Tag Archives: Gig-economy

Kurir Beserta Aktivis Menuntut Reformasi dalam Gig Economy di Indonesia

Bersama pandemi yang menyebabkan hampir 50% peningkatan dalam transaksi e-commerce tahun ini dibandingkan dengan tahun 2020, perusahaan e-commerce dan logistik mengalami pertumbuhan yang stabil. Namun, peningkatan pendapatan bagi perusahaan belum disalurkan dengan baik untuk kurir pengiriman, yang merupakan tulang punggung operasi e-commerce.

Pada tahun 2016, Ade Putra mulai bekerja sebagai pengemudi ojek untuk berbagai platform seperti Uber, Gojek, dan Grab. Namun, tahun lalu, ketika perusahaan ride-hailing melihat penurunan drastis dalam pesanan penumpang karena lockdown yang memengaruhi sebagian besar wilayah Indonesia, Ade memutuskan untuk beralih profesi menjadi kurir. Ia bergabung dengan dua perusahaan logistik—GoKilat dan Lalamove milik Gojek.

Ade berpikir bahwa dua pekerjaan itu akan memberinya penghasilan yang layak, memang seperti itu adanya hingga di bulan Juni, kedua perusahaan menyesuaikan skema insentif mereka, yang mengurangi komisi per km pengendara pengiriman untuk setiap pesanan.

“Sebelumnya tarif Lalamove adalah Rp 4.000 [USD 0,28], tetapi dipotong setengahnya pada Januari 2021. GoKilat juga mengubah skema insentif baru-baru ini, jadi kami mengajukan keluhan,” ujar Ade kepada KrASIA. Ia juga sebagai juru bicara kelompok mitra Lalamove yang mogok pada bulan Juni dan secara kolektif menonaktifkan akun mereka selama tiga hari.

Ade dan kurir lain yang bekerja untuk Lalamove yang berbasis di Hong Kong juga mengeluhkan kebijakan penangguhan platform. “Terkadang terjadi hal-hal yang di luar kendali kita, seperti salah alamat pengiriman, atau tiba-tiba sepeda motor kita mogok. Namun, platform tidak peduli dengan alasan ini, dan kami dapat ditangguhkan jika kami membatalkan pesanan atau jika pelanggan memberi peringkat rendah,” jelasnya.

Pada awal Juni, kurir GoKilat Gojek menolak menerima pesanan sebagai protes atas paket kompensasi baru. Dokumentasi oleh Shutterstock.

Ketidakadilan dalam model partnership antara platform dan kurir

Gig economy adalah konsep yang relatif baru di Indonesia, dipopulerkan oleh perusahaan ride-hailing seperti Uber, Grab, dan Gojek, yang merevolusi ojek informal sejak 2014. Grab—yang mengakuisisi operasi Uber Asia Tenggara pada 2018—dan Gojek telah memperluas layanan mereka di luar ride-hailing untuk memberikan penawaran lain, termasuk pengiriman jarak jauh dan pengiriman makanan.

Menyusul kesuksesan perusahaan ride-hailing, sejumlah perusahaan logistik seperti Lalamove, Lazada Logistics, J&T Express, dan SiCepat juga telah mulai beroperasi di Indonesia untuk menyediakan solusi dan pengiriman logistik yang cepat, mendukung pertumbuhan e-commerce di negara ini. Beberapa dari perusahaan ini telah mengadopsi “model kemitraan” dengan kurir mereka, mengklaim menawarkan kebebasan dan fleksibilitas yang lebih besar dari segi jam dan pengaturan kerja. Namun, perusahaan-perusahaan ini tidak mengklasifikasikan kurir sebagai karyawan formal. Sebaliknya, mereka didefinisikan sebagai kontraktor sementara. Tanpa menjalin hubungan kerja formal, perusahaan dapat menyangkal insentif yang seharusnya diterima oleh kurir menurut hukum Indonesia.

“Platform sharing economy saat ini menawarkan sistem kemitraan semu yang mengarah pada eksploitasi pekerja,” Bhima Yudhistira Adhinegara, direktur lembaga think-tank Center of Economic and Law Studies (Celios), mengatakan kepada KrASIA. “Dalam kemitraan yang ideal, kedua belah pihak harus menyepakati setiap kebijakan, sehingga perusahaan tidak boleh mengambil keputusan sepihak, terutama dalam hal upah dan beban kerja.”

“Perusahaan menawarkan ‘ilusi pilihan’, seolah-olah kurir memiliki fleksibilitas untuk bekerja kapan saja. Tetapi dengan sistem insentif yang rendah, mereka harus bekerja kapan saja jika ingin membawa pulang uang yang layak,” kata Margianta Surahman, direktur eksekutif Emancipate Indonesia, sebuah organisasi pemuda yang fokus pada masalah ketenagakerjaan.

Terlebih lagi, di bawah undang-undang ketenagakerjaan saat ini, pekerja gig tidak diizinkan untuk membuat serikat pekerja formal, dan organisasi mereka hanya dilihat sebagai komunitas informal, sehingga sulit untuk menyuarakan tuntutan mereka.

Lazada Logistics di Indonesia didukung oleh lebih dari 15.000 karyawan dan mitra kurir. Dokumentasi oleh Lazada Indonesia.

Menuntut reformasi

Pendapatan bersih rata-rata kurir GoKilat pada Mei 2021 adalah sekitar Rp 1,6 juta (USD 112), kurang dari setengah upah minimum di Jakarta sebesar Rp 4,4 juta (USD 309), menurut laporan Universitas Gajah Mada. Laporan tersebut juga menyoroti bahwa rata-rata jam kerja kurir GoKilat adalah 11,2 jam per hari, 25,2 hari per bulan. Selain itu, 60% kurir tidak memiliki asuransi kesehatan, dan 97% tidak memiliki asuransi kendaraan. KrASIA tidak dapat menemukan data atau laporan publik terbaru dari perusahaan lain.

Pada paruh pertama tahun 2021, setidaknya ada empat mogok kerja yang dilakukan oleh kurir sebagai bentuk ketidakpuasan mereka terhadap skema insentif yang rendah. Pekerja pertunjukan memprotes Shopee Express pada bulan April, diikuti oleh protes terhadap GoKilat Gojek, juga dikenal sebagai GoSend Same Day, pada bulan Juni. Gelombang aksi terorganisir untuk remunerasi dan tunjangan yang lebih baik berlanjut dengan protes lain terhadap GrabExpress dan Lalamove pada bulan yang sama.

Ketidakpuasan yang semakin jadi dari para pekerja pengiriman mendorong sejumlah peneliti independen, organisasi nirlaba, dan komunitas online untuk bekerja sama membentuk petisi resmi yang akan disampaikan kepada Menteri Tenaga Kerja Indonesia, Ida Fauziah. Petisi, yang memiliki judul yang dapat diterjemahkan sebagai “Tolong lindungi kurir e-commerce, karena mereka tidak aman dan sejahtera,” telah mengumpulkan lebih dari 8.549 tanda tangan sejak 2 September. Penyelenggara berharap untuk mengumpulkan 10.000 tanda tangan.

Penulis petisi berharap kementerian dapat menetapkan peraturan baru untuk memastikan skema pendapatan yang layak, beban kerja yang manusiawi, hak-hak buruh, dan bantuan hukum saat dibutuhkan untuk kurir. Mereka juga mendesak platform e-commerce untuk memberikan pendidikan publik yang lebih baik tentang sistem cash-on-delivery karena serangkaian pelanggaran terhadap kurir oleh pelanggan yang tidak puas.

Keluhan tentang penganiayaan pekerja gig adalah fenomena global. Pada akhir Juli, China mengeluarkan kebijakan baru untuk melindungi pengendara pengiriman makanan dan memerintahkan platform online untuk menjamin pendapatan dasar dan kesejahteraan sosial bagi pengendara mereka. Di Singapura, Perdana Menteri Lee Hsien Loong menyatakan keprihatinannya terhadap pekerja pengiriman dan mengatakan bahwa pemerintahnya akan mengatasi perjuangan para pekerja berupah rendah secara umum.

Dengan lebih dari 33 juta pekerja gig di Indonesia, para kritikus mengatakan pemerintah harus segera mengambil tindakan serupa. Adhinegara dari Celios membuat perbandingan dengan Inggris, di mana pengemudi Uber diklasifikasikan sebagai pekerja, bukan kontraktor independen wiraswasta. Analis percaya bahwa sektor teknologi Indonesia, yang valuasinya terus tumbuh, memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan mitra pengemudi dan kurirnya.

