Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.
Belum lama ini ditunjuk sebagai CEO Gojek Entertainment, perjalanan Edy Sulistyo sebagai pebisnis tidaklah selalu mulus. Ia membangun beberapa bisnis lalu menuai exit sebelum membuka babak baru bersama startup decacorn Indonesia.
Edy memulai karir bisnisnya sejak masih duduk di bangku SMA. Ia mulai dikenal saat mendirikan layanan manajemen event bernama eEvent.
Setelah eEvent diakuisisi oleh perusahaan lokal Amerika, Ia pulang ke Indonesia untuk membangun Loket.com. Ia memutuskan untuk fokus dalam industri hiburan tanah air. Bisnisnya berjalan lancar sampai pada akhirnya Gojek datang dengan mengusung visi yang sama.
DailySocial membahas lebih lanjut mengenai lika-liku kehidupan berbisnis Edy Sulistyo dalam sesi Q&A. Berikut penggalan kisahnya:
Bagaimana pengalaman pertama Anda sebagai seorang pebisnis?
Saya mulai mengembangkan situs (dulu belum ada terminologi startup) bernama Kamus Online. Hal ini didorong kebutuhan akan kamus yang lengkap. Saya harus belajar untuk tes dan tidak ada pilihan lain kecuali membuat versi online kamus cetak. Ternyata, teknologi ini berguna bagi banyak orang. Yang saya lakukan adalah crowdsourcing kosakata dari kamus, ketika ada kata yang belum terdaftar, siapa saja bisa menambahkan dalam database. Situs ini akan terus berkembang dan semakin pintar. Pada saat itu, saya baru menyadari bahwa sedang membuat teknologi yang saat ini disebut machine learning. Seiring berjalannya waktu, Kamus Online menjadi semakin berkembang dan menjadi pilihan utama. Situs ini berjalan selama 8 tahun dari 1999 hingga 2007.
Apa yang terjadi selanjutnya? Apakah langsung terpikir untuk memulai eEvent?
Belum, saya mengembangkan beberapa situs lain seperti Files upload yang berfungsi hampir seperti dropbox saat ini. Saya membuat itu karna seringkali mengalami kesulitan dalam mengirimkan data yang berukuran besar. Dalam menjalankan situs ini, hampir setiap hari saya berkutat dengan email dari institusi keamanan karena banyaknya yang meng-upload konten ilegal, belum lagi cease and desist letter yang menumpuk. Hal ini sangat megganggu, email datang bertubi-tubi, dimana ketika tidak dibalas akan semakin sering masuk dan beresiko menyudahi bisnis. Ini bertahan selama 6 sampai 8 bulan dengan 300 ribu pengguna sebelum saya memulai proyek baru bernama circlemail.com. Secara fundamental, situs ini diciptakan untuk mengatasi masalah keterbatasan ruang penyimpanan. Circlemail.com memiliki konsep unlimited storage menggunakan referensi dilengkapi dengan drive dan galeri foto.
Bertahun-tahun membangun dan menjalankan bisnis, apa saja yang Anda pelajari?
Kebanyakan hal-hal teknis, tapi yang tak kalah penting adalah kerasnya hidup sebagai seorang founder. Saya harus menjalankan layanan end-to-end sembari menyelesaikan studi. Itu adalah saat-saat tersulit untuk bisa fokus. Dari sisi Files upload, saya belajar bagamana mengatasi grey area. Sebuah hal yang kompleks mencakup pelanggaran hak cipta. Bahkan layanan komputasi awan sekelas Dropbox mengalami isu yang sama, namun teknologi masa kini semakin berkembang. Saat itu, kami hanya menggunakan teknologi yang ada.
Langsung saja memasuki pembahasan tentang eEvent, bagaimana awal mula Anda mengembangkan layanan ini?
Sederhana saja, co-founder saya sedang mengelola salah satu festival terbesar di Asia. Ia meminta bantuan, lalu kami dengan senang hati ikut berkontribusi. Ternyata, mereka masih menggunakan cara-cara konvensional untuk mengelola event dengan penonton tidak kurang dari 350.000 orang di akhir minggu. Lalu, kami pun berinisiatif untuk mengembangkan teknologi demi mempermudah prosesnya, saat itulah lahir eEvent. Kami turut mengelola beberapa acara di sekitar Columbus sebagai validasi bisnis sebelum memulai penggalangan dana.
eEvent adalah proyek pertama Anda yang melibatkan pendanaan VC. Mengapa butuh banyak dana? Coba ceritakan pengalaman pertama Anda dalam menggalang dana.
Bisa dikatakan, eEvent adalah startup pertama saya yang bukan single man show. Saya harus mempekerjakan orang, yang berarti memiliki tanggung jawab lebih besar. Pertimbangannya adalah model bisnis B2B2C membutuhkan banyak SDM untuk berkembang. Saat itulah saya rasa waktu yang tepat untuk penggalangan dana. Pendanaan pertama kami adalah sebuah keberuntungan. Seorang angel investor, ahli bedah plastik ternama di dunia dari Indonesia. Namun, memiliki investor yang tidak relevan ternyata bisa menjadi boomerang. Kami belajar banyak, bahwa untuk bisa berkembang juga harus strategis dalam memilih investor. Tidak lama setelah itu, kami mengadakan putaran awal dari institusi. Putaran ini lebih strategis karena pihak investor juga mengadakan semacam program inkubator. Kebetulan, kami juga memiliki kemitraan strategis dengan investor lokal bernama Ideasource.
Sebagai seorang mahasiswa Ilmu Komputer tanpa latar belakang finansial bisnis, bagaimana Anda bisa bertahan?
Ini adalah sebuah proses sebagai individu. Sebagai mahasiswa Ilmu komputer, saya cenderung introvert. Saya tidak suka berbincang dan lebih memilih duduk di depan layar komputer. Hal-hal ini menurut saya tidak signifikan, namun ketika membangun bisnis, semua menjadi berbeda. Yang menurut saya menarik, belum tentu menyenangkan di mata orang lain. Saya berfikir untuk menyederhanakan prosesnya tapi tidak semua orang peduli. Pelajaran terbesar adalah, kami membuat banyak kesalahan dalam desain program karena merasa tau apa yang diinginkan konsumen.
Apa yang membuat Anda berfikir untuk memperkenalkan eEvent di Indonesia?
Sekitar tahun 2009 adalah masa kejayaan startup lokal. Sesungguhnya, kami tidak pernah berniat untuk ekspand ke Indonesia. Namun, karna besarnya exposure dari startup lokal, Indonesia menjadi negara dengan pengguna kedua terbesar setelah US. Lalu, kami mulai bolak balik untuk merencanakan ekspansi. Sayang sekali, pasar yang berbeda memiliki budaya yang berbeda juga. Sistem kerja, pola pikir, segala proses yang kami atur menurut pasar US tidak bisa diimplementasikan di pasar Indonesia. Kami mencoba segala macam modifikasi, tapi pasarnya memang belum siap. Maka dari itu kami memutuskan untuk kembali dan fokus di pasar US.
Apa yang terjadi sebelum proses akuisisi? Mengapa Anda memutuskan untuk menjual bisnis ini?
Pada saat itu, kami sedang berkembang dan menjadi salah satu pemain terdepan di area midwest, terutama Ohio. Namun, segment B2B2C ini sangat tricky dari segi monetisasi dan tingginya burn rate. Meski mendapat keuntungan, dibandingkan dengan banyaknya uang yang dibakar, masih jauh dari positif. Kami harus mengadakan penggalangan dana di Silicon Valley, Los Angeles, bertemu dengan beberapa mentor ternama. Pada saat itu, pasar Amerika sedang dikuasai Evenbrite, dan ada satu waktu kami sangat dekat dengan kemungkinan akuisisi oleh Evenbrite. Tanpa diduga, salah satu perusahaan lokal bernama Envision Point datang dengan penawaran yang jauh lebih menarik. Saat itu kami exit sepenuhnya.
Sebagai seorang Founder, pastilah banyak pertimbangan dalam menjual bisnis. Apa yang menjadi visi Anda pada saat itu?
Kami selalu memiliki misi untuk melakukan sesuatu bagi Indonesia. Semua founder di US adalah orang Indonesia dengan pegawai lokal. Walaupun kita sudah bisa memasukkan Indonesia ke dalam peta dunia, masih terasa ada yang kurang. Jatuh bangun berkompetisi di pasar US demi apa? Uang mungkin salah satunya, tapi mimpi kami adalah membuat sesuatu yang lebih bermanfaat bagi Indonesia. Banyak hal yang jauh lebih besar di Indonesia bisa diatasi dengan teknologi. Sayang sekali kalau kita hanya melihat tanpa bertindak. Jika kita bisa membuat bisnis yang sukses di Amerika, alangkah lebih baik kita melakukannya di Indonesia. Visinya adalah untuk mempercepat penjualan. Mengadakan event yang sukses menjadi sulit karena kurangnya publikasi dan proses pemasaran yang masih jadul. Melihat ke depan, ada isu yang lebih besar daripada itu. Dalam hal keamanan, korupsi tiket, dan isu fundamental lainnya. Daripada hanya fokus menjual tiket, kami merasa tertantang untuk membuat disrupsi di industri hiburan keseluruhan.
Mengapa memilih industri hiburan / event?
Saya tidak pernah bermimpi menjadi raja event. Satu-satunya hal yang kami pedulikan adalah bagaimana menyelesaikan isu fundamental dalam event itu sendiri. Lalu, kami memutuskan untuk mengembangkan layanan end-to-end dalam industri ini, melibatkan TMS (Layanan Manajemen Tiket), sistem keamanan, untuk memastikan tidak ada celah untuk kecurangan. Kami menyadari bahwa solusinya bukanlah dengan mempercepat penjualan tiket tapi meningkatkan kualitas acara itu sendiri. Hal itu yang membuat sebuah bisnis bertahan dan mengembangkan industri keseluruhan.
Pastinya ada banyak pengalaman dalam menjalani bisnis, apakah Anda pernah melakukan kesalahan?
Jangan berasumsi dan utamakan validasi. Sebagai seorang dengan latar belakang teknisi, saya merasa harus berkomunikasi lebih banyak. Menyadari bahwa apa yang kita pikirkan ternyata salah adalah eureka moment bagi saya. Ketika saya membuat Loket, bisa saja mencontek dari eEvent. Namun, saya sadari hal itu tidak akan berhasil melihat budaya yang berbeda di sini. Masyarakat Indonesia lebih suka dilayani daripada melakukan self-service. Daripada memaksakan pemikiran kami, lebih baik menjalankan semua proses agar mereka bisa terima beres.
Bagaimana hari pertama Anda di Loket?
Kami memulai dengan tiga orang founder dan beberapa karyawan. Sesungguhnya kami melakukan proses pemasaran sebelum produknya jadi. Setelah melakukan berbagai analisis, kami menemukan bahwa orang rela mengeluarkan kocek lebih untuk hal ini. Bukan sesuatu yang menguatkan, tapi sebagai peredam.
Adalah suatu keharusan bagi seorang founder untuk terus menggalang dana, adakah yang bisa dibagikan dari pengalaman kedua Anda?
Sesungguhnya, kali kedua adalah penggalangan dana internal. Kami memiliki model bisnis B2B, pada dasarnya tergantung pada proyek dan sangat sederhana. Strategi bakar uang tidak lebih baik daripada fokus membangun bisnis yang bertumbuh. Pada akhirnya, yang kita inginkan adalah membangun bisnis yang nyata. Mimpi kami adalah untuk menyelesaikan masalah dan membuat disrupsi dalam industry dengan cara yang paling fundamental. Hal ini mengharuskan kami untuk memiliki sustainable business demi bisa menyelesaikan isu fundamental di Indonesia.
Apa yang menjadi mimpi paling buruk selama menjalankan Loket?
Pada awalnya, kami sangat frustrasi setiap kali menjalankan event. Situs tidak bisa diakses, miskomunikasi di mana-mana, pemesanan ganda, dan banyak lagi masalah yang menuai keluhan tak henti-henti. Seringkali terjadi pada acara besar, membuat sakit telinga dan pusing kepala. Selain itu, dari segi keamanan tidak luput dari cela, barang hilang, keterbatasan sinyal mengacaukan segalanya, adalah hari yang paling menyedihkan. Semua pengalaman menjadikan kami lebih baik, kami belajar banyak dari sisi bisnis dan teknologi. Dari segi sosial, kami belajar mengatasi masalah dengan cara yang paling manusiawi.
Bagaimana pendapat Anda tentang competitor?
Bagi saya, kompetitor tidak pernah menjadi masalah. Selama fokus kami adalah untuk memberikan pengalaman terbaik bagi konsumer, semua akan baik-baik saja.
Membahas hal yang lebih personal, bagaimana Anda bisa mengatur waktu bekerja dan berkeluarga?
Sangat sulit. Beruntung, saya bekerja di industri teknologi yang memungkinkan semua orang bekerja dimana saja. Hal baik dari melakukan pekerjaan yang Anda suka dan kagum adalah pekerjaan dan kehidupan menjadi dua hal yang sama. Terlebih, sangat penting memiliki pendamping yang sangat mendukung. Segala sesuatu yang terjadi baik dalam finansial atau manajemen waktu, selama melakukannya bersama-sama, bisa dihadapi.
Apakah Anda punya support system selain keluarga?
Teman-teman gereja. Menjadi founder startup sangatlah melelahkan. Seringkali timbul momen di mana saya ingin berteriak dan menyerah saja. Terkadang, beban terberat yang dihadapi bukanlah masalah personal tapi mencoba mengerti permasalahan orang lain. Beruntung, saya punya banyak orang yang berdoa untuk saya.
Bagaimana dengan cerita dibalik akuisisi Gojek?
Saat itu, Loket sudah siap untuk menyasar segmen B2C, kami mencoba melakukannya sendiri dan sangat sulit karena belum punya pengalaman. Sementara itu, Gojek memiliki platform B2C bernama Gotix yang juga adalah reseller kami. Kedua perusahaan saat itu sedang dalam zona aman, setelah menyelesaikan putaran pendanaan dari East Ventures. Setelah mengalami perbincangan serius dengan Founder dan CEO Gojek Indonesia Nadiem Makarim, kami menemukan satu visi yang sama. Untuk bisa mempercepat prosesnya, saya setuju untuk menjual dan bergabung dengan Entertainment unit Gojek Indonesia.
Bagaimana kelanjutan dari proses akuisisi sampai tercipta Gojek Entertainment? Apakah Anda puas dengan hasilnya?
Semua masih dalam progress, tapi secara personal, saya bahagia. Dalam percobaan disrupsi industri hiburan, kami menemukan banyak hal yang hilang, bukan hanya dari segi acara tapi juga dari industri perfilman. Mereka sudah mendapat dukungan dari pemerintah. Tetap hal ini mendorong kami untuk melakukan sesuatu. Sampai ada akhirnya memutuskan untuk memasukan industri perfilman dalam payung entertainment unit. Semua itu adalah proses belajar, tidak ada yang paling mengerti, industri ini sangat rumit. Pekerjaan kami tidak selesai sampai di sini, tapi kami bisa melihat kemana arahnya. Saya juga mendapat banyak antusiasme masyarakat dan pelaku industri.
Bagaimana tentang Go-Play dan kaitannya dengan visi Anda?
Dalam hal industri film, kami menempatkan Go-Play sebagai platform dimana kami menyediakan kanal untuk content creator. Sebagai sebuah platform, kami berharap bisa meningkatkan kualitas industri. Kebanyakan orang menganggap film Indonesia tidak layak. Sementara, beberapa terbilang cukup bagus dan bisa bersaing di kancah internasional. Sangat disayangkan jika tidak terekspos, kami mencoba memfasilitasi dan mendukung industri perfilman Indonesia.
Pada level Anda sekarang, apakah ada hal terkait rencana Gojek yang bisa dibagikan disini?
Gojek selalu fokus untuk memberi dampak dari sisi teknologi. Memasuki industri entertainment, misi tersebut menurun. Saat ini Go-Play masih dalam versi beta, kami ingin memastikan pengalaman yang tepat untuk konsumen. Ini adalah sebuah proses validasi.
Apa yang menjadi goal anda dalam beberapa tahun ke depan?
Saya sangat ingin menjadi bagian dari sesuatu yang berdampak besar daripada uang semata. Kita sekarang berada di masa dimana ada sesuatu yang lebih besar untuk dicapai. Saya personal merasakan hal ini sebagai salah satu cara memuaskan diri. Meninggalkan sebuah warisan, sesuatu yang membuat orang-orang di sekitar saya bangga dan bahagia.
–
Artikel ini ditulis dalam Bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian