakni peningkatan kualitas SDM dengan menyasar human resources dan universitas.

“Sesuai visi kami, untuk memberikan edukasi immersive yang juga menyenangkan bagi masyarakat, kami akan terus berupaya menghadirkan teknologi imersif dan support system-nya menjadi solusi yang dapat dijangkau oleh masyarakat luas. Dan dapat dinikmati bagi mitra bisnis kami saat ini maupun untuk calon mitra kami kedepannya baik dari sisi B2B maupun B2C,” tutup William.

Primeskills merupakan salah satu portofolio dari UMG Idealab Indonesia. Berdiri sebagai venture capital, UMG Idealab menyebutkan telah bertransformasi menjadi venture builder pada 2020. Saat ini perusahaan fokus mengembangkan tiga hal krusial, yaitu mengatasi perubahan iklim, mengatasi kesenjangan pendapatan, dan membantu UMKM bersaing secara global.

Aplikasi dan Inovasi Game ke Industri Lain: Militer, Kesehatan, dan Edukasi

Game layaknya pedang bermata dua. Di satu sisi, militer Amerika Serikat menggunakan game sebagai alat untuk melatih pasukan mereka. Di sisi lain, studi menunjukkan, bermain game tidak membuat pemainnya mendadak jadi beringas, bahkan jika game yang dimainkan penuh kekerasan sekalipun. Di satu sisi, World Health Organization menyatakan bahwa gaming disorder sebagai gangguan kejiwaan. Di sisi lain, game bisa digunakan oleh tenaga kesehatan untuk mengatasi gangguan kejiwaan. Di satu sisi, orangtua sering protes karena game membuat anak-anak mereka malas belajar. Di sisi lain, game bisa dijadikan sebagai alat pembelajaran.

Seiring dengan meroketnya popularitas game, semakin banyak pihak yang tertarik untuk menggunakan game atau inovasi dalam game ke bidang lain, mulai dari edukasi, kesehatan, sampai militer.

MILITER

Percaya atau tidak, militer AS sebenarnya telah mensponsori developer game sejak lama. Selama lebih dari dua dekade, pada 1960 sampai 1990-an, militer AS cukup aktif untuk mendanai pengembangan teknologi di industri game. Faktanya, Spacewar! — yang dianggap sebagai game pertama — bisa dibuat berkat dana dari Pentagon. Bagi militer dan developer game, kerja sama mereka merupakan simbiosis mutualisme. Bagi developer, jelas keuntungan yang mereka dapat berupa uang. Sementara bagi pihak militer, mereka rela menyokong developer game demi mendapatkan simulasi latihan yang memang berkualitas, seperti yang disebutkan oleh The Atlantic.

Secara garis besar, militer menggunakan game untuk tiga tujuan, merekrut tentara baru, melatih pasukan, dan juga menangani posttraumatic stress disorder (PTSD) pada veteran. America’s Army merupakan salah satu contoh game yang dibuat untuk merekrut anak-anak muda. Game FPS yang dibuat dan dirilis oleh Angkatan Darat AS itu diluncurkan pada 2002 dan bisa dimainkan secara gratis oleh siapa saja. Pada 2008, Richard Beckett — Chief of Advertising and Public Affairs di Angkata Darat AS, yang ketika itu menjabat sebagai Public Affairs Officer — mengatakan bahwa game America’s Army biasanya menjadi bagian dalam berbagai kegiatan sosial, termasuk di LAN parties, yang merupakan bagian dari program “Future Soldier Sustainment” milik Angkatan Darat AS.

Angkatan Laut AS gunakan Twitch untuk proses perekrutan. | Sumber: Military

“Kegiatan sosial seperti LAN parties sangat bermanfaat, karena kami ingin menunjukkan bahwa para perekrut adalah orang-orang biasa, sama seperti para pengunjung,” kata Beckett pada Ars Technica. Lebih lanjut dia menjelaskan, kegiatan sosial itu juga berfungsi untuk membuat para calon tentara yang sudah lulus boot camp tapi belum mendapat penugasan agar tidak berubah pikiran. Alasannya, setelah selesai boot camp, para calon tentara bisa menunggu hingga lebih dari enam bulan sebelum ditugaskan.

Seiring dengan meningkatnya popularitas siaran konten game, militer AS pun tertarik untuk menjajaki platform streaming game. Sekarang, baik Angkatan Darat maupun Angkatan Laut AS sudah punya channel Twitch. Tujuan militer membuat channel di Twitch bukan untuk merekrut para penonton secara aktif. Sebagai gantinya, mereka menggunakan channel itu untuk meningkatkan eksposur dan berinteraksi dengan penonton — yang kebanyakan merupakan generasi muda. Hanya saja, tidak semua orang senang dengan keberadaan channel Twitch dari Angkatan Darat atau Angkatan Laut AS. Tidak sedikit penonton yang justru memanfaatkan channel Twitch milik militer untuk menanyakan tentang topik sensitif seperti Eddie Gallagher atau kejahatan perang yang dilakukan oleh dan dituduhkan pada tentara AS.

Tak hanya perekrutan, militer AS juga menggunakan game untuk melatih pasukan mereka. Ada beberapa game yang memang khusus dibuat sebagai alat latihan militer. Dan masing-masing game itu punya fungsi masing-masing. Misalnya, DARWARS Ambush digunakan untuk mengajarkan taktik infanteri, operasi konvoi, serta Rules of Engagament aatu Aturan Pelibatan. Menurut laporan GamesIndustry, pada akhir 2008, lebih dari tiga ribu unit DARWARS Ambush telah didistribusikan ke Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut, Penjaga Pantai, dan Marinir.

Selain DARWARS, juga ada UrbanSim dan Tactical Iraqi. Kedua game itu fokus untuk mengajarkan kemampuan bahasa asing serta cara melawan pemberontak. Sementara simulator perang seperti Virtual Battlespace 2 memunginkan komandan militer membuat skenario yang mungkin terjadi di garis depan medan pertempuran, mulai dari sergapan musuh, ledakan Improvised Explosive Device (IED), sampai evakuasi medis.

DARWARS Ambus adalah salah satu game simulasi untuk latihan militer. | Sumber: Stripes

Terakhir, militer menggunakan game sebagai alat untuk mengatasi masalah psikologis yang dialami oleh para veteran, seperti PTSD. Dalam jurnal Virtual Reality Exposure Therapy for Combat Related PTSD, Institute of Medicine menyebutkan bahwa Cognitive Behavioral Therapy (CBT) dengan exposure therapy merupakan satu-satunya jenis terapi yang direkomendasikan untuk menangani PTSD.

Dalam exposure therapy, penderita PTSD biasanya akan diminta untuk mengingat dan menceritakan kembali kejadian traumatis yang dia alami. Hanya saja, salah satu gejala PTSD adalah keengganan atau ketidakmampuan untuk mengingat kejadian traumatis yang menjadi penyebab PTSD itu sendiri. Jadi, jangan heran jika orang-orang yang punya PTSD tidak mau atau tidak bisa mengingat apa yang terjadi pada mereka. Di sinilah peran VR simulator, yang dapat digunakan untuk mereka ulang kejadian yang menjadi penyebab trauma. Keberadaan simulasi seperti Virtual Afghanistan dapat membantu veteran mengatasi trauma mereka.

Sayangnya, keputusan militer AS untuk aktif di industri game tidak selalu berbuah manis. Salah satu game dari militer yang menuai kontroversi adalah Full Spectrum Warrior. Game yang diluncurkan pada 2003 tersedia dalam dua varian, yaitu varian komersil dan varian militer, yang bisa diakses dengan kode khusus. Walau game itu berhasil memenangkan penghargaan di kategori Best Original Game dan Best Simulation Game di E3 2003, Full Spectrum Warrior tetap menuai kontroversi. Salah satu alasannya adalah karena pada akhirnya, militer AS tetap tidak menggunakan game itu sebagai alat latihan karena dianggap kurang realistis. Selain itu, biaya yang dikeluarkan Angkatan Darat AS untuk mendapatkan game itu juga dianggap terlalu besar.

KESEHATAN

Veteran perang bukan satu-satunya pihak yang mengalami PTSD. Warga sipil pun bisa mengidap PTSD. Karena itu, keberadaan VR Exposure Therapy (VRET) tidak hanya menguntungkan militer, tapi juga tenaga kesehatan. Selain PTSD, VRET juga bisa digunakan untuk mengatasi gangguan mental lain, seperti fobia atau gangguan kecemasan. Bagaimana VRET bisa membantu? Dengan membawa pasien ke dunia virtual untuk menghadapi kejadian atau lokasi yang menjadi sumber trauma atau mengekspos pasien ke sesuatu yang mereka takutkan. Mengingat dunia vritual bisa dikendalikan, penggunaan VR dalam exposure therapy menjamin keselamatan pasien.

VR Exposure Therapy bisa digunakan untuk menangani fobia. | Sumber: Digital Bodies

Penggunaan game di industri kesehatan tidak terbatas pada disiplin psikologi. Game, khususnya VR, juga bisa digunakan para tenaga kesehatan (nakes) untuk mengasah kemampuan mereka atau mempelajari prosedur baru. Dengan begitu, nakes tak lagi kagok ketika harus melakukan prosedur baru pada pasien. Ada berbagai hal yang bisa nakes pelajari dengan teknologi VR, mulai dari cara melakukan endoskopi sampai simulasi dari ruang operasi, seperti yang disebutkan dalam jurnal Gaming science innovations to integrate health systems science into medical education and practice.

Menariknya, game mobile pun bisa membantu para calon dokter untuk belajar. Ialah game PAtient Safety in Surgical EDucation (PASSED). Game untuk iPad itu dapat menampilkan berbagai skenario kejadian sentinel alias kejadian tak terduga yang menyebabkan cedera serius atau bahkan kematian pada pasien. Melalui game tersebut, para calon dokter akan bisa lebih paham tentang alasan di balik kekhawatiran pasien.

Mencegah lebih baik dari mengobati. Kabar baiknya, game bisa digunakan untuk mendorong pemainnya memulai atau mempertahankan gaya hidup sehat. Misalnya, Pokemon Go, yang mendorong para pemainnya untuk berjalan kaki. Contoh lainnya adalah WiiFit dari Nintendo, yang memanfaatkan Wii Balance Board. Selain mendorong pemain untuk lebih aktif berolahraga, game yang mengharuskan pemainnya melakukan kegiatan fisik juga bisa digunakan untuk mengukur kemampuan fisik pasien. Jadi, nakes bisa mengetahui apakah kemampuan fisik dari pasien membaik atau justru memburuk, khususnya pasien dari penyakit yang membatasi gerakan dan mobilitas, seperti Parkinson, seperti yang disebutkan dalam Innovation in Games: Better Health and Healthcare.

Wii Fit mendorong pemain untuk melakukan kegiatan fisik. | Sumber: Ichi Pro

Tantangan sudah pasti menjadi bagian dari game. Namun, game bisa membuat mengatasi tantangan sebagai sesuatu yang menyenangkan. Karena itu, game juga bisa digunakan untuk mengatasi kecanduan, seperti merokok atau berjudi. Salah satu contoh game yang dibuat untuk membantu pemainnya berhenti merokok adalah My Stop Smoking Coach. Dirilis pada 2008, game itu bisa dijalankan di beberapa platform, termasuk iPhone dan Nintendo DS. Escape from Diab dari Archimage Inc. jadi contoh lain dari game yang bertujuan untuk mendorong pemainnya hidup sehat. Game yang dirilis pada 2006 itu merupakan adventure game yang fokus pada pencegahan obesitas dan diabetes tipe 2.