“Semua persyaratan untuk meresmikan hubungan kerja antara platform teknologi dan mitra pengemudi telah dipenuhi. Ada majikan, karyawan, deskripsi pekerjaan yang jelas, dan target kerja. Jika kita terus mendorong gig system untuk pekerja kasar, kita akan memperbesar sektor informal di mana pekerja tidak memiliki perlindungan dan keamanan kerja,” kata Adhinegara.

Saat dihubungi KrASIA, kepala logistik Gojek, Steven Halim, mengatakan bahwa mitra pengemudi GoKilat adalah bagian penting dari bisnis perusahaan. Pengemudi memiliki kebebasan untuk menentukan jam kerja mereka sendiri dan fleksibilitas untuk memutuskan berapa banyak paket yang ingin mereka kirimkan dalam sehari, tegasnya. “Pada saat yang sama, kami menyadari pentingnya memastikan mereka memiliki pendapatan yang berkelanjutan,” tambahnya.

“Kami memiliki skema pendapatan dasar yang kompetitif untuk pengemudi GoKilat, dan skema insentif yang memberikan peluang lebih besar bagi mereka untuk mendapatkan pendapatan tambahan.”

Steven tidak memberikan rincian tentang pendapatan dasar dan skema insentif tersebut, tetapi dia mengatakan kepada media lokal pada bulan Juni bahwa mitra kurir mendapatkan bonus Rp1.000 (USD 0,07) per paket untuk satu hingga sembilan pengiriman, naik hingga maksimum Rp. 2.500 (USD 0,18) per paket untuk pengiriman 15 paket ke atas.

Lazada juga memberikan tanggapan serupa. “Keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan setiap mitra Lazada Logistics, termasuk kurir kami, selalu dan akan selalu menjadi prioritas utama kami. Setiap mitra kurir Lazada di Indonesia berhak atas asuransi jiwa dan asuransi kecelakaan,” ujar Philippe Auberger, Chief Logistics Officer Lazada Indonesia.

Sementara itu, tarif insentif rata-rata saat ini untuk mitra pengiriman Shopee Express di Jabodetabek adalah Rp 2.213 [USD 0,16] per paket berdasarkan 80 paket per hari. “Program insentif kami selalu sesuai dengan peraturan setempat, dan sangat kompetitif dalam industri jasa logistik. Kami mendukung mitra kurir kami melalui berbagai inisiatif lain termasuk menawarkan pelatihan dan perlindungan asuransi untuk memastikan lingkungan kerja yang lebih aman,” kata representatif Shopee kepada KrASIA.

Promotor reformasi, bagaimanapun, mengatakan bahwa model kemitraan antara kurir online dan platform teknologi bahkan tidak diakui oleh kerangka kerja Indonesia. “Undang-undang ketenagakerjaan Indonesia tidak mengenal kemitraan semacam ini, jadi regulator harus segera meninjau [undang-undang untuk sistem ini],” kata Adhinegara. Sementara undang-undang nomor 20 tahun 2008 tentang usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) mengatur sistem kemitraan yang melibatkan UMKM, pekerja gig harus diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan, tambahnya.

Sementara itu, Surahman dari Emancipate mengatakan bahwa jika mengubah status kurir dari “mitra” menjadi karyawan “terlalu sulit saat ini”, perusahaan teknologi harus memperbarui model saat ini untuk setidaknya memberikan jaminan pendapatan minimum dan asuransi.

Surahman, bersama dengan aktivis dan perwakilan komunitas kurir online lainnya, mengadakan pertemuan online dengan staf Kementerian Tenaga Kerja pada bulan Agustus. Usai pertemuan, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah mengatakan akan mengevaluasi sistem kemitraan hingga akhirnya melakukan perubahan untuk mendukung posisi tawar yang setara antara kurir dan perusahaan teknologi.

“Setelah petisi mencapai 10.000 tanda tangan, kami akan menindaklanjuti dengan kementerian untuk memberikan lebih banyak tekanan bagi publik. Mudah-mudahan pemerintah segera memberikan win-win solution,” kata Surahman.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Gigacover Indonesia

Gigacover Resmikan Kehadiran di Indonesia, Sasar Produk Finansial untuk “Gig Worker”

Startup fintech Gigacover meresmikan kehadirannya di Indonesia setelah beroperasi kurang lebih selama satu tahun. Startup asal Singapura ini menyasar pekerja lepas (gig worker) dengan produk finansial yang berada di piramida terbawah untuk perlindungan kerja.

Dalam konferensi pers virtual, Co-Founder dan CEO Gigacover Amerson Lin mengatakan, perusahaannya masuk sebagai penghubung antara bisnis, lembaga keuangan, pemerintah, dan pekerja lepas, dengan mendukung dan menyediakan produk finansial sesuai kebutuhan.

“Kami melihat peluang pertumbuhan yang sangat besar karena semakin banyak generasi milenial memilih untuk berwirausaha, dan perusahaan menerapkan perekrutan tenaga kerja hibrida dengan mengambil lebih banyak staf kontrak dan pekerja tidak tetap,” ujarnya, kemarin (22/7).

Mengutip dari data World Bank 2019, tenaga kerja independen Asia Tenggara tumbuh sebesar 30% secara tahunan. Google dan Temasek juga mengestimasi ada sekitar 150 juta individu pekerja lepas di kawasan ini yang 50% di antaranya sulit mengakses berbagai layanan finansial dan perlindungan kerja yang memadai.

DI Indonesia saja, mengutip dari Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 33,34 juta orang pekerja paruh waktu per Agustus 2020, naik 4,32 juta atau 26% secara YOY. Sayangnya, kelompok pekerja ini menempati posisi terendah dari piramida perlindungan kerja, bahkan kalah dari pekerja kerah biru yang dilindungi oleh UU No. 13 Tahun 2003.

Statistik angkatan kerja nasional per tahun 2020 / BPS

Pekerja lepas di Indonesia hampir tidak memiliki jaminan terkait tenaga kerja, baik itu jaminan pekerjaan, pendapatan atau perlindungan sosial. Jaminan sosial mereka tidak diwajibkan untuk masuk sebagai bagian dari hak yang harus diberikan pemberi kerja, yang berarti mereka harus membayar produk untuk melindungi diri mereka sendiri.

Country Head Gigacover Indonesia Cobysot Avego melanjutkan, tidak terlindunginya pekerja lepas dengan jaminan kerja dan sosial, berdampak serius pada kesejahteraan dan mengganggu produktivitas kerja. Dalam sebuah riset yang ia kutip, sebanyak 24% pekerja yang mengalami gangguan finansial akan terganggu produktivitasnya saat bekerja. Dari jumlah tersebut, sebanyak 40% pekerja kehilangan tiga jam atau lebih selama seminggu karena gangguan finansialnya tersebut, bahkan 20% di antaranya sampai harus tidak masuk kantor.

Produk dan layanan Gigacover

Gigacover memberikan stabilitas dan kesetaraan bagi pekerja independen, termasuk pekerja gig, freelancer, dan orang yang bekerja sendiri tanpa naungan perusahaan, untuk mengakses layanan keuangan yang lebih baik. Layanan yang disediakan ada empat fitur: earning advance, group insurance policies, borrow, dan payment. Seluruh fitur tersebut hadir berkat kerja sama perusahaan dengan berbagai lembaga keuangan.

Layanan earning advance ini juga ditawarkan oleh pemain sejenis di Indonesia, di antaranya ada GajiGesa, Gadjian, dan Wagely.

Di Indonesia, Gigacover telah bekerja sama dengan Asuransi AXA dan Manulife untuk menyediakan produk asuransi. Cobysot menuturkan perusahaan akan bekerja dengan lebih banyak pemain lokal untuk mendukung fitur-fitur yang segera diluncurkan, yakni fast medical check, pharmacy discount, dan clinics appointment.

“Kami sedang dalam tahap diskusi dengan pemain healthtech untuk menjadi mitra di fitur fast medical check untuk mendukung akses kesehatan yang lebih terjangkau, sejalan dengan tren yang terjadi sejak pandemi ini,” kata Cobysot.

Sejak hadir setahun lalu, Gigacover kini telah digunakan oleh 30 ribu pekerja lepas di Indonesia yang bekerja sama di perusahaan dari berbagai industri. Mereka datang dari industri logistik, agen asuransi, pekerja outsourcing company, jasa, dan perusahaan teknologi. Axa Financial Agent adalah salah satunya penggunanya.

Dari empat fitur yang ada, mayoritas pengguna Gigacover di sini memanfaatkan fitur salary advance dan asuransi mikro. Menurut data Gigacover, sebanyak Rp3 miliar gaji telah dicairkan lebih awal oleh perusahaan setiap bulannya untuk para karyawan lepasnya. Angka tersebut berdampak pada meningkatkan produktivitas karyawan hingga 50 jam setiap bulannya.

Gigacover menerapkan strategi B2B2W (w=worker) dalam melakukan pendekatan bisnisnya. “Artinya Gigacover bermitra dengan perusahaan yang ingin memberikan kesejahteraan untuk pekerja, para pekerja inilah yang mengakses layanan di Gigacover. Tapi manfaatnya tidak hanya untuk pekerja, tapi juga untuk bisnisnya itu sendiri.”

Cobysot menargetkan pada tahun ini dapat menambah jumlah pengguna di angka 200 ribu pengguna.

Sebagai bentuk kepatuhan terhadap regulasi, saat ini Gigacover sedang memproses pendaftaran di Sandbox OJK. “Untuk produk asuransi kami aman karena langsung beli paket dari Manulife dan AXA. Kami targetkan sampai akhir tahun ini semua lisensi OJK yang sudah dipenuhi.”

Target ekspansi Gigacover

Sejak hadir di Singapura pada 2017, Lin mengklaim perusahaan sudah meng-cover 300 ribu pekerja lepas, setara dengan setengah dari populasi pekerja lepas di sana. Para penggunanya tidak hanya pekerja lepas, tapi juga sudah masuk ke pekerja di industri kreatif, seperti konten kreator, konsultan freelance, dan masih banyak lagi. Nama-nama perusahaannya, seperti Gojek Singapura, Foodpanda, dan Gogox.

“Kami akan menerapkan strategi yang sama untuk Indonesia dan Filipina, masuk ke industri yang memiliki populasi pekerja gig worker terbanyak baru masuk ke industri lainnya,” kata Lin.

Tak hanya hadir di Indonesia dan Singapura, saat ini Gigacover juga mulai merintis bisnisnya di Filipina. Lalu berencana untuk masuk ke Vietnam dan Thailand dalam setahun hingga dua tahun mendatang sebagai bagian dari strategi ekspansi di Asia Tenggara.

Ekspansi ke Indonesia ini, sambungnya, adalah bagian dari rencana perusahaan pasca mengantongi pendanaan pada 2019 yang dipimpin oleh Vectr Fintech dan Quest Ventures Partners.

Understanding the Opportunity of “On-Demand” Jobs in the “Gig Economy”

The development of technology generates new phenomena, from the changes in consumer habits, business models, and how to market products or services.

Those things create a new term, the gig economy, that refers to a trend shifting where companies prefer to work with freelancers than permanent workers.

How the gig economy related to the on-demand job? And how technology plays a role in the gig economy era?

For further information, Job2Go‘s Co-Founder and CEO, Kurniawan Santoso has discussed the issue with DailySocial in the #SelasaStartup session.

Creating new opportunities in the gig economy era

Without us knowing, we’re now living in the gig economy era. Picture it in the transportation services, food and drinks, travel tickets, and shopping activities which we’re now doing through applications, is a sign that technology becomes a part of our daily basis.

By understanding the gig economy, Kurniawan sees the high demand of a company to work with freelancers is followed by the trend of “tech-savvy” workers.

“These phenomena started a new era of business that is never existed before,” he said.

Kurniawan exemplifies how he developed an on-demand job search platform named Job2Go. The platform is to connect companies with job seekers. What’s more, this platform can improve the quality of life of workers.

In addition, the on-demand job search platform can conquer one of the biggest issues in Indonesia, it’s the difficulty of finding a job causing the high unemployment rate.

Based on data, there are 100.4 million people in Indonesia with a salary below the minimum standard. The number can create good opportunities for new business.

On-demand job to be the future of millennials

Quoting the former Minister of Manpower, Muhammad Hanif Dhakiri, Kurniawan said the future of millennials is “working without jobs”.

The on-demand jobs will be sought after as trends in contemporary careers develop. In terms of workers, Kurniawan said, 60 percent of them liked flexible work and 43 percent looked for various jobs.

In terms of companies, 40 percent of them strive to improve employee satisfaction and productivity and 37 percent are targeting freelance workers.

“Part-time workers have now become essential for companies due to cost-saving and efficiency. Also, flexibility and additional income are now important for some people, “he said.

He thought, for the developed countries, the gig-economy trend is growing because its population needs additional income. This is the red thread that connects the gig economy and the increase of on-demand jobs.

Technology is the key

Technology plays an important role in the gig economy platform. In connecting companies with job seekers, technology is required to minimize the gap between supply and demand.

Job2Go relies on Artificial Intelligence (AI) technology in gathering companies together with job seekers.

“Data intelligence can help recommend the right job. The process is fast and accurate, both for seekers and employers. The most important thing is technology makes accuracy even better, “he explained.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

 

Belajar dari Co-Founder dan CEO Job2Go Kurniawan Santoso di sesi #SelasaStartup tentang gig economy dan pekerjaan on-demand

Memahami Peluang Pekerjaan “On-Demand” di Era “Gig Economy”

Perkembangan teknologi memunculkan sejumlah fenomena baru, mulai dari perubahan perilaku konsumen, model bisnis, hingga bagaimana sebuah produk dan layanan dipasarkan.

Hal-hal di atas turut memicu istilah baru, yaitu gig economy, yang merujuk pada sebuah tren pergeseran di mana perusahaan lebih memilih memperkerjakan pekerja lepas daripada pekerja tetap.

Bagaimana gig economy dan pekerjaan on-demand saling berkaitan satu sama lain? Dan bagaimana teknologi dapat berperan di era gig economy?

Selengkapnya, simak pembahasan menarik dari Co-founder dan CEO Job2Go Kurniawan Santoso di sesi #SelasaStartup berikut ini.

Menciptakan peluang baru di era gig economy

Tanpa kita sadari, sebetulnya kita sudah hidup di era gig economy. Gambarannya, jasa transportasi, makanan dan minuman, tiket perjalanan, hingga berbelanja yang selama ini kita pesan melalui aplikasi adalah penanda bahwa teknologi telah menjadi bagian dari keseharian.

Dengan memahami gig economy, Kurniawan melihat permintaan perusahaan untuk memperkerjakan pekerja lepas semakin besar yang juga diikuti tingginya tren pekerja kekinian karena perkembangan teknologi.

“Justru fenomena ini dapat melahirkan bisnis baru yang belum pernah terpikirkan sebelumnya,” ungkapnya.

Kurniawan mencontohkan bagaimana ia mengembangkan platform pencarian kerja on-demand lewat nama Job2Go. Platform semacam ini dapat menghubungkan perusahaan dengan pencari kerja. Lebih lagi, platform ini dapat meningkatkan kualitas hidup para pekerja.

Di sisi lain, platform pencarian kerja on-demand dapat mengatasi salah satu masalah terbesar di Indonesia, yakni sulitnya mencari kerja yang menyebabkan angka pengangguran masih tinggi.

Menurut kalkulasinya, tercatat ada 100,4 juta orang di Indonesia yang memiliki bayaran atau gaji di bawah standar minimum. Angka tersebut dapat menjadi peluang bagus untuk melahirkan bisnis baru.

Pekerjaan on-demand jadi masa depan milenial

Mengutip ucapan mantan Menteri Ketenagakerjaan Muhammad Hanif Dhakiri, Kurniawan menyebut bahwa masa depan para pekerja milenial adalah “working without jobs”.

Pekerjaan on-demand akan banyak dicari seiring berkembangnya tren pekerja kekinian. Dari sisi pekerja, ungkap Kurniawan, sebanyak 60 persen menyukai pekerjaan yang fleksibel dan 43 persen mencari pekerjaan yang bervariasi.

Sementara dari sisi perusahaan, sebanyak 40 persen berupaya untuk meningkatkan kepuasan karyawan dan produktivitas dan sebanyak 37 persen menyasar pekerja freelance.

“Pekerja part time itu sekarang sudah menjadi sesuatu yang penting bagi perusahaan karena save money dan efisien. Di sisi lain, fleksibilitas dan keinginan mencari tambahan uang kini menjadi pilihan penting bagi sejumlah orang,” ujarnya.

Menurutnya, bagi negara-negara maju, tren gig economy sangat berkembang karena orang-orangnya memerlukan tambahan pendapatan. Ini yang menjadi  benang merah dari gig economy dengan meningkatnya pekerjaan on-demand.

Teknologi menjadi kunci

Teknologi tetap berperan penting di pada platform gig economy. Dalam menghubungkan perusahaan dengan pencari pekerjaan, teknologi dibutuhkan untuk meminimalisasi gap antara supply dan demand.

Job2Go mengandalkan teknologi Artificial Intelligence (AI) dalam mempertemukan perusahaan dengan para pencari kerja.

Data intelligence dapat membantu menyajikan pekerjaan yang tepat. Proses menjadi cepat dan akurat, baik bagi pencari dan pemberi kerja. Yang terpenting adalah teknologi membuat akurasi semakin baik lagi,” paparnya.

Kurniawan Santoso

Aplikasi Job2Go Tawarkan Layanan Pencarian Kerja Berbasis On-demand

Industri startup di Indonesia kembali kedatangan pemain baru. Melalui PT Sinergi Performa Cipta, aplikasi pencarian lowongan kerja berbasis on-demand, Job2Go resmi diperkenalkan.

Dalam keterangan resmi kepada DailySocial, Co-founder dan CEO Job2Go Kurniawan Santoso menyebutkan ada sejumlah faktor yang mendorong pengembangan layanan tersebut. Pertama, meningkatnya tren pekerja kekinian di Indonesia yang mengedepankan jam kerja dan lokasi fleksibel, serta mau mencoba berbagai pekerjaan baru.

Hal ini turut diperkuat oleh riset PersolKelly 2018 APAC Workforce Insight yang menunjukkan sebanyak 39 persen responden di Indonesia berminat mencari pekerjaan yang lebih fleksibel dari sisi kontrak kerja.

Selain itu, peningkatan tren ini juga dipicu oleh model bisnis gig-economy yang menekankan efisiensi dan efektivitas dengan teknologi. Istilah gig-economy merujuk pada ekosistem di mana seseorang melakukan pekerjaan on-demand atau jangka pendek.

Perkembangan teknologi mobile memicu semakin banyak yang ingin berpartisipasi di gig-economy. Hal ini mendorong perubahan perilaku konsumen yang menginginkan jasa atau produk yang serba instan dan customized, seperti di sektor e-commerce dan transportasi.

Menurutnya tren ini memberikan dampak positif yang menumbuhkan sektor ketenagakerjaan, mulai dari pekerja paruh waktu (freelance worker), pekerja mandiri (independent worker), dan staf yang direkrut untuk jangka pendek atau saat dibutuhkan (on-demand worker)

Di sisi lain, kita tidak dapat mengabaikan bahwa angka pengangguran semakin tinggi. Bagi mereka yang minim kemampuan kerja (low skill), pencarian kerja tentu menjadi masalah. “Maka itu, Job2Go membidik siapapun yang ingin cepat dapat pekerjaan yang menonjolkan pada pekerjaan sederhana dan tanpa keahlian khusus,” paparnya.

Dari sisi produk, aplikasi Job2Go dibekali teknologi Artificial Intelligence (AI) untuk mendapatkan kecocokan antara penawaran dan permintaan kerja. Selain itu juga menyediakan informasi lowongan pekerjaan on-demand dan pekerjaan lain yang tersedia di lokasi dekat para pencari kerja.

“Kami mengolah informasi dasar dari pekerja, seperti pendidikan dan keterampilan dipadukan dengan catatan performa pekerjaan sebelumnya,” ungkap Kurniawan.

Adapun Job2Go menawarkan berbagai pilihan jenis pekerjaan, mulai dari tenaga penjualan, merchandising, SPG, staf pemasaran, staf administrasi, staf magang, dan akan berkembang pada berbagai profesinya lainnya.

Kemudian, untuk memperkuat layanannya, Job2Go menyediakan sistem pembayaran pekerjaan yang terintegrasi di dalam saldo aplikasi.

Sebagai informasi, Job2Go dikembangkan oleh anak Indonesia yang telah mengantongi pengalaman di sejumlah perusahaan global. Kurniawan Santoso, misalnya, pernah bekerja di beberapa perusahaan Silicon Valley, seperti Google, Oracle, dan Facebook.

Kemudian, Co-founder & COO Saat Prihartono pernah berkarier di OVO dan perusahaan FMCG. Terakhir, Co-founder & CPO Andry Huzain sebelumnya adalah Co-founder TunaiKita dan pernah berkarier sebagai posisi senior di perusahaan digital.

Saat ini aplikasi Job2Go sudah tersedia di Google Play Store dan akan menyusul untuk versi iOS di App Store.

Application Information Will Show Up Here