Tag Archives: GDP Labs

On Lee dari GDP Membahas Potensi AI dalam Industri Teknologi Tanah Air

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Menghabiskan hampir lebih dari tiga puluh tahun di negeri orang, CEO & CTO GDP Labs juga sebagai CTO GDP Venture, On Lee akhirnya kembali ke Indonesia pada tahun 2011. Dalam kurun waktu 10 tahun, ia berhasil mengembangkan GDP Venture dan membangun GDP Labs dari awal berbekal pengalaman matang hasil merantau. Selain itu, ia sebelumnya menjabat sebagai CEO & CTO Kaskus, forum komunitas online Indonesia terbesar di Indonesia.

Dengan lebih dari 30 tahun pengalaman dalam dunia internet, seluler, AI, Blockchain, Semantic Web, Knowledge Graph, pengembangan perangkat lunak konsumen dan perusahaan, ia telah memegang berbagai posisi manajemen dan teknis sebagai salah satu pendiri, CEO, CTO, Wakil Presiden Eksekutif Teknik, dan teknisi di perusahaan startup dan Fortune 500 di AS.

On Lee sangat tertarik dengan inovasi Artificial Intelligence. Beliau sempat mengampu jurusan teknik elektro sebelum akhirnya beralih jurusan ke ilmu komputer. Keyakinannya pada industri teknologi Indonesia dan teknisi lokal telah memberinya inspirasi untuk mendirikan GDP Labs. Dari tahun 2012 hingga saat ini, GDP Labs telah mempekerjakan 160 orang [kebanyakan insinyur] di lima kota di Indonesia, Jakarta, Bandung, Bali, Yogyakarta, dan Surabaya.

Melalui GDP Venture, sebagai venture builder, dengan fokus pada komunitas digital, media, perdagangan, dan perusahaan solusi di industri internet konsumen Indonesia. Mereka telah berinvestasi di lebih dari 50 portofolio dan masih terus bertambah. Selain itu, ia telah membangun tim untuk memulai produk baru yang strategis di perusahaan rintisan dan perusahaan besar di AS, Indonesia, Cina, dan India.

DailySocial berhasil mendapat waktu beliau untuk berbagi cerita penuh wawasan sepanjang perjalanan entrepreneurship-nya.

Sebagai CTO GDP Ventures, juga CEO & CTO GDP Labs, menurut Anda apakah industri teknologi Indonesia berpotensi untuk membangun pusat global untuk teknologi tinggi dan inovasi atau menjadi sebuah hub?

Pastinya. Teknologi digital dan AI mewakili peluang emas bagi Indonesia, dengan populasi yang relatif muda dan bersemangat lebih dari 260 juta orang. Negara ini menawarkan usia rata-rata produktif 30 tahun dan tingkat literasi 95 persen. Ekosistem start-up digital Indonesia sudah prima dan siap mengikuti jejak negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, Taiwan, Korea, dan China yang telah berhasil mentransformasi negaranya melalui teknologi. Mereka telah secara signifikan meningkatkan keterampilan individu, standar hidup, dan produktivitas serta telah diakui sebagai pemain global utama di dunia. Pemerintah Indonesia memiliki banyak inisiatif teknologi; kebanyakan universitas menawarkan kelas ilmu komputer; dan investor lokal dan asing berinvestasi besar-besaran dalam ekonomi digital, dan semua hal ini meningkat selama pandemi.

Setelah sekian lama merantau, hampir tiga puluh tahun menggali ilmu di negeri Paman Sam. Apa yang mendorong Anda kembali ke Indonesia dan memulai GDP Labs? Apa yang menjadi mimpi Anda?

Saya kembali ke Indonesia karena alasan keluarga. Orang tua kami semakin tua, dan kami perlu merawat mereka.

Saya kemudian menemukan banyak talenta teknisi perangkat lunak yang hebat tetapi masih mentah di Indonesia. Banyak dari mereka tidak memiliki kesempatan untuk menerima pelatihan yang tepat, bimbingan, dll. Pak Martin Hartono, CEO di GDP Venture, dan saya membina beberapa pemimpin muda yang paling cemerlang dan paling menjanjikan yang akan menjadi ahli teknologi dan berpengetahuan luas dalam bisnis dan kepemimpinan di GDP Labs. Upaya kami menunjukkan hasil awal yang menjanjikan.

On Lee at GDP Labs Team Building 2018 with Martin Hartono
On Lee dalam acara GDP Labs Team Building 2018 bersama Martin Hartono

Kapan pertama kali Anda mengecap industri teknologi? Apakah hal ini memang menjadi passion Anda?

Awalnya saya mengambil jurusan teknik elektro, sebelum kemudian beralih ke jurusan ilmu komputer dengan minor dalam matematika.

Salah satu hobi saya adalah bermain catur. Dulu saya sempat menjadi pemain catur profesional. Saya tertarik pada ilmu komputer, matematika, dan catur karena keduanya memiliki dua kesamaan: logika dan pemecahan masalah. Hal ini membantu meningkatkan hidup saya secara pribadi dan profesional.

on lee 9
On Lee sedang bermain catur secara simultan dengan 2 orang teknisinya

Saya sempat membaca beberapa artikel Anda terkait Artificial Intelligence (AI). Apa yang menjadi alasan Anda percaya bahwa teknologi dapat menjadi solusi bagi seluruh masalah di dunia?

McKinsey memprediksi AI memiliki potensi untuk menambah aktivitas ekonomi global sekitar USD13 triliun pada tahun 2030. Betul sekali, besarnya USD13 triliun. Beberapa ahli mengatakan bahwa AI sama pentingnya dengan penemuan api dan listrik. Meskipun itu mungkin tampak berlebihan, intinya adalah bahwa AI akan menjadi salah satu teknologi terpenting yang pernah ditemukan manusia, meninggalkan dampak pada masyarakat dan bisnis dengan cara yang sangat mendalam. Kemungkinan besar akan memiliki kelasnya sendiri. Hal ini akan menjadi bagian dari kehidupan pribadi kita, di hampir semua industri. AI akan membantu mempercepat pemulihan dan pertumbuhan ekonomi global serta memposisikan Indonesia dengan baik untuk masa depan dunia baru di hadapan kita.

2020 bukanlah situasi yang ideal bagi semua orang, namun apakah Anda yakin bahwa industri teknologi tanah air berperan penting dalam pemulihan kondisi negara ini?

Tahun 2020 menjadi sulit bagi semua orang karena pandemi yang menyebabkan kebangkrutan, pengangguran, dan masalah sosial. Selain mengurangi biaya, meningkatkan produktivitas dan kenyamanan, teknologi akan membantu kita menjadi lebih aman dan sehat. Hal ini akan turut membantu mempercepat pemulihan ekonomi.

Bagaimana dengan GDP Venture dan GDP Labs sendiri? Apakah situasi ini mempengaruhi kinerja perusahaan secara signifikan?

Tentunya, tidak ada yang kebal. Kami telah meminta perusahaan kami untuk merevisi rencana tahun 2020 mereka tentang bagaimana bertahan dalam jangka pendek dan berkembang dalam jangka panjang. Pandemi ini bisa diibaratkan seperti kaca pembesar dan akselerator. Ia menyoroti apa yang telah Anda lakukan dengan benar tetapi juga apa yang telah Anda lakukan salah. Kami telah memilih untuk mempercepat beberapa inisiatif. Singkatnya, kami mencoba beradaptasi.

Dalam hal investasi, apakah menurut Anda Indonesia sudah memiliki iklim yang bagus untuk industri teknologinya? Apakah Anda melihat perubahan pada lanskap investasi sebelum dan sesudah pandemi?

Iya. Kami mendapat dukungan pemerintah yang cukup baik. Universitas menghasilkan banyak teknisi perangkat lunak setiap tahunnya, dan terdapat hampir 200 juta pengguna Internet di Indonesia, pengusaha, investor lokal dan asing.

Pandemi adalah salah satu bentuk peringatan yang baik. Startup fokus pada apa yang paling penting untuk bertahan dan berkembang, penilaian dan ekspektasi perusahaan menjadi lebih realistis. Ini adalah pengalaman yang mengajarkan banyak hal.

Beberapa portofolio GDP

Sebagai serial entrepreneur dengan pengalaman lebih dari 30 tahun dalam dunia teknologi, Anda pasti pernah ditempatkan dalam situasi yang sulit sebelumnya. Apakah Anda berkenan berbagi kisah jatuh bangun membangun perusahaan? Serta bagaimana Anda berhasil melewati masa-masa sulit itu?

Benar. Waktu dan keberuntungan memainkan peran besar dalam keberhasilan atau kegagalan perusahaan mapan dan startup. Salah satu perusahaan rintisan tempat saya bekerja berada di jalur yang tepat untuk mencapai valuasi miliaran dolar di Silicon Valley. Sayangnya, resesi 2008 melanda AS serta perkara hutang teknis. Perusahaan itu dijual dengan harga lebih rendah dari ekspektasi kami meskipun kami masih mendapat untung.

Apakah Anda memiliki sosok panutan (mentor) untuk melewati masa-masa sulit? Mungkin semacam support system.

Pastinya. Saya beruntung mendapat bantuan dari banyak orang – teman, keluarga, pembimbing, rekan kerja, guru, dan bahkan orang asing.

Setiap orang akan memiliki titik terendah dalam hidup mereka. Mereka membutuhkan support system untuk melewati kesulitan. Saya belum melihat ada orang yang berhasil melakukannya sendiri.

Siapa yang menginspirasi Anda hingga seperti saat ini? Apakah Anda masih punya mimpi yang belum tercapai?

Banyak orang – ahli teknologi, ilmuwan, olahragawan, seniman – menginspirasi saya. Mereka memiliki karakteristik sebagai berikut: mereka terus-menerus belajar untuk dapat memiliki pengetahuan yang lebih luas dalam kepemimpinan, bisnis, dan pemimpin dalam domain masing-masing.

Saya percaya, adalah hal yang penting untuk membantu generasi muda karena banyak orang membantu dan memberi saya kesempatan ketika saya masih muda dan belum berpengalaman. Ada begitu banyak peluang untuk mendisrupsi banyak bidang dengan menggunakan teknologi, sementara beberapa perusahaan mapan masih menggunakan teknologi abad ke-20. Tetaplah sehat.

Apa yang ingin Anda sampaikan pada para tech enthusiast yang masih berjuang menapaki jalan menuju industri namun terhadang oleh pandemi?

Kejelasan. Kepercayaan. Keyakinan. Memiliki kejelasan tentang apa yang ingin Anda lakukan. Jalankan dengan kepercayaan dan keyakinan tanpa henti. Ada peluang tersembunyi selama pandemi.

Artificial Intelligence disebut akan menggantikan pekerjaan manusia. Sebagai seorang individu, pernahkah Anda memikirkan tentang skenario terburuk yang bisa diakibatkan oleh teknologi ini?

AI akan menggantikan beberapa pekerjaan yang ada. Tapi, itu juga akan menciptakan jenis pekerjaan baru; lebih dari itu menghilangkan. Mari kita lihat dua skenario berikut.

Pertama, industri mobil menggantikan industri kuda. Ada lebih dari 1,4 miliar mobil dan hanya ada 58 juta kuda di dunia sekarang. Industri mobil – produksi, layanan, mobilitas yang baru ditemukan, dll. – telah menciptakan lebih banyak pekerjaan daripada yang dihilangkan dari industri kuda.

Kedua, ada perusahaan yang mengimplementasikan robot bertenaga AI di gudang mereka. Banyak karyawan yang khawatir akan kehilangan pekerjaan. Ternyata perusahaan mempekerjakan lebih banyak orang karena robot. Ini mungkin tampak kontra-intuitif. Mengapa? Karena robot efisien dan bekerja 24 jam sehari sehingga menghasilkan lebih banyak; manusia menjadi penghambat dan lebih banyak manusia perlu disewa untuk mengimbangi robot. Meskipun robot dapat melakukan tugas tertentu, mereka tidak dapat melakukan segala hal.

Manusia akan bebas melakukan pekerjaan yang lebih kreatif, sementara teknologi dan AI menangani pekerjaan mekanis. Selain itu, teknologi dan AI membebaskan sebagian waktu umat manusia sehingga kita dapat menghabiskan waktu kita dengan orang lain.

Singkatnya, AI meningkatkan kreativitas manusia dan pada akhirnya menjadikan kita lebih manusiawi.


Artikel asli dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

On Lee has over 30 years of experience in tech. He has built teams in the U.S., Indonesia, China, and India and is a board member of several AI startups

GDP’s On Lee Talks about The Potential of AI in Indonesian Tech Industry

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

Spending almost over thirty years outside the nation, the CEO & CTO of GDP Labs and CTO of GDP Venture, On Lee finally returned to Indonesia in 2011. In the span of 10 years, he managed to grow GDP Venture and build GDP Labs from scratch, based on the best practice he learned from overseas. Meanwhile, he previously served as the CEO & CTO of Kaskus, the largest Indonesian online community forum in Indonesia.

With over 30 years of experience in internet, mobile, AI, Blockchain, Semantic Web, Knowledge Graph, consumer and enterprise software development, he has held various management and technical positions as a co-founder, CEO, CTO, Executive VP of Engineering, and engineer in both startup and Fortune 500 companies in the US.

On Lee has quite an interest in Artificial Intelligence innovation. He was doing electrical engineering before eventually shifting major into computer science. His belief in the Indonesian tech industry and local engineers has brought him the inspiration for GDP Labs. From 2012 to date, GDP has employed 160 people [mostly engineers] in five cities in Indonesia, Jakarta, Bandung, Bali, Yogyakarta, and Surabaya.

Through GDP Venture, as a venture builder, focusing on digital communities, media, commerce, and solution companies in the Indonesian consumer internet industry. They have invested in over 50 portfolios and still counting. Additionally, he has built teams to start strategic new products in startups and large companies in the US, Indonesia, China, and India.

DailySocial managed to convince him to share some insightful stories along his entrepreneurial journey.

As the CTO of GDP Ventures, also the CEO & CTO of GDP Labs, do you think the Indonesian tech industry has the potential to develop the global center for high technology and innovation or become a tech hub?

Definitely. Digital technology and AI represent a golden opportunity for Indonesia, with a relatively young and vibrant population of over 260 million people. The country boasts a median age of 30 and a literacy rate of 95 percent. Indonesian digital start-ups are primed and ready to follow in the footsteps of other Asian countries such as Japan, India, Taiwan, Korea, and China, which have been successful in transforming their countries through technology. They have significantly improved people’s skills, the standard of living, and productivity and have been recognized as key global players in the world. The Indonesian government has multiple technology initiatives; most universities offer computer science classes; and local and foreign investors are investing heavily in the digital economy, and this has only accelerated during the pandemic.

You’ve been away for almost thirty years, growing knowledge in the U.S. What drives you back to Indonesia and finally started GDP Labs? What was your dream?

I returned to Indonesia due to family reasons. Our parents were getting old, and we needed to take care of them.

I then discovered many great but raw software engineering talents distributed in Indonesia. Many of them did not have the opportunity to receive the right training, mentoring, etc. Mr. Martin Hartono, CEO at GDP Venture, and I are nurturing some of the brightest and most promising young leaders who would become technology savvy and well-rounded in business and leadership at GDP Labs. Our efforts show promising early results.

On Lee at GDP Labs Team Building 2018 with Martin Hartono
On Lee at GDP Labs Team Building 2018 with Martin Hartono

When was the first time you encountered the tech industry? Does technology always been your passion?

I originally majored in electrical engineering. I then switched to a computer science major with a minor in mathematics.

One of my hobbies is playing chess. I used to be a professional chess player. I am interested in computer science, mathematics, and chess because they have two things in common: logic and problem-solving. They helped improve my life personally and professionally.

on lee 9
On Lee was playing chess simultaneously with 2 of his engineers

I read some of your articles about Artificial Intelligence (AI). What makes you believe in the first place that this technology can be a key solution for most problems in the world?

McKinsey predicts AI has the potential to deliver additional global economic activity of around USD 13 trillion by 2030. Yes, that’s USD 13 trillion. Some experts have said that AI is as important as the discovery of fire and electricity. Although that may seem like an exaggeration, the point is that AI is going to be one of the most important technologies humanity will ever invent, leaving an impact on society and business in a deeply profound way. It will likely be in a class by itself. It is going to be part of our personal lives, across virtually all industries. AI will help accelerate the global economy’s recovery and growth and position Indonesia well for the future of a new world before us.

2020 is not an ideal situation for everyone, do you believe our tech industry can play a big part in our country’s recovery?

2020 has been hard for everyone due to the pandemic which leads to bankruptcies, unemployment, and social issues. In addition to reducing costs, increasing productivity and convenience, technology will help us be safer and healthier. This will help to lead economic recovery faster.

Many companies and governments are accelerating their digital transformation using cloud computing, mobile computing, and AI during the pandemic.

How about GDP Venture and GDP Labs, does this pandemic situation affect the company in a significant way?

Yes, no one is immune. We have asked our companies to revise their 2020 plan on how to survive in the short term and thrive in the long term. Pandemic is like a magnifying glass and accelerator. It highlights what you have been doing right but also what you have been doing wrong. We have chosen to accelerate some initiatives. In short, we needed to adapt.

In terms of investment, do you think Indonesia has provided a good investment climate for its tech industry? Do you see any significant change in the tech investment scene before and after the pandemic?

Yes. We get good government support. Universities produce many software engineers annually, and almost 200 million Internet users in Indonesia, entrepreneurs, local and foreign investors.

The pandemic is a good wake up call. Startups focus on what matters most to survive and thrive, company valuations and expectations become more realistic. It is a humbling experience.

Some of GDP Venture’s portfolios

As a serial entrepreneur with over 30 years of experience in technology, I believe you’ve been put in a bad situation before. Are you willing to share some of the hardships in building a venture? And how you come up with a solution amid the pressure?

Yes. Timing and luck play a big part in both established companies’ and startups’ success or failure. One of the startups that I worked at was on track to hit a billion-dollar valuation in Silicon Valley. Unfortunately, the 2008 recession hit the US and technical debts. The company was sold for lower than our expectations even though we still made some profit.

Do you have certain figures(mentors) to help you through the hard days? Some kind of support system?

Definitely. I was fortunate to get help from many people — friends, family, mentors, colleagues, teachers, and even strangers.

Everyone will have low points in their lives. They need a support system to go through hardship. I haven’t seen anyone successful by doing it alone.

Who inspired you to be the person you are now? Do you have goals you’re yet to achieve?

Many people — technologists, scientists, sportspeople, artists — inspired me. They have the following characteristics: they were constantly learning to be well-rounded in leadership, business, and master in their domain.

I believe it’s important to help young people because many people helped and gave me opportunities when I was young and inexperienced. There are so many opportunities to disrupt many areas using technology, while some established companies are still using 20th-century technology. Stay healthy.

What will you say to those tech enthusiasts struggling to pave their paths into the industry yet stumble upon the current pandemic situation?

Clarity. Confidence. Conviction. Have clarity on what you want to do. Execute on it with confidence and conviction relentlessly. There are hidden opportunities during the pandemic.

Artificial Intelligence (AI) is said to replace a human’s job. As a human, has it ever occurred to you that there’s the worst scenario that can result from this technology?

AI will replace some existing jobs. But, it will also create new types of jobs; more than it eliminates. Let’s look at the following two scenarios.

First, the car industry replaced the horse industry. There are over 1.4 billion cars and there are only 58 million horses in the world now. The car industry – production, services, newfound mobility, etc. – has created more jobs than it eliminated from the horse industry.

Second, there was a company implementing AI-powered robots in their warehouses. Many employees were worried they would lose their jobs. It turned out that the company hired more people due to robots. This may seem counter-intuitive. Why? Because robots are efficient and work 24 hours a day so they produce more; humans became the bottleneck and more humans needed to be hired to keep up with the robot. Although robots could do certain tasks, they couldn’t do anything.

Humans will be free to do more creative work while technology and AI take care of mechanical work. Also, technology and AI free up some of humanity’s time so we could spend our time with other people.

In short, AI augments humans’ creativity and ultimately makes us more human.

Pendanaan Prosa.ai

Prosa.ai Dapatkan Pendanaan Seri A dari GDP Venture

Prosa.ai startup pengembang platform artificial intelligence (AI) untuk teknologi pemrosesan teks (NLP – Natural Language Processing) dan pengenalan suara dalam Bahasa Indonesia, hari ini (20/6) mengumumkan perolehan pendanaan seri A yang dipimpin oleh GDP Venture. Tidak disebutkan nominal dana diterima. Investasi tersebut melanjutkan pendanaan awal yang diterima tahun lalu dari Kaskus (juga merupakan portofolio GDP Venture)

“Walaupun jumlah talent AI terbatas termasuk di Indonesia, tetapi para pendiri Prosa.ai menunjukkan bahwa Indonesia mampu untuk mengembangkan teknologi AI dan Prosa.ai pun telah menunjukkan progress yang sangat baik dalam waktu singkat,” sambut CEO GDP Venture Martin Hartono.

Ia juga mengatakan, AI merupakan teknologi yang sedang berkembang dan sangat dibutuhkan untuk menunjang berbagai industri. Sehingga berinvestasi pada teknologi AI merupakan langkah strategis bagi perusahaannya dan diharapkan dapat berpartisipasi dalam kemajuan teknologi di Indonesia.

Prosa.ai didirikan sejak tahun 2018, berawal dari hasil riset para co-founder yakni Ayu Purwarianti, Dessi Puji Lestari dan Teguh Eko Budiarto. Belum lama ini, Prosa.ai bekerja sama dengan Kominfo meluncurkan Chatbot AntiHoaks yang berfungsi untuk mengecek berita, artikel atau tautan yang diberikan oleh masyarakat melalui fitur chat.

“Pendanaan yang kami dapatkan akan kami gunakan untuk memperkuat tim kami, meningkatkan kualitas produk dan data kami menjadi lebih baik lagi. Beberapa produk yang akan kami tingkatkan lagi kualitasnya, seperti Prosa Hoax Intel, NLP Toolkit API, Concept-Sentiment, Chatbot NLP Processing, Text Data Sets, Voice Biometrics, Speech Datasets, Speech-to-Text, Text-to-Speech, Conversational Analytics and Meeting Analytics for Bahasa Indonesia,” ungkap CEO Prosa.ai Teguh Eko Budiarto.

On Lee selaku CTO GDP Venture dan CEO & CTO GDP Labs yang merupakan salah satu Board Directors dari Prosa.ai mengatakan, “GDP Venture sangat senang diberi kesempatan untuk mendanai Prosa.ai karena perusahaan ini merupakan salah satu perusahaan AI terbaik di Indonesia yang didirikan oleh founders yang kredibel dan mempunyai pengalaman dibidang AI dibarengi dengan tim yang solid dan teknologi yang andal.”

Mendalami perkembangan teknologi kecerdasan buatan yang ada saat ini, sembari melihat tren investasi yang ada di lanskap bisnis Indonesia.

Menakar Adopsi Teknologi Kecerdasan Buatan di Indonesia

Setelah komputasi awan dan big data, istilah teknologi yang tengah gencar diperbincangkan adalah kecerdasan buatan (artificial intelligence). Definisi paling sederhana dari kecerdasan buatan adalah otomasi komputer untuk mengerjakan berbagai pekerjaan prediktif dan terukur. Pada dasarnya kecerdasan buatan mengeksekusi setiap tugas bermodalkan algoritma dan data yang terhimpun.

Jika kemunculannya berada di belakang komputasi awan dan big data, tampaknya memang seperti itu evolusinya. Diawali dengan komputasi awan yang mampu menyediakan infrastruktur dan platform untuk memenuhi kebutuhan bisnis yang dinamis, dilanjutkan pemrosesan big data dalam pengelolaan aset terpenting bisnis saat ini, yakni data.

Kecerdasan buatan diprogram dalam mesin komputer berperforma tinggi untuk mempelajari tren historis aktivitas, lalu melakukan kalkulasi tindakan. Pada prinsipnya teknologi tersebut memungkinkan komputer untuk belajar, berpikir, dan melakukan aksi secara mandiri.

Perkembangan kecerdasan buatan

Riset PwC menempatkan kecerdasan buatan sebagai “game changer” dengan potensi nilai yang disumbangkan terhadap ekonomi global mencapai $15,7 triliun di tahun 2030 mendatang. Angka tersebut bukan muncul secara tiba-tiba, melainkan didasari pada manfaat yang diberikan teknologi tersebut. Melihat pada aplikasi kecerdasan buatan yang mulai bermunculan saat ini, riset tersebut menyimpulkan dampak baik yang dapat dirasakan langsung dalam produktivitas bisnis.

1

Tidak mustahil jika perkembangan kecerdasan buatan di sektor riil akan lebih cepat. Sejak memasuki tahun 2000-an, riset seputar kecerdasan buatan meningkat hampir 9 kali lipat secara kuantitas publikasi. Bahkan jika melihat penelitian yang terindeks di Scopus, kuantitas publikasi kecerdasan buatan jauh melampaui komputer sains dan publikasi lainnya secara umum sejak tahun 2010-an.

Tiongkok dan Amerika Serikat menjadi penyumbang terbesar penelitian berbasis kecerdasan buatan. Hingga tahun 2015, totalnya lebih dari 15 ribu publikasi dari Tiongkok dan lebih dari 10 ribu publikasi dari Amerika Serikat.

Firma investasi Pitchbook melaporkan pada tahun 2017 terdapat $6 miliar investasi yang digelontorkan melalui pemodal ventura untuk proyek berbasis kecerdasan buatan. Di Amerika Serikat, setidaknya ada 600 startup yang fokus di bidang tersebut pada tahun 2017. Realisasi tersebut menjadi indikasi perkembangan baik. Pasalnya konsep yang sudah diteliti dalam riset mulai dihadirkan dalam solusi yang lebih nyata.

Menurut McKinsey Global Institute, saat ini kecerdasan buatan tengah ada dalam tahap penetrasi awal di Asia Tenggara. Perkembangannya diikuti hampir semua negara di kawasan regional, didalami oleh berbagai sektor bisnis. Di kawasan tersebut, salah sektor yang terpantau paling proaktif dalam menerapkan strategi transformasi digital dengan kecerdasan buatan adalah kesehatan (healthcare) dan keuangan (financial services). Kendatipun potensi terbesar diproyeksikan tetap ada di sektor manufaktur, yakni mencapai $311 miliar.

Kondisi di Indonesia tak jauh berbeda, tengah dalam tahap penetrasi awal. Produk-produk yang dikembangkan rata-rata berbentuk automated intelligence (melakukan otomasi pekerjaan rutin/manual, misalnya membantu pencatatan dengan sistem biometrik), assisted intelligence (membantu orang untuk mengerjakan tugasnya secara lebih cepat, misalnya dalam bentuk chatbot), augmented/autonomous intelligence (membantu orang membuat keputusan dengan lebih baik, berupa sistem rekomendasi).

Dari sudut padang teknologi pendukungnya, kecerdasan buatan hadir dalam beberapa fase. Dimulai tahun 1990-an, riset profesional dan akademik mulai banyak menyoroti sistem, logika, dan algoritma yang kini menjadi landasan kecerdasan buatan. Fase berikutnya ialah kematangan analisis data dengan berbagai metodologi.

Kepintaran membedakan obyek berdasarkan data yang ada melahirkan konsep deep learning, yakni kemampuan komputer untuk mengidentifikasi data dengan format yang lebih beragam hingga mampu menganalisis sentimen tertentu tren data.

Kecerdasan buatan di Indonesia

Perkembangan bisnis teknologi dipengaruhi berbagai aspek, termasuk terkait adopsi teknologi kecerdasan buatan di Indonesia. Mulai dari iklim investasi, regulasi, sumber daya manusia, dan lain-lain. Tahun 2015, pemerintah provinsi DKI Jakarta menganggarkan dana hingga Rp30 miliar untuk menginisiasi kota pintar (smart city). Kala itu tujuan utamanya untuk menghasilkan dasbor informasi terpusat sehingga dapat membantu pemangku kepentingan dalam memutuskan tindakan. Untuk kanal masukan data, pemerintah menyiapkan lebih dari 3000 titik CCTV untuk pemantauan. Melalui aplikasi, mereka turut menghimpun laporan langsung di lapangan oleh masyarakat.

Di tahun yang sama, aplikasi Qlue mulai dikenal masyarakat ibukota. Mereka bermitra langsung dengan pemerintah untuk menghimpun informasi dari warga kota. Didesain dengan pengalaman pengguna mirip aplikasi media sosial, Qlue nyata-nyata bisa meningkatkan partisipasi masyarakat dalam memberikan informasi, seperti soal birokrasi, lingkungan, hingga bencana. Informasi yang masuk terpantau langsung dalam dasbor pemerintah dan ditampilkan dalam grafik yang representatif sehingga mudah dibaca.

Dasbor Jakarta Smart City / DailySocial
Dasbor Jakarta Smart City / DailySocial

Tahun 2017, Qlue mulai menggandeng startup Nodeflux yang fokus pada solusi pengenalan obyek yang ditangkap CCTV sehingga memungkinkan proses pendataan di solusi kota pintar lebih otomatis. Hal ini berimplikasi pada analisis data yang lebih real time. Di tahap ini, semakin banyak teknologi kecerdasan buatan yang diaplikasikan. Tidak hanya sekadar analisis data, namun pemrosesan computer vision untuk deteksi obyek.

Di tahun 2015 juga hadir sebuah startup yang mencoba menginisiasi platform berbasis kecerdasan buatan. Kala itu namanya masih YesBoss, sebelum akhirnya berubah menjadi Kata.ai. Awalnya mereka menghadirkan asisten virtual untuk memenuhi kebutuhan orang secara pribadi, termasuk membantu reservasi hotel hingga memesan makanan. Dengan brand Kata.ai, kini mereka fokus menyajikan platform asisten virtual berupa chatbot untuk bisnis.

Kini banyak perusahaan besar di berbagai sektor berbondong-bondong memulai inisiatif chatbot untuk membuat proses pelayanan pelanggan menjadi lebih efisien. Salah satunya adalah Vira, chatbot layanan pelanggan milik BCA. Hadir di bulan Februari 2017, Vira melayani pelanggan untuk memberikan info promo, lokasi ATM, pendaftaran kartu kredit, hingga pengecekan transaksi perbankan. Vira dapat diakses melalui platform Messenger, Kaskus, Line, dan Google Assistant.

Investasi untuk startup kecerdasan buatan

Di Indonesia, GDP Venture menjadi salah satu investor yang serius mendukung startup pengembang layanan kecerdasan buatan. Untuk mengetahui visi GDP Venture terkait fokus berinvestasi di solusi kecerdasan buatan, DailySocial menghubungi CTO GDP Venture yang juga menjabat sebagai CEO & CTO GDP Labs On Lee.

Menurut On Lee, kecerdasan buatan sudah sangat relevan diterapkan secara luas di sektor publik atau privat. Indikasinya saat ini banyak orang yang tidak sadar bahwa telah menggunakan aplikasi bertenaga kecerdasan buatan setiap hari, misalnya Alexa, Siri, Cortana, Google Assistant, fitur auto-complete dan auto-correct di ponsel pintar, mesin pencari, dan sebagainya.

Pernyataan tersebut menggarisbawahi bahwa teknologi kecerdasan buatan sebenarnya sudah diaplikasikan secara luas, dimulai dari hal-hal sederhana dalam penggunaan ponsel sehari-hari. Fitur auto-correct, misalnya, memang terlihat sederhana dalam penggunaan, namun jika mendalami sistem di baliknya, dibutuhkan pemrosesan canggih yang mampu melakukan pengecekan susunan huruf, lalu melakukan pencocokan dengan basisdata kata yang dimiliki secara kilat sehingga terbentuk rekomendasi kata yang sesuai.

Terkait sejauh mana bisnis di Indonesia mengadopsi kecerdasan buatan, On Lee tidak setuju jika dikatakan secara umum masih sebatas tren atau sekadar jargon untuk pemasaran produk. Salah satu portofolio GDP Venture adalah Prosa.ai yang secara khusus mengembangkan platform Natural Language Processors (NLP) untuk Bahasa Indonesia. Penerapan untuk layanan text and speech processing sudah ada di beberapa skenario, salah satunya di Kaskus untuk penyaringan dan moderasi konten.

“Meskipun benar bahwa keterampilan kecerdasan buatan belum terdistribusi secara merata, perusahaan portofolio GDP Venture, BCA, dan beberapa perusahaan sudah memiliki aplikasi yang diberdayakan kecerdasan buatan. GDP Venture telah berinvestasi pada startup kecerdasan buatan lokal maupun internasional, karena [bagi kami] kecerdasan buatan adalah teknologi strategis sekaligus investasi. Kami percaya bahwa kecerdasan buatan menjadi teknologi transformasional seperti internet, komputasi awan, dan komputasi mobile,” ujar On Lee.

CTO of GDP Venture On Lee

Penetrasi kecerdasan buatan di sektor riil akan lebih cepat dari yang dibayangkan. Untuk dapat memanfaatkan keunggulan teknologi tersebut, On Lee menuturkan secara umum sebuah bisnis perlu melakukan beberapa hal. Pertama dengan mendidik semua karyawan mengenai kecerdasan buatan. Kedua, mulai menjajaki kemitraan dengan perusahaan yang memiliki keterampilan kecerdasan buatan. Ketiga, melakukan percobaan dengan proyek kecil berbasis kecerdasan buatan.

Keempat, menetapkan strategi kecerdasan buatan di seluruh perusahaan — layaknya transformasi digital yang dilakukan dengan internet, komputasi awan dan sebagainya. Yang kelima adalah melakukan peninjauan dan pengamatan tentang pemanfaatan kecerdasan buatan di perusahaan, sehingga mendapatkan strategi implementasi yang layak.

Berikut ini perusahaan portofolio GDP Venture yang secara khusus memberikan solusi kecerdasan buatan:

Portofolio startup kecerdasan buatan GDP Venture

Selain GDP Venture, banyak startup besar yang kini mulai berinvestasi besar untuk kecerdasan buatan. Salah satunya Bukalapak. Baru-baru ini mereka meresmikan Artificial Intelligence & Cloud Computing Innovation Center di ITB. Harapannya lab kemitraan tersebut nantinya dapat menghasilkan temuan inovatif untuk mendorong perkembangan fitur-fitur di layanan marketplace ini.

Startup unicorn lain, seperti Gojek dan Traveloka, juga sudah berinvestasi untuk melakukan kegiatan serupa. Meskipun demikian, mereka cenderung mengembangkan pusat penelitian di luar negeri, seperti penerapan pusat R&D Traveloka yang baru di Bangalore, India. Misinya sama: untuk menangkap peluang baru dari potensi teknologi pintar demi meningkatkan kenyamanan pengguna.

API dan Ekstensi Platform menjadi "rahasia tersembunyi" Apple dan Microsoft untuk menjangkau ratusan juta pengguna global hanya dalam skala dekade

Komponen Pembentuk Ekosistem: API + Ekstensi Platform

Everything should be made as simple as possible, but not simpler. — Albert Einstein.

Saat ini, platform dan API kian marak diperbincangkan. Banyak perusahaan dan startup serupa berlomba-lomba membuat platform dan API. Buku-buku dan artikel pun tak luput membahas tentang hal ini.

Satu hal yang dapat dipelajari publik dari “rahasia tersembunyi” Apple dan Microsoft untuk menjangkau ratusan juta pengguna global hanya dalam skala dekade adalah platform dan API. Para konglomerat digital abad ke-21 seperti Airbnb, Alibaba, Amazon, Facebook, Google, Tencent, dan Uber bisa scale up dalam sekejap, kurang dari 20 tahun, melayani miliaran pengguna, karena mereka membangun platform dan API. Singkatnya, mereka membangun ekosistem di atas produk, di mana produk mereka hadir sebeagai platform yang menawarkan API.

API adalah blok pembentuk yang paling dasar untuk menyediakan akses ke platform dengan fleksibilitas tinggi. Namun, hal ini tidak membuatnya menjadi lebih mudah atau cepat dalam membangun aplikasi, terutama dalam ekstensi platform.

Praktik paling umum dan lumrah adalah menyediakan exstensi platform. Ekstensi platform adalah plug-in atau add-ons yang bisa memperluas fungsi platform dengan beberapa cara. Ekstensi memiliki level yang lebih tinggi dan lebih mudah digunakan daripada API. Secara analogi tentang ekstensi dan bahasa komputer: API adalah bahasa teknis sementara ekstensi adalah bahasa komputer tingkat tinggi.

Ekstensi platform meningkatkan produktivitas rekayasa perangkat lunak dan mempercepat pembuatan aplikasi khusus untuk pelanggan, mitra dan pengembangan internal. Selain itu, teknisi software yang kurang berpengalaman pun bisa menerapkannya karena ramah pengembang dan dirancang mudah untuk diprogram.

Sebuah survei mengenai bagaimana merancang ekstensi platform terbagi menjadi 3 kategori:

1. Web App Extension

2. Native Mobile App Extension

3. Bot: Chatting App Extension

Artikel kali ini akan membahas lebih tentang poin pertama, Web Ap Extension. Poin kedua dan ketiga akan dibahas dalam artikel selanjutnya.

Web App Extension

Beberapa orang seringkali berfikir bahwa aplikasi seluler native akan mengalahkan aplikasi web dalam hal popularitas. Namun, itu semua tergantung waktu dan persyaratan aplikasi. Faktanya, popularitas aplikasi web tetap menanjak.

Sementara teknologi web seperti HTML5, CSS dan JavaScript semakin cepat, website menunjukkan pertumbuhan pesat karena adopsi perangkat seluler seperti ponsel cerdas dan tablet memanfaatkan hardware yang lebih kuat dan jumlah memori yang lebih besar — berkat berlakunya hukum Moore dalam 50 tahun terakhir — dengan harga terjangkau bagi konsumen.

Seiring kemajuan teknologi selular aplikasi web — contohnya, Google Progressive Web Apps, Angular, Accelerated Mobile Page, yang menggabungkan keunggulan pengembangan & kecepatan penyebaran web (relatif terhadap aplikasi seluler native), kenyamanan (tanpa harus memasang dan memperbarui aplikasi), dan pengalaman pengguna seluler yang native dan aman di web.

Terdapat lebih dari miliaran aplikasi web di dunia dan masih akan bertambah. Beberapa yang populer adalah sebagai berikut:

1. Facebook App

2. Google Chrome Extension

3. Firefox’s Web Extension

4. Google Docs

Facebook App

Untuk dapat merancang Aplikasi Facebook, anda harus memenuhi beberapa ketentuan:

• Akun Facebook

• Akun Pengembang Facebook

• Facebook AppId untuk Website dalam tautan URL (seperti http://localhost:8888/ pada mesin lokal, barangkali anda ingin menggunakan local host seperti ngrok)

• Server web lokal yang berfungsi (seperti http://localhost:8888/)

Berikut adalah contoh kode untuk merancang Aplikasi Facebook (index.html)

Sumber
Facebook for developers: Register and Configure an App
FB Hello World

Ekstensi Google Chrome

Google Chrome Extension adalah ekstensi browser yang mampu memodifikasi browser Google Chrome vanilla. Ekstensi ini dapat ditulis menggunakan teknologi web seperti HTML, Javacript dan CSS. Ekstensi Google Chrome dapat diunduh melalui Chrome Web Store (dulunya Google Chrome Extension Gallery).

Bagaimana merancang Ekstensi Chrome

Pengembang dapat membuat ekstensi baru untuk Chrome dengan teknologi inti dari pengembangan web: HTML, CSS dan JavaScript.
Berikut adalah langkah-langkah membuat ekstensi:

1. Buat folder baru (ekstensi)
2. Tambahkan file gambar sebagai ikon ekstensi
3. Buat file extension.html
4. Buat file extension.js
5. Buat file manifest.json Berikut adalah contoh ekstensi untuk memunculkan pesan Hello World dan mengubah warna latar dari tab aktif.

extension.html

extension.js

manifest.json

Manifes ini tidak lebih dari file metadata dalam format JSON yang berisi properti seperti nama ekstensi, deskripsi, nomor versi dan sebagainya. Pada level yang tinggi, itu akan digunakan untuk menyatakan fungsi ekstensi pada Chrome, dan izin apa yang diperlukan untuk memanfaatkan ekstensi tersebut.

Bagaimana Menjalankan Ekstensi

Berikut adalah step dalam menjalankan ekstensi atau direktori untuk uji coba:

  1. Kunjungi chrome://extensions di browser anda (atau buka menu Chrome dengan meng-klik ikon di sebelah kanan Omnibox (tab alamat). Ikon menu berbentuk tiga garis horizontal. Lalu pilih More Tools (next) Extension.
  2. Pastikan kotak pilihan Developer mode sebelah pojok kanan atas sudah ditandai.
  3. Klik Load unpacked extension… untuk memunculkan dialog pemilihan file.
  4. Arahkan pada direktori dimana anda menempatkan file ekstensi, lalu pilih sembari meng-klik tombol OK.
  5.  Ekstensi ini akan muncul di sebelah pojok kanan atas Chrome browser
  6. Kunjungi https://www.google.com/
  7. Klik pada ekstensi Chrome yang baru saja dibuat dan Anda akan menyaksikan warna latar yang berbeda.
    Chrome menu icon

    Sebagai alternatif, Anda dapat menarik dan meletakkan direktori tempat anda menyimpan file ekstensi di chrome://extensions pada browser untuk menjalankannya. Jika file ekstensi valid, akan dimuat dan aktif segera! Jika invalid, pesan kesalahan akan muncul di bagian atas halaman. Perbaiki kesalahan dan coba lagi.

 

Sumber

Firefox WebExtension

WebExtension adalah sistem lintas browser untuk mengembangkan add-on browser. Dalam fungsi yang lebih luas, sistem ini kompatibel dengan API ekstensi yang didukung Google Chrome dan Opera. Berdasarkan pengumuman, sejak akhir 2017, bersamaan dengan rilisnya Firefox 57, Firefox telah pindah secara eksklusif ke WebExtension dan akan berhenti memuat jenis ekstensi lainnya di desktop. Hal ini berarti bahwa add-on yang tidak di konversi ke WebExtension pada saat itu tidak akan tersedia lagi terlepas apakah sudah terpasang di Firefox atau terdapat dalam penyimpanan add-oon Mozilla.

Membuat sebuah WebExtension

Berikut adalah langkah-langkah untuk membuat WebExtension sederhana dan memodifikasi DOM dengan menambahkan paragraf “Hello World” dan menghiasi laman web dengan garis merah.
• Siapkan direktori dengan struktur berikut:
• manifest.json
manifest_version, name, dan version adalah mutlak. Hal ini memuat metadata dasar untuk add-on.
description opsional dan tertera di Add-on Manager.
content_scripts mengatakan pada Firefox untuk memuat skrip ke dalam laman Web yang URL nya cocok dengan pola spesifik. Pada contoh di atas, kami menyuruh Firefox untuk memuat skrip bertajuk “hello world.js” menjadi laman HTTP atau HTTPS.
helloworld.js

Bagaimana Memuat WebExtension
1. Ketik dan kunjungi about:debugging di bilah alamat Firefox
2. Klik Load Temporary Add-on dan pilih file apa saja pada direktori add-on Anda. Add on akan segera terpasang dan diam sampai Anda me-restart Firefox.
3. Coba kunjungi laman apa saja yang bermula dengan http:// atau https://

Sumber
Firefox will only support WebExtensions by the end of 2017
What are WebExtensions
Your first WebExtension
Testing and Publishing a Simple WebExtension

Google Docs

Add-on

Ekstensi untuk Google Docs disebut Add-on, yang menyediakan cara untuk memperluas fungsi Google Docs. Bahasa utamanya adalah JavaScript tetapi kita dapat menambahkan file HTML. Selain itu, Google juga menyediakan beberapa layanan bawaan untuk berinteraksi dengan endpoint REST API menggunakan pustaka JavaScript khusus yang disediakan Google. Melalui contoh ini, kami akan menambahkan add-on URL shortener (menggunakan URL shortener API dari Google). Tujuannya adalah dengan mudah mempersingkat URL saat kami mengedit dokumen Google Docs tanpa harus berganti jendela.
Step:
• Buat dokumen Google Docs baru (dengan mengunjungi https://docs.google.com/) • Pilih menu Tools > Script editor
• Kita perlu menyalakan layanan url shortener oleh Google. Pilih menu Resources > Advanced Google services…
• Dari daftar, carilah URL Shortener API, nyalakan dengan meng-klik tombol 8
• Kita juga perlu menyalakan layanan Google Developers Console. Tautan ke konsol disediakan di bawah daftar. Setelah itu, cari URL Shortener untuk API. Pada laman selanjutnya, nyalakan dengan meng-klik tombol ENABLE. 9
• Kembali ke jendela script editor, jika tidak ada file berjudul code.gs, buat terlebih dahulu lalu ketik kode di bawah ini.
• Buat file HTML baru dengan memilih menu File > New > HTML file. Beri nama file Sidebar dan ketik kode di bawah ini.

• Simpan kedua file

• Klik pada judul proyek, ubah namanya menjadi URL Shortener

Sekarang kita bisa mencoba script dengan mengikuti step berikut:

• Kembali pada laman dokumen dan muat kembali laman tersebut. Jendela script editor akan tertutup secara otomatis

• Setelah beberapa saat, sub-menu URL Shortener akan muncul di bawah Add-ons menu. Klik Add-ons > URL Shortener > Start

• Kotak dialog akan muncul dan memberi tahu Anda bahwa skrip tersebut memerlukan otorisasi. Klik Lanjutkan. Kotak dialog kedua kemudian akan meminta otorisasi untuk layanan Google tertentu. Baca pemberitahuan dengan saksama, lalu klik Izinkan

• Sidebar akan muncul. Untuk mengujinya, ketik URL ke teks input atas. Kemudian klik tombol Shorten. URL yang dipersingkat akan muncul pada bilah masukan teks bagian bawah.

• Di bawah ini adalah screenshot untuk hasil akhir. Sidebar di sisi kanan sesuai dengan HTML file yang dibuat sebelumnya.

12

Kesimpulan

Contoh di atas menunjukkan setiap platform mengekspos fungsionalitas mereka-memperluas antarmuka sesuai dengan kasus penggunaannya yang unik. Namun, antarmuka ini mengarah ke tujuan yang sama: memberikan fleksibilitas kepada pengguna untuk menambahkan kasus penggunaan baru atau memperbaiki kasus penggunaan saat ini. Kemampuan platform tumbuh secara linier seiring jumlah pengembangnya. Pada akhirnya tujuan membangun ekosistem tercapai.

Sumber
Quickstart: Add-on for Google Docs


Disclosure: Artikel tamu ini ditulis oleh GDP Labs (Danny Christanto, Darwin Gautalius, Felix Kurniawan, Hermes Vincentius Gani, Karol Danutama, On Lee, Ricky Yudianto, Timotius Kevin Levandi, Timotius Nugroho Chandra, Wendy Fu, Wilyanto Salim) dan diterjemahkan oleh Kristin Siagian. Sebelumnya telah dimuat di Medium Diterjemahkan, disunting, dan dipublikasi ulang atas izin penulis aslinya.

Growing Pains in Indonesia

I am experiencing a déjà vu moment. When I was working in the U.S., I lived through Silicon Valley’s first dot-com bubble in the late 1990s through early 2000s. From those tumultuous times, there emerged big losers and big winners. Ebay, which had been profitable since the early years and received $6.7 million funding, now has a market cap of over $38 billion. Paypal received $217 million funding and now controls a market cap of over $70 billion. On the other hand, Webvan, an online grocery store, received $396 million of world-class venture capital funding (Benchmark Capital, Sequoia Capital, Softbank Capital, Goldman Sachs, Yahoo, etc.), raised $375 million through an IPO then filed for bankruptcy.

Global companies and Venture Capitalists (VCs) have been increasing their investments in Indonesia over the last few years, as the U.S. and China markets have matured. They have been inspired by Silicon Valley’s success, and even more motivated after seeing the success of BAT (Baidu, Alibaba, and Tencent) in China. Indonesia is the fourth most populated country in the world with over 260 million people, and the majority of them are young Millennials. The population is growing rapidly; they are actively engaged in social media using mobile phones, and many of them are coming online for the first time. Indonesia is the digital world’s next big battleground.

Amidst all this excitement, there is news of a few startups receiving big investments with billions in valuations. A handful companies have claimed profitability; others’ statuses remain unknown although they are growing in terms of revenue, the number of employees, the number of customers, and other key metrics. At the same time, numerous startups have declared bankruptcy on a regular basis for the last couple of years.

My other passion, aside from technology, is the game of chess. Chess divides the game into 3 distinct phases: the opening, middle, and endgame. The player must be able to identify the start and end of each of these phases, and evolve their strategies and tactics throughout the transition. Skills relevant to one phase may no longer be relevant to the next.

The Indonesian battlefield has emerged and, in my mind, we have closed out the opening phase. Domestic players are emerging and growing. International companies are placing their own stakes in the ground.

What comes next? It is too early to tell who the eventual winners and losers will be as we now transition to the middle game. Based on my experience living through this game once or twice, this article discusses what to expect as next steps for all the players involved.

Growing Pains

If Indonesia follows a path similar to Silicon Valley, many more Indonesian startups will enter the startup graveyard, while a handful of big winners will find outsized success. Each startup will have to go through growing pains. Growing pains are key factors determining the fate — life or death — of a hyper-growth startup. Recognizing growing pains is the first crucial step in order to take the necessary precautionary measures.

Specifically, startups have to overcome obstacles in these key areas: Technology, Business, and Leadership & Management. Scale these aspects properly in a timely manner, and they will increase the chance to grow into a scalable, profitable, and sustainable business.

Technology

Our industry moves at a single, constant speed: fast. Today’s technology inventions are the foundation of future inventions. The accumulated inventions for the past six decades — Mainframe, PC, Internet, Mobile, Cloud-computing, Networking, Artificial Intelligence, User Interface, and Communication — have increased our productivity and accelerated each subsequent change at a dizzying speed. Companies rise fast and some of them fall even faster if they are complacent and are not reinventing themselves. Companies in the high-tech industry usually have 2 extremes: the successful ones get bigger and stronger, achieving near monopolistic levels of power while others suffer bankruptcy or, perhaps worse, irrelevance.

There are many technical decisions to consider as a startup grows exponentially. I will mention just a few of them.

  • Scalability and Stability. This is one of the most noticeable pains when your startup is growing exponentially. Your system crashes on a regular basis — a few times a day. KASKUS, Twitter, Amazon, etc. have all experienced this blockade and trudged right through it. Rapid growth is a good problem to have. However, you need to address it fast before this “good problem” becomes an irreversible bad problem. The best startups are able to “rebuild the plane mid-air” and architect solutions for sustainable long-term growth.
  • Security. This is one of the most overlooked and neglected issues by most startups. It is mostly due to ignorance, since many of them know little to nothing about security, and have never experienced being hacked. Additionally, many young founders might not even have the skills when they realize that it is important. Startups usually have the most technical debt in this area, especially if your business is related to e-commerce and payment.
  • Internationalization and Localization. This is another area where startups don’t invest much time and resources. Although many Indonesian startups are targeting local markets only, it is amongst software engineering best practices to design and implement your software to be ready to go international when the opportunity arises.

Business

Some wise people have advised that you should use company money as if it were your own and spend frugally. This is even more important in a startup environment, especially when they’re not yet profitable. As startup owners and management team, we legally, ethically, and morally have a responsibility to various stakeholders — employees, customers, shareholders, and the community — when running a company. The VCs are expecting to get their money back in high multiples because they have obligations to their own investors.

Fiscal negligence leads to the fall of startups. When startups receive large new rounds of funding, a common mistake is to overspend — hiring luxury limousines when picking up guests, partying in 5-star hotels, hosting team-building exercises in exotic resorts, etc. This behavior is irresponsible to the stakeholders. I firmly believe startups should live within their means. We must spend frugally yet intelligently.

At the same time, it’s important to double down on the caliber of your people. I used to work for one of the most successful software companies in the world when it was still small. My coworkers and I all worked 12 hours a day and 7 days a week without any complaints because we loved what we did. We found our work was meaningful because we improved people’s lives globally. We were on a mission to make the world to be a better place! The company was rewarded handsomely — making billions in profit — while doing good.

Years later, this company has grown by multiple orders of magnitude. One of the old-timers asked a new employee why he joined the company. The reply was shocking — he joined the company for the free drinks, free food, parties, and benefits — this employee was joining for all the wrong reasons! He had neither the passion nor the fire of the early employees who had made the company into what it was. The mission-driven perseverance of the startup mindset is one of the few reasons startups even have a chance to compete against large companies.

Leadership & Management

As a startup grows, the interactions become exponentially more complex between employees with different educations, experiences, and cultures. Growth means diverse customers, shareholders, and complicated product integrations. Suddenly, founders and management team are dealing with multiple business units and office locations in different time zones. It’s next to impossible to enumerate all the possibilities.

So how do we deal with the above challenges?

Some potential solutions include, but are not limited to the following:

  • People-First. A company will be successful when both its employees and customers are delighted. Employees’ needs should be taken care of so they can focus on their work with undivided attention. Consequently, their exceptional work can exceed the customers’ expectations.
  • Alignment. One of the key reasons many startups fail due to internal conflicts — self-inflicting wound —because they are not aligned internally. All departments — PM, Engineering, Sales, Marketing, Finance, HR, Customer Support, etc — should align their goals with the company’s short and long term goals. This has to be monitored routinely in order to ensure everyone’s work is aligned. There will always be conflicts and disagreements as the company grows. Ideally, it should be “agree & commit”. If not, the next best thing is “disagree & commit” as long as the priorities are in this order: company, team, and individual.
  • Discipline. Silicon Valley is well-known for its casual dress: t-shirts and jeans or even shorts during the summer time. This seemingly relaxed environment is actually deceptive. Silicon Valley startups have grown world-class companies in a decade or so due to their passion, iron-will, naive optimism, foolish confidence, and discipline. People in Silicon Valley refer to this as “duck syndrome”. The companies and people may look calm and relaxed on the surface but are furiously paddling underneath.
  • Back to Basics. As I’ve written about previously, it’s important to revisit and remember your fundamentals.

Conclusion

The list of a startup’s growing pains could fill an entire book. I’m just scratching the surface with this article. Internally at KASKUS and GDP Labs, we take the time to recognize the foundation we have established, but are also now preparing for the next phase. We expect to grow quickly, but at every step of the way, we must maintain our focus on long-term sustainability, on staying humble, and passing onto new team members what has driven us to where we are today.

Building a truly great technology company is a marathon, not a sprint. There’s a tendency to rush forward to the next big milestone. And indeed, as I’ve frequently reminded my team, speed and sense of urgency are a startup’s best tools against well-funded corporate competitors. But I’ve seen too many companies attempt to run before they can walk. The upcoming middle game is a fascinating phase, where much of the action happens; most of the pieces are removed and only the survivors remain. We’re here and we’re ready to play.


This guest post is written by On Lee, Kaskus’ COO & CTO, GDP Labs’ CEO & CTO, and GDP Venture’s CTO

It’s initially published at LinkedIn Pulse and has been republished with permission.

Back to Basics

Six years ago, I returned to Indonesia after living and working in the U.S. for almost 30 years. When I first started at GDP Venture, Martin Hartono, our Chairman & CEO, advised me that in order to be successful in Indonesia we need to focus on doing the basic things right; just build up our teams following the best practices I learned in the U.S., and success will follow.

Based on these seemingly simple concepts, we built GDP Labs from scratch as one of the best software product development companies in Indonesia. We have now expanded to 5 cities: Bali, Bandung, Jakarta, Surabaya and Yogyakarta in Indonesia. Also, KASKUS has a scalable and distributed system which serves millions of users based on data centers located in Indonesia. Moreover, KASKUS processes and technologies now allow us to make multiple releases a day, enabling us to innovate quickly to enhance existing products and build new products.

People-Centric

We are in the “great people” business: Attract, Recruit, Train, Promote, Reward, and Retain great people. These great people happen to be focusing and developing software and contents. Great people make things happen!

Combining the right people, the right working environment, the right processes, the right technologies, and the right incentives create an unstoppable winning team!

In summary, we trust and invest in our people. We groom leaders — not followers!

Continuous Learning

Our industry is still relatively young, dynamic, fast-paced, and in hyper-growth mode. We are just scratching the surface. We want to be learning machines in order to adapt to the inevitable changes.

The most frequently asked questions people ask me include: How do I keep up with this constantly changing technology? How do you predict which ones will become mainstream?

We do the following at KASKUS and GDP Labs:

  • Create working environments conducive to learning. We require our teams to be constantly learning as part of their jobs. People are awarded when they have learned something new because they are more knowledgeable than before. They are encouraged to explore new diverse technologies and take risks with leading and even bleeding edge technologies. There is neither penalty nor punishment if they fail.
  • Sharing is power. The saying ‘Knowledge is power’ is obsolete. We need to share our knowledge in order for us to learn more and faster together. We share knowledge on a regular basis — daily and weekly. We know more today than yesterday by getting 1% better every day.
  • Update your knowledge constantly. Read at least one article daily. It means that you will have read at least 365 articles if you have been here for a year. In practice, most of us read more than a few articles daily. You do the math if you have been here for 5 years. Additionally, we keep up-to-date with world-class companies’ annual conferences: Apple Worldwide Developers, AWS re:Invent, Facebook Developer: F8, Google I/O, Microsoft Build, etc. Furthermore, we learn from free and paid resources like newsfeeds, Google Alerts, e-books, YouTube, TED.com, Stanford, Udemy, Coursera and various conferences on Machine Learning, Java Spring, Black Hat, etc. As a result, we have a pretty good record in predicting what technologies would become mainstream based on ‘crowd-learning’ together. For example, we invest in and learn emerging technologies such as cloud computing, mobile computing, VR, AR, machine learning, etc. much earlier than most companies in Indonesia because we are constantly monitoring the trends and are willing to take risks. It is like bringing a knife to a gunfight if you don’t use cloud computing and machine learning today.
  • Learn, Un-Learn and Re-Learn: I have to learn existing technologies, then unlearn them because I have to relearn the new emerging technologies for the past 30 years, which went through multiple generations of computers with different interfaces and programming models: Mainframes with batch interface programming model, Minicomputers with interactive text-based user-interface, Workstations and PCs with graphical-user-interfaces (GUI), the Internet with client-server programming model, Cloud-computing with distributed, scalable, and serverless programming models, Mobile-computing with its native applications and now Machine Learning which practically combines almost all of the previous interfaces and programming models plus its new paradigm and modern architecture like GPU, TPU, modeling and training the system.

In short, learning is like oxygen. In other words, we need to keep learning if we want to survive in this business — just like we need oxygen to live. Additionally, as the saying goes “Give a person a fish and you feed him for a day, teach them to fish and you feed them for a lifetime.” We teach people how to fish because it is next to impossible to keep giving them fish all the time when the waters are constantly changing. What you know today would be obsolete tomorrow. Just as when you are playing a game of Chess or Go, you only follow certain guidelines and patterns. It is impossible to enumerate and memorize all possibilities.

Speed, Speed & Speed!

Speed matters! Japan’s economy recovered after World War 2 in 1945; and Korea’s economy recovered after the Korean War in 1953 because they did everything with speed. Alibaba, Amazon, Facebook, Google and Tencent have become some of the most valuable companies in less than 20 years due to their speed in delivering their products. This is true and more important especially when you are a startup and an underdog.

Hard Work

Great things take effort and time to achieve. There are no shortcuts in life. We have no choice over where we were born and whom our parents are. However, it is our choice whether we want to work hard to improve our life. That’s how I survived and grew in one of the most hypercompetitive industries in the U.S. Hard work opens up a lot doors and opportunities.

I realized that I was an underdog when I arrived in the U.S. in 1982. I was a foreign student without any experience, did not understand American culture, my English was broken, I had neither family nor mentors to help me and with only limited amount of money in the bank. Worst of all, I wasn’t allowed to work full-time as a foreign student. Fortunately, I realized very early that in order to overcome these shortcomings and obstacles I had to plan ahead and work really hard. Armed with this awareness and plan, I took 3 part-time jobs — Teaching and Research Assistant in Computer Science department and as a Computer Consultant in Computer Labs in odd hours — while still being a full-time student as required by U.S. Immigration. I continued studying and working when my friends were partying, taking long summer and winter vacations to spend time with their friends and family. I even had to work harder when trying to get a full-time job after earning my Master’s degree, kept my job and got promotions. When my peers worked for 8 hours, I worked for 10 hours a day; if my peers worked for 5 days, I worked for 6 days a week; if my peers worked for 6 days, I worked for 7 days a week; if my peers worked for 7 days a week, I worked during holidays. I voluntarily worked overtime when needed without having to be asked explicitly by the manager and peers, especially during major product releases. It wasn’t a big deal to me. It’s part of the job because we are in the 24/7/365 business.

Discipline

Be on time when you come to any meeting. Time is even more valuable than money because you can’t recover it once it is gone. Whether you are rich or poor, old or young, we all have only 24 hours a day. Don’t waste it! Although it usually takes about 45 minutes from my apartment to KASKUS, I leave home between 7:30 – 8:00 AM to give me plenty of time to attend our 9:30 AM daily meeting on time at KASKUS due to unpredictable traffic in Jakarta. Imagine how much time (and money) a company wastes if all the key executives start their daily meetings 15 minutes late! Moreover, this is a symptom of a larger problem. How could you trust someone to handle company challenging tasks if you can’t even go to a pre-scheduled meeting which is in your total control?

Check your email daily even when you are away and respond within 24-hours. Many people don’t realize or don’t know how to use it effectively. Email enables us to work remotely, reduce meetings, work at flexible working hours, and manage teams in different time zones across multi-cities/countries/continents. Also, aim for Inbox Zero to improve the company’s progress on daily basis.

Create weekly report. Everyone — including myself — creates a weekly report at GDP Labs and KASKUS. This is a simple one-liner report that contains (1) issues, (2) what we have done the past week, (3) what we are planning to do the following week, and (4) what we have read and learned about technology, business, leadership and management. The reports are published on our own internal wiki for everyone to read. This creates transparency and helps with alignment across multiple teams who depend on other teams.

Follow-up on action Items. Many people attend many meetings and generate countless meeting notes with action items. However, if they don’t follow-up, the meetings waste everyone’s time without getting any useful results.

Conclusion

The above practices have served me well both in the U.S. and in Indonesia. I believe that they are applicable globally. They are simple things to do if you just do it in a short period of time. The hard part is to do it over and over through the years consistently and continuously.

Some people ask me how I have maintained this practice consistently for decades.

Initially, I just wanted to train myself to have a good work ethic, as taught by my family. However, it has evolved to become a habit and my way of life.

Some people say that there is a fine line between passion and obsession. This is obviously not for everyone. Every company needs to do things differently at different stages and depending on many variables. There is no one-size-fits-all approach.

I need to keep re-inventing myself by continuously learning for the past few decades due to the constant changes in our industry. It is a humbling yet rewarding journey without a finish line!


This guest post is written by On LeeKaskus’ COO & CTO, GDP Labs’ CEO & CTO, and GDP Venture’s CTO

It’s initially published at LinkedIn Pulse and has been republished with permission.