Tag Archives: GKR Hayu

Tepas Tandha Yekti sebagai Tiang Teknologi Informasi dan Komunikasi Keraton Yogyakarta

Ketika mendengar kata Keraton, apa yang ada di benak Anda? Ya, pada umumnya akan mendefinisikan sebagai unsur budaya yang masih kental mempertahankan nilai-nilai leluhur. Lalu ketika membayangkan, apakah pendekatan digital modern mungkin untuk dielaborasi? Mungkin banyak orang akan berpikiran, baiknya jangan karena akan merusak tatanan budaya atau malah berpikiran keras bahwa pendekatan modern dan budaya harus benar-benar dipisahkan.

Namun dilahirkannya Tepas Tandha Yekti berhasil mengubah perspektif kami tentang akulturasi budaya luhur dan digitalisasi. Informasi ini mungkin akan memberikan insight baru juga untuk Anda yang skeptis tentang percampuran dua dunia ini.

Kami berkesempatan untuk melakukan wawancara eksklusif dengan Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hayu, putri ke-4 Sri Sultan Hamengku Buwono X dari Keraton Yogyakarta Hadiningrat, sebagai Penghageng (Kepala Divisi) Tepas Tandha Yekti.

Dalam wawancara ini, DailySocial mencoba menggali tentang apa itu Tepas Tandha Yekti dan inovasi digital yang coba digalakkan Keraton Yogyakarta.  Berikut hasil wawancara kami dengan GKR Hayu.

Apa itu Tepas Tandha Yekti?

Tepas Tandha Yekti (selanjutnya disebut dengan TTY) merupakan sebuah divisi di dalam struktur organisasi Keraton Yogyakarta yang bertanggung jawab atas IT dan dokumentasi. Dibentuk atas Dawuh Dalem (perintah Sultan) pada akhir tahun 2012, TTY adalah salah satu divisi termuda. Sebelum adanya TTY, tidak ada divisi khusus yang bertanggung jawab atas dokumentasi. Secara struktural, TTY ada di ruang lingkup Keraton, di bawah Kawedanan Hageng Punokawan Panitrapura (bertanggung jawab atas administrasi Keraton).

Menurut GKR Hayu, zaman dulu fotografer istana justru kebanyakan orang asing atau orang Jawa di bawah didikan Belanda seperti Kassian Cephas. Setelah itu, foto-foto Keraton diabadikan oleh para pangeran yang hobi fotografi. Hanya saja semakin ke sini, hasil karya ini tersebar di banyak tempat. Misalnya foto dari seorang Pangeran biasanya disimpan di rumahnya, ketika beliau meninggal, keturunannya sudah tidak tahu lagi di mana dokumentasi tersebut berata.

Mendokmentasikan ragam kekayaan budaya budi luhur dengan cara modern / Dok. Keraton Yogyakarta
Mendokmentasikan ragam kekayaan budaya budi luhur dengan cara modern / Dok. Keraton Yogyakarta

Bukan hanya foto, tapi begitu pula dengan buku catatan yang tidak termasuk kitab sehingga tidak tersimpan di perpustakaan Keraton, Widya Budaya. Jadi sudah perlu adanya satu divisi khusus yang bertanggung jawab atas dokumentasi.

Sebelum 2012, semua workflow di Keraton masih sangat paper-based. Sehingga informasi antar Kawedanan Hageng atau semacam kementerian sangat terkotak-kotak dan tidak efisien. Atas dasar ini, Sultan merasa perlunya sebuah divisi IT yang bisa membawa Keraton ke proses computer-based sehingga cara kerjanya bisa jauh lebih efisien.

Apakah yang mengerjakan tugas di dalamnya merupakan Abdi Dalem Keraton?

Pada saat dibentuk, TTY hanya memiliki 5 Abdi Dalem, paling kecil di antara yang lain. Terdapat struktur organisasi di dalamnya, mulai dari Penghageng (kepala divisi, dijabat oleh GKR Hayu), Wakil Penghageng, Carik (sekretaris), Hartakan (bendahara) dan Lumaksono (umum). Abdi Dalem ada beberapa jenis, Abdi Dalem Tepas diharuskan sowan (masuk kerja) 4-5 kali dalam seminggu,  sementara Abdi Dalem Caos hanya beberapa kali dalam sebulan, atau saat ada acara Hajad Dalem (upacara Keraton). Jadi meski kecil, Abdi Dalem TTY termasuk yang paling dedicated karena selalu ada setiap hari.

Hanya saja, menjadi Abdi Dalem adalah sebuah niatan mengabdi dan meluangkan waktu untuk Keraton. Permasalahan yang sering ditemui, tak jarang GKR Hayu kesulitan mendapatkan Abdi Dalem dengan skills yang dibutuhkan. Ditambah dengan workload TTY yang jauh lebih intensif dibanding Tepas lainnya, akhirnya GKR Hayu memutuskan untuk mengambil beberapa tenaga lepas untuk membantu kerja TTY.

“Kami belum pernah ada open recruitment tapi kami minta rekomendasi dari orang yang sudah bergabung di TTY. Pertimbangan saya, tim TTY tetap harus kecil karena mereka harus keluar-masuk Keraton sementara statusnya bukan Abdi Dalem. Saya harus bisa mempertanggungjawabkan semua yang diperbuat mereka. Jadi tiap anggota tim harus bisa menjalani tata krama yang ada di Keraton, dan punya niatan tulus untuk membantu Keraton. Sekarang ada sekitar 20-an non Abdi Dalem yang membantu TTY,” ujar GKR Hayu.

Sebagai Penghageng, peran GKR Hayu di TTY mulai dari konsep, mencari dana, eksekusi dan monitoring. Karena divisi ini sangat berbeda kerjanya dengan yang lain di Keraton, menurut GKR Hayu tidak banyak yang bisa jadi bahan studi banding.

Apa yang menjadi fokus inovasi di TTY?

Yang menjadi prioritas di TTY adalah mengumpulkan berbagai pengetahuan tentang Keraton yang tersebar dan diarsipkan dengan baik. Karena TTY harus riset untuk memproduksi konten, kolaborasi dengan Tepas dan Kawedanan lain sangat diperlukan untuk melakukan pendataan. Misalnya mendata semua Masjid Kagungan Dalem atau masjid-masjid milik Keraton yang jumlahnya ada 40 lebih.

Dari sisi IT, transformasi dari paper-based ke computer-based juga tengah terus dijalankan. Saat ini tim TTY sedang bekerja sama dengan beberapa Kawedanan lain untuk meneliti existing workflow dan mencari cara untuk memindahkan itu ke sebuah aplikasi.

Tepas Tandha Yekti memiliki visi untuk membuat akses ke dokumentasi Keraton menjadi semudah mungkin / Dok. Keraton Yogyakarta
Tepas Tandha Yekti memiliki visi untuk membuat akses ke dokumentasi Keraton menjadi semudah mungkin / Dok. Keraton Yogyakarta

Pada tahun 2013, TTY mengembangkan talkshow tentang budaya dalam Keraton yang disiarkan di TVRI Yogyakarta. Namun untuk sementara ini program tersebut dihentikan karena TTY akan mengubah formatnya dari talkshow menjadi feature. TTY sedang mengubah proses produksinya secara internal sembari meningkatkan skill masing-masing anggota.

Yang sudah berjalan stabil adalah optimalisasi penggunaan media sosial di Twitter, Facebook dan Instagram. Website kratonjogja.id juga sudah diluncurkan secara resmi oleh Sultan pada tanggal 7 Maret lalu bertepatan dengan 28 tahun Sultan bertahta.

“Saya sedang mengembangkan tim riset di dalam TTY, yang baru berjalan sekarang ini riset tentang pengageman atau busana di dalam Keraton,” ujar GKR Hayu.

Tentang GKR Hayu, kegemarannya di dunia digital

Kegemarannya dengan dunia digital menurutnya sudah diawali sejak kecil. Kegemarannya bermain dengan sesuatu yang berbau problem solving, seperti puzzle, lego hingga model kit. Pada saat SMP sempat beralih ingin menjadi politisi seperti ayah dan ibunya, tapi beralih lagi ketika masuk jenjang SMA.

“Jadi kurang tertarik karena kok rasanya politik hanya antara mbohongin orang atau dibohongin.”

Ketika kuliah S1 di Inggris, jurusan yang diambil adalah Computer Science. Tapi waktu itu GKR Hayu merasa kesulitan untuk mendalami pemrograman. Sempat hampir putus asa, karena pada perjalanan 2 tahun masa kuliah ia mendapatkan tawaran beasiswa jurusan Kimia di Inggris. Namun pada akhirnya ia tetap memutuskan untuk melanjutkan kuliah di jurusan IT, dengan mengambil konsentrasi pada Information System. Spesialisasi yang diambil saat itu Network Design dan Project Management.

Selepas lulus S1, GKR Hayu bekerja sebagai Assistant Project Manager pada sebuah software house di Jakarta untuk mengembangkan internet banking untuk korporasi. Setelah melalui pergelutan dengan pengembangan sistem internet banking di perusahaan BUMN, setahun kemudian ia dipercaya sebagai Project Manager di tempat tersebut.

“Selama 3 tahun saya bekerja di Jakarta, saya bertanggung jawab atas proyek di 8 bank (BUMN maupun bank asing), pengembangan produk internal, dan weekly knowledge sharing untuk sesama Project Managers maupun divisi lain seperti developers, analysts dan QA.”

Tak lama kemudian ia mengudurkan diri dari pekerjaannya di Jakarta, karena sudah mulai disibukkan dengan TTY dan rencana melanjutkan studi S2. Kembali ke Yogyakarta, sembari mengelola TTY, GKR Hayu bekerja di Gameloft sebagai HD Game Producer. Kala itu Windows 8 baru saja dirilis dan ia bertanggung jawab untuk memimpin salah satu tim pengembangan game di platform tersebut.

Bertahan satu tahun, GKR Hayu kemudian mengundurkan diri dari Gameloft karena alasan kesehatan dan dinyatakan lolos seleksi LPDP. Ketika lulus S2, ia full time mendedikasikan waktu untuk Keraton dan TTY.

Saat ini di Yogyakarta GKR Hayu juga menjadi advisor untuk Asosiasi Digital Kreatif (ADITIF) yang fokus pada startup teknologi dan Jogja Creative Association (JCA) yang fokus pada industri kreatif digital, seperti animasi, komik, dan game.

Tanggapan Sultan dengan kegemaran GKR Hayu di bidang digital

Sri Sultan Hamengkubuwono X dan GKR Hayu dalam persemian website resmi Keraton / Dok. Keraton Yogyakarta
Sri Sultan Hamengkubuwono X dan GKR Hayu dalam persemian website resmi Keraton / Dok. Keraton Yogyakarta

Dengan tegas GKR Hayu menjawab, “sangat mendukung”. Tidak pernah sekalipun ayahanda mengatakan “ini bukan kerjaan perempuan” yang justru sering ia dengar dari orang lain. Beliau selalu mengatakan “di masa depan IT akan jadi sangat penting”.

“Waktu saya telepon sambil nangis-nangis karena merasa gagal di jurusan Computer Science, Bapak hanya bilang ‘yang penting kamu sudah berusaha’ dan fokus membantu memikirkan next step-nya apa.”

Setelah semua itu berjalan, setidaknya kini GKR Hayu akan fokus penuh ke Tepas Tandha Yekti membawakan visi:

  • TTY sebagai divisi IT bisa membantu divisi lain dalam transformasi cara kerja yang lebih efektif dan efisien.
  • Menghadirkan budaya Jawa yang di Keraton ke publik dengan lebih baik, terutama untuk para diaspora Jawa yang sudah tak pernah kembali tapi masih memegang teguh identitas budayanya melalui internet.
  • Keraton yang sudah lebih efisien dan efektif cara kerjanya, bisa melayani publik dengan lebih baik lagi.
  • Semua arsip dan dokumentasi Keraton punya backup digital, dan punya kerja sama dengan institusi luar negeri yang punya arsip dan naskah kuno Keraton seperti di Inggris dan Belanda.

Tanggapan masyarakat Yogyakarta mengenai terobosan Tepas Tandha Yekti

Hadirnya Tepas TandhaYekti di lingkungan Keraton semakin menandaskan posisi Yogyakarta sebagai kota budaya, kreativitas, dan kota yang akrab dengan teknologi. Salah satu penggiat teknologi informasi dan warga Yogyakarta, Rony Agung Rahmanto, atau akrab disapa Rony Lantip, menyatakan bahwa transformasi Keraton Yogyakarta dengan Tepas Tandha Yekti merupakan salah satu harapan warga Yogyakarta yang menginginkan kemudahan akses. Bagi Rony, kemudahan yang diharapkan adalah akses ke naskah-naskah kuno di Keraton sebagai sumber sejarah valid.

Yogyakarta yang memiliki citra sebagai salah satu kota dengan warisan budaya yang kaya di Indonesia. Modernisasi di Yogyakarta melalui TTY juga membuktikan Keraton Yogyakarta tidak menutup diri terhadap inovasi teknologi dan semacamnya.

GKR Hayu, salah satu orang yang memiliki peran di belakang Tepas Tandha Yekti dipandang Rony sebagai salah seorang yang memiliki pandangan yang jauh ke depan. Pengalaman GKR Hayu di dunia teknologi informasi diharapkan bisa memberikan dampak yang signifikan dari adanya sentuhan digital di keraton Yogyakarta ini.

“Mengenai GKR Hayu dan Tepas Tandha Yekti saya mungkin tidak bisa berpendapat banyak. Pengetahuan saya soal Tepas Tandha Yekti amatlah terbatas. Tetapi pandangan-padangan GKR Hayu yang jauh ke depan, ditambah dengan bagaimana representasi Keraton dikemas Tepas Tandha Yekti (terutama di dunia media sosial), menurut saya bagus sekali.”

Inovasi yang berujung pada kebermanfaatan bagi masyarakat / Dok. Keraton Yogyakarta
Inovasi yang berujung pada kebermanfaatan bagi masyarakat / Dok. Keraton Yogyakarta

“Pengalaman GKR Hayu di dunia IT tentu yang memberikan warna itu, dan itu menarik sekali. Tinggal nanti harapannya, sentuhan itu akan meluas sehingga banyak dampaknya bisa dirasakan oleh seluruh warga secara langsung. Banyak komunitas digital di Yogya yang tampaknya akan menghasilkan sesuatu yang keren seandainya mendapatkan askes atau kesempatan berkontribusi dalam proses transformasi digital tadi,” papar Rony.


Amir Karimuddin dan Pragoyo Ryza berpartisipasi dalam penyusunan dan penulisan artikel ini.

Bagaimana Perempuan Menjadi Bagian Sebuah Startup (Bagian 2)

Tulisan ini menjadi lanjutan dari artikel di tahun 2015 berjudul “Bagaimana Perempuan Menjadi Bagian Sebuah Startup”. Kala itu kami mewawancara tiga orang yang terlibat langsung dalam sebuah bisnis startup, dari sisi investor, pengembang bisnis dan juga developer. Dalam artikel tersebut dijabarkan beberapa hal teknis terkait keterlibatan perempuan dalam sebuah bisnis teknologi.

Dalam sebuah kesempatan, pada pagelaran Women in Tech yang diinisiasi oleh ADITIF (Asosiasi Digital Kreatif), sebuah diskusi terkait peran perempuan dalam industri teknologi dibahas. Kali ini fokus pada kultur kerja dan juga lingkungan yang berkorelasi dengan kenyamanan pekerja perempuan dalam bisnis teknologi, khususnya dalam ukuran startup.

Dalam kesempatan tersebut hadir GKR Hayu sebagai penanggung jawab TIK di Keraton Yogyakarta, Founder & CEO Fitinline Istofani Api Diany, Co-Founder & CEO JakPat Anggit Tut Pinilih dan CEO WeMarry Mugi Rahayu Wilujeng.

Salah satu yang melatarbelakangi diskusi ini adalah hasil survei Harvard Business Review (HBR) yang mengemukakan fakta untuk dalam industri teknologi. Dalam penelitian yang dilakukan pada tahun 2016 tersebut, dituliskan perbandingan keterlibatan perempuan dan laki-laki dalam industri teknologi adalah dua banding delapan. Hanya 9 persen dari total entrepreneur adalah perempuan.