EDUKASI

Game sering dituding sebagai penyebab mengapa murid-murid enggan untuk belajar. Lucunya, studi tentang potensi game sebagai alat pengajaran telah muncul sejak tahun 1980-an. Ketika itu, para peneliti merasa, beberapa game komersil — khususnya game dengan genre strategi, simulasi, atau RPG — telah menggunakan teori pembelajaran untuk mendorong pemain mempelajari gameplay dari game itu sendiri. Menggunakan game dalam dunia pendidikan bukan berarti semua materi dalam kurikulum dikemas dalam “game”.

Menurut Gaming in Education: Using Games as a Support Tool to Teach History, game punya beberapa peran dalam kegiatan belajar-mengajar. Pertama, game bisa digunakan untuk mendorong siswa untuk berpartisipasi. Harapannya, siswa menjadi lebih berani untuk mengaplikasikan secara langsung apa yang mereka pelajari. Kedua, game bisa membantu siswa untuk mengingat pelajaran yang mereka pelajari, khususnya poin-poin penting yang akan muncul di tes atau bagian yang bisa diaplikasikan langsung di dunia nyata. Ketiga, game dapat meningkatkan literasi komputer dan visual. Keempat, game mendorong siswa untuk berpikir kreatif dalam memecahkan masalah. Pada saat yang sama, murid tetap harus mengikuti peraturan yang telah ditetapkan dalam game. Kelima, game bisa mengajarkan berbagai soft skills, mulai dari cara berpikir kritis, berinteraksi dan berkolaborasi dengan teman, dan bahkan sportmanship.

Game bisa digunakan untuk meningkatkan soft skills para siswa. | Sumber: Spiel Times

Sementara itu, jurnal Digital Games in Education: The Design of Games-Based Learning Environments membahas tentang bagaimana game bisa memotivasi siswa dan membuat mereka fokus pada tugas yang harus mereka kerjakan.Memang, game punya elemen-elemen yang bisa membuat para pemainnya sepenuhnya fokus dalam menyelesaikan tugas dalam game. Elemen-elemen tersebut antara lain tujuan yang jelas, umpan baik — baik langsung maupun tidak langsung, serta keseimbangan antara tantangan yang diberikan dengan kemampuan pemain. Selain itu, dalam game, pemain juga punya kendali akan apa yang mreeka lakukan. Selain membuat siswa fokus, semua elemen ini juga bisa mendorong murid untuk menjadi lebih interaktif. Dan studi membuktika, tingkat interaksi siswa punya dampak positif akan prestasi mereka.

TEKNOLOGI

Controller merupakan alat input utama untuk kebanyakan konsol. Seiring dengan perubahan konsol, controller pun ikut berevolusi. Namun, hal ini tidak menghentikan perusahaan game untuk bereksperimen dan membuat alat input baru. Pada 2006, Nintendo meluncurkan Wii Remote atau Wiimote bersamaan dengan Nintendo Wii. Salah satu fitur utama dari perangkat tersebut adalah kemampuan untuk mendeteksi gerakan tangan pengguna. Pada 2009, Nintendo meluncurkan penerus dari Wii Remote, yaitu Wii MotionPlus, yang dapat mendeteksi gerakan yang lebih kompleks. Tak hanya Nintendo, Microsoft juga meluncurkan Kinect pada 2010. Dilengkapi dengan kamera RGB, proyektor infrared, dan detector, Kinect dapat mendeteksi gerakan pengguna.

Setelah itu, teknologi motion sensing pun digunakan di bidang di luar gaming. Teknologi pendeteksi gerakan bahkan bisa digunakan dalam aplikasi mobile. Dalam aplikasi mobile, biasanya ia akan memanfaatkan gyroscope pada ponsel untuk mendeteksi gerakan. Salah satu perusahaan yang tertarik untuk menggunakan teknologi sensing motion adalah Limix. Perusahaan asal Italia itu membuat wearable yang disebut Talking Hands. Perangkat itu dapat menerjemahkan bahasa isyarat menjadi suara menggunakan smartphone atau Bluetooth speaker, seperti yang disebutkan oleh HeadStuff. Keberadaan Talking Hands menunjukkan bagaimana teknologi motion sensing bisa digunakan untuk membantu tuna rungu.

Selain itu, game juga menjadi salah satu faktor pendorong perkembangan hardware. Pasalnya, game memang program yang menuntut kinerja tinggi dari komputer. Karena tuntutan gamer yang tidak pernah puas, manufaktur hardware pun mau tak mau harus memenuhi tuntutan tersebut. Kabar baiknya, hardware yang powerful tidak hanya bisa digunakan untuk bermain game, tapi juga untuk melakukan kegiatan lain yang membutuhkan daya komputasi tinggi, seperti mining cryptocurrency. Lucunya, walau telah ada GPU khusus untuk melakukan mining mata uang virtual, tidak sedikit penambang yang lebih memilih untuk menggunakan gaming GPU.

GAMIFIKASI

Sebenarnya, game — baik keseluruhan game atau hanya elemen di dalamnya — tidak hanya digunakan dalam empat industri di atas. Elemen dalam game bisa diterapkan di berbagai lingkup non-gaming. Karena itulah, muncul istilah gamifikasi. Jika Anda lebih tertarik untuk melihat bagaimana gamifikasi diaplikasikan secara nyata dalam industri non-gaming, Anda bisa membacanya di sini.

Komponen dari game yang bisa digunakan di luar lingkup game beragam, mulai dari pemberian poin, badge, penggunaan avatar, adanya leaderboard dan grafik performa, sampai keberadaan rekan satu tim serta narasi atau cerita. Jurnal How gamification motivates: An experimental study of the effects of specific game design elements on psychological need satisfaction membahas tentang bagaimana gamifikasi bisa memotivasi seseorang berdasarkan teori self-determination.

Di teori self-determination, ada tiga kebutuhan psikologis yang harus dipenuhi, yaitu kebutuhan akan kompetensi, otonomi, dan keterhubungan sosial alias social relatedness. Kebutuhan akan kompetensi akan terpenuhi ketika seseorang merasa puas karena tindakan mereka memengaruhi lingkungan mereka. Bagian dari game yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan akan kompetensi adalah pemberian poin dan badge, serta keberadaan leaderboards dan grafik performa. Dalam game, poin berfungsi sebagai feedback langsung. Jika pemain mendapatkan poin ketika dia melakukan kegiatan tertentu, dia akan termotivasi untuk terus melakukan tindakan tersebut demi menambah poinnya.

Ada banyak elemen game yang bisa digunakan di luar lingkup gaming. | Sumber: Deposit Photos

Sementara grafik performa bisa menunjukkan pencapaian seseorang dalam periode waktu tertentu. Misalnya, di aplikasi Duolingo, setiap minggu, Anda akan mendapatkan laporan berupa grafik akan berapa lama waktu yang Anda habiskan untuk belajar di aplikasi selama tujuh hari terakhir. Dari grafik itu, Anda bisa tahu apakah performa Anda menjadi lebih baik atau justru menunjukkan penurunan. Baik badge maupun leaderboards bisa digunakan sebagai penilaian atas performa seseorang secara keseluruhan. Di game, badge biasanya diberikan sebagai tanda bahwa seseorang telah mendapatkan pencapaian atau target tertentu. Dan leaderboards berfungsi untuk membandingkan performa pemain dengan pemain lainnya. Pada akhirnya, poin, badge, leaderboards, dan grafik performa bisa menjadi bukti akan kesuksesan atau kompetensi seseorang.

Kebutuhan kedua yang harus dipenuhi berdasarkan teori self-determination adalah kebutuhan akan otonomi, yang mengacu pada kebebasan dan kesediaan seseorang untuk menyelesaikan tugas tertentu. Kebutuhan akan otonomi terdiri dari dua aspek, yaitu kebebasan dalam pengambilan keputusan dan rasa puas akan menuntaskan tugas yang berarti. Penggunaan avatar bisa menjadi jalan untuk memenuhi aspek pertama. Memilih avatar — yang merupakan representasi pemain — membuat pemain merasa bahwa mereka punya kendali akan keputusan yang mereka ambil. Sementara aspek kedua bisa dipenuhi dengan narasi atau cerita. Banyak game yang menugaskan para pemain untuk mengalahkan musuh. Dan sering kali, tugas itu berulang: pergi ke desa A, kalahkan musuh X; pergi ke kota B, kalahkan musuh Y; pergi ke kerasaan C, kalahkan musuh Z. Namun, dengan narasi yang berbeda, maka pengalaman yang dirasakan pemain pun menjadi tak sama.

Kebutuhan terakhir yang harus dipenuhi dalam teori self-determination adalah keterhubungan sosial. Kebutuhan ini bisa dipenuhi ketika seseorang merasa bahwa tindakan yang mereka lakukan berdampak pada keadaan/performa grup. Karena itu, dalam game, termasuk game single-player, pemain biasanya tidak sendiri. Biasanya, pemain akan punya tim. Di game multiplayer, pemain membantu pemain lain. Sementara dalam game single-player, rekan pemain adalah NPC. Kebutuhan akan social relatedness juga bisa dipenuhi ketika sekelompok orang punya tujuan yang sama. Di sini, elemen cerita/narasi juga punya peran penting.

Kesimpulan

Saat ini, masih tetap ada asumsi bahwa game tidak lebih dari “mainan anak kecil”. Padahal, industri game lebih besar dari industri film dan musik. Selain itu, game atau inovasi yang muncul karena game ternyata juga menawarkan banyak kegunaan sehingga bisa digunakan di berbagai bidang lain. Jika ada yang berargumen bahwa game punya dampak negatif… Well, segala sesuatu yang tidak digunakan sebagaimana mestinya memang akan selalu membawa masalah. Lagipula, walaupun game hanya punya satu fungsi, yaitu sebagai media hiburan, toh game tetap terbukti punya manfaat. Buktinya, game berhasil membuat orang-orang tetap waras selama pandemi.

Sumber header: Deposit Photos

Aplikasi Pendidikan Anak Titik Pintar

Kantongi Pendanaan Awal, Titik Pintar Fokus Kembangkan Konten Pembelajaran Anak Berkualitas

Startup edtech Titik Pintar mengumumkan telah mengantongi pendanaan tahapan pre-seed dengan nilai yang tidak disebutkan awal tahun ini. Pendanaan ini merupakan salah satu investasi pertama dari Indonesia Women Empowerment Fund (IWEF), dana yang bertujuan untuk menciptakan dampak sosial dan dikelola bersama oleh Moonshot Ventures serta YCAB Ventures.

Sebelumnya, Titik Pintar juga mendapatkan hibah dari Pemerintah Belanda dan juga investasi dari sejumlah angel investor. Titik Pintar juga merupakan salah satu lulusan DSLaunchpad, program akselerasi startup virtual yang diinisiasi oleh DailySocial.

Kepada DailySocial, Founder & CEO Titik Pintar Robbert Deusing mengungkapkan, untuk jangka pendek pendanaan akan digunakan untuk meningkatkan kualitas produk. Mereka juga ingin menghadirkan lebih banyak konten berkualitas, yaitu dengan meluncurkan Sahabat Pintar, di mana guru-guru, desainer, dan para animator bisa berkolaborasi membuat konten berkualitas.

“Kami bertujuan mengumpulkan kreator konten terbaik, untuk terus memproduksi konten sekaligus menjaga kualitasnya. Saat ini kami sedang membangun fitur multiplayer, yang akan memberikan tantangan untuk para pengguna sehingga mereka semakin tertarik. Kami juga mendapat banyak masukan yang baik soal fitur baru ini,” kata Robbert.

Selain multiplayer, produk lain yang akan dikembangkan adalah sesi konsultasi secara online bersama guru. Para guru nantinya akan membantu anak-anak yang kesulitan melanjutkan permainan dengan memberi penjelasan lebih. Titik Pintar akan memberikan info soal proses pembelajaran anak, sehingga para guru bisa melihat apa yang perlu diperbaiki. Mereka juga bisa mendapatkan pemasukan tambahan dengan sesi konsultasi ini.

“Untuk Sahabat Pintar, kami membatasi jumlah guru hingga 25 orang, sehingga kami bisa fokus ke kualitas kontennya dan memastikan kalau kami menjalankan hal yang tepat. Kami akan berupaya menambah hingga 1000 guru secara perlahan untuk permulaan,” kata Robbert.

Misi jangka panjang Titik Pintar selanjutnya adalah, membuat belajar menjadi menyenangkan bagi semua anak di Indonesia. Dengan menghadirkan konten yang dapat diakses dari mana saja untuk semua orang dan bisa meningkatkan hasil pembelajaran untuk semua pengguna Titik Pintar.

Gamifikasi untuk pengguna

Tim Titik Pintar
Tim Titik Pintar

Saat ini Titik Pintar telah memiliki 10 ribu pengguna aktif setiap bulannya. Selama pandemi, perusahaan mengalami pertumbuhan positif. Dengan makin meningkatnya kegiatan secara online, banyak orang tua yang kemudian mempercayai platform membuat belajar lebih menyenangkan untuk anak-anak sekolah dasar di saat pandemi maupun setelahnya.

Disinggung fitur apa yang menjadi pilihan pengguna, disebutkan mata pelajaran sains yang terfavorit. Secara demografi, platform lebih banyak digunakan oleh pengguna perempuan dibandingkan laki-laki. Sementara beberapa pengguna menyukai Pintar Pod, sebuah minigame yang bisa dimainkan setelah menyelesaikan soal-soal utama. Selain itu, anak-anak juga suka mendapatkan Koin Pintar (yang akan diberikan setiap menyelesaikan soal), untuk mengubah tampilan avatar.

“Pemain terkenal yang sudah ada di luar sana menargetkan pelajar di tingkat yang lebih tinggi. Kami fokus ke pelajar sekolah dasar. Gamifikasi juga menjadi DNA kami, dan merupakan metode pembelajaran yang tepat untuk anak-anak, yaitu belajar sambil bermain,” kata Robbert.

Application Information Will Show Up Here

Serba-Serbi Gamifikasi: Penerapan dengan dan Tanpa Aplikasi

Ketika saya SD, saya sering bermain game Puzzle Bobble. Beberapa waktu lalu, saya melihat adik saya memainkan game serupa, di aplikasi Shopee. Sementara bulan lalu, saya mendapatkan rilis dari Tinder, memperkenalkan fitur barunya,  “Swipe Night”, berupa cerita interaktif yang mengingatkan saya akan game-game buatan Telltale Games.

Semua hal ini membuat saya berpikir: unsur-unsur game apalagi yang ada dalam aplikasi non-gaming? Kenapa aplikasi e-commerce dan kencan online memasukkan unsur-unsur game padahal aplikasinya tak ada sangkut pautnya dengan game? Bukankah game adalah hal tak berguna yang hanya merusak masa depan?

Dalam usaha saya untuk menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas, saya menemukan istilah menarik: gamifikasi. Dan kali ini, saya akan membahas segala sesuatu tentang gamifikasi.

Apa sih Gamifikasi Itu?

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang gamifikasi, saya menghubungi Eko Nugroho, CEO dari Kummara Group, perusahaan yang fokus pada game serius, pembelajaran via gaming, dan gamifikasi secara umum. Eko menjelaskan, pada dasarnya, gamifikasi adalah penggunaan unsur game di bidang selain game, mulai dari edukasi, tempat bekerja, hingga militer.

Unsur game yang digunakan dalam gamifikasi juga tidak selalu sama. Dalam kasus Shopee, mereka memasukkan game utuh ke dalam aplikasinya. Namun, gamifikasi tidak harus selalu seperti itu. Penerapan gamifikasi bisa sesederhana penggunaan sistem poin atau memasang leaderboard pada aplikasi.

Leaderboard jadi salah satu unsur game yang sering digunakan pada aplikasi non-gaming. | Sumber: Deposit Photos
Leaderboard jadi salah satu unsur game yang sering digunakan pada aplikasi non-gaming. | Sumber: Deposit Photos

Eko memberikan contoh gamifikasi dalam dunia edukasi. Misalnya, setelah lulus tingkat pendidikan tertentu, maka seseorang akan mendapatkan sertifikasi. Sistem ini serupa dengan penerapan sistem badge pada game. Ketika Anda berhasil mendapatkan pencapaian tertentu, usaha Anda akan dihargai dengan “badge”. Menurut Eko, penggunaan unsur game dalam bidang non-gaming sudah dilakukan sejak lama. Namun, istilah “gamifikasi” baru mulai muncul pada 2000-an.

Sayangnya, sama seperti segala sesuatu di dunia ini, gamifikasi juga bisa memberikan dampak buruk jika tidak diterapkan dengan benar. Eko kembali memberikan contoh dalam dunia edukasi. “Dunia pendidikan yang ‘menuhankan’ nilai, hal ini membuat para murid termotivasi untuk berbuat curang dan bukannya belajar lebih baik,” kata Eko.

 

Optimasi dan Tujuan Gamifikasi

Salah satu alasan mengapa penerapan gamifikasi tidak selalu optimal adalah karena masih banyak orang yang memiliki pemikiran yang salah tentang gamifikasi. Eko mengungkap, masih banyak orang yang mengira bahwa gamifikasi itu sekadar menggunakan sistem poin atau badge. “Menggunakan sistem poin atau badge memang gamifikasi. Tapi, gamifikasi itu lebih dari itu,” ujar Eko. “Gamifikasi harus bisa didesain dengan baik.”

Alasan lain mengapa penggunaan gamifikasi terkadang tidak optimal adalah karena terkadang. orang-orang yang hendak menerapkan gamifikasi ingin mengimplementasikannya dengan cepat. Padahal, gamifikasi hanya akan bisa optimal jika ia memang diimplementasikan dengan tepat. “Misalnya, pembaca Hybrid adalah orang-orang pada umur 18-30 tahun. Mendadak, Hybrid menambahkan fitur gamifikasi, tapi UI/UX-nya old school. Ya, gamifikasi tidak akan maksimal,” kata Eko.

Lalu, bagaimana cara menentukan apakah penerapan gamifikasi sudah optimal? Menurut Eko, optimal atau tidaknya gamifikasi tergantung pada apakah tujuan dari gamifikasi itu sendiri berhasil dicapai. Tolok ukur lainnya adalah apakah gamifikasi bisa memberikan pengalaman yang lebih baik pada konsumen. “Pada aplikasi, kalau fitur gamifikasi membuat pengguna tertarik menggunakan mencoba, hal itu berarti gamifikasinya berjalan dengan baik,” ujarnya.

Dalam jangka panjang, fitur gamifikasi yang optimal bisa menumbuhkan loyalitas konsumen. Contoh yang Eko berikan adalah sistem frequent flyers yang digunakan oleh maskapai penerbangan. Dalam sistem itu, semakin sering seseorang menggunakan layanan maskapai tertentu, maka semakin tinggi kelasnya dan semakin baik pula layanan yang dia dapatkan. Pada awalnya, seseorang mungkin menggunakan satu maskapai karena memang perlu. Namun,  lama-kelamaan, dia akan enggan untuk menggunakan maskapai lain karena layanan yang dia dapatkan sudah sangat baik.

Sistem serupa juga diterapkan oleh perusahaan transportasi online. Tak hanya menumbuhkan kesetiaan, gamifikasi juga bisa digunakan dengan tujuan untuk memperkenalkan produk baru. Misalnya, pada awal kemunculan transportasi online, mereka sering memberikan “reward” berupa voucher atau diskon. Hal ini mendorong konsumen untuk mencoba menggunakan transportasi online. Setelah konsumen terbiasa, diskon atau voucher itu pun perlahan dihilangkan. Namun, konsumen yang sudah terlanjur merasa senang dengan layanan yang ditawarkan tetap menggunakan layanan transportasi online.

Satu hal yang harus diingat, Eko mengingatkan, fitur gamifikasi hanya akan bisa berfungsi optimal jika produk yang diperkenalkan memang berkualitas. “Mengenalkan produk baru kan susah. Jadi, supaya konsumen mau mencoba produk atau layanan baru, perusahaan menggunakan konsep gamifikasi. Namun, gamifikasi tidak bisa berdiri sendiri. Perusahaan harus memang punya produk yang baik,” ujar Eko. Dia juga menekankan, jangan sampai fitur gamifikasi justru membuat pelanggan merasa tertipu.

Sistem badge merupakan sistem gamifikasi lain yang biasa digunakan pada aplikasi non-gaming. | Sumber: Deposit Photos
Sistem badge merupakan sistem gamifikasi lain yang biasa digunakan pada aplikasi non-gaming. | Sumber: Deposit Photos

Tujuan dari gamifikasi, jelas Eko, sebenarnya tak hanya menumbuhkan loyalitas atau memperkenalkan produk baru. “Tergantung pada aplikasi,” jawab Eko ketika ditanya tentang tujuan gamifikasi pada aplikasi non-gaming. “Misalnya pada e-commerce, mereka menggunakan konsep game agar pengguna menggunakan aplikasi lebih lama. Dengan begitu, para pemain bisa diekspos ke banyak hal. Contoh, ketika kita bermain game, kita bakal dapat voucher atau diskon. Contoh lainnya, ketika kita main, kita disajikan iklan.”

Lebih lanjut, dia menjelaskan, fitur gamifikasi dalam aplikasi tak melulu blak-blakan seperti yang sudah dibahas. Dia menjadikan LinkedIn sebagai contoh. “Kalau kamu isi data diri, bar completion-nya akan terisi. Di sini, tujuan gamifikasi adalah mendorong pengguna untuk memberikan data diri mereka,” ujarnya. “Jadi, tujuan dari gamifikasi itu ya tergantung masing-masing aplikasi.”

 

Contoh Gamifikasi dalam Aplikasi

Tokopedia adalah salah satu aplikasi non-gaming yang menggunakan strategi gamifikasi. Menurut Bety Rosalina, Buyer Engagement Lead, Tokopedia, mereka mulai menampilkan fitur gamifikasi sejak 2017. Tujuannya adalah untuk memberikan pengalaman belanja yang interaktif dan lebih menaik.

Salah satu fitur gamifikasi yang Tokopedia gunakan dinamai Lucky Egg. Fitur ini sangat sederhana. Anda cukup “membuka” Lucky Egg di Tokopedia dan Anda akan mendapatkan hadiah berupa kupon atau voucher. Bety mengatakan, kupon yang diberikan telah disesuaikan dengan masing-masing pelanggan. Sekarang, Tokopedia juga menampilkan fitur gamifikasi lain, yaitu TopQuest. Dalam game, ketika Anda mendapatkan quest atau misi, maka Anda harus menyelesaikannya — terkadang dengan batas waktu tertentu — untuk mendapatkan hadiah. Cara kerja TopQuest persis seperti itu. TopQuest mendorong Anda untuk melakukan kegiatan tertentu untuk mendapatkan hadiah berubah cashback atau voucher.

“Tokopedia juga menghadirkan Tap Tap Kotak sebagai lanjutan dari fitur Lucky Egg,” ujar Bety. Sama seperti Lucky Egg, keuntungan yang didapat pelanggan dari Tap Tap Kotak adalah hadiah. Sementara bagi para mechant, manfaat Tap Tap Kotak adalah mereka bisa membangun engagement yang lebih interaktif dan lebih personal. “Hingga Agustus 2020, jumlah kotak yang dibuka mencapai lebih dari 25 juta kali. Bahkan ada lebih dari 40 ribu kotak Tap Tap Kotak yang dibuka per menit selama malam perayaan festival belanja bulanan Waktu Indonesia Belanja (WIB) pertama Tokopedia yang berlangsung pada 29 Juli 2020,” ujar Bety.

Bety menceritakan, fitur-fitur gamifikasi pada Tokopedia merupakan hasil kolaborasi dari tim internal Tokopedia, yang terdiri dari 9 orang, termasuk software engineers dan product manager.

Tap Tap Kotak merupakan kelanjutan dari fitur Lucky Egg.
Tap Tap Kotak merupakan kelanjutan dari fitur Lucky Egg.

Selain Tokopedia, Tinder menjadi aplikasi non-gaming lain yang memasukkan fitur gamifikasi. Tinder menamai fitur gamifikasi mereka “Swipe Night”. Bagi Anda yang tidak tahu, Swipe Night merupakan cerita interaktif. Di sini, Anda bisa memilih opsi yang berbeda yang akan memengaruhi jalan cerita. Mekanisme ini mengingatkan saya akan game-game buatan Telltale Games, seperti The Wolf Among Us. Hanya saja, opsi yang Anda ambil di Swipe Night tidak hanya memengaruhi alur cerita, tapi juga match yang Anda dapatkan.

Di Indonesia, fitur Swipe Night baru hadir pada awal September 2020 lalu. Proses pembuatan Swipe Night sendiri cukup lama. Kegiatan syuting untuk cerita Swipe Night telah dimulai sejak Q3 2019. Memang, pandemi jadi salah satu alasan mengapa fitur baru diluncurkan September 2020. Pada awalnya, Tinder berencana untuk memperkenalkan Swipe Night pada Maret 2020.

Berbeda dengan Tokopedia yang ingin menawarkan pengalaman belanja lebih interaktif, tujuan Tinder menghadirkan fitur gamifikasi adalah untuk memudahkan penggunanya memulai percakapan.

“Kami sadar bahwa orang-orang lebih mudah mengobrol ketika mereka berbagi pengalaman yang sama, seperit ketika menghadiri konser atau saat mereka tengah hangout bersama,” kata perwakilan Tinder pada Hybrid.co.id. “Kami ingin Swipe Night jadi bahan pembuka pembicaraan.” Selain itu, Tinder juga berharap, fitur Swipe Night akan membantu para penggunanya untuk membangun chemistry yang lebih baik.

Pihak Tinder menjelaskan, ide untuk membuat fitur Swipe Night muncul ketika mereka mengamati kebiasaan berkencan para Gen Z. Fortnite menjadi salah satu sumber inspirasi mereka. Memang, satu tahun belakangan, Fortnite juga mulai mengundang musisi ternama untuk melakukan konser digital di game tersebut. Tinder ingin melakukan hal serupa. Hanya saja, mereka juga ingin memastikan bahwa fitur gamifikasi yang mereka tanamkan sesuai dengan tema Tinder sebagai aplikasi kencan.

Swipe Night merupakan fitur gamifikasi pada TInder.
Swipe Night merupakan fitur gamifikasi pada Tinder.

“Kami akhirnya memutuskan untuk membuat konten dengan sudut pandang orang pertama. Di sini, para pengguna Tinder akan jadi karakter utama dan mereka bisa melakukan berbagai aksi atau membuat pilihan yang akan menunjukkan kepribadian mereka,” jelas perwakilan Tinder. “Selain itu, penting juga untuk mencantumkan hasil pengalaman mereka di bio.”

Tinder berharap, setelah mencoba Swipe Night, para pengguna akan tertarik untuk membicarakan pengalaman mereka, sama seperti setelah mereka menonton bioskop atau seri TV.

Sebelum diluncurkan secara global, fitur Swipe Night telah tersedia di Amerika Serikat terlebih dulu. Tinder mengungkap, tanggapan yang mereka dapatkan positif. “Sesuai dengan janji awal, Swipe Night dapat meningkatkan jumlah match dan dapat membantu pengguna kami untuk memulai percakapan,” aku Tinder. “Contohnya, total match di AS naik 26% sementara total percakapan naik 12%.”

 

Proses Pembuatan Gamifikasi

Jika setiap aplikasi dapat menerapkan sistem gamifikasi yang berbeda-beda, serumit apa proses pembuatan gamifikasi? Eko mengungkap, semua developer sebenarnya bisa menanamkan fitur gamifikasi pada aplikasi. Hanya saja, setiap developer memiliki pemahaman akan gamifikasi yang tidak sama. Eko memberikan analogi ketika Anda meminta tukang bangunan untuk membangun rumah. Semua tukang bangunan akan bisa membangun rumah, hanya saja, mereka akan membangunnya berdasarkan apa yang mereka ketahui saja. Lain halnya jika Anda meminta bantuan arsitek.

“Jika Anda ngomong dengan arsitek, dia tidak akan langsung membuatkan rumah yang Anda minta. Dia justru akan memberikan beberapa pertanyaan, seperti apa fungsi rumah, siapa yang akan tinggal di rumah tersebut, dan karakteristik dari orang yang akan tinggal nantinya. Setelah itu, sang arsitek baru akan mendesain rumah dan memanggil tukang bangunan untuk membangun rumah tersebut,” cerita Eko.

Meminta bantuan "arsitek" gamifikasi dapat membantu membuat fitur yang sesuai. | Sumber: Deposit Photos
Meminta bantuan “arsitek” gamifikasi dapat membantu membuat fitur yang sesuai. | Sumber: Deposit Photos

Eko menjelaskan, jika perusahaan sekadar ingin memasang sistem poin atau badge pada aplikasinya, maka developer manapun bisa melakukan itu. Namun, jika perusahaan ingin mengoptimalkan fitur gamifikasi agar ia tepat sasaran, maka tidak ada salahnya mereka meminta bantuan “arsitek” gamifikasi.

“Sama seperti konsultan di bidang lain, biasanya kita akan mempelajari terlebih dahulu keadaan klien, seperti target mereka siapa, objektif mereka melakukan gamifikasi apa, dan bagaimana infrastruktrur aplikasi/situs yang telah mereka miliki,” ungkap Eko. Setelah itu, baru mereka akan membuat strategi yang sesuai. Sayangnya, tidak semua klien memahami hal ini. “Ada juga yang pola pikirnya, ‘pokoknya mau seperti Candy Crush, biar pelanggan main terus’,” ujarnya. “Namun, hal ini memang bukan sepenuhnya salah mereka, karena konsep tentang gamifikasi itu memang masih terbatas. Sebagian orang masih merasa, gamifikasi akan bisa mengubah segala sesuatu secara instan.”

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang proses pembuatan fitur gamifikasi, saya mengobrol dengan Garibaldy Wibowo Mukti, Co-founder dan CEO dari Nightspade Studio, yang bertanggung jawab dalam membuat fitur gamifikasi untuk Tokopedia. Seperti apa game yang mereka buat untuk aplikasi e-commerce tersebut? Anda bisa melihat contohnya pada video di bawah.

https://www.youtube.com/watch?v=8YXhE4yORus&feature=youtu.be

“Tokopedia memang memberikan gambaran akan game yang mereka mau, maunya kira-kira seperti apa,” jawab pria yang akrab dengan panggilan Gerry ini ketika ditanya tentang proses pembuatan game untuk Tokopedia. “Tapi yang flesh out dari kita. Kita mengusulkan beberapa ide dan mereka pilih mana ide yang mau kita buat secara detail.” Secara sederhananya, proses dimulai dari briefing oleh klien — dalam hal ini Tokopedia — lalu diikuti oleh high level pitch dan terakhir, proses fleshing out. Sejak awal, Gerry mengungkap, Tokopedia juga telah menjelaskan tujuan mereka membuat gamifikasi.

“Secara umum, mereka ingin bisa menggaet lebih banyak user dan membuat mereka menggunakan aplikasi lebih lama,” jelas Gerry tentang alasan Tokopedia membuat fitur gamifikasi. “Dan gamifikasi memang bisa mendorong pelanggan stay lebih lama. Sama seperti WiFi di cafe-lah. Dengan adanya WiFi, orang-orang bakal stay lebih lama, mungkin akan pesan minuman lain.” Sambil bercanda dia menambahkan, “Bahkan ada orang-orang yang ke cafe hanya untuk mendapatkan WiFi.”

 

Game Mandiri vs Game di Aplikasi Non-Gaming

Kriteria dari game yang akan dimasukkan dalam aplikasi non-gaming berbeda dengan game yang developer buat untuk berdiri sendiri. Daripada fokus pada gameplay yang kompleks, pertimbangan utama dalam membuat game di aplikasi non-gaming justru kesederhanaan gameplay. “Game-nya harus yang mudah dimengerti oleh user, tidak bisa game yang hardcore gitu,” kata Gerry.

Kriteria lainnya adalah waktu bermain yang singkat. “Karena tujuan utama orang buka Tokopedia bukan untuk bermain game,” ujar Gerry. “Game juga harus bisa dimainkan dengan lancar di perangkat low-end. Jangan sampai game-nya menggunakan fitur-fitur tertentu yang hanya ada di perangkat-perangkat khusus. Selain itu, aset visual dan audio harus sekecil mungkin agar waktu download jadi singkat.” Dia mengaku, biasanya, limitasi utama dalam membuat game di aplikasi non-gaming adalah dari segi teknis. “Sisanya, gameplay harus user-friendly dan engaging. Dan walau waktu bermainnya sinngat, tapi punya depth atau konten yang membuat orang untuk bermain lagi dalam waktu lama.”

Dalam proses pembuatan, membuat fitur gamifikasi di aplikasi non-gaming tak melulu lebih sulit atau lebih mudah. “Sebenarnya tergantung klien,” aku Gerry. “Kalau klien memang sudah tahu tentang game development, atau setidaknya tahu dengan jelas apa yang diharapkan dari game, itu lebih gampang. Untuk klien yang belum tahu apa-apa tentang game dan tiba-tiba mau buat game… Nah, klien kayak gini yang biasanya lebih susah untuk di-handle.”

 

Gamifikasi Tanpa Aplikasi

Anda mungkin akan berpikir, gamifikasi hanya bisa diterapkan dalam aplikasi. Namun, Eko dari Kummara berpendapat lain. Menurutnya, unsur dalam game juga bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari tanpa aplikasi. Dalam situsnya, Eko menjelaskan, selama kita memahami fungsi dari unsur-unsur gamifikasi — seperti sistem poin, badge, atau leaderboard — maka hal-hal itu bisa diaplikasikan dalam media/format lain selain aplikasi. Lalu, sebenarnya, apa fungsi dari sistem poin, badge, dan leaderboard?

Pada dasarnya, sistem poin dalam game berfungsi sebagai cara untuk memberikan feedback langsung pada pemain, untuk menunjukkan bahwa setiap aksi akan memiliki konsekuensi. Kenapa ini penting? “Ketika kita bisa melihat dampak dari aksi atau pilihan kita dalam waktu singkat atau bahkan secara instan, kita umumnya lebih serius,” tulis Eko. Misalnya, dalam game, jika Anda berhasil melakukan sesuatu — membalap pemain lain di balapan sebagai contoh — Anda akan langsung mendapatkan poin. Sayangnya, hal ini tidak Anda temukan dalam dunia nyata. Jika Anda belajar dengan rajin, Anda tidak dapat melihat status INT Anda naik. Karena itulah digunakan sistem poin/nilai di dunia pendidikan.

Sementara itu, leaderboard berfungsi untuk mengasah sifat kompetitif manusia. Ketika Anda memiliki pembanding, Anda biasanya akan terdorong untuk menjadi lebih baik. Contohnya, ketika saya SD, saya selalu didorong untuk mendapatkan peringkat pertama di kelas. Namun, hal ini merupakan pisau bermata dua. Bagi sebagian orang, memiliki pesaing akan mendorong mereka untuk menjadi lebih baik. Tapi, bagi sebagian orang lainnya, hal ini justru bisa menjadi pematah semangat.

