Tag Archives: google cardboard

PaperStick Ialah Controller VR Headset yang Tidak Lebih dari Secarik Kertas Biasa

Google Cardboard membuktikan bahwa kita hanya memerlukan sejumlah kertas karton dan sepasang lensa saja untuk bisa menikmati virtual reality. Akan tetapi, VR tidak hanya terbatas pada aspek visual saja, melainkan juga interaksi yang lebih bervariasi dengan bantuan controller. Yang jadi pertanyaan, apakah ini juga bisa diselesaikan dengan selembar kertas karton?

Jangankan karton, kertas biasa saja bisa. Mari berkenalan dengan PaperStick, sebuah controller VR yang terbuat dari secarik kertas. Tidak ada komponen elektronik yang tersembunyi, PaperStick tidak lain dari kertas biasa. Namun Anda mungkin bertanya apa kegunaan sederet teks yang ada di atasnya?

Well, teks ini punya fungsi seperti QR code yang bisa dipindai oleh kamera ponsel. PaperStick bekerja dengan aplikasi bernama Poppist, dimana setelah berhasil di-scan, selembar kertas tersebut akan tampak sebagai sebuah pistol yang bisa menembakkan laser di dalam aplikasi.

Untuk menembak, pengguna cukup mengusapkan jarinya di area yang sudah ditandai pada PaperStick. Gerakan senjata dalam game pun akan mengikuti gerakan tangan pengguna yang tengah menggenggam PaperStick.

Versi kedua PaperStick kurang ergonomis dibanding versi pertamanya, tapi kinerja tracking dalam aplikasi pun jadi lebih akurat / Ko Jong-Min
Versi kedua PaperStick kurang ergonomis dibanding versi pertamanya, tapi kinerja tracking dalam aplikasi pun jadi lebih akurat / Ko Jong-Min

Namun PaperStick tentunya bukan tanpa limitasi. Versi pertamanya dirancang supaya bisa dilipat menjadi segitiga dan mudah digenggam. Namun konsekuensinya, tracking jadi kurang akurat. Versi keduanya di sisi lain jadi kurang ergonomis karena hanya berbentuk lipatan kertas begitu saja. Pun begitu tracking-nya jadi jauh lebih akurat dan responsif.

Kreatornya, seorang developer asal Korea Selatan bernama Ko Jong-Min, memastikan PaperStick bisa dinikmati oleh semua orang dengan mengunduh desainnya dan mencetaknya sendiri di atas kertas A4. Namun perlu dicatat, aplikasi Poppist sendiri harus ditebus seharga Rp 23 ribu dari Play Store.

Ke depannya, bisa dipastikan ada sejumlah pihak yang tertarik untuk mematangkan konsep yang dicanangkan oleh Ko Jong-Min ini, merancang desain PaperStick yang lebih optimal dan mengembangkan lebih banyak aplikasi maupun game yang kompatibel.

Sumber: Fast Company.

Application Information Will Show Up Here

Peronio Adalah Buku Pop-Up Interaktif yang Bisa Dinikmati dengan Teknologi AR atau VR

Di era serba digital ini, mendapatkan buku pop-up untuk anak-anak semakin mudah. Pun begitu, elemen interaksi yang ditawarkan tidak seutuh yang bisa didapat dengan buku pop-up fisik. Menurut developer asal Brasil, Ovni Studios, masalah tersebut bisa diselesaikan dengan teknologi augmented reality dan virtual reality.

Mereka pun memperkenalkan Peronio, sebuah buku pop-up interaktif yang bisa dinikmati dalam berbagai cara. Yang pertama dan yang paling biasa, anak-anak bisa membacanya langsung di tablet sebagai buku pop-up digital.

Cara kedua adalah dengan mengandalkan teknologi AR: anak-anak dapat mencetak gambar ini lalu menempatkannya di atas meja. Saat dilihat menggunakan tablet atau ponsel, seketika itu pula tampak gambar hologram di atas kertas yang bisa diajak berinteraksi. Metode ini mirip seperti yang diterapkan startup lokal Octagon Studio pada produk AR Flashcard-nya.

Dalam mode AR, gambar hologram akan muncul di atas gambar yang telah dicetak saat dilihat menggunakan ponsel atau tablet / Ovni Studios
Dalam mode AR, gambar hologram akan muncul di atas gambar yang telah dicetak saat dilihat menggunakan ponsel atau tablet / Ovni Studios

Terakhir, Peronio juga bisa dinikmati lewat VR headset macam Google Cardboard atau Samsung Gear VR. Peronio bahkan bisa memadukan elemen AR dan VR secara bersamaan, dengan catatan headset Cardboard yang digunakan punya lubang untuk kamera ponsel sehingga pandangan dapat diarahkan ke kertas fisik di atas meja tadi.

Secara konten, Peronio ingin mengajak anak-anak mengembangkan imajinasinya. Buku ini mengisahkan seorang bocah yang sedang galau hendak jadi apa ia saat sudah dewasa nanti. Aspek edukasi turut disajikan dengan baik, dimana anak-anak akan sedikit belajar soal komponen-komponen mobil saat Peronio mencoba menjadi mekanik, atau belajar tentang fosil di setting arkeologi.

Kalau Anda ingin menghadiahi anak Anda dengan lebih dari sekadar buku pop-up digital biasa, Peronio saat ini sudah bisa diunduh dari App Store maupun Google Play secara cuma-cuma. Namun untuk mendapatkan versi penuhnya, Anda harus menebus in-app purchase seharga $3.

Sumber: UploadVR.

Application Information Will Show Up Here

Meski Berbasis Cardboard, VR Headset Homido V2 Datang Bersama Motion Sensor ala Kinect

Kalau Anda beranggapan bahwa VR headset berbasis Cardboard tidak lebih dari sekadar smartphone holder, Anda salah. Hal ini dibuktikan oleh Homido, spesialis mobile VR asal Perancis yang baru-baru ini memperkenalkan versi kedua dari VR headset-nya.

Homido V2 membawa sejumlah penyempurnaan dari versi pertamanya; mulai dari desain dan build quality yang lebih apik, sampai kompatibilitas dengan lebih banyak ponsel, termasuk halnya para bongsor macam iPhone 6S Plus. Lebih lanjut, