Tanggal 15 Januari 2020 lalu, BOOM Esports mengumumkan bahwa mereka telah melepas roster CS:GO. Roster yang dilepas bukanlah para pemain Indonesia yang berisikan Sixfingers dan kawan-kawan, melainkan roster CS:GO BOOM Esports berisikan Boltz, Chelo, Shz, Yel, dan coach Apoka yang berbasis di Brazil. Pengumuman tersebut sedikit banyak membuat fans kecewa, walaupun fans CS:GO Brazil sebenarnya masih tetap bisa melihat perjuangan pemain-pemain tersebut ketika membela bersama tim MiBR nantinya.
Lalu apakah usaha BOOM Esports untuk ekspansi ke barat lewat CS:GO akan kandas begitu saja? Lewat sebuah sesi podcast yang dipandu oleh Dimas Dejet, Gary Ongko selaku Founder dan CEO BOOM Esports pun menjawab beberapa informasi penting yang sebelumnya mungkin masih mengganjal. Berikut beberapa poin penting yang perlu diketahui.
Terpaksa Melewatkan Banyak Kesempatan Karena Pandemi
Apabila Anda hanya melihat pengumuman saja, Anda mungkin akan kebingungan dengan nasib pemain-pemain tersebut. Apakah mereka dilepas begitu saja? dipecat? Atau malah mungkin di-poaching? Kabar baiknya adalah tidak ada konflik apapun antara pemain dengan manajemen BOOM Esports dalam proses pelepasan tersebut.
Dalam podcast, Gary Ongko menceritakan alasan dia mengambil roster tersebut dan kembali menegaskan bagaimana pandemi berdampak sangat besar terhadap rencana-rencana besar yang tadinya akan dicapai manajemen BOOM Esports dan roster tersebut.
“Kami mengambil tim adalah pada Februari 2020. Waktu itu rencananya adalah toplay at the biggest stage in the world. Kebetulan juga, mereka (para pemain yang akhirnya direkrut BOOM Esports) sudah mendapat undangan di tiga turnamen, ESL Pro League, WESG Final Brazil, satu turnamen lagi gue lupa apa tapi turnamen tersebut adalah turnamen besar. Gue lalu berpikir dan juga sadar bahwa tim tersebut akan mahal biayanya apabila gue ambil. Tapi gue merasa akan worthit dengan exposure dan berbagai hal lain yang akan gue dapat. Namun setelah itu musibah pun datang dalam bentuk pandemi COVID-19.” Gary Ongko bercerita awal rencana perekrutan roster tersebut.
“Kebetulan pada tahun tersebut Valve pun mengubah sistem kompetisi CS:GO jadi semacam Dota 2 DPC, kami pun jadi enggak bisa ke mana-mana. Kami sudah dapat poin di Brazil. Apabila memaksakan pindah ke NA maka kami harus kembali ke Brazil untuk kembali mendapatkan poin tersebut. Lalu setelah menang Tribo to Major, mendadak semua qualifier di NA dan Eropa berjalan berbarengan. Dengan waktu yang sempit, kami jadi enggak bisa ke NA ataupun Eropa. Kenapa? Karena harus karantina 14 hari apabila ingin masuk Amerika Serikat. Padahal ketika itu kami mendapat undangan untuk bertanding di Dreamhack dan BLAST. Timing-nya sangat tidak pas, jadi kita pada akhirnya pun menggeser rencana ke 2021. Tadinya sudah mau perpanjang kontrak dan rencana kami adalah ke Eropa di Januari 2021 ini, tapi ternyata the call came dari MiBR.” Gary Ongko meneruskan ceritanya.
Ia lalu membeberkan bagaimana MiBR sangat menginginkan roster BOOM Esports tersebut. Pada awalnya Gary tidak terlalu ingin melepas roster-nya, tetapi ia juga memikirkan nasib sang pemain yang akan lebih baik apabila mereka bersama MiBR. “Kebetulan MiBR memang ada partnership juga dengan BLAST dan turnamen Flashpoint. Dari segi pemain, mereka sudah bisa dipastikan dapat 4 turnamen dan US$1 juta berkat partnership MiBR dengan turnamen Flashpoint. Selain itu dari sisi manajemen, gue juga merasa tawaran MiBR terhitung “balik modal” dari investasi gue terhadap tim tersebut sebelumnya. Karena tiga pihak yaitu si pemain, gue, dan MiBR sama-sama senang, maka keputusannya adalah seperti sekarang ini. Cuma yang disayangkan adalah BOOM Esports yang tadinya punya divisi di 2 game besar dunia, sekarang jadinya ya balik jadi cuma satu tim lagi yaitu Dota 2.” Tutur Gary.
Nasib Usaha Ekspansi Internasional BOOM Esports di Tahun 2021
Dalam beberapa interview, Gary Ongko kerap menekankan soal keinginannya untuk bisa membuat BOOM Esports menjadi tim internasional. Dalam pembahasan DPC 2021, Gary mengatakan bahwa keinginannya adalah untuk mengejar kesuksesan tim seperti Cloud9, Team Liquid, dan kawan-kawannya sampai akhir dunia sekalipun. Namun tanpa CS:GO, usaha tersebut tentunya jadi belum terasa lengkap.
Lalu bagaimana nasib usaha ekspansi internasional BOOM Esports pasca dari pelepasan roster tersebut ke tim MiBR? Apalagi Gary juga mengatakan bahwa nilai transfernya tergolong “balik modal” yang artinya memberi kesempatan BOOM Esports untuk memulai roster CS:GO kembali di barat sana. “Kebetulan kejadian tersebut baru banget terjadi seminggu yang lalu, jadi kami internal manajemen BOOM Esports juga masih terus diskusi mempertanyakan soal mau dibawa ke mana investasi dari CS:GO nantinya.” ucap Gary membuka jawaban.
“Jujur gue pribadi masih mau banget di CS:GO. Gue juga enggak mau investasi yang dilakukan manajemen BOOM Esports selama satu tahun terbuang sia-sia begitu saja. Tapi berhubung sekarang juga tahun yang baru, semua tim masih baru siap-siap, dan dari apa yang gue lihat belum ada tim atau roster yang membuat gue tertarik sampai sejauh ini. Jadi posisi gue sendiri saat ini masih wait and see terhadap tim-tim yang potensial.” Gary melanjutkan jawabannya.
Dalam skena yang terbilang sudah cukup matang seperti CS:GO, memang mencari pemain adalah perkara yang terbilang cukup sulit. Ditambah lagi, organisasi esports seperti BOOM Esports juga tidak punya waktu untuk mengambil pemain-pemain yang belum bisa berkompetisi di tingkat teratas dari suatu skena esports. “Manajemen BOOM Esports juga punya ketertarikan dengan Rainbow Six Siege, karena juga memang scene-nya besar di Brazil. Tapi balik lagi, belum ada tim papan atas yang available. Mungkin kelanjutan hal tersebut baru mulai terlihat di bulan depan.” Tutup Gary Ongko menjelaskan.
Sebagai pengamat dan penggemar esports, saya sendiri tentu sangat berharap BOOM Esports bisa meneruskan perjuangannya mencapai panggung dunia. Mungkin tidak selamanya menggunakan pemain lokal Indonesia, tapi melihat nama BOOM Esports bisa bertanding di liga-liga esports besar juga terbilang sudah menjadi suatu kebanggaan tersendiri.
Musim baru DPC 2021 Dota 2 hadir dengan beberapa perubahan yang terbilang sudah cukup lama diinginkan oleh komunitas profesional Dota 2. Apakah perubahan tersebut berarti akan berdampak baik? Atau mungkin punya potensi menghadirkan masalah di masa depan? Dalam artikel ini saya menanyakan pendapat dari 3 sosok shoutcaster Dota ternama di Indonesia, ada Gisma “Melon”, Yudi “JustInCase”, dan Dimas “Dejet” seputar DPC 2021. Selain itu, saya juga bertanya kepada Gary Ongko Putera selaku owner dari BOOM Esports untuk mendapatkan opini dari sudut pandang praktisi, serta Muhammad “InYourDream” Rizky sebagai perwakilan pemain. Seperti apa jawaban-jawaban mereka? Mari kita simak.
Dota 2 Pro Circuit 2021: Kompetisi Dota Ala Liga Sepak Bola Inggris
DPC 2021 menampilkan perubahan format. Perubahan tersebut adalah kehadiran pertandingan liga yang terstruktur dan berdurasi lebih panjang. Liga Dota kini jadi layaknya liga sepak bola inggris. Ada divisi atas dan divisi bawah. Apabila tim divisi atas turun ke peringkat paling bawah, maka ia akan turun kasta ke divisi bawah dan sebaliknya (tim terbaik dari divisi bawah akan naik kasta ke divisi atas).
Selain itu, kesempatan masuk liga juga terbuka bagi siapapun yang mau berjuang lewat babak Open Qualifier. Bagaimana pendapat dari narasumber terkait hal tersebut? Apakah perubahan tersebut memberi angin segar kepada tim kelas amatir/semi-pro?
Dejet: Menurut gue bagus banget, tim kecil akhirnya punya wadah untuk berpartisipasi di turnamen resmi Valve. Kalaupun tidak mendapat kemenangan, minimal banget tim-tim tersebut bisa mendapat experience. Jadwal kompetisi pun lebih jelas. Semisal tidak dapat kesempatan di Season 1 masih ada kesempatan di season berikutnya.
Melon: Dengan sistem Open Qualifier, tentunya kesempatan akan terbuka bagi tim-tim yang baru merintis. Walaupun demikian, semakin tinggi divisi maka kompetisi akan menjadi layaknya neraka. Terlepas dari hal tersebut, saya merasa kesempatan yang diberikan Valve sudah cukup bagus. Walau begitu, saya merasa Valve agak kurang mengedukasi seputar sistem kualifikasi tersebut karena saya melihat jumlah pendaftar Open Qualifier cenderung lebih sedikit.
JustInCase: DPC 2021 adalah langkah yang baik dari Valve. Mereka akhirnya sadar bahwa regenerasi pemain kompetitif Dota 2 sudah semakin menurun belakangan. Apalagi mereka juga telah menerima sumber daya finansial yang besar lewat Battle Pass. Karena itu gue rasa memang sudah semestinya Valve memutar otak untuk mengembangkan skena kompetitifnya.
Bicara soal format, gue merasa tim grassroot akan punya kesempatan sangat besar pada musim 2021 ini. Hal tersebut karena Valve menyediakan 4 kali Open Qualifier di dalam satu musim DPC. Karena itu, pemain papan bawah tentunya akan punya semangat lebih untuk berjuang mendaki ke tingkat selanjutnya.
GaryOngko: Kalau dari sudut pandang manajemen BOOM Esports sebagai pelaku bisnis, jujur sih agak sedih karena prizepool di DPC 2021 cenderung menurun karena cuma ada 2 major saja. Tapi selain itu belum tahu kira-kira bagaimana dampak perubahan format DPC 2021 ini terhadap side-tournament seperti ESL One dan lainnya.
Kalau ditanya soal liga atau turnamen, saya juga belum bisa banyak bicara. Tapi dari apa yang saya lihat, salah satu kelebihan format liga ini adalah kemungkinan tim seperti BOOM Esports bertanding di panggung Major jadi lebih besar. Dari segi bisnis, hal tersebut jadi penting karena akan membuka peluang sponsor untuk bisa masuk. Kalau dari segi challenge, mungkin dari segi visa atau travel. Kalau diperhatikan, jeda tanggal dari akhir liga ke major terbilang cukup pendek. Namun ada info bahwa lokasi pertandingan major sudah dipastikan untuk mempermudah hal tersebut.
InYourDream: DPC 2021 ini bagus menurut gue. Supaya pemain jadi lebih berusaha, punya lebih banyak pertandingan, dan jadi konsisten selama liga berlangsung. Tim rintisan juga punya kesempatan lolos yang besar karena mereka bisa langsung bersaing dengan tim-tim yang lebih jago.
Kalau bicara jadwal pertandingannya, jujur memang padat. Tapi ya beginilah esports. If you want to be a successful player, if you want to win big tournament, then you gotta work for it.
Perbaikan Nasib Pemain di DPC 2021?
Anda yang sudah sejak lama mengikuti kancah kompetitif Dota 2 mungkin sudah tahu betapa mudahnya nasib pemain profesional jadi terombang-ambing. Satu kali kegagalan saja, maka pemain akan mendapat risiko dipecat oleh organisasi esports terkait. Salah satu perubahan di DPC 2021 adalah sebuah hukuman (berupa potongan poin yang didapat) bagi organisasi apabila mereka bertindak seenaknya kepada pemain. Bagaimana pendapat para narasumber terkait hal tersebut?
GaryOngko: Bagaimana pengaruh peraturan ini terhadap tim? Menurut gue sih tergantung. Bagi BOOM Esports hal tersebut tidak pengaruh karena mindset manajemen adalah kerja dan komitmen bareng selama satu tahun. Tapi memang tidak bisa dipungkiri juga bahwa ada organisasi lain yang menerapkan cara kerja “kalah ganti lineup”. Bagi manajemen hal tersebut bisa berdampak baik, terutama dari persaingan mendapatkan pemain yang terjadi antar manajemen tim. Dampaknya kami jadi lebih terlindungi dari tindakan poaching. Bisa mengurangi tawaran tiba-tiba dari pihak-pihak tidak bertanggung jawab yang membuat pemain jadi tidak fokus.
Dejet: Gue setuju banget sama peraturan tersebut. Benar-benar menjadi usaha Valve untuk meminimalisir “cabut colok pemain”. Harapannya tentu adalah supaya pemain jadi lebih komitmen. Supaya scene internasional tidak seperti scene grassroot yang mana kalah satu turnamen langsung bubar.
JustInCase: Gue merasa peraturan tersebut adalah cara Valve untuk meyakinkan para organisasi untuk terjun. Valve hanya memberi jalan dan kesempatan bagi pemain. Namun pada intinya tetap organisasi esports yang membuat mereka (para pemain) bisa terus memiliki bahan bakar. Dari apa yang gue lihat, Valve memang berusaha memenuhi keinginan berbagai pihak di DPC 2021 ini.
Kebanyakan pemain diuntungkan dengan sistem liga yang baru. Valve juga membuat peraturan roster yang menguntungkan organisasi. Hal tersebut tentunya akan lebih diterima oleh komunitas Dota. Bagaimanapun kita harus sadar bahwa Valve juga berusaha melakukan berbagai cara untuk menyelamatkan dunia kompetitif Dota. Kita sebagai komunitas, pemain, dan peaku bisnis harus menerima dan bersikap dinamis.
Melon: Gue setuju dengan peraturan dari Valve tersebut. Karena kita coba lihat saja kasus T1 kemarin. Pemain baru masuk beberapa bulan, lalu di-kick, diganti oleh pemain baru. Berkat peraturan tersebut, organisasi-organisasi jadi lebih perhatian dengan masalah tersebut. Jadi mereka setidaknya bisa komitmen mempertahankan kontrak, minimal sampai The International selesai.
InYourDream: Peraturan pemain ini juga salah satu yang bagus. Pemain juga bisa jadi lebih profesional. Contohnya begini misal ada tim menang Major, lalu ada pemain mau keluar karena masalah kecil. Karena peraturan tersebut, pemain jadi enggak bisa keluar dengan seenak hati.
Major Tetap Jadi Jalur Utama Menuju The International
Walaupun sudah menghadirkan liga yang terstruktur dengan durasi yang panjang, namun Valve sepertinya masih tetap mengutamakan Major sebagai jalan untuk menuju kompetisi Dota 2 terakbar di dunia, The International. Mengutip laman resmi DPC 2021, dikatakan bahwa Major memiliki total sebesar 2700 poin yang akan didistribusikan sementara Regional League hanya memiliki total sebesar 1150 poin untuk didistribusikan. Apakah pembagian tersebut sudah cukup adil?
JustInCase: Pembagian poin ini tujuannya adalah untuk menghibur tim-tim yang berada di papan atas. Kenapa? Karena posisi mereka cenderung jadi lebih sulit karena format liga ini. Mereka harus mempertahankan kursi Upper Division guna melaju ke Major. Apabila mereka gagal di Upper Division, maka mereka harus melangkah dari Lower Division yang bisa berarti kehancuran bagi karir mereka.
Dejet: Pembagian poin ini masih terasa wajar sih kalau menurut gue. Valve pasti sudah memiliki pertimbangannya tersendiri ketika merumuskan hal tersebut. Ibaratnya Regional League jadi seperti Minor di DPC terdahulu. Karena hal tersebut, wajar saja kalau pembagian poinnya adalah seperti demikian.
Melon: Bagus jika pembagian poinnya seperti itu. Pembagian poin tersebut berfungsi untuk menghindari tim-tim yang masuk The International dengan modal poin regional saja. Poin di major dibuat lebih besar supaya mereka yang menang bisa langsung berkesempatan masuk The International. Jadi ibaratnya mereka yang usaha lebih keras juga dapat kemungkinan masuk The International yang lebih besar.
Lalu apakah dengan format seperti ini membuat tim seperti BOOM Esports jadi lebih mudah lolos ke The International atau jadi lebih sulit?
GaryOngko: Menurut gue sih sama saja, intinya tim dari top 3 akan lolos ke major lewat regional SEA. Tapi kalau bicara dari sisi manajemen sendiri, gue merasa kesempatan BOOM Esports lolos di musim ini lebih besar karena kami konsisten dan tidak banyak berganti roster.
InYourDream: Soal poin enggak terlalu masalah sih. Sedari dulu turnamen Major memang menjadi tolak ukur pemain/tim di dalam DPC ini dan seberapa pantas mereka untuk bisa bertanding di The Internatinal.
Aspek Bisnis, Persaingan, dan Potensi Investasi di DPC 2021
Perubahan format tersebut mungkin bisa berdampak baik bagi tim maupun pemain. Namun bagaimana nasib ekosistem esports Dota secara keseluruhan? Dengan jadwal turnamen DPC 2021 yang cukup padat, apakah masih ada ladang bagi penyelenggara pihak ketiga? Apakah ekosistem Dota 2 lokal Indonesia masih bisa tumbuh dan bersemi kembali seperti dahulu?
Melon: Ladang bagi penyelenggara pihak ketiga akan jadi lebih sempit karena DPC 2021 ini. Sistem DPC 2021 membuat jasa EO cenderung akan lebih kesulitan untuk membuat turnamen tingkat regional APAC/SEA. Kenapa? Karena tentu saja tim-tim kelas semi-pro akan lebih memilih untuk bertanding di DPC. Jadwal pertandingan DPC 2021 juga tidak pandang bulu. Kadang-kadang bisa berada di weekdays dan di tengah hari bolong pukul 12 siang waktu Indonesia.
Tapi kalau bicara scene lokal Indonesia, menurut gue perkembangannya akan tetap melibatkan warnet-warnet daerah. Gue merasa cuma dari situ jalan yang paling memungkinkan untuk mengembangkan Dota 2 di Indonesia. Mau tidak mau, prasarana warnet tetaplah dibutuhkan (kesediaan PC dll) baik untuk event ataupun mengembangkan talenta pemain baru.
Dejet: Kalau ditanya menghidupkan scene kompetitif lokal, menurut gue sih pasti lah! Tapi kalau bicara aspek bisnis dari segi penyelenggara pihak ketiga, gue merasa masih ada lahan yang bisa diharap. Jumlah slot DPC kan sangat terbatas. Sementara tim masih amatlah banyak tetrutama dari sisi grassroot entah itu tim amatir, icafe, atau semi-pro. Jadi menurut gue penyelenggara pihak ketiga masih bisa menggarap lahan tersebut dan dapat berperan dalam ekosistem Dota 2 secara keseluruhan.
JustInCase: Menghidupkan scene lokal di Indonesia? Sepertinya cenderung tidak mungkin. Gue mengembangkan WxC Indonesia, memang bisa konstan mendapat pentonton sejumlah belasan sampai puluhan ribu di YouTube. Hal tersebut bisa terjadi karena kami selalu menyiarkan turnamen skala internasional, bukan nasional. Kalau turnamen lokal, viewership-nya jelas akan lebih sedikit. Mungkin maksimum 5 ribu penonton saja.
Jumlah tersebut tentu terhitung rendah apabila dibanding dengan penonton game mobile di scene lokal. Pada sisi lain, sponsor juga lebih tertarik berinvestasi ke game mobile karena melihat angka tersebut. Jadi kalau organizer lokal ingin mendapat jumlah viewership yang besar untuk Dota, mereka harus menyelenggarakan turnamen skala internasional seperti ONE Esports. Pokoknya go big or go home.
InYourDream: Bicara aspek ini sih gue enggak bisa ngomong banyak. Tapi harapan gue sih semoga bisa hidup lagi. Karena menurut gue sebenarnya masih banyak player dota 2 Indonesia yang punya potensi untuk menjadi seorang profesional.
–
Setelah bicara soal investasi pihak penyelenggara lokal, bagiamana dengan investasi bagi organisasi esports lokal terhadap ekosistem Dota 2? Apakah perubahan format membuat berinvestasi tim Dota 2 di DPC 2021 jadi memiliki potensi keuntungan?
Gary Ongko: Jujur saja, seperti yang gue bilang dari awal bahwa visi misi BOOM Esports sebagai sebuah tim adalah menembus kancah dunia. Kalau ditanya apakah kepingin ada tim lokal terjun lagi di Dota dan bertanding sama kita? It will be fun menurut gue. Mungkin seru juga kalau ada pertandingan derby lokal di DPC 2021 ini. Tapi balik lagi, organisasi lokal pasti ketinggalan kalau ibaratnya impian mereka cuma untuk kancah lokal saja. Karena apabilanya visi misinya beda, maka investasinya pun jadi berbeda.
Gue sampai akhir dunia akan berusaha mengejar kesuksesan tim-tim seperti Cloud 9, Team Secret, Team Liquid dan sebagainya. Bakal seru tentunya kalau ada kawan se-negara. Tapi jujur ya kita juga sudah biasa juga sih berjuang sendirian… Haha.
JustInCase: Liga yang diberikan Valve tidak seperti liga dari Riot Games atau Moonton yang punya sistem revenue sharing. Karena hal tersebut, sustainability mengikuti liga tersebut tentu menjadi tanda tanya tersendiri bagi organisasi esports. Kalau bicara organisasi lokal, kebanyakan mereka telah nyaman berada di dalam ekosistem Mobile Legends yang memang lebih menguntungkan secara finansial. Menurut gue mereka tidak akan berpikir untuk kembali terjun ke Dota 2 melihat kondisi liga yang disediakan oleh Valve, kecuali liga diubah untuk dapat lebih menguntungkan organisasi esports. Soalnya liga DPC sekarang cenderung lebih menguntungkan bagi pemain dibanding organisasi kalau menurut gue.
Dejet: Menurut gue tahun ini memang tahun yang tepat untuk kembali terjun ke Dota 2 bagi organisasi esports Indonesia. Tapi yang penting organisasi esports lebih jeli dalam mengambil tim dengan mengambil tim-tim yang jelas masuk DPC. Organisasi esports pasti ingin mendapat sorotan terbesar, jadi menurut gue ikut Regional League, Major, dan The International adalah tujuan besar yang perlu dikejar.
Melon: Balik lagi dari sisi edukasi informasinya sih. Kalau seandainya organisasi esports Indonesia tahu bahwa hadiah DPC 2021 ini cukup besar, mereka mungkin akan mempertimbangkan untuk investasi dan konsisten mengikuti Open Qualifier, Stage 1-2, Upper Division, dsb. Karena bagaimanapun hadiah kemenangan adalah salah satu sumber pemasukan bagi organisasi esports.
InYourDream: Yes, menurut gue tahun ini adalah tahun yang tepat. Beberapa alasannya adalah karena sistem DPC sekarang menjadi liga dan prizepool juga di-split dengan sedemikian rupa.
Mengharapkan Ekosistem Esports Dota 2 di Masa Depan
Menutup perbincangan ini, apa saja yang jadi harapan dari sosok-sosok tersebut terhadap ekosistem esports Dota 2?
GaryOngko: Semoga pemain-pemain lokal yang berhasil lolos bisa diakuisisi sama organisasi. Semoga juga semakin banyak yang mau menghidupkan Dota di kancah lokal.
Menurut gue sayang sekali karena talenta Dota 2 Indonesia sebetulnya banyak, tapi malah jadi pemain untuk tim negara sebelah. Kalau secara internasional, semoga liga ini bisa berdampak baik bagi pemain dan tim. Again, format seperti ini sebetulnya perdana di DPC 2021, jadi ya kita lihat saja bakal bagaimana ke depannya. Harapan lain, semoga compendium The International ada lagi dan lebih banyak kosmetik lagi… Haha.
JustInCase: Gue berharap pemain Indonesia yang sebelumnya tidak bersinar bisa mendapatkan kesempatan mereka untuk bermain di kancah internasional lewat DPC 2021 ini. Bukan hanya di Open Qualifier saja, tapi semoga bisa lihat lebih banyak pemain/tim indonesia di Lower ataupun Upper Division. Harapan akhirnya tentu agar bisa melihat pemain Indonesia bermain di panggung The International tahun ini.
Melon: Dampak yang diharapkan tentunya livestream jadi makin meriah dan perhatian orang tentunya jadi tidak lagi hanya terpusat pada BOOM Esports saja. Harapan lainnya adalah semoga tim-tim Indonesia semoga semakin solid dan semakin tambah konsisten.
Dejet: Kalau gue harapannya sih semoga semakin banyak organisasi esports lokal mau terjun ke Dota 2 lagi. Ibaratnya seperti “nagih janji”. Dulu organisasi esports lokal enggak mau turun di Dota kan karena kompetisinya kurang jelas. Sekarang sudah jelas, jadi ayo dibikin timnya.
InYourDream: Kalau harapan gue buat scene Dota lokal indonesia adalah semoga pemain-pemain Indonesia lebih termotivasi lagi buat bersaing and playmore Dota 2, that’sall. Buat scene internasional pun juga sama.
Di era digital, semakin banyak perusahaan yang menggunakan data untuk menekan biaya operasional atau untuk meningkatkan keuntungan perusahaan. Di dunia olahraga, atlet atau tim profesional biasanya memiliki analis yang berfungsi untuk menganalisa data pemain atau tim untuk meningkatkan performa mereka. Tugas lain analis adalah menganalisa data atlet atau tim musuh untuk mengantisipasi mereka. General Manager Oakland Atletics, Billy Beane dipercaya sebagai orang pertama yang memprioritaskan penggunaan data dan statistik dalam sebuah tim olahraga. Di tennis, data biasanya digunakan untuk mengetahui kebiasaan arah serve seorang pemain. Sementara dalam basket, data bisa digunakan untuk mengetahui ketangguhan pertahanan sebuah tim.
Pada awalnya, data tidak digunakan di statistik esports. Namun, ketika muncul game-game yang kaya data seperti StarCraft 2 dan Dota 2, organisasi esports juga mulai mempekerjakan staf analisis. Semakin besarnya industri esports berarti, perusahaan-perusahaan teknologi besar — seperti IBM, Microsoft, dan SAP — menjadi tertarik untuk bekerja sama dengan organisasi esports. Perusahaan teknologi tersebut biasanya menawarkan untuk membuat software analisa bagi organisasi esports. Tak hanya itu, mereka ini juga menyediakan software analisa untuk kebutuhan broadcast.