Dalam tulisannya, Eko juga memberikan contoh bagaimana gamifikasi bisa diterapkan untuk mendorong masyarakat mematuhi protokol kesehatan. Salah satunya adalah dengan memasang stiker pada restoran, pedagang kaki lima, atau angkutan umum bahwa harga naik dua kali lipat bagi orang-orang yang tidak menggunakan masker.

Dalam game, Anda tidak melulu mendapatkan reward ketika sukses melakukan sesuatu. Ketika Anda gagal, Anda juga akan mendapatkan hukuman. Misalnya, gagal menghindari serangan musuh akan membuat HP Anda berkurang. Dengan menaikkan harga untuk orang-orang yang tidak menggunakan masker, maka mereka akan langsung dapat merasakan dampak dari keputusan mereka.

Sebaliknya, masyarakat juga bisa didorong untuk lebih patuh pada protokol kesehatan dengan pemberian hadiah atau reward. Contoh yang Eko berikan adalah pemberian voucher bagi orang-orang yang mau melakukan rapid test mandiri.

Naratif serta random check juga bisa digunakan untuk mendorong masyarakat untuk melakukan karantina mandiri. Pemerintah Kabupaten Sragen pernah melakukan ini pada April 2020 lalu. Mereka menyebarkan naratif bahwa orang-orang yang tidak melakukan karantina mandiri akan diberi hukuman berupa isolasi di rumah yang dianggap angker. Jika pemerintah melakukan random check secara rutin, hal ini akan membuat masyarakat percaya bahwa mereka akan mendapatkan hukuman jika mereka tidak mematuhi protokol kesehatan. Pada akhirnya, masyarakat akan memiliki kesadaran diri yang lebih tinggi untuk disiplin.

 

Penutup

Beberapa tahun lalu, ketika saya masih menjadi jurnalis teknologi, perusahaan vendor smartphone berlomba-lomba untuk menyediakan fitur dua kamera belakang, bahkan pada smartphone kelas entry-level sekalipun. Dan memang, smartphone harga Rp1 jutaan pun bisa punya dua kamera belakang. Hanya saja, performanya tentu tidak sebaik smartphone flagship dengan harga belasan juta.

Saya rasa, gamifikasi juga seperti itu. Perusahaan bisa saja sekadar “menempelkan” fitur-fitur gamifikasi, seperti sistem poin atau leaderboard, pada aplikasinya. Namun, apakah fitur itu hanya menjadi gimmick atau memang punya fungsi tersendiri, hal itu tergantung pada seberapa serius menggarap gamifikasi pada aplikasi atau perusahaan mereka.

Gamifikasi punya fungsi luas. Tidak hanya untuk pemasaran, tapi juga pelatihan karyawan dan simulasi

Menyenangkan Hati Konsumen dengan Gamifikasi

Gamifikasi kini menjadi barang yang lumrah untuk kalangan perusahaan teknologi dalam rangka meningkatkan engagement dengan pengguna. Hampir semua platform e-commerce di Indonesia menerapkannya.

Shopee menjadi platform paling gencar merilis rangkaian gamifikasi ke strategi pemasarannya. Strategi ini berbentuk in-app game dan pertama kali diinisiasi pada 2018. Gamifikasi melengkapi rangkaian pengalaman yang berbeda yang ingin ditawarkan perusahaan ke para pengguna.

Game pertama yang dirilis adalah Goyang Shopee yang diklaim dimainkan 500 juta kali hingga pertengahan tahun lalu. Strategi ini kemudian disusul Shopee Tanam, Shopee Tangkap, dan Shopee Lempar. Saat ini rangkaian permainan terbaru mencakup Shopee Candy, Shopee Poly, Shopee Joget, dan Shopee Capit.

Gameplay dan instruksi setiap game tersebut cenderung mudah diikuti. Misalnya Shopee Candy memiliki konsep serupa permainan populer Candy Crush.

Game lainnya yang cukup populer adalah Shopee Tanam. Pengguna harus rajin menyiram tanaman dengan air sampai panen untuk mendapat hadiah yang diinginkan. Mereka harus sabar menunggu sampai wadah air terisi penuh selama tiga setengah jam atau saling membantu tanaman milik teman-temannya agar tujuan cepat tercapai.

shopee tanam

Hadiahnya bervariasi, mulai dari koin untuk berbelanja di Shopee, gratis ongkos kirim, voucher belanja, dan sebagainya. Strategi ini dianggap berhasil membuat konsumen rajin mengunjungi aplikasi sekadar untuk melanjutkan game yang ia tinggalkan.

“Dengan adanya berbagai inovasi tersebut, aplikasi Shopee terbukti meraih peringkat pertama untuk aplikasi e-commerce dengan pengguna aktif terbanyak, jumlah download dan total time spent in-app on Android berdasarkan App Annie,” kata Direktur Shopee Indonesia Handhika Jahja saat konferensi pers secara virtual beberapa waktu lalu.

Secara terpisah, dalam wawancara bersama DailySocial, PR Lead Shopee Indonesia Aditya Maulana menambahkan, inisiatif ini juga dimanfaatkan mitra brand dan mitra penjual sebagai salah satu strategi yang dapat meningkatkan online presence dan menarik minat pengguna dengan menghadirkan hiburan saat berbelanja.

Dalam merilis game-game tersebut, Aditya menuturkan, perusahaan mendengarkan tanggapan dan permintaan pengguna. Salah satunya dengan inovasi layanan terbaik yang sesuai dengan preferensi belanja masing-masing pengguna.

“Berangkat dari pemahaman tersebut, setiap in-app games yang dihadirkan Shopee bertujuan untuk memberikan pengguna pengalaman menyenangkan, serta dapat memberikan keuntungan saat berbelanja seperti koin Shopee atau potongan belanja langsung pada pembelanjaan berikutnya.”

Dia melanjutkan, “Seperti salah satu in-app game kesayangan para pengguna yaitu Shopee Tanam. Inisiatif ini merupakan cerminan sisi kreatif dan inovatif Shopee yang juga mengakomodir waktu luang panga pengguna selama berada di rumah.”

Pihak Shopee tidak menyebutkan statistik dampak kehadiran in-app game ini.

Perbandingan engagement aplikasi e-commerce terpopuler di Indonesia selama Mei-Juli 2020 menurut SimilarWeb / SimilarWeb
Perbandingan engagement aplikasi e-commerce terpopuler di Indonesia selama Mei-Juli 2020 menurut SimilarWeb / SimilarWeb

Bukalapak juga melihat gamifikasi sebagai cara meningkatkan engagement dengan pengguna. “Fitur ini adalah sarana perusahaan untuk terus dekat dengan pengguna. Tentunya, melalui game, kami ingin pengguna kami bersenang-senang sambil berbelanja di aplikasi Bukalapak, sekaligus sarana menjadikan Bukalapak sebagai everyday platform,” tutur Head of New Customers and O2O Growth Bukalapak Hans Calvin.

Hans mengklaim kehadiran gamifikasi efektif menjadi pendukung terhadap kenaikan GMV. Dikatakan 80% pengguna Bukalapak yang terbiasa bermain in-app game secara otomatis menjadi pengguna aktif bulanan. Dari angka tersebut, sebanyak 30% pengguna di antaranya aktif dan rutin bertransaksi di aplikasi.

“Hal tersebut mendorong kami untuk memberikan banyak hadiah yang bernilai besar sebagai daya tarik games di aplikasi kami, agar kami dapat terus melanjutkan tekad kami, dekat dengan pengguna.”

Rangkaian in-app game yang dirilis perusahaan di antaranya Pencetmania, Roda Rejeki, Gosok-Gosok, Potongan Kakap, Contekan TTM, Serbu Seru, Ajak-ajak Berhadiah, Pohon Rejeki, Bonus Beruntun, dan Seru Berhadiah. Dalam menciptakan game tersebut, tim yang ia pimpin melihat setiap game memiliki siklus hidup seperti layaknya online game pada umumnya.

“Kemunculannya di awal biasanya banyak menarik para pengguna kami, tetapi perlahan kemudian traffic-nya menurun. Oleh karena itu, untuk mempertahankan antusiasme pengguna, kami merilis dan memperbarui aneka game tersebut setiap tiga bulan.”

Grab dan Gojek

Kedua kompetitor ini salip-menyalip dalam menyediakan fitur di dalam aplikasinya. Gojek lebih dahulu memperkaya fitur game GoGames lewat kerja sama dengan pihak ketiga platform online game lokal MainGame yang diresmikan pada Mei lalu. Sebelumnya, perusahaan telah bekerja sama dengan Area 120 (divisi eksperimental Google) bernama GameSnacks.

Dalam keterangan resmi, Head of Third Party Platform Gojek Sony Radhityo berharap ketersediaan permainan ringan ini dapat mengisi waktu luang pelanggan di tengah karantina mandiri yang telah dilakukan masyarakat selama pandemi.

Baik MainGame ataupun Gamesnacks sama-sama berbasis HTML 5 dan Progressive Web App yang dapat menjangkau semua kalangan karena relatif lebih efisien dan bersahabat untuk semua tipe gawai. Pengguna dapat memainkan berbagai game tanpa harus repot mengunduh aplikasi satu per satu.

Menurut data internal Gojek, pada periode Maret-Mei 2020, fitur GoGames mengalami kenaikan jumlah sesi permainan hingga 64 kali lipat dibandingkan periode Januari-Februari 2020. Jenis game yang paling banyak diakses adalah Bubble Woods (Gamesnacks) dan Cake Slider (MainGame).

Sedangkan Grab mulai menguji coba fitur serupa bernama First Games. Fitur ini baru digulirkan untuk sebagian pengguna dan hanya tersedia di platform Android. Perusahaan belum bersedia memberikan pernyataan lebih lanjut terkait ini.

“Kami secara berkala melakukan uji coba layanan baru di aplikasi kami untuk terus berusaha memberikan nilai tambah pagi pelanggan kami,” ujar juru bicara Grab Indonesia saat dihubungi DailySocial.

Grab menempatkan First Games sebagai cara meningkatkan engagement dengan pengguna karena menyediakan hadiah poin yang dapat ditukarkan dengan voucher, seperti Iflix, Grab, dan pulsa. Tersedia dua mode game yang dapat dipilih, permainan kasual dan arena games untuk melawan banyak pemain (multiplayer) yang memiliki dua subkategori: player vs player (PVP) dan turnament memperebutkan poin atau voucher.

Adapun genre game yang tersedia, mulai dari strategi, aksi, olahraga, puzzle, dan arcade, bisa langsung dimainkan tanpa memerlukan login. Pengguna dapat saling berkompetisi di satu turnamen untuk memperebutkan hadiah.

Grab saat ini mengembangkan fitur Play with Friends untuk bermain bersama teman, sementara baru tersedia untuk game Ludo.

Masih tahap awal

Secara industri, implementasi gamifikasi sebenarnya tidak hanya untuk kebutuhan pemasaran, khususnya meningkatkan engagement. Strategi ini juga dapat digunakan untuk kebutuhan berkaitan pelatihan karyawan atau HR. Di Eropa misalnya, gamifikasi mulai diterapkan untuk industri manufaktur karena masih jauh dari proses digitalisasi.

Sebuah webinar bertopik in-app games yang diselenggarakan British Council Indonesia mengundang Windo Hutabarat, seorang akademisi yang bekerja sebagai Research Associate in Digitalisation of Manufactoring Process University of Sheffield, Inggris. Salah satu kasus yang pernah ia tangani adalah membantu Airbus untuk proses training engineer baru yang perlu medium jig untuk pembelajarannya.

Permasalahan pada waktu itu adalah jumlah jig yang terbatas, namun pelatihan perlu tetap dilakukan karena merupakan komponen penting. Di samping itu, Airbus juga punya kendala bahasa karena jig tersebut dibuat di Tiongkok.

“Dari pain point tersebut, tantangannya adalah bagaimana mengurangi waktu training jig tanpa mengurangi kualitas latihan. Di situ kami memanfaatkan gamifikasi tanpa bermaksud ada proses pelatihan yang dihilangkan,” terang Windo.

Dari serangkaian proses gamifikasi yang dilakukan untuk Airbus, ada temuan menarik saat evaluasi antara karyawan yang melakukan pelatihan secara manual dengan memakai gamifikasi. Untuk masalah hafalan antara keduanya tidak ada bedanya. Tapi untuk interpretasi pengetahuan, orang yang dilatih dengan game punya skor jauh lebih tinggi

“Pada intinya di dunia aerospace, digitalisasi memegang peranan penting untuk meningkatkan produktivitas kerja di masa mendatang. Tapi proses transisinya sangat menantang, oleh karenanya gamifikasi dan industri game bisa dimanfaatkan untuk memperlancar transisi tersebut.”

Dia juga menekankan bahwa pada dasarnya dalam komponen gamifikasi itu harus disesuaikan dengan obyektif yang ingin dituju dan mengaitkannya dengan keinginan manusia untuk merangsang agar tertantang. “Harus menantang agar orang tertarik, punya unsur reward, dan punya aturan yang jelas agar bisa diikuti semua pemain.”

Sumber: Windo Hutabarat
Sumber: Windo Hutabarat

Bisnis gamifikasi B2B Agate

Implementasi gamifikasi di Indonesia sendiri, menurut Co-Founder dan Head Consultant Agate Vincentius Hening W. Ismawan, baru memasuki tahap awal dan dari sisi pemanfaatannya belum semasif di luar negeri. Dengan kata lain, ruang untuk bisnis gamifikasi di ranah enterprise masih terbuka luas.

Dia mencontohkan, ada program loyalitas di luar negeri yang sudah memanfaatkan gamifikasi. Seperti diketahui, umumnya poin-poin yang dkumpulkan dari program ini punya masa berlaku. Namun dengan gamifikasi, pengguna bisa lebih legowo menerima kekalahan dan ikut merasakan keseruan dari bermain game.

“Orang akan less offended ketika kalah main game untuk mendapatkan poin karena itu adalah bagian dari keseruannya. Di Amerika [Serikat] juga menggunakan serious game untuk bagian simulasi militer. Di Indonesia belum sampai sejauh itu,” terangnya.

Dia melanjutkan, “Pemahaman orang Indonesia terhadap gamifikasi ini masih samar-samar. Mereka mengira punya game itu adalah something new yang bisa solve everything. Padahal baru bisa solve everything kalau diimbangi dengan konten yang bagus karena gamifikasi punya KPI untuk mengukur learning journey seseorang.”

Kiprah Agate menyeriusi gamifikasi ini sudah dilakukan sejak 10 tahun lalu dengan mendirikan divisi sendiri bernama Agate Level Up untuk menangani klien B2B. Hampir separuh dari total tim Agate yang berjumlah 250 orang, ditempatkan untuk menangani bisnis ini.

Perusahaan cukup percaya diri dengan koleksi solusi gamifikasi yang mereka sediakan, tentunya berkat dari jam terbangnya. Solusi tersebut berupa platform manajemen pembelajaran karyawan, pelatihan, penilaian, dan simulasi. Juga, kebutuhan pemasaran buat konsumer, seperti kebutuhan gamifikasi untuk akuisisi konsumen baru, on-ground engagement, dan retention & loyalty game.

Jajaran penggunanya datang dari beragam industri, seperti FMCG, telekomunikasi, finansial, teknologi, farmasi, otomotif, F&B, kosmetik, hingga properti. Tak hanya Indonesia, penggunanya juga datang dari negara-negara kawasan Asia Pasifik dan Amerika Serikat. Bukalapak dan Tokopedia tercatat sebagai pengguna Agate untuk mengembangkan fitur gamifikasi di dalam aplikasi mereka.

Vincentius menjelaskan, implementasi gamifikasi yang paling banyak dimanfaatkan penggunanya adalah in-app enhancement yang memanfaatkan pustaka game versi HTML5 Agate yang luas dan dapat disesuaikan dengan aplikasi tanpa mengubah tampilan sama sekali. Solusi ini diarahkan untuk perusahaan yang sudah memiliki platform-nya sendiri.

“Makanya wajar bila in-app game ini banyak dimanfaatkan pemain e-commerce karena terbukti enggak hanya bisa meningkatkan time spent pengguna karena berkaitan erat dengan retensi. Secara umum, klien kami mengatakan cara ini mampu meningkatkan retensi hingga 30%. Retensi buat e-commerce itu penting karena dekat dengan MAU dan GMV. Jadi game itu punya andil kontribusi ke sana.”

Contoh lainnya yang pernah ditangani Agate adalah kebutuhan pelatihan karyawan untuk industri finansial. Dalam perbankan, terdapat aturan bahwa setiap perusahaan harus mengalokasikan dana sebesar 5% untuk mengadakan program pelatihan. Sekarang banyak perbankan yang memanfaatkan budget tersebut untuk membuat e-learning. Solusinya adalah micro learning & game based content.

“Ada solusi yang lebih kompleks lagi, seperti standalone game based learning untuk pelatihan SOP, VR simulation, dan game based assessment banyak kerja sama dengan psychometric expert untuk kebutuhan rekrutmen.”

Vincentius melanjutkan, dalam setiap solusi ini biasanya perusahaan membutuhkan tim expertise dari non engineer untuk penerapan gamifikasi di luar dunia hiburan. Untuk solusi game based assessment, misalnya, Agate membutuhkan expert di bidang psychometric expert untuk menerjemahkan data-data analitik yang sudah dikumpulkan setiap orang saat rekrutment.

“Game itu harus punya unsur adiktif, membuat orang jadi penasaran. Oleh karenanya, konten gamifikasi itu sangat diperhatikan. Biasanya kami banyak berdiskusi dengan best practice-nya, yakni platform owner-nya tersebut, pengamat industri, dan sebagainya,” tutupnya.

Pengakuan seorang CEO mengenai Kegagalannya

Artikel ini sudah lama tertunda.

Sebagian dikarenakan rasa ketidakpuasan saya terhadap startup saya Rewardme dan sebagian lagi dikarenakan kesibukan saya dalam mengembangkan bisnis baru saya di segmen Gamification Framework dalam beberapa tahun belakangan ini. Saya juga ingin menyelesaikan kesalahpahaman dengan mayoritas firma hukum di Silicon Valley sebelum membagikan pengalaman saya kepada publik, namun pada kenyataannya hal ini terlalu menyita waktu sehingga saya akhirnya menyerah (pada kenyataannya, saya kemungkinan harus membayar paling tidak US$13,000 karena telah menulis artikel ini).

Namun, kegagalan saya mungkin dapat menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi ribuan pengusaha di luar sana, sehingga saya memberanikan diri untuk membagikan pengalaman saya serta pelajaran yang bisa saya ambil dari proses tersebut.

Tinjauan terhadap RewardMe

Saya mulai mengembangkan RewardMe dari tahun 2010 hingga 2012. Layanan yang saya kembangkan tersebut memperkenalkan konsep gamifikasi kepada restoran/peritel offline melalui program loyalty. Saat in memang telah banyak perusahaan yang menawarkan konsep ini bermunculan, namun kami merupakan yang pertama melakukannya, diluar sistem “Mayorship” yang ditawarkan Foursquare.

Metrik produk kami sungguh hebat (10 kali lipat dibandingkan para kompetitor) berdasarkan apa yang mereka tulis dalam rilis masing-masing), para konsumen menyukai produk kami, kami diliput oleh beberapa raksasa media seperti Forbes dan Business Insider. Menjelang akhir bisnis kami, kami berhasil melakukan kolaborasi senilai US$1.5 juta dengan salah satu jaringan toko terbesar, sehingga kami dapat menawarkan produk kami ke seantero negeri. Kami juga berhasil menarik minat banyak nama besar lainnya, dimana kami beberapa kali bertemu dengan para petinggi dari Carls Jr, Subway, Swarovski, dan masih banyak lagi.

Kami memutuskan bahwa sistem penjualan dari rumah ke rumah bukanlah pilihan yang tepat untuk dapat berkembang (saya masih memercayai konsep ini, bahkan setelah melihat banyaknya pemimpin di industri ini yang telah menghabiskan puluhan juta Dolar namun hanya memiliki ribuan pelanggan). Pilihan yang paling tepat adalah untuk berkolaborasi dengan jaringan toko besar sedari awal dan merambah toko-toko di seantero negeri (karena sebuah jaringan akan cenderung untuk mengikuti jaringan yang lain). Hal tersebut memberikan kami keuntungan yang sangat besar, karena ketika para kompetitor baru menyadari bahwa mereka harus bekerjasama dengan jaringan-jaringan yang ada, kami sudah selangkah di depan karena telah memulainya lebih awal.

Landasan pacu adalah segalanya

Kami tidak mendapatkan investasi besar-besaran. Ketika para kompetitor meraih pendanaan senilai lebih dari US$10 juta, kami hanya berhasil mendapatkan US$1 juta saja. Saya berandai-andai kalau saja saya telah menciptakan Octalysis Framework dan drive 8 Core pada saat itu, namun karena kami tidak berada di bawah naungan inkubator besar atau memiliki figur yang terkenal, maka sangat sulit untuk mendapat pendanaan (jadi saya rasa pelajaran yang bisa diambil adalah: bergabunglah dengan inkubator terkenal jika memang memungkinkan. Hal itu akan menambah posisi tawar Anda. Ekuitas yang ditawarkan tidak akan berarti apa-apa jika dibandingkan dengan berkurangnya potensi untuk bangkrut).

Karena hasil yang telah kami tunjukkan, banyak investor/VC yang terkesan dengan eksekusi kami, namun mereka lebih menyukai metode dari rumah ke rumah karena konsep tersebut menghasilkan “pertumbuhan yang bisa diprediksi” seperti “minggu depan, 30 orangtua akan membeli produk.” Mereka mengatakan bahwa meskipun kami telah bertemu dengan VP dari perusahaan jaringan toko raksasa beberapa kali, bukan berarti mereka akan memberikan pendanaan pada kami.

Jadi menjelang akhir perjalanan kami, kami akhirnya membukukan kemitraan senilai US$1,5 juta dengan salah satu jaringan toko nasional besar. Pada saat itu kami berpikir bahwa kami akan semakin mudah dalam mendapatkan pendanaan tahap selanjutnya. Masalahnya adalah, kontrak tersebut baru akan berlaku enam bulan kemudian dan pemasukan harus segera mengalir sesaat setelahnya.

Kebanyakan investor tertarik dan ingin segera bertemu,namun kemudian mereka ingin melihat “pertumbuhan yang dapat diprediksi” dan menunggu hingga kami mendapat kesepakatan terbesar kedua dan ketiga kalinya sebelum memutuskan untuk berkomitmen. Sebagai tanggungjawab pribadi, mungkin saya bukanlah seorang penjual yang baik dan tidak mencapai target penjualan pada saat itu (kini saya mengerti – saat itu saya tidak menggunakan teknik motovasi/Black Hat Gamification dengan menciptakan suatu kondisi yang mendesak, melainkan teknik White Hat yang membuat orang-orang percaya pada saya tanpa memberikan alasan untuk bertindak).

Dalam jangka waktu tersebut, perhatian saya terpecah oleh masalah yang ditimbulkan oleh sebuah “firma hukum top di Silicon Valley”. Meksipun saya percaya bahwa hal tersebut awalnya hanyalah sebuah kesalahpahaman, tapi hal tersebut sukses membuat saya tertekan selama berbulan-bulan dan sama sekali tidak fokus untuk mengamankan pendanaan yang kemungkinan masuk. Jujur saja, saya tahu ada banyak pengusaha yang pernah bekerjasama dengan firma hukum tersebut, namun berdasarkan pada pengalaman saya sendiri dan cara mereka menangani masalah, saya tidak merekomendasikan siapapun untuk bekerja sama dengan mereka (Anda bisa mengirimkan e-mail jika ingin tahu lebih lanjut tentang mereka – saya terlalu takut untuk menjabarkannya disini.) Apa pelajaran yang bisa dipetik? Jangan percaya sepatah katapun meskipun hal tersebut datang dari firma ternama. Selalu periksa ulang berkali-kali dan gunakan akal sehat Anda.

Pada saat yang bersamaan, ketika kami masih memiliki beberapa bulan lagi, kami menyadari bahwa VC menyukai pertumbuhan yang dapat diprediksi, tapi kami tidak berpikir bahwa teknik penjualan dari rumah ke rumah dapat dikembangkan lagi (pada kenyataannya kami menolak toko-toko kecil karena kami hanya memiliki sumber daya yang terbatasa sehingga hanya fokus pada jaringan toko-toko besar). Kami mulai mengatur program freemium pertama di industri kami seraya mengharapkan peluang bisnis dari aktivitas penjualan kami sehari-hari.

Pada titik ini, kami berada di penghujung perjalanan kami, dan karena kami (saya lebih tepatnya) tidak dapat mengamankan pendanaan Seri A dengan traksi yang kami miliki, kami berada dalam masalah besar. Akan tetapi, para investor kami pada saat itu cukup terkesan dengan pertumbuhan dan eksekusi kami, sehingga mereka bersedia mengucurkan lebih banyak uang lagi untuk membantu kami menyegel kerjasama dengan jaringan-jaringan toko besar yang memang tertarik namun masih terkendala masalah birokrasi. Secara harfiah, para investor kami seolah mengatakan, “Apa yang ingin Anda kejar waktu itu? Saya tidak dapat menemukannya lagi namun saya akan tetap memberikan uang saya begitu saya mendapatkannya!”

Sayangnya, pada titik inilah akhirnya perusahaan kami mulai bangkrut.

Kejatuhan RewardMe yang anti-klimaks

Harap diingat bahwa semua anggota tim kami di RewardMe bekerja dengan keras, pintar, dan penuh gairah. Mereka adalah contoh orang-orang terbaik yang pernah bekerjasama dengan saya. Namun untuk meraih pendanaan jutaan dolar, banyak dari mereka yang bekerja di atas 100 jam per minggu dalam lingkungan yang penuh tekanan, dan kebanyakan dari mereka hanya dibayar sebesar 30 persen dari harga pasar (saya ingatkan bahwa jumlah yang kami raih jauh lebih kecil dibandingkan dengan apa yang perusahaan lain terima. Saya sendiri TIDAK PERNAH menerima gaji selama menjalankan RewardMe). Kami semua percaya bahwa, begitu kami meraih pendanaan besar, kami dapat melanjutkannya dengan pendanaan tahap berikutnya, orang-orang akan menerima gaji yang lebih baik, dan kami dapat tumbuh dengan lebih cepat seperti para kompetitor kami.

Ketika saya tidak cukup cepat untuk mendapatkan pendanaan tersebut, hal itu menurunkan moral beberapa anggota inti dari tim kami. Mereka merasa bahwa mereka sedang berada dalam lubang tanpa ujung. Bahkan jika mereka terus bekerja penuh tekanan 110 jam per minggu selama empat bulan ke depan, dan bahkan jika kami sanggup menyegel kerja sama dengan jaringan besar untuk yang kedua dan ketiga kalinya, mereka tidak lagi percaya bahwa mereka akan mampu meyakinkan VC untuk berinvestasi.

Keraguan mereka cukup masuk akal. Saya memiliki banyak rekan sesama penggiat startup yang berulang kali melampaui target namun selalu berada di bawah tekanan VC untuk terus berbuat lebih selama BERTAHUN-TAHUN, bahkan hingga mereka menjual perusahaan mereka (tentunya para investor menyesal karena mereka bisa saja pergi lebih awal). Rekan-rekan setim saya juga menolak untuk menerima lebih banyak uang dari para investor yang ada karena hal tersebut hanya akan menyeret mereka lebih dalam lagi ke dalam lubang tanpa ujung tanpa ada sedikitpun kemungkinan untuk bisa keluar. Hasilnya, beberapa orang penting akhirnya memutuskan bahwa mereka harus mundur setelah berjuang bersama selama bertahun-tahun.

Meskipun tindakan mereka cukup masuk akal, hal tersebut menciptakan masalah besar bagi perusahaan. Masih ingat ketika para investor kami meminta kami untuk memberikan mereka kepastian agar mereka bisa berinvestasi lebih banyak lagi? Pada titik tersebut saya dihadapkan pada konflik moral dengan diri saya sendiri. Saya bisa saja memberikan kepastian yang mereka inginkan, mengambil uang mereka, dan melihat apa yang bisa saya lakukan dalam beberapa bulan ke depan (kemungkinan besar saya akan merekrut pegawai yang tidak dapat kami bayar meski telah mendapatkan uang yang lebih banyak). Atau, saya bisa saja memberitahu mereka kenyataan yang terjadi dan menerima konsekuensinya. Saya berpikir, “Apa yang akan saya pilih jika saya adalah seorang investor?”

Pada akhirnya, saya memutuskan untuk memberitahu mereka kenyataannya, dan mengatakan bahwa hal ini jauh lebih menyulitkan saya untuk dapat meraih pendanaan Seri A. Mereka berterima kasih karena saya telah bicara jujur, dan setuju untuk menahan uang mereka lebih lama lagi sambil melihat apa yang akan terjadi.

Pada titik tersebut, kami tidak memiliki cukup sumber daya untuk terus melaju, karena kami tidak lagi mendapat pendanaan dan beberapa anggota kunci tim kami juga telah mundur. Kesimpulannya pada saat itu adalah, untuk menghindari hutang yang berkepanjangan, kami memutuskan untuk menutup perusahaan secepatnya. Kami tidak memiliki sumber daya untuk melakukan apapun, termasuk melayani konsumen atau menjual produk kami.

Hal tersebut memang sangat disayangkan, kerena produk freemium kami telah siap untuk dipasarkan pada saat itu. Dalam beberapa tahun setelahnya, meskipun kami telah perlahan-lahan bangkrut, beberapa perusahaan masih saja datang kepada kami dan mengatakan, “Berdasarkan penelitian kami, kami percaya RewardMe adalah yang terbaik. Bagaimana kami dapat bergabung?” Pada saat itu saya hanya dapat berkata, “Kami masih mengembangkan versi terbaru, jadi kami butuh lebih banyak waktu. Kami akan memberitahu Anda saat kami sudah siap” karena saya masih berharap bahwa kami dapat menghidupkan kembali perusahaan ini meskipun hanya tinggal memiliki beberapa sukarelawan paruh waktu. Tapi hal itu tidak pernah terjadi.

Meskipun tanpa usaha pemasaran maupun usaha lainnya (kecuali untuk menjauhkan para pelanggan) selama setahun penuh, sebanyak 40,000 orang/perusahaan memencet tombol “Get RewardMe Now!” di situs kami, menggambarkan bahwa sebenarnya masih banyak yang berminat terhadap produk kami. Hingga hari ini, saya masih percaya bahwa pada saat itu kami memiliki strategi terbaik untuk memenangkan pasar, namun sayangnya kami kekurangan sumber daya. Seperti yang saya katakan sebelumnya, meskipun perusahaan-perusahaan lain telah menghabiskan puluhan juta dolar, mereka rata-rata hanya memiliki kurang dari 8000 pelanggan aktif (tentu saja, saya juga menghormati traksi yang mereka peroleh karena saya tahu bagaimana sulitnya berkompetisi di segmen ini – saya mendoakan mereka agar sukses! Saya rasa mereka masih memiliki peluang untuk dapat dibeli oleh perusahaan yang lebih besar).

Hitung-hitungan dalam menutup perusahaan

Periode setelah kebangkrutan tersebut merupakan salah satu periode terkelam dalam hidup saya. Di tengah-tengah kebingungan dan keputusasaan, saya menyadari bahwa saya memiliki BANYAK hal mengenai kesuksesan, pertumbuhan, dan pendanaan yang bisa saya ajarkan kepada para startup – namun tidak ada satupun yang mengajarkan bagaimana seorang pengusaha sebaiknya gagal (atau…cepat gagal). Tidak ada layanan, literatur, atau bahkan dukungan moril bagi pengusaha yang mencoba untuk membangkitkan perusahaan yang mati. Saya benar-benar sendirian. Banyak co-founder saya yang telah berpindah ke peluang lain, namun sebagai CEO perusahaan tersebut, saya masih harus memikirkan struktur organisasi, hutang perusahaan, dan para investor yang kecewa. Saya diam-diam iri terhadap para co-founder saya (yang masih berteman baik dengan saya hingga saat ini), karena jika kami sukses, maka kami akan menerima bayaran yang sama, namun karena kami gagal, saya yang harus menanggung segala konsekuensinya.

Saya juga menghabiskan waktu melikuidasi aset untuk membayar hutang kartu kredit perusahaan (karena saya mencoba untuk mengulur-ulur waktu demi kemungkinan untuk dapat bangkit kembali). Satu hal menarik yang saya alami pada saat itu adalah ketika salah satu investor kami menunjukkan niat untuk membeli RewardMe. Akan tetapi, setelah berdiskusi beberapa kali, ia akhirnya mengatakan, “Sebenarnya, kami lebih tertarik pada para pegawai Anda [yang tetap bekerja sebagai sukarelawan]. Jika kami dapat mempekerjakan kalian dengan bayaran besar, maka kami akan dengan senang hati melakukannya.”

Saya lagi-lagi harus membuat keputusan yang sulit. Pada titik ini, saya sudah tidak memiliki tabungan, baru saja menikah, dan saya mengetahui bahwa para anggota tim juga tengah dililit masalah finansial. Dapatkah kami menerima kompensasi atas kerja keras kami bertahun-tahun? Pada akhirnya, saya mengatakan kepada perusahaan tersebut, “Tidak akan pernah kami membiarkan investor yang telah percaya pada kami merugi sementara kami mengambil keuntungan. Jika Anda tertarik dengan kami, tolong beri kami tawaran seraya memikirkan para investor kami.” Mereka menjawab, “Kami menghargai loyalitas Anda kepada para investor Anda. Akan tetapi, Anda akan menerima JAUH lebih kecil karena Anda harus memikirkan para investor Anda.” Kami menjawab, “Tidak masalah. Silakan datang kembali setelah Anda menemukan solusi terbaik bagi semua pihak.”

Sayangnya, pada akhirnya, perusahaan tersebut menolak untuk membayar para investor kami hanya agar mereka dapat mempekerjakan kami, jadi tidak ada yang terjadi (saya harusnya tidak melakukan hal tersebut!) Konyolnya, meskipun kami telah melindungi para investor kami mati-matian, beberapa dari mereka menjadi sangat agresif terhadap kami. Mereka menyewa pengacara untuk melawan kami dan semakin menambah tekanan yang harus saya hadapi. Untungnya, saya meyakinkan mereka bahwa mereka tidak akan menerima apa-apa dengan melakukan hal tersebut. Mereka pun akhirnya mundur.

Di sisi lain, beberapa investor saya MENAKJUBKAN. Ketika saya harus bertemu dengan mereka dan mengatakan bahwa saya telah membuat mereka merugi, kepala saya serasa terbakar, saya bahkan terus mendengar suara statis yang berdengung di telinga saya. Ketika saya akhirnya bertemu dengan beberapa investor, saya mengharapkan mereka akan berteriak dan menyalahkan saya karena telah menghilangkan uang mereka. Namun, mereka malah mengatakan, “Apa Anda baik-baik saja, Yu-kai?”

Saya tidak mengharapkan kebaikan sama sekali pada saat itu, sehingga saya diam-diam menangis saat mengetahui bahwa saya baik-baik saja dan telah melakukan hal yang benar dengan mengakui kesalahan saya. Kata-kata tersebut mungkin telah mengubah diri saya untuk selamanya. Saya sangat-sangat berterimakasih kepada DJ Martin dan Vicki Young karena telah menjadi investor terbaik yang pernah saya temui. Jika Anda dapat menjadikan mereka sebagai investor Anda, maka Anda tidak perlu ragu untuk mengambil keputusan tersebut.

Sekarang mari kita diskusikan mengenai pelajaran yang bisa dipetik. Anda dapat melihat bahwa saya membuat beberapa keputusan besar dalam kasus ini, yang sebenarnya tidak berakhir dengan baik. Pertanyaannya adalah, apakah hal tersebut baik ataukah buruk? Saya tidak begitu yakin karena masing-masing orang memercayai hal dan nilai yang berbeda-beda. Yang dapat saya katakan adalah, meskipun saya memiliki perusahaan yang luar biasa sukses, jika saya tahu saya melakukan kebohongan dan kecurangan dalam prosesnya, maka saya tidak akan bahagia. Memang saya akan memiliki rumah besar, uang melimpah, dan mobil terbaik, namun itu semua hanya akan menjadi sia-sia. Bagi saya hal tersebut tidak lah sepadan. Saya lebih baik dari apa yang saya miliki. Tentu saja, karena saya berusaha untuk menjadi umat Kristiani yang taat, saya juga bertanggungjawab kepada Tuhan dan percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja pada akhirnya (untuk kasus saya, Anda dapat melihat buktinya nanti), meskipun banyak kesakitan yang saya rasakan untuk menuju kesana.

Saya rasa itu adalah jawaban terbaik yang bisa saya berikan kepada para pengusaha yang tengah berjuang di luar sana, namun setiap orang harus menemukan jawaban mereka masing-masing dan menemukan kedamaian dalam hati mereka sendiri. Menjadi seorang pemimpin berarti mampu untuk membuat keputusan sulit dan menanggung konsekuensi emosional dari hal tersebut. Itulah mengapa tidak semua orang dapat menjadi seorang pemimpin, dan terkadang saya juga tidak yakin apakah saya sendiri layak untuk menjadi seorang pemimpin.

Kehidupan setelah RewardMe

Setelah semua kesulitan dengan RewardMe, saya akhirnya mencari pencerahan – apa yang dilakukan oleh orang-orang yang pernah mengalami kegagalan. Saya sadar bahwa di sepanjang hidup saya, masalah terbesar saya adalah mengetahui semua ide yang saya miliki terlalu jauh di depan. Bahkan ketika masih kuliah, saya mendirikan bisnis pertama saya dan mendatangi VC, meskipun pada akhirnya mereka menertawakan saya dan berkata bahwa bisnis saya tidak akan pernah berhasil. Saya kemudian menyerah dan mencoba untuk menekuni bisnis lain (para VC tersebut tentunya lebih pintar dari saya, sehingga saya mengikuti kata-kata mereka). Tiga sampai lima tahun kemudian, semua VC berebut mendanai perusahaan dengan konsep yang sama persis dengan apa yang saya tawarkan pada mereka sebelumnya, namun sayangnya saya telah berganti haluan.

Ketika saya mendatangi mereka lagi dan menawarkan perusahaan baru saya, mereka mengatakan, “Yu-kai, bisnis Anda yang sebelumnya memang sangat tepat! Namun apa yang Anda tawarkan sekarang…tidak masuk akal.” Dan tentu saja, hal yang sama kembali terulang. Jika saya adalah seorang pengusaha ternama, saya dapat mengumpulkan banyak uang dari ide-ide gila dan tidak masuk akal, dan bertahan selama beberapa tahun hingga pasar akhirnya memahami ide tersebut. Sayangnya saya bukanlah pengusaha sukses, sehingga saya harus mengikuti aturan main yang berlaku. Hal ini penting bagi para pengusaha yang pernah membaca di TechCrunch tentang bagaimana perusahaan meraih pendanaan puluhan juta dolar sebelum meluncurkan produk mereka. Secara umum, jika Anda tidak dapat mengumpulkan uang dari catatan Anda sebelumnya, maka Anda memerlukan TRAKSI sebelum Anda memperoleh pendanaan besar. Bagian tersulitnya adalah, Anda harus dapat memperoleh traksi dengan uang yang terbatas.

Setelah memahami kecenderungan dan masalah yang saya miliki, saya menyadari bahwa saya dapat beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan hal tersebut…yaitu untuk tidak membuat startup berdasarkan ide gila. Fokus lah kepada apa yang dibutuhkan oleh pasar, bukan pada apa yang layak mereka terima (pemikiran yang realistis ini saya ambil dari kisah Batman haha).

Saya juga berpikir mengenai hal-hal yang membuat saya bahagia, dan saya menyadari bahwa saya bahagia ketika membuat desain gamifikasi. Istilah “gamifikasi” mulai populer pada tahun 2010, namun pada kenyataannya saya telah mengerjakan aplikasi permainan yang produktif sejak tahun 2003 (ya, salah satu dari hal konyol yang “tidak akan pernah berhasil”). Saya tentu saja memiliki lebih banyak pengalaman dan gairah pada bidang ini.

Pencerahan dari Gamifikasi

Saya mempelajari industri gamifikasi pada akhir 2012. Pada saat itu, terdapat sejumlah “ahli gamifikasi” ternama. Meskipun saya menghabiskan sepuluh tahun untuk mengerjakan beberapa proyek terkait, saya tidak memiliki nama besar sebagai seorang ahli gamifikasi, karena seluruh usaha dan perhatian saya curahkan pada startup saya, bukan kemampuan saya sebagai individu.

Namun kemudian saya menyadari hal yang menarik: para “ahli gamifikasi” tersebut ternyata memiliki latar belakang yang berbeda-beda: sebagian merupakan desainer game, sebagian adalah pengembang software, sebagian berasal dari dunia pendidikan, sebagian lainnya dari dunia pemasaran. Dan saya menyadari bahwa saya memiliki satu keunggulan dibandingkan mereka semua – Personal Branding. Inilah yang Anda pelajari jika Anda bekerja di startup selama bertahun-tahun: saat memulai startup, Anda tidak memiliki latar belakang, nama, dan sumber daya sama sekali, dan Anda perlu untuk sampai pada tahap dimana semua orang mengenal Anda.

Jadi saya memutuskan untuk menggunakan keunggulan saya tersebut untuk mempromosikan keunggulan-keunggulan saya yang lain. Hasilnya, jumlah kunjungan blog saya meningkat tajam, dari 1,000 kunjungan yang tidak diarahkan menjadi 25,000 kunjungan yang diarahkan, dalam jangka waktu satu setengah tahun.

Saya membuat sebuah kerangka desain gamifikasi bernama Octalysis yang pernah saya buat semasa kuliah, dan produk tersebut langsung meroket. Octalysis telah diterjemahkan ke dalam enam belas bahasa yang berbeda dan banyak murid dari seluruh dunia menghubungi saya untuk bertanya lebih lanjut. Rancangan tersebut memang unik dalam artian jauh melebihi batasan-batasan yang ada, sehingga memotivasi saya untuk membuat 8 Core Drives.

Beberapa Core Drive diasosiasikan dengan Gamifikasi White Hat (hal-hal yang membuat Anda serasa memiliki kekuatan, namun tidak menciptakan situasi mendesak), sementara beberapa lainnya merupakan strategi Black Hat (hal-hal yang membuat Anda merasa terdesak, terobsesi atau kecanduan, namun pahit untuk dilakukan), dan sebagian lagi terkait dengan otak kiri (lebih berfokus kepada motivasi ekstrinsik) sementara sebagian lagi terkait dengan otak kanan (lebih berfokus kepada motivasi intrinsik).

Kesimpulannya, hidup saya menjadi lebih baik belakangan ini dan saya sangat bersemangat untuk bangun di pagi hari. Saya saat ini dikenal sebagai salah satu tokoh ternama di industri ini, saya juga pernah berbicara/memberi kuliah di Stanford, TEDx, SxSW, Accenture dan tempat-tempat lain nyaris di semua benua. Banyak VC yang meminta saya untuk membantu portfolio mereka dengan ilmu desain saya (beberapa dari mereka menyebutnya sebagai teknik perilaku). Daripada mengerjakan satu proyek selama 100 jam setiap minggunya, saya kini dapat mengerjakan lusinan pekerjaan yang saya minati sekaligus (sambil mengumpulkan beberapa ekuitas).

Tahun ini saya bahkan menerbitkan buku saya sendiri, Actionable Gamification: Beyond Points, Badges and Leaderboard yang merangkum apa yang telah saya pelajari selama 12 tahun.

Memang terdengar aneh dan sombong, namun sangat mudah untuk memperoleh hasil di atas, khususnya bila dibandingkan dengan menjalankan sebuah startup teknologi. Berdasarkan pelajaran yang saya petik di masa lalu, saya jauh lebih berhasil dalam mengelola kembali apa yang saya lakukan bertahun-tahun yang lalu, dibandingkan dengan mencoba untuk mengejar hal-hal di masa depan (percayalah, saya menahan diri untuk tidak mengerjakan hal-hal yang saya rasa bisa mengubah dunia).

Saya rasa pelajarannya disini adalah, tidak peduli seberapa banyak kesuksesan atau kegagalan yang Anda rasakan dalam hidup Anda, kuncinya adalah untuk memastikan bahwa Anda mengenal diri Anda sendiri, memahami posisi Anda di dunia ini, dan melakukan hal-hal yang bermanfaat yang Anda senangi.

Luka dapat diobati. Kesuksesan tidak dapat diraih dengan mudah, namun jika Anda menghabiskan waktu Anda untuk mengejar hal yang Anda sukai, maka perjalanannya lah yang membuatnya bermakna, bukan tujuannya. Hanya sedikit orang yang saya kenal yang telah menamatkan game Super Mario yang pertama, namun mereka semua memiliki kenangan dalam memainkan game tersebut. Hidup bukanlah tentang kemenangan (begitu Anda mencapai tujuan Anda, Anda lantas mencari tujuan lainnya), namun lebih kepada apakah Anda menggunakan waktu Anda untuk memaksimalkan hal-hal yang Anda sukai atau tidak.

Yu-kai Chou adalah pionir dalam Gamifikasi (yang telah ia mulai sejak 2003) dan mitra dari Enterprise Gamification Consultancy (EGC). Ia merupakan pembicara/pengajar Gamifikasi ternama di seluruh dunia, termasuk organisasi-organisasi besar seperti Stanford University, SxSW, Accenture, TEDx, dan Google. Yu-kai dikenal sebagai penemu Octalysis, sebuah kerangka gamifikasi, dan tercatat sebagai nomor satu dari 40 ahli gamifikasi terbaik berdasarkan data dari Leaderboarded asal Inggris. Ia juga telah diwawancarai oleh Wall Street Journal, CBS, PBS, Nielsen Online, dan masih banyak lagi. Sebelumnya, ia merupakan Co-Founder dan CEO dari RewardMe, sebuah platform loyalty yang memperkenalkan konsep Gamifikasi pada lingkungan offline.

Artikel ini diterbitkan ulang dari artikel aslinya atas seizin penulis dan diterjemahkan oleh Rifki Aria Nugraha