Tag Archives: GDC

GDC: 1 dari 3 Developer Harus Menunda Perilisan Game-nya Akibat Pandemi

Satu dari tiga developer harus menunda perilisan game terbaru bikinannya akibat pandemi COVID-19. Kesimpulan itu didapatkan dari survei yang dilakukan penyelenggara Game Developers Conference (GDC) terhadap hampir 2.500 tim developer yang berbeda.

Yup, bukan cuma CD Projekt Red, Sucker Punch Productions, dan developerdeveloper besar lain yang dengan terpaksa harus memundurkan peluncuran karyanya, tapi juga developer indie yang bahkan belum memiliki tim sama sekali. Dalam survei tersebut, kategori responden terbanyak (20% dari total responden) adalah developer yang bekerja seorang diri. Barulah di posisi terbanyak kedua (18%), ada tim developer dengan 500 karyawan atau lebih.

Dari semua itu, sekitar 33% mengaku tidak bisa memenuhi jadwal perilisan yang telah mereka tetapkan sebelumnya akibat pandemi. Faktor-faktor penghambatnya pun bukan cuma faktor internal seperti keterbatasan komunikasi atau keterbatasan akses terhadap perangkat development kit, melainkan juga faktor eksternal seperti proses sertifikasi dari penyedia platform (Nintendo misalnya) yang memakan waktu lebih lama ketimbang sebelum pandemi.

Seperti yang saya bilang, salah satu penghambat utamanya adalah perihal komunikasi. Ini wajar mengingat 70% dari semua responden harus menerapkan kebijakan bekerja dari rumah dan mengandalkan platform seperti Discord sebagai medium komunikasi utamanya. Seperti halnya para pekerja di industri lain, sebagian besar developer pasti merasakan betapa sulitnya melangsungkan komunikasi jarak jauh akibat banyaknya pengalih perhatian di kediaman masing-masing.

Faktor lain yang sulit dicarikan solusinya adalah terkait voice acting. Yang tadinya tinggal mengundang aktor atau aktris ke studio sekarang harus dilaksanakan dari rumah masing-masing aktor dan aktris karena studionya harus ditutup. Perlengkapan rekaman di rumah tentu saja lebih terbatas, dan sejumlah developer terpaksa harus mengirimkan perlengkapan rekaman khusus sekaligus menambah porsi kerja para audio engineer-nya.

Ghost of Tsushima yang baru saja dirilis juga mundur jauh dari jadwal aslinya / Sucker Punch Productions
Ghost of Tsushima yang baru saja dirilis juga mundur jauh dari jadwal aslinya / Sucker Punch Productions

Menariknya, pandemi COVID-19 juga akan mengubah cara developer bekerja secara permanen, dan topik ini disetujui oleh 64% dari seluruh responden. Beberapa langkah alternatif yang diambil guna menjaga produktivitas selama pandemi rupanya akan terus dipertahankan meski mereka sudah bisa kembali ke kantor masing-masing secara aman nantinya.

Salah satu responden mengatakan bahwa perusahaannya kini memperbolehkan tim ilustrator untuk bekerja dari rumah, sedangkan responden lain mengaku sudah mulai merekrut karyawan baru yang akan bekerja secara remote sepenuhnya, termasuk saat pandemi sudah berakhir nanti.

Sebelum pandemi, sebagian developer mungkin tidak mengira bahwa di luar sana ada banyak tool kolaborasi online yang dapat mereka manfaatkan untuk bekerja secara lebih efisien. Pandemi memaksa mereka untuk mencoba sejumlah opsi yang ada, dan beberapa developer pasti akan tetap menggunakannya sampai seterusnya.

Terhambat atau tidak, setidaknya kita bisa mendapat gambaran mengenai sulitnya bertahan di industri game di saat pandemi melalui survei ini. Di saat developer tidak bisa bekerja semaksimal sebelumnya, permintaan dari konsumen justru naik, terbukti dari meningkatnya penjualan console maupun hardware PC gaming.

Survei ini pun tidak lupa menanyakan mengenai perkembangan bisnis para developer selama pandemi. 31% responden mengaku bisnisnya mengalami peningkatan, sedangkan 37% bilang kondisinya sama saja. Sebaliknya, 32% sisa responden melihat ada penurunan dari bisnisnya secara keseluruhan. Nasib tiap developer tentu berbeda, demikian pula kesiapan mereka menghadapi perubahan kondisi bekerja selama pandemi.

Via: IGN.

Segala yang Perlu Anda Ketahui Mengenai Layanan Cloud Gaming Google Stadia

Game Developers Conference tahun ini berpotensi menjadi ajang yang lebih istimewa dari sebelumnya. Di momen pembukan, Nvidia mengumumkan agenda buat menghadirkan ray tracing di kartu grafis GeForce GTX. Lalu di sesi presentasi Unity, desainer game veteran Warren Spector mengabarkan keikutsertaannya dalam pengembangan System Shock 3. Dan sejak berminggu-minggu lalu, kita tahu Google berencana untuk melakukan penyingkapan besar di sana.

Dan akhirnya resmi sudah. GDC 2019 jadi saksi pengungkapan Google Stadia, sebuah platform hiburan baru berbasis Project Stream yang dapat diakses secara lebih luas – tak cuma dari browser Chrome. Mendeskripsikan Stadia sebetulnya tidaklah sulit, bayangkan saja platform on demand seperti Netflix tetapi menyajikan konten berupa game. Stadia adalah layanan streaming yang mempersilakan Anda menikmati permainan video di perangkat apapun selama internet tersedia.

Dengan Stadia, Google mencoba memberi solusi atas keterbatasan penyajian video game lewat metode konvensional (home console atau PC misalnya). Ia tidak membutuhkan hardware spesialis gaming, tak memerlukan proses instalasi, serta tak ada update maupun patch. Teorinya, setelah jadi pelanggan, Anda bisa langsung bermain.

 

Kualitas konten

Di era console generasi kedelapan, resolusi 1080p dan 60-frame per detik dianggap gamer sebagai standar minimal penyajian game. Banyak judul sudah bermain-main di tingkat 4K (meski ada kompensasi pada frame rate) dan gamer di PC sudah cukup lama memperoleh akses ke ratusan frame rate per detik berkat dukungan GPU high-end dan monitor dengan refresh rate tinggi. Menggunakan kriteria ini sebagai patokannya, tingkatan kualitas yang ditawarkan Stadia terlihat mengesankan.

Ketika layanan cloud gaming Google itu meluncur nanti, pemainan bisa dijalankan di resolusi 4K dengan 60-frame rate per detik. Setup ini bahkan dapat di-upscale ke 8K dan 120fps jika Anda punya perangkat yang mampu menopangnya. Selain memberikan pengalaman gaming single-player biasa, Stadia kabarnya juga siap menyuguhkan mode multiplayer cross-platform, serta terdapat pula dukungan mode kooperatif split-screen.

Stadia 2

 

Game yang sudah dikonfirmasi

Kolaborasi antara Google dan Ubisoft bukan lagi rahasia. Setelah jadi ‘kelinci percobaan’ di Project Stream, Assassin’s Creed Odyssey dipilih jadi salah satu judul pertama yang menemani peluncuran Stadia. Permainan action-RPG tersebut ditemani oleh game shooter id Software baru, Doom Eternal. Via Stadia, permainan ini siap menghidangkan resolusi maksimal di 3840x2160p dan mampu berjalan di 60-frame per detik.

 

 

Dukungan developer dan studio game baru Google

Selain Ubisoft, Google diketahui telah menggandeng sejumlah perusahaan bereputasi tinggi lainnya di industri, misalnya CryTek (developer CryEngine), Tequila Works, dan Epic Games (pencipta Unreal Engine) dalam membangun ekosistem Stadia. Dengan kemunculan nama-nama tersebut, kita bisa menduga akan ada sederet permainan segera memenuhi daftar library-nya.

Bagi saya, langkah paling menarik dari kehadiran Stadia ialah pembentukan studio first-party Stadia Games and Entertainment. Tugasnya mereka adalah mengembangkan permainan-permainan eksklusif di platform game on demand itu. Belum ada proyek baru yang diumumkan, tetapi keseriusan Google dalam bermanuver di gaming terlihat dari sosok yang mereka pilih untuk menahkodainya: Jade Raymond, developer berpengalaman asal Kanada mantan studio head Ubisoft dan Electronic Arts.

Jade Raymond I Variety
Jade Raymond, Variety

 

Hardware?

Google Stadia bisa bekerja tanpa memerlukan hardware dedicated, dapat diakses dari segala perangkat berlayar – smartphone, tablet, PC desktop ataupun laptop – melalui perpaduan antara dukungan Chrome, Chromecast, dan Google Play. Meski begitu, perusahaan internet raksasa ini sudah penyiapkan periferal khusus seperti yang sempat terungkap dari bocoran informasi minggu lalu.

Stadia 1

Garis besar wujud controller Google Stadia menyerupai ilustrasi yang muncul di paten, tetapi desain versi retail-nya lebih baik dan ergonomis. Lewat sesi hands-on, The Verge melaporkan bahwa gamepad mempunyai tubuh ala controller Xbox One S yang ‘mengisi’ genggaman, dikombinasikan dengan layout tombol serta thumb stick khas DualShock 4. Ia turut dibekali port audio 3,5mm di area bawah dan port USB type-C di atas.

Sesuai perkiraan sebelumnya, tombol di tengah berfungsi untuk mengaktifkan fitur Google Assistant dan mempersilakan kita untuk memberi perintah via suara. Dengannya, Anda bisa menyalakan fungsi perekaman atau yang lebih uniknya lagi: membuka video tutorial di YouTube ketika ada bagian puzzle atau sesi pertarungan melawan bos di game yang menyulitkan Anda.

Canggihnya lagi, controller Stadia tersambung langsung ke data center Google, bukan ke perangkat yang Anda gunakan buat menikmati layanan ini. Itu artinya, tidak ada proses sinkronisasi ulang ketika misalnya kita mencoba beralih bermain dari laptop kerja ke layar televisi. Gamepad dirancang agar terhubung ke jaringan Wi-Fi lokal dengan setup via aplikasi, dan selanjutnya dikoneksikan langsung ke layanan Google Stadia.

 

Metode penyajian dan kapan Stadia tersedia

Sejauh ini, Google belum memberi tahu bagaimana mereka akan menjajakan Stadia dan berapa biayanya, tetapi saya cukup yakin ia disajikan sebagai layanan berlangganan. Pembayaran bisa saja ditagih bulanan, per tiga bulan, atau tahunan. Selain itu, saya juga belum menemukan informasi tentang seberapa cepat koneksi internet yang dibutuhkan agar layanan terhidang optimal.

Cloud gaming berbekal judul-judul blockbuster plus infrastruktur Google punya sendiri memang menjanjikan, tapi dengan belum adanya permainan-permainan eksklusif Stadia, developer harus menawarkan layanan ini di harga yang atraktif.

Stadia rencananya akan meluncur di wilayah Amerika Serikat, Kanada dan ‘mayoritas’ kawasan Eropa di tahun ini, tetapi Google masih enggan menyebutkan tanggal rilisnya secara spesifik. Dan selanjutnya, developer berniat untuk memperluas wilayah dukungannya di tahun 2020.

Tambahan informasi dari PC Gamer, GamesRadar, GameSpot, Polygon.

Google Akan Ungkap Informasi Penting Terkait Gaming di GDC 2019?

Saat event-event seperti E3 dan TGS mencuri perhatian jutaan pasang mata gamer, Game Developers Conference bisa dikatakan sebagai ‘panggilan haji’ bagi pihak pengembang. Acara tahunan khusus developer ini adalah tempat ide-ide brilian muncul, berperan jadi ruang edukasi, pencarian inspirasi dan memperluas koneksi. GDC dimeriahkan oleh sesi berbeda, misalnya pameran, festival game indie hingga pagelaran Game Developers Choice Awards.

Tentu saja GDC bukan hanya esensial bagi para developer, tapi juga sudah lama diikuti oleh perusahaan-perusahaan pemilik platform gaming, termasuk Google. Di bulan Januari lalu, raksasa internet itu sempat mengabarkan agenda partisipasi mereka di sana. Kemudian di minggu ini, Google mulai mengirimkan undangan via email pada sejumlah media. Isinya cukup misterius, karena mereka hanya mengajak pers untuk ‘berkumpul’ dan semuanya akan disingkap pada tanggal 19 Maret.

Sebelumnya, Google mengabarkan bahwa acara mereka akan berlangsung seharian. Pertama-tama ada presentasi terkait segala hal baru yang disiapkan buat developer, diikuti oleh tiga sesi dialog yang difokuskan pada platform baru dan inovasi, persiapan di masa prelaunch, hingga strategi untuk meningkatkan mutu konten pasca perilisan. Masing-masing sesi diisi oleh diskusi bersama tim Google berbeda serta para mitra.

Selain itu, Anda juga bisa mengunjungi booth Google selama GDC 2019 berlangsung, berlokasi di Moscone South, akan dibuka dari tanggal 21 sampai 23 Maret. Dalam tiga hari itu, Google mempersilakan Anda untuk menyimak pemaparan tambahan dari tim serta diberikan kesempatan buat bertanya langsung pada pakarnya. Perlu diingat bahwa agenda ini merupakan bagian dari Game Developers Conference dan Anda harus membawa izin masuk agar dapat mengikutinya.

Kehadiran Google di GDC bukanlah hal aneh. Biasanya, mereka selalu ada di sana untuk memberikan update bagi para developer Android. Tapi keynote tahun ini disiapkan agar berbeda dan Google ingin semua orang mengetahuinya.

Ada dugaan kuat, Google berniat untuk menyingkap segala informasi terkait Project Stream di GDC 2019. Project Stream adalah layanan on demand yang memungkinkan konsumen menikmati permainan video tanpa console atau hardware berspesifikasi tinggi. Konsepnya bisa diibaratkan seperti Netflix-nya gaming. Project Stream disuguhkan lewat browser Chrome, dan sejak berbulan-bulan silam Google sudah mulai melakukan pengujian.

Dalam proses pengembagannya, Google bahkan telah menggaet satu nama raksasa di gaming: Ubisoft. Dua bulan selepas mendemonstrasikan kualitas layanan streaming mereka, Google membagi-bagikan Assassin’s Creed Odyssey secara gratis. Akankah kita mendengar nama-nama publisher/developer lain bergabung di sana?

Via The Verge.

Vacation Simulator Adalah Game VR Baru dari Pengembang Job Simulator

Game berjudul Job Simulator yang dirilis dua tahun lalu masih merupakan salah satu cara terbaik untuk mendemonstrasikan kapabilitas medium virtual reality. Game itu terbukti sukses, sampai-sampai pengembangnya, Owlchemy Labs, diakuisisi oleh Google pada bulan Mei 2017.

Untuk tahun ini, Owlchemy tengah bersiap meluncurkan suksesor Job Simulator. Berjudul Vacation Simulator, premis yang diangkat sejatinya terkesan alami; setelah stres bekerja di Job Simulator, sudah waktunya kita berlibur dan bersenang-senang di Vacation Simulator.

UploadVR yang berkesempatan mencoba versi demo Vacation Simulator di ajang Game Developers Conference belum lama ini cukup terkesan dengan Vacation Simulator. Mereka bilang bahwa setting pantainya jauh lebih terbuka dan dinamis ketimbang zona-zona individual pada Job Simulator.

Vacation Simulator

Aspek realisme pada Vacation Simulator juga tersaji dengan baik. Salah satu contohnya adalah ketika pemain mencelupkan kepala karakternya ke dalam air, di mana pandangan pemain akan tampak kabur, lalu suara-suara di sekitar bakal jadi teredam.

Setting pantai ini rupanya cuma sebagian dari konten Vacation Simulator, seperti pengakuan Owlchemy kepada UploadVR. Versi finalnya nanti bakal mengemas lebih banyak lokasi, dan tentu saja game simulasi tidak akan terasa seru tanpa sejumlah aktivitas yang menantang.

Tidak seperti Job Simulator yang pada awalnya hanya dirilis untuk HTC Vive (sebelum akhirnya di-port ke Oculus Rift dan PlayStation VR), Vacation Simulator nantinya bakal dirilis langsung ke tiga platform tersebut. Jadwal rilis pastinya belum diungkap, tapi dipastikan tahun ini juga.

Sumber: UploadVR.

Pencipta Unreal Engine Pamerkan Teknologi Live Motion Capture

Dewasa ini, motion capture sudah menjadi teknik yang umum diterapkan di industri perfilman. Memanfaatkan teknik ini, aktor dapat berakting seperti biasa, namun pada hasil akhirnya, penampilannya bisa diubah sepenuhnya dengan CGI (computer-generated imagery).

Tidak sedikit karakter film populer yang terlahir dari teknik motion capture. Salah satu yang paling tenar mungkin adalah Gollum di seri Lord of the Rings, yang diperankan oleh aktor ahli motion capture, Andy Serkis, yang juga merupakan pemeran Caesar di seri Planet of the Apes dan Supreme Leader Snoke di dua film terbaru Star Wars.

Motion capture melibatkan proses yang amat kompleks. Sederhananya, aktor akan berakting selagi mengenakan pakaian yang dipasangi sederet sensor. Yang direkam sejatinya adalah pergerakan sang aktor (lengkap sampai ke perubahan ekspresi wajahnya), sebelum akhirnya diganti dengan CGI dalam tahap pascaproduksi.

Bisa dibayangkan betapa banyak waktu dan tenaga yang dibutuhkan untuk memroses suatu adegan yang diambil menggunakan teknik motion capture. Namun dalam beberapa tahun ke depan, kondisinya bakal berubah drastis, terutama berkat inovasi terbaru hasil kolaborasi antara beberapa nama besar di industri gaming: Epic Games, Tencent, Vicon, Cubic Motion dan 3Lateral.

Proyek yang mereka kerjakan diberi nama Siren. Dipamerkan di GDC 2018, Siren pada dasarnya merupakan suatu karakter virtual yang diciptakan dengan teknik motion capture, hanya saja prosesnya berlangsung secara instan, alias real-time. Setiap kali sang aktor menggerakkan tangan atau sebatas mengedipkan matanya, karakternya juga akan tampak melakukan hal yang sama persis.

Karakternya sendiri di-render menggunakan Unreal Engine 4 (buatan Epic Games) secara real-time dalam kecepatan 60 fps, sehingga semuanya tampak mulus, dengan jeda nyaris tak terlihat. Unreal Engine 4 juga memungkinkan tingkat detail yang menakjubkan pada karakter virtual-nya (coba lihat bulu matanya), yang dimodel berdasarkan aktris berdarah Tiongkok, Bingjie Jiang.

Teknologi di balik Siren sejatinya sudah dikembangkan sejak lama, dan sempat digunakan pada lakon utama game indie fenomenal Hellblade. Selain Unreal Engine 4, komponen yang membentuk Siren mencakup teknologi computer vision rancangan Cubic Motion, yang sanggup membaca lebih dari 200 bagian wajah dalam kecepatan 90 fps, lalu memetakan datanya ke sang karakter virtual secara otomatis dan real-time.

Melengkapi kontribusi Cubic Motion adalah teknologi facial rigging besutan 3Lateral, sedangkan pergerakan tubuh sang karakternya sendiri berasal dari sistem motion capture rancangan Vicon. Semua komponen ini bekerja bersama-sama menciptakan animasi yang begitu realistis, dan yang terpenting, tanpa melalui proses pascaproduksi yang kompleks.

Teknologi live motion capture ini nantinya bakal ditawarkan ke industri perfilman sekaligus gaming. Meski belum ada jadwal resmi yang diungkap, petinggi Cubic Motion, Andy Wood, sempat bilang bahwa teknologi ini bakal tersedia secara universal di tahun 2020 mendatang.

Potensi penerapan teknologi ini jelas amat luas, tapi di saat yang sama juga bisa disalahgunakan. Yang paling meresahkan, seperti yang dibayangkan Engadget, mungkin adalah ketika teknologi ini dipakai untuk menciptakan berita bohong (hoax), di mana beredar video sosok terkenal yang mengatakan hal yang tidak semestinya, meski padahal sosok tersebut merupakan rekreasi digital memanfaatkan teknologi ini.

Setidaknya dalam waktu dekat ini, membedakan orang asli dan karakter virtual-nya masih gampang, tapi coba bayangkan kalau nanti Unreal Engine 5 dirilis, dan hasil render-nya bahkan lebih mendekati lagi dengan aslinya. Bukan berarti kita harus bersikap pesimis terhadap inovasi seperti ini, tapi setidaknya kita harus siap mengantisipasi potensi penyalahgunaan yang ada di masa yang akan datang.

Sumber: VentureBeat dan Engadget.

Amazon GameOn Permudah Developer Sisipkan Elemen Kompetitif pada Game-nya

Berkat popularitas Mobile Legends dan Arena of Valor, dewasa ini kita sudah cukup terbiasa dengan elemen kompetitif dalam game. Syukur-syukur bisa sukses dan meniti karier di dunia esport profesional. Kalau tidak, memenangkan turnamen gaming amatir begitu saja sebenarnya sudah cukup memuaskan kok.

Kabar baiknya, kita para pemain tidak perlu menunggu suatu publisher besar mengadakan kompetisi untuk game keluarannya. Developer indie pun sebenarnya juga bisa mengadakan turnamen ala event esport untuk game buatannya dengan bantuan layanan terbaru dari Amazon yang bernama GameOn.

Amazon GameOn dirancang untuk memudahkan developer dalam menyisipkan elemen kompetitif ke dalam game. Tujuannya supaya developer bisa lebih berfokus pada pengembangan game ketimbang dipusingkan dengan ‘printilan‘ yang membentuk elemen kompetitifnya. Layanan ini bersifat lintas platform, bisa digunakan bersama game PC, console ataupun mobile.

Amazon GameOn

Yang namanya turnamen/kompetisi/lomba pasti ada hadiahnya, dan di sini Amazon juga ingin membantu. Developer bisa menyiapkan hadiah berupa item dalam game, atau bisa juga hadiah fisik yang disediakan langsung oleh Amazon, macam smart speaker Echo Dot misalnya – sayang untuk sekarang hadiah fisik ini baru bisa diterapkan di Amerika Serikat saja.

Satu hal yang pasti, hadiahnya tidak boleh berupa uang, sebab Amazon tidak mau ini semua menjurus ke arah perjudian. Meski baru diumumkan di ajang Game Developers Conference, sejauh ini sebenarnya sudah ada cukup banyak developer yang memanfaatkan GameOn, dan genre game-nya pun cukup bervariasi.

Sebagai pemain, kita hanya perlu menunggu developer menerapkannya pada game buatannya masing-masing. Jumlahnya bisa dipastikan banyak, mengingat Amazon menawarkan GameOn secara cuma-cuma sampai 1 Mei 2018. Lewat tanggal itu, developer akan ditarik biaya $0,003 per permainan (match/play) kalau sudah mencapai 35.000 permainan dalam sebulan.

Sumber: VentureBeat.

Fitur Live Streaming Facebook Kini Bisa Diintegrasikan ke Semua Game

Berawal dari integrasi fitur live streaming-nya pada gamegame besutan Blizzard, Facebook rupanya punya visi yang cukup besar di industri gaming. Dalam ajang Game Developers Conference (GDC) yang sedang dihelat di kota San Francisco, media sosial terbesar sejagat itu mengumumkan SDK (software development kit) baru khusus untuk para game developer.

Facebook Games SDK sederhananya bakal membantu para pengembang untuk memaksimalkan platform Facebook pada karyanya masing-masing. Yang paling utama tentu saja adalah lewat integrasi fitur live streaming, di mana pemain bisa langsung menyiarkan sesi bermainnya ke Facebook tanpa bantuan software tambahan.

Seperti yang bisa Anda lihat pada gambar di atas, fitur live streaming ini bisa diaktifkan dengan cara semudah menekan tombol shortcut saja. Bukan cuma untuk game PC, integrasi yang sama nantinya juga dapat diimplementasikan pada game mobile.

Facebook tidak lupa memikirkan cara agar para streamer bisa menarik perhatian lebih banyak penonton. Developer nantinya bisa memberikan hadiah berupa item dalam game kepada mereka yang menonton suatu sesi live streaming.

Sistem in-game reward sudah diterapkan dalam turnamen game Paladins / Facebook
Sistem in-game reward sudah diterapkan dalam turnamen game Paladins / Facebook

Insentif seperti ini semestinya bisa mengundang ketertarikan lebih banyak penonton, dan ini telah dibuktikan oleh Hi-Rez Studios selaku pengembang Paladins. Selama kompetisi Paladins Global Series berlangsung, mereka melihat peningkatan engagement dan reaksi positif dari para penonton berkat adanya fitur in-game reward semacam ini.

Ketika penontonnya bertambah banyak, otomatis sang streamer akan lebih termotivasi untuk terus membuat konten. Hasil akhirnya, terbentuk suatu komunitas yang cukup aktif, dan inilah yang diharapkan Facebook bisa menjadi nilai jual SDK-nya di mata para pengembang game.

Juga menarik adalah bagaimana elemen sosial suatu game dapat diamplifikasi oleh Facebook. Semisal Anda rutin bermain PlayerUnknown’s Battlegrounds (PUBG), Anda dapat mencari para pemain lain dari daftar teman atau Facebook Group yang Anda ikuti. Matchmaking berdasarkan Facebook Group pun juga dimungkinkan.

Facebook Games SDK memang hanya ditujukan buat para developer, akan tetapi dampaknya cukup besar bagi kita para pemain. Semoga saja ada banyak developer yang akan menerapkannya dalam waktu dekat.

Sumber: PCGamesN dan Facebook.

Dibanderol $699, Nvidia GeForce GTX 1080 Ti Lebih Ngebut dari Titan X Pascal

Hingga kemarin, Titan X Pascal adalah kartu grafis paling kencang yang pernah Nvidia buat. Tipikal Nvidia, titel tersebut tidak bertahan lama. Namun yang menarik adalah, yang sanggup merebutnya bukan dari keluarga Titan, melainkan GTX 1080 Ti.

Diperkenalkan di event Game Developers Conference 2017, Nvidia GeForce GTX 1080 Ti adalah GPU untuk gaming tercepat dari kubu hijau saat ini. Dan seperti yang saya sebutkan, bahkan lebih cepat dari Titan X Pascal yang notabene dihargai $1.200.

Spesifikasinya sendiri sebenarnya mirip dengan Titan X Pascal, mencakup 3.584 CUDA core, dengan total sekitar 12 miliar transistor yang ditanamkan. Memory-nya menggunakan GDDR5X berkapasitas 11 GB, namun clock-nya seakan kesetanan di angka 11 Gbps, dan inilah yang membuatnya bisa sedikit lebih ngebut dari Titan X Pascal.

GTX 1080 Ti dibekali memory 11 GB dengan clock secepat 11 Gbps / Nvidia
GTX 1080 Ti dibekali memory 11 GB dengan clock secepat 11 Gbps / Nvidia00

Pada prakteknya, GTX 1080 Ti sanggup menyuguhkan performa 35 persen lebih cepat dibanding GTX 1080, atau malah 78 persen jika dibandingkan dengan GTX 1070. Seperti yang kita tahu, Titan X Pascal sendiri lebih cepat 24 persen dari GTX 1080. Bedanya tipis memang, akan tetapi GTX 1080 Ti dijual dengan harga hampir separuhnya.

Varian “Ti” sejatinya telah menjadi favorit konsumen selama beberapa tahun, dan GTX 1080 Ti terus mempertahankan tradisi tersebut. Nvidia rencananya akan mulai memasarkannya bersama mitra-mitranya mulai 10 Maret mendatang, dengan harga mulai $699 – saya harap Anda tidak membeli GTX 1080 baru kemarin.

Sumber: Nvidia.

Twitch Bakal Saingi Steam dalam Berdagang Video Game

Event Game Developers Conference baru saja dimulai di kota San Fransisco, dan sudah ada pengumuman yang cukup mengejutkan dari Twitch. Platform live streaming game tersebut punya rencana untuk berjualan video game, atau dengan kata lain, menjadi pesaing Steam.

Lewat inisiatif ini, Twitch sejatinya ingin menjadi tempat dimana semua keperluan terkait gaming kita bisa terpenuhi. Sekarang ini kita sudah bisa menonton, berbagi maupun bermain game di Twitch, akan tetapi untuk membeli game-nya, kita masih harus mangkir ke Steam, Origin, Uplay dan yang lain.

Semua itu akan berubah mulai musim semi nanti, dimana kita dapat langsung membeli game maupun konten in-game tanpa harus meninggalkan Twitch sama sekali. Tombol “Buy” ini nantinya akan muncul tepat di bawah video yang sedang ditonton, seperti yang bisa dilihat pada gambar di bawah.

Mock-up tampilan tombol "Buy" pada Twitch nanti / Twitch
Mock-up tampilan tombol “Buy” pada Twitch nanti / Twitch

Untuk menarik minat para pengguna, Twitch akan memberikan hadiah berupa Twitch Crate untuk setiap pembelian di atas $5. Twitch Crate ini pada dasarnya merupakan sebuah kotak kejutan digital yang berisi sejumlah bonus acak seperti emote eksklusif, chat badge atau Bits.

Lebih lanjut, konsumen yang membeli game lewat Twitch secara tak langsung dapat berkontribusi kepada broadcaster favoritnya. Pasalnya, para broadcaster ini bakal menerima 5% dari total nilai penjualan game yang berasal dari channel mereka. Di lain tempat, developer akan menerima 70%, dan sisanya masuk ke kas Twitch.

Twitch memastikan bahwa saat program baru ini mulai dijalankan pada musim semi nanti, akan ada lusinan game yang bisa dibeli; baik yang keluaran developer kelas kakap seperti Ubisoft, TellTale Games, Hi-Rez Studios, Paradox Interactive, maupun garapan para indie developer. Selanjutnya, game dapat diunduh sekaligus dimainkan via Twitch Launcher maupun client lain seperti Uplay.

Sumber: Business Wire dan Twitch Blog.

Vive Tracker Ubah Objek Sehari-hari Menjadi Controller VR

Banyak pihak setuju kalau sistem tracking HTC Vive lebih superior ketimbang Oculus Rift, dan HTC sepertinya ingin terus memimpin dalam bidang ini. Dalam dua event sekaligus, yakni MWC dan GDC (Game Developers Conference) 2017, HTC secara resmi meluncurkan sebuah perangkat inovatif bernama Vive Tracker.

Premis yang ditawarkan Vive Tracker adalah Anda bisa memanfaatkan objek sehari-hari sebagai controller VR. Mau itu tongkat baseball, panci atau sarung tangan, selama objek bisa ditempeli Vive Tracker, Anda bisa menggunakannya sebagai controller VR. Singkat cerita, potensi pengaplikasian Vive Tracker begitu luas.

Hal ini turut dibuktikan oleh developer game CloudGate Studio. Dalam game berjudul Island 359 yang mereka kembangkan, mereka berhasil menyuguhkan kontrol pergerakan yang melibatkan satu tubuh secara menyeluruh berkat Vive Tracker. Alhasil, pemain dapat melihat tubuh sekaligus pergerakannya di dalam game secara akurat.

HTC berencana untuk memasarkan Vive Tracker dalam dua tahap. Tahap pertama, dimulai pada 27 Maret mendatang, ditujukan buat kaum developer yang tertarik mengembangkan konten untuk Vive. Tahap kedua adalah penjualan langsung ke konsumen, namun jadwal pastinya di tahun ini masih belum ditetapkan. Harganya sendiri dipatok $100 per unit.

Vive Deluxe Audio Strap / HTC

Selain Vive Tracker, HTC juga merilis Vive Deluxe Audio Strap. Perangkat ini sederhananya merupakan headphone yang dirancang dengan memperhatikan integrasinya dengan headset Vive. HTC sepertinya banyak belajar dari Oculus yang dari awal sudah membundel aksesori semacam ini dengan headset Rift.

HTC akan membuka pre-order untuk Vive Deluxe Audio Strap mulai 2 Mei, dengan harga juga $100.

Sumber: PR Newswire dan Vive.