Untuk menganalisa data para atlet olahraga tradisional, data yang dikumpulkan harus didigitalkan terlebih dulu sebelum diolah. Proses digitalisasi biasanya memakan waktu yang cukup lama. Untungnya, data dalam esports sudah ada dalam bentuk digital, sehingga data ini tak perlu didigitalisasi lagi. Hanya saja, data yang bisa Anda dapatkan dari gameesports bisa sangat banyak. Masalah lain dalam menggunakan data di esports adalah akses ke data sebuah game biasanya tergantung pada kemurahan hati publisher.
“Game publisher dan API (application programming interface) yang publisher sediakan akan selalu menjadi sumber data utama,” kata Matthew Gunnin, CEO Esports One, perusahaan pembuat software untuk membuat statistik menggunakan computer vision dan machine learning. Data tersebut akan akan digunakan dalam siaran langsung. Pada awal perusahaan didirikan, dia mengatakan, Esports One mengumpulkan data secara manual dan menggantungkan diri pada API dari sebuah game. “Sekarang, kita sangat memanfaatkan computer vision untuk mengumpulkan data, tapi setiap game berbeda-beda, tergantung pada game dan support yang ada.”
Data apa yang dikumpulkan dan bagaimana data digunakan?
Selain itu, data juga bisa digunakan untuk memperkirakan kombinasi yang akan digunakan oleh musuh. Misalnya, esports scene Dota 2 tidak memiliki liga. Sebagai gantinya, ada beberapa turnamen besar yang diadakan setiap tahunnya. Karena itu, biasanya, para tim profesional Dota 2 lebih ingin tahu tentang kebiasaan tim lawan. Untungnya, Valve, publisher Dota 2 biasanya cukup terbuka untuk berbagi data untuk proyek open source. Mereka bahkan membiarkan pihak ketiga mengakses data dari video replay pertandingan.
“Sekarang, kami memiliki data dari sekitar 65 ribu pertandingan dari pertandingan yang telah berlalu,” kata Melvin S. Metzger, Esports Developer, SAP HANA, menurut lapora The Esports Observer. Dia mengatakan SAP HANA dapat menganalisa pertandingan profesional dari Dota 2. Mereka akan membandingkan data dari pertandingan lama dengan data dari pertandingan yang tengah berlangsung atau yang akan datang. Ketika membandingkan data pemain dengan pemain lain, data yang digunakan tergantung pada permintaan.
Ketersediaan data di esports memungkinkan perusahaan untuk membuat AI yang dapat membantu pelaku esports untuk berlatih. Selain itu, AI juga bisa digunakan untuk beberapa hal lain. telah ada sejumlah perusahaan yang menawarkan AI untuk mengasah kemampuan pemain, seperti OpenAI. Meskipun begitu, penggunaan AI untuk membantu pemain berlatih adalah hal yang masih sangat baru. Tingkat efisiensinya pun belum diketahui. Meskipun begitu, perusahaan teknologi tetap mau menjalin kerja sama dengan organisasi esports. Biasanya, alasan perusahaan teknologi mau bekerja sama dengan organisasi esports adalah untuk mendekatkan diri dengan fans esports. Misalnya, Microsoft bekerja sama dengan Cloud9. Terlepas dari apakah kolaborasi keduanya sukses atau tidak, fans esports akan mengingat Microsoft sebagai perusahaan yang menjadi rekan dari Cloud9.
Gunnin menjelaskan, “Dari perspektif kami, bagaimana data akan digunakan di masa depan adalah tentang bagaimana kami akan mengaitkan status para pemain dengan apa yang terjadi saat game berlangsung. Kami tahu bagaimana cara para pemain pro bermain, dan saat melihat gameplay Anda, kami akan menyimpan dan menandai kejadian dalam game sebagai perbandingan.”
Seberapa penting analisa untuk tim esports?
Di Indonesia, BOOM Esports merupakan salah satu organisasi yang memiliki tim Dota 2 terkuat. Ketika berkunjung ke kantor Hybrid, CEO dan pendiri BOOM Esports, Gary Ongko menjelaskan alasannya mengapa mereka berkeras untuk bertahan di esports PC walau mobile esports tengah booming di Indonesia. Selain itu, dia juga menjelaskan pentingnya keberadaan psikolog dan analis bagi sebuah tim esports. Gary mengatakan, peran analis cukup penting dalam esports. Tim-tim papan atas biasanya memiliki taktik yang mereka gunakan. Namun, para pemainnya juga biasanya memiliki kebiasaan buruk yang bisa dieksploitasi.
“Misalnya, pada detik ke sekian, pemain selalu melihat ke kanan, memeriksa keadaan di belakang. Kita bisa mengeksplotasi hal ini,” ujar Gary. Menurutnya, detail kecil seperti inilah yang akan menentukan kemenangan jika dua tim yang sama-sama jago bertemu. Dan kebiasaan seperti ini bisa diketahui dengan statistik. Saat ini, BOOM masih melakukan analisa secara manual. Itu artinya, analis memasukkan data ke spreadsheet dan mengolahnya sendiri. Meskipun begitu, dia sadar bahwa telah ada perusahaan yang menawarkan software analisa yang bisa melakukan tugas analis secara otomatis. Menurutnya, analis esports tak harus pernah menjadi pemain profesional. Begitu juga dengan para pelatih. “Selama ide mereka memang bagus, kenapa nggak?”
Gary memiliki kesempatan untuk mengambil kuliah S2 hingga Amerika Serikat. Sambil tertawa, dia mengaku bahwa tidak banyak ilmu dari perkuliahan yang dia masih gunakan sampai sekarang. Namun, menurutnya, kuliah tetap penting karena itu akan mengajarkan Anda untuk disiplin dan berpikir kritis. Satu ilmu yang masih digunakan sampai sekarang adalah statistik, yang masih melibatkan pengolahan data. Dia bercerita, statistik tidak hanya digunakan untuk analisa permainan tim, tapi juga aspek lain dalam mengatur organisasi esports. Misalnya untuk melihat perkembangan performa pemain atau bahkan pertumbuhan media sosial tim atau pemain profesional. Ketika BOOM mencoba hal baru, dengan bantuan data, mereka bisa mengetahui apakah hal itu efektif atau tidak. “Kalau di Dota 2, statistik bisa digunakan untuk melihat persentase hero yang di-pick dari musuh. Sementara kalau PUBG Mobile dan Free Fire, kita bisa melihat lokasi pemain turun, timing rotasi,” ungkapnya.
Sayangnya, sepertinya, analisa data di Indonesia mungkin belum akan jadi mainstream dalam beberapa tahun ke depan. Muasalnya, game esports yang laris di Indonesia adalah game mobile yang punya keterbatasan soal API — dibandingkan game PC. Game-game yang laris di Indonesia juga rilisan publisher ataupun besutan developer Tiongkok yang mungkin lebih tertutup soal transparansi data. Ditambah lagi, masih banyak pelaku industri esports di Indonesia yang belum menyadari pentingnya digitalisasi data di esports.
Studi kasus: Liquid dan SAP HANA
Pada April 2018, SAP mengumumkan kerja samanya dengan Team Liquid, khususnya divisi Dota 2 mereka. Melalui kerja sama ini, SAP akan mengembangkan tool untuk menganalisa data yang dikumpulkan dari game untuk meningkatkan performa para pemain dan mencari talenta baru. Namun, data ini dikumpulkan dari roster Team Liquid yang lama, yang telah keluar dari organisasi tersebut dan membentuk tim baru bernama Nigma.
Setelah satu tahun, SAP akhirnya berhasil menciptakan tool yang memang bisa digunakan oleh para profesional. Software ini dibuat oleh dua ahli full-stack development yang juga memiliki pemahaman tentang data science. Salah satu fungsi dari software ini adalah untuk membantu Team Liquid dalam fase drafting, yaitu proses pemilihan hero ketika mereka juga bisa melarang sejumlah karakter untuk digunakan oleh musuh. Di sini, tim profesional berusaha untuk mengumpulkan data sebanyak mungkin dan mempertimbangkan sinergi antar karakter.
“Salah satu tantangan yang kami hadapi adalah tidak ada data komprehensif yang bisa kami dapatkan melalui data yang bisa diakses semua orang,” kata Milan Cerny, Properti Owner and Innovation Lead for Esports, SAP. “Tentu saja, kami juga mempertimbangkan aspek dalam game. Seperti heat mapping untuk segala kejadian dalam game, baik pergerakan hero maupun penggunaan ward.” Tak hanya bekerja sama dengan organisasi esports profesional, SAP juga menggandeng sejumlah penyelenggara turnamen, seperti EPICENTER, DreamHack, dan ESL. Kepada para penyelenggara turnamen, SAP menawarkan data tentang pemilihan hero, persentase kemenangan, dan data lainnya di layar penonton. Mereka juga memberikan insight pada para caster dan analis produksi.
Kesimpulan
Penggunaan data dan AI di ranah esports masih sangat baru. Belum ada bukti definitif apakah penggunaan data akan bisa membantu tim esports untuk menang. Namun, menggunakan data untuk menganalisa performa tim dan memprediksi lawan terbukti bermanfaat di olahraga tradisional. Tidak tertutup kemungkinan, pengumpulan dan pengolahan data akan menjadi senjata bagi organisasi esports papan atas di masa depan.