Di sisi investasi pun juga angkanya sangat signifikan jaraknya. Data dari Entrepreneur.com mengemukakan 89 persen investor adalah laki-laki dan mereka berinvestasi pada (kebanyakan) perusahaan yang dikelola oleh laki-laki. Hanya 7 persen founder perempuan yang mendapatkan suntikan investasi dari venture capital.

Kultur yang menahun dianggap sebagai sebuah kepastian

Mengawali pemaparannya Hayu menceritakan pengalamannya masuk menjadi tim IT sebuah perusahaan perbankan diteruskan menjadi manajer produk di sebuah perusahaan pengembang game. Berbicara dari sisi kemampuan teknis, anggapan miring seputar kompetensi pekerja perempuan sudah sangat akrab ia terima. Hayu mengatakan masih sering menemui kebiasaan yang memposisikan perempuan selalu harus berada di role pekerjaan yang non-teknis. Itu jika berbicara dari sisi kapabilitas dan di lingkungan kerja menurutnya ada hal lebih mendasar yang justru mengganggu kemajuan karier perempuan di industri teknologi, yaitu lingkungan pekerjaan.

“Kantor di perusahaan IT sering kali kurang memberikan kenyamanan kepada perempuan. Hal ini terbangun secara alamiah karena umumnya perusahaan IT didominasi laki-laki. Sementara itu perempuan memiliki sifat kurang merasa aman ketika harus di lingkungan seperti itu,” ujar Hayu membuka diskusi.

Sebagai CEO, Anggit mengonfirmasi keadaan yang disebutkan dalam riset HBR di atas. Beberapa kali ia ketemu investor, tidak jarang yang menyampaikan sikap acuh dan underestimate. Namun jika dalam perspektif lingkungan kerja, karena di startup yang ia pimpin porsi jumlah perempuan dan laki-laki hampir seimbang, proses bisnis justru bisa saling melengkapi.

“Sering kali terjadi perbedaan pendapat terutama ketika mengembangkan produk. Karena tim pengembang laki-laki sering kali memfokuskan pada fitur, sedangkan perempuan lebih banyak mengulas tentang detail dan sudut pandang dari calon pengguna. Namun dari situ malah saling melengkapi,” ungkap Anggit menceritakan kultur kerja di kantornya.

Diskusi tentang Women in Tech dari Aditif

Edukasi perlu dilakukan dari sudut pandang laki-laki

CEO portal pernikahan WeMarry Mugi Rahayu Wilujeng atau akrab disapa Ajeng memberikan pendapat bahwa untuk meningkatkan awareness tentang kesetaraan ini, perlu dilakukan banyak kegiatan edukasi di sisi laki-laki. Kepekaan mereka dan mindset untuk bisa terbuka dinilai akan memberikan dampak signifikan pada meningkatnya persentase perempuan yang terjun dalam bisnis digital.

Istofani mengomentari hal yang sama. Kaitannya dengan kultur yang sudah terlanjur dianggap menjadi sebuah kebenaran, bahwa perempuan kurang pas jika harus berjibaku dengan urusan yang sangat teknis. Sulit untuk diubah, namun dengan memberikan role model yang banyak sedikit demi sedikit pandangan ini akan terkikis.

“Menariknya 90 persen customer Fitinline, yang banyak dinilai sebagai startup yang cewek banget, justru laki-laki. Ketika berhadapan dengan customer laki-laki so far tidak ada masalah. Justru ketika mereka mengetahui bahwa kita adalah perempuan, mereka dapat bersikap lebih lembut,” papar Istofani.

Pada akhirnya diskusi tersebut menyimpulkan bahwa dengan penempatan pada lingkungan yang baik (dalam startup teknologi) perempuan akan dapat berpartisipasi besar dalam proses pengembangan produk, khususnya pada bagian teknis. Kendati jumlahnya masih sangat sedikit, mengingat demand mahasiswi di bidang TIK juga tidak banyak, tantangan saat ini adalah menunjukkan panutan sebanyak- banyaknya tentang kisah sukses perempuan yang berkiprah di industri atau startup teknologi.