Tag Archives: girl in tech

Kepemimpinan Wanita dan Keberagaman dalam Industri Logistik yang Didominasi Pria

Sering dianggap sebagai ruang yang didominasi laki-laki, logistik sebenarnya memiliki peluang besar bagi perempuan sebagai pekerja. Industri ini sangat luas, meliputi proses fisik pengumpulan sumber daya, pengangkutan atau penempatan sumber daya tersebut menuju distribusi akhir. Namun, terkadang ada kerikil kecil ketika orang mencoba bergerak melawan kepercayaan utama dalam masyarakat. Ada bias gender yang tidak disadari yang menempel di pikiran untuk bertindak sesuai dan menahan niat sebenarnya dari ambisi seseorang.

Berdasarkan penelitian International Labour Organisation (ILO) bertajuk Breaking barriers: Unconscious gender bias in the workplace, bias gender yang tidak disadari diartikan sebagai asosiasi mental yang tidak disengaja dan otomatis berdasarkan gender, yang bersumber dari tradisi, norma, nilai, budaya, dan/atau pengalaman. Asosiasi otomatis dimasukkan ke dalam pengambilan keputusan, memungkinkan penilaian cepat terhadap individu menurut gender dan stereotipnya.

Seorang asisten profesor di Departemen Psikologi Universitas Denver yang juga penulis utama makalah tersebut, Daniel Storage mengamati, “Stereotip yang menggambarkan kecemerlangan sebagai sifat laki-laki cenderung menahan perempuan untuk mencapai berbagai karir bergengsi.”

Namun, tidak demikian halnya dengan Roolin Njotosetiadi. Sebagai salah satu dari sedikit mahasiswi di jurusan teknik mesin di Nanyang Technological University, tidak pernah menjadi masalah baginya untuk mendaki jenjang pendidikan yang setara dengan kelompok pria lainnya. Semangat dan upaya tanpa akhir inilah yang membawanya ke posisi C-Suite di salah satu perusahaan logistik terkemuka di Indonesia, Logisly.

Perempuan sebagai tenaga kerja

Secara global, wanita kerap kurang terwakili di perusahaan, dan partisipasi wanita kian menurun semakin menaiki hierarki perusahaan. Namun, banyak perusahaan telah menunjukkan komitmen mereka terhadap kesetaraan gender dengan menetapkan kebijakan yang ramah keluarga dan memfasilitasi karier dan jaringan profesional wanita. Misalnya cuti hamil dan fasilitas kantor lainnya seperti ruang menyusui dan lain sebagainya.

Namun demikian, bias gender yang tidak disadari terus berdampak pada perempuan di tempat kerja, dan lebih banyak yang harus dilakukan untuk memungkinkan perempuan yang sangat terampil untuk menempati posisi sebagai pemimpin. Seperti dikutip dari The Economic Times, pada 2010, perempuan hanya menyumbang delapan persen dari angkatan kerja logistik yang terus meningkat hingga 20 persen pada 2018.

Sejak ditetapkannya Raden Ajeng (RA) Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Soekarno tahun 1964, Indonesia telah mengalami perubahan sosial ekonomi dan pertumbuhan yang pesat dalam pencapaian pendidikan perempuan. Namun, selama periode ini, perempuan Indonesia hanya terlibat dalam pasar tenaga kerja, dengan rasio partisipasi angkatan kerja perempuan-laki-laki berada di sekitar 0,6, berdasarkan Female Labor Force Participation in Asia: Indonesia Country Study oleh Cornell University ILR School.

Bagi Roolin, ada dua hal yang patut disoroti. Pertama, ini semua tentang persepsi, wanita tidak pernah bisa lebih pintar dari pria merupakan salah satu hal yang sangat salah. Kedua, ketika orang mulai membangun rumah tangga dan keluarga, mereka akan menghadapi beberapa kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan keseimbangan kehidupan kerja. Namun, karena ada kewajiban “kodrat” yang ditempelkan pada wanita untuk mengurus keluarga, terkadang hal itu menjadi 10 kali lebih sulit.

“Di Logisly, kami berusaha memberikan ruang aman bagi perempuan untuk membangun karir sekaligus mengampu tanggung jawab dalam rumah tangga. Dengan 40% karyawan kami adalah perempuan, saya pribadi ingin menciptakan lingkungan yang sehat bagi mereka untuk mengembangkan bakat mereka di bidang logistik ,” tambah Roolin.

Faktanya, industri teknologi Indonesia semakin mendapat dukungan dari kehadiran perempuan di dalam ekosistem. Ada juga beberapa inisiatif yang diluncurkan, misalnya gerakan non profit bertujuan untuk mendidik dan memberdayakan perempuan yang memiliki passion di bidang teknologi, Girls in Tech. Belum lagi program Elevate Women untuk memfasilitasi womenpreneur di industri kreatif.

Kehadiran perempuan di industri teknologi akan selalu dinantikan. Masalahnya, masih ada persepsi yang melekat di beberapa industri bahwa perempuan tidak memiliki kapasitas lebih besar dibandingkan laki-laki. Roolin juga menyebutkan bahwa banyaknya CEO pria di Indonesia bukan karena lingkungan yang tidak mendukung, namun terkadang wanita memiliki prasangka bawah sadar terhadap diri sendiri, yang menurut mereka kurang mampu. Faktanya, tidak seperti itu.

“Bergabunglah di meja! Jika Anda memiliki kesempatan untuk berpartisipasi, lakukanlah! Jangan pernah berpikir bahwa Anda tidak pantas menjadi bagian dari sesuatu yang besar. Tingkatkan kepercayaan diri Anda. Jika Anda berada di tempat itu, Anda berhak berada di sana,” pungkasnya.

Kebangkitan sektor logistik

Dengan naik turunnya kebijakan restriksi di awal krisis pandemi, alih-alih melambat, industri logistik mampu pulih dan berakselerasi, baik dari kinerja bisnis maupun penambahan modal yang dibuktikan dengan berita pendanaan terkini dari banyak pihak platform logistik lokal.

Secara keseluruhan, ada penurunan permintaan logistik di tahun lalu, namun beberapa sektor masih tumbuh. Logisly, sebagai salah satu pemain teknologi yang mencoba melakukan diversifikasi, karena beberapa sektor melemah, secara refleks mereka beralih ke pasar yang ramai. Karena pandemi menciptakan efek yang belum pernah terjadi sebelumnya, perusahaan berusaha mempertahankan arus kas. “Beruntung bagi kami, hal itu yang menjadi proposisi nilai kami untuk transporter,” tambah Roolin.

Roolin, melalui Logisly, sekarang berfokus pada tiga hal, memperluas jaringan dengan pengirim dan pengangkut menggunakan strategi flywheel untuk meningkatkan layanannya; meningkatkan operasi dengan otomatisasi yang tersedia yang didukung oleh teknologi terbaru, dengan model B2B, kinerja sangat penting. Mereka ingin membangun tidak hanya solusi teknologi, tetapi juga kepercayaan dari semua mitra untuk mengelola kinerja ujung-ke-ujung mereka; juga bertumbuh dalam hal pengembangan manusia. Logisly adalah perusahaan teknologi dengan aset ringan, karyawan menjadi aset utamanya.

“Kami melanjutkan upaya kami untuk tidak hanya merekrut orang-orang terbaik untuk bergabung dengan tim kami, tetapi juga memastikan tim kami benar-benar tumbuh bersama Logisly dan merasa bahwa mereka dapat melihat ini sebagai tempat di mana mereka dapat tumbuh dengan potensi terbaik mereka,” tambah Roolin. .

Berdasarkan riset Startus-insights, transformasi digital menyumbang €1,42 triliun investasi di bidang logistik pada tahun 2025. Namun, penetrasi platform digital di industri logistik masih cukup rendah, setidaknya itulah yang diamati Roolin. Dalam hal shipper, inilah saatnya meninggalkan cara pemesanan manual konvensional hingga semua faktur berbasis kertas. Banyak platform tersedia untuk mendukung transformasi digital. Selain itu, bagi transporter, akan lebih leluasa dalam mendapatkan pesanan. Dengan usaha seminimal mungkin, mereka dapat meningkatkan pemanfaatan truk dan pendapatan pokok. Bisnis akan lebih mulus dan sepenuhnya digital, biaya akan semakin berkurang. Namun, dengan semua dukungan otomatisasi yang ada, disrupsi harus selalu terjadi setiap hari di dalam diri masyarakat.

“Disrupsi di bidang logistik sangatlah luas dan ini hanyalah sebagian kecilnya,” tambahnya.

Logistik sebagai industri bersinggungan dengan banyak industri lainnya, terutama e-commerce. Di Logisly, setidaknya ada dua titik untuk menghubungkan titik-titik ke bidang e-commerce. Banyak dari operasinya yang last-mile, tetapi beberapa telah berinvestasi di gudang sendiri, dimana mereka membutuhkan armada yang lebih besar dari gudang ke gudang. Selain itu, pemain jarak jauh membutuhkan dukungan dengan hub mereka di kota-kota tertentu. Selain itu, pembayaran digital juga menjadi salah satu teknologi yang wajib diadopsi. “Sebagai perusahaan teknologi, kita perlu cepat beradaptasi dengan otomasi terbaru guna meningkatkan produktivitas dan kecepatan. Selama ini yang saya tahu, kuncinya logistik adalah kecepatan,” tambahnya.

Karena tenaga kerja adalah elemen penting dari setiap model operasi logistik, maka peluang besar tidak hanya bagi laki-laki tetapi juga bagi perempuan untuk bergabung dengan angkatan kerja, dan sektor logistik sekarang mendukung perempuan berbakat dan energik dengan menumbuhkan budaya di mana perempuan diberikan berbagai platform untuk mengembangkan dan merawat diri mereka sendiri. Banyak perusahaan telah mengambil langkah positif dengan memperkenalkan budaya aman dan berorientasi pada perempuan serta inisiatif keseimbangan kehidupan kerja (work-life balance).

“Logistik berada dalam posisi untuk melayani semua pihak dengan barang sampai ke tujuannya. Ini melibatkan banyak orang dan mencakup semua bidang. Kami tidak dapat melakukan semuanya sendiri, oleh karena itu, kami membutuhkan mitra, untuk mengembangkan solusi hyperlocal-on-demand. Kuncinya adalah kolaborasi. Jika hanya satu yang membangun semuanya, kita tidak akan memiliki biaya yang cukup dan tidak akan ada cukup waktu,” jelas Roolin.


Artikel asli dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

An exclusive interview with Logisly's Co-Founder and CEO, Roolin Njotosetiadi. She's one of few women that successfully building a logistics company

Champion Women Leadership and Diversity in a Male-Dominated Logistics Industry

Often considered as the male-dominated space, logistics actually holds a big opportunity for women in the workforce. It is a very broad industry, encompasses the physical process of accumulating resources, the transportation or positioning of those resources to the final distribution. However, sometimes it hits different when people move against the major beliefs in society. There’s unconscious gender bias that plastered the mind to act accordingly and hold back the true intention of one’s ambition.

Based on a research by International Labour Organization (ILO) titled Breaking barriers: Unconscious gender bias in the workplace, unconscious gender bias is defined as unintentional and automatic mental associations based on gender, stemming from traditions, norms, values, culture, and/or experience. Automatic associations feed into decision-making, enabling a quick assessment of an individual according to gender and gender stereotypes.

An assistant professor in the University of Denver’s Department of Psychology and the paper’s lead author, Daniel Storage observed, “Stereotypes that portray brilliance as a male trait are likely to hold women back across a wide range of prestigious careers.”

However, that is not the case for Roolin Njotosetiadi. As one of the few female students in mechanical engineering major of Nanyang Technological University, it is never been much of an issue for her to climb the educational ladder along with the other male group. The spirit and unconditional effort are what carried her to the C-Suite position at one of the leading logistics companies in Indonesia, Logisly.

Women in the workforce

Globally, women are underrepresented in corporations, and the share of women decreases with each step up the corporate hierarchy. However, many companies have shown their commitment to gender equality by establishing family-friendly policies and facilitating women’s careers and professional networks. For example, pregnancy leave and other office facilities such as nursing room and so on.

Nevertheless, unconscious gender bias continues to impact women in the workplace, and more must be done to enable highly skilled women to advance into leadership positions. As quoted from The Economic Times, in 2010, women formed only eight percent of the logistics workforce which has steadily increased to 20 percent in 2018.

Since the designation of Raden Ajeng (RA) Kartini as a National Independence Hero based on the Presidential Decree of President Soekarno in 1964, Indonesia has experienced socioeconomic change and rapid growth in women’s educational attainment. However, throughout this period, Indonesian women have remained only moderately engaged in the labor market, with the female-male labor force participation ratio hovering around 0.6, based on Female Labor Force Participation in Asia: Indonesia Country Study by Cornell University ILR School.

For Roolin, there are two things that should be highlighted. First, it’s all about perception, women can never be smarter than men is a very wrong one. Second, as people starting a family, they will face some difficulty adjusting to the work-life balance. However, since there’s this naturalized obligation in women to take charge of the care of familyit sometimes becomes 10 times harder.

“In Logisly, we tried to provide a safe space for women to build a career while also having responsibility in a household. With 40% of our employees are women, I personally want to create a healthy environment for them to develop their talent in logistics,” Roolin added.

In fact, the Indonesian tech industry is getting more support from women’s presence in the field. There are also some initiatives launched, for example, non-profit aims to educate and empower women who are passionate about technology, Girls in Tech. Also, the recent one, Elevate Women program to facilitate womenpreneur in the creative industry.

Women’s presence in the tech industry will always be expected. The thing is, there’s still an inherent perception in some industries that women are less capable than men. Roolin also mentioned that the higher number of male CEO in Indonesia is not due to an unsupportive environment, but sometimes women have their own unconscious bias against themselves, that they think they’re less capable. In fact, they’re not.

“Sit at the table! If you have the opportunity to participate, do it! Don’t ever think that you don’t deserve to be part of something big. Boost your confidence. If you’re there, you deserve to be there.” She added.

The rise of logistics

With the ups and downs due to the restriction policy at the beginning of the pandemic crisis, instead of slowing down, the logistics industry was capable to recover and accelerate, both from its business performance and the additional capital as proven by recent funding news from many local logistics platforms.

Overall, there is a decline in logistics demand last year, but some of the sectors are still growing. Logisly as one of the tech players trying to make diversification, as some of the sectors lay low, they reflexively shifted into the crowded market.  As the pandemic creates unprecedented effects, companies are trying to sustain the cash flow. “Luckily for us, that is our value proposition for the transporter,” Roolin added.

Roolin, through Logisly, is now focused on three things, expanding network with shippers and transporters using the flywheel strategy in order to better its services; improving operations with available automation supported by the latest technology, with the B2B model, performance is essential. They want to build not only tech solutions, but also trust from all our partners to manage their end-to-end performance; growing in terms of people development. Logisly is an asset-light tech company, people are its main asset.

“We continue on our effort to not only recruit really good people to join our team but make sure the team we have actually grown with Logisly and feel that they can see this as a place where they can live to their fullest potential,” Roolin added.

Based on the Startus-insights research, Digital transformation accounts for €1.42 trillion investments in logistics by 2025. However, the digital platform penetration in the logistics industry is still quite low, at least, that is what Roolin observed. In terms of Shipper, it’s time to leave the conventional way of manual ordering to all the paper-based invoicing. Many platforms are available to support digital transformation. Also, for the transporter, it will be more flexible to get an order. With the minimum effort, they can increase truck utilization and basic income. The business will be more seamless and totally digital, cost will be less and less burdening. However, with all the support of all the existing automation, disruption should always happen every day within the people.

“Disruption in logistics is quite extensive and this is just the tip of the iceberg,” she added.

Logistics as an industry intersects with many other industries, especially e-commerce. In Logisly, there are at least two to connect the dots to the e-commerce field. Many of its operations are last-mile, but some are investing in its own warehouse where they need a bigger fleet from warehouse to warehouse. Also, the last-mile players need support with their hub in certain cities. In addition, digital payment is also one of the must-adopted technology. “As a tech company, we need to fastly adapt to the latest automation in order to increase productivity and speed. For as long as I know, the key of logistics is speed,” she added.

As labor is a critical element of any logistics operating model, it holds big opportunities not only for men but also for women to join the workforce and the logistics sector is now supporting talented and energetic women by fostering a culture where women are provided with a various platform to develop and groom themselves. Many companies have taken positive steps by introducing a safe and women-oriented culture as well as work–life balance initiatives.

“Logistics is in a position to serve all parties with goods to its destination. It involves many people and covers all areas. We can’t do everything on our own, therefore, we need partners, in order to develop the hyperlocal-on-demand solution. The key is collaboration. If one should build everything, we wouldn’t have enough cost and there wouldn’t be enough time,” Roolin said.

Hasil Temuan Mastercard tentang Ketertarikan Perempuan Berkarier di Bidang STEM

Mastercard kembali merilis laporan keduanya bertajuk “Girls in Tech”, kali ini memfokuskan pada kepuasan para pekerja perempuan di bidang STEM (Sains, Teknologi, Teknik dan Matematika). Salah satu simpulan menarik disebutkan bahwa 72 persen dari pekerja di bidang STEM di Indonesia sangat puas dengan karier mereka saat ini. Sementara itu tingkat partisipasi anak-anak perempuan di Indonesia (usia 15-19 tahun) di bidang STEM merupakan kedua tertinggi di wilayah Asia Pasifik.

Hasil yang didapat dalam penelitian ini berdasarkan pada wawancara yang berlangsung pada bulan Desember 2016 dengan jumlah responden sebanyak 2.270 perempuan berusia 12-25 tahun di enam negara di kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia.

Di antara first jobber yang lulus kuliah dengan gelar STEM, sebanyak 84 persen memperoleh pekerjaan pertama kurang dari enam bulan, sementara 60 persen dari para lulusan tersebut sangat puas dengan pilihan pekerjaan yang mereka miliki setelah lulus.

Selain itu banyak 63 persen dari perempuan muda yang disurvei mengungkapkan bahwa mereka cenderung untuk bertahan di bidang yang terkait dengan STEM dalam karier. Banyaknya kesempatan untuk belajar, bertumbuh dan maju, serta passion mereka terhadap bidang STEM merupakan faktor utama yang dipilih responden untuk tetap bertahan berkarier di bidang STEM.

Kondisi peminat STEM di kalangan perempuan Indonesia

Di Indonesia, mayoritas dari lulusan STEM bekerja di bidang yang sesuai dengan gelar mereka (84 persen bekerja di bidang STEM). Mereka mengatakan bahwa passion (50 persen) dan tantangan (47 persen) merupakan alasan utama untuk bekerja di bidang STEM. Pemikiran mereka ketika memutuskan untuk memilih sebuah pekerjaan ialah upah yang tinggi (82 persen), bekerja dengan orang-orang yang cerdas (82 persen), keamanan dalam bekerja (79 persen) serta kesesuaian pekerjaan dengan ketertarikan mereka (79 persen).

Sementara itu walaupun partisipasi anak-anak perempuan berusia 12-19 tahun di bidang STEM merupakan salah satu yang tertinggi di wilayah Asia Pasifik, namun dibandingkan dengan negara lainnya Indonesia menjadi negara yang paling mendekati untuk menutup adanya kesenjangan gender (gender gap).  Hanya 26% dari anak-anak perempuan di Indonesia (dibandingkan dengan 39% rata-rata di wilayah tersebut) yang menyatakan bahwa anak-anak perempuan lebih cenderung untuk tidak memilih mata pelajaran STEM ketika melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak laki-laki.

Kekhawatiran dan harapan perempuan di dunia kerja berbasis teknologi

Di antara para remaja perempuan yang disurvei, 30 persen dari mereka yang berusia 17-19 tahun mengatakan bahwa mereka tidak akan memilih pekerjaan di bidang STEM walaupun mereka mempelajari mata pelajaran bidang tersebut. Sementara itu, anak-anak perempuan berusia 12-19 tahun mengatakan mereka akan terus memegang persepsi bahwa mata pelajaran STEM itu sulit (39 persen) dan karier STEM merupakan karier yang bias gender, dengan dua dari lima anak perempuan percaya hanya sedikit anak perempuan yang memilih mata pelajaran STEM dikarenakan adanya persepsi bahwa pekerjaan STEM didominasi oleh laki-laki.

Ketika ditanyakan mengenai hal yang dapat menarik perhatian anak perempuan untuk mengejar karier di bidang STEM, anak-anak perempuan berusia 17-19 tahun menyatakan bahwa beasiswa (38 persen), wanita yang telah berhasil di bidang STEM dan menjadi panutan mereka (34 persen) serta dukungan kuat dari sekolah dan institusi (32 persen) sebagai tiga motivasi utama mereka. First jobber di bidang STEM merasa bahwa paparan sebelumnya mengenai karier STEM melalui kesempatan bersosialisasi atau networking (43 persen), magang (36 persen) dan pameran untuk karier (35 persen) akan membantu untuk mempersiapkan diri mereka lebih baik dari kondisi mereka saat ini.

Tiga dalam lima first jobber yang disurvei menyatakan bahwa kesesuaian pekerjaan bagi wanita merupakan sebuah kriteria ketika mereka mencari pekerjaan, sementara 46 persen percaya bahwa pada organisasi mereka saat ini, para pria dibayar lebih banyak dibandingkan perempuan untuk posisi yang sama.

Di antara first jobber STEM yang mempertimbangkan untuk bekerja di bidang non-STEM, kekhawatiran terhadap kurangnya eksposur terhadap hal-hal komersial (36 persen), jam kerja yang panjang (36 persen) dan kesesuaian untuk jenis kelamin/gender (33 persen) merupakan alasan utama yang mendorong mereka untuk melakukan hal tersebut.  42 persen dari first jobber STEM percaya bahwa kita butuh untuk mengubah persepsi masyarakat terhadap STEM agar dapat menarik generasi perempuan selanjutnya untuk mengejar karier di bidang STEM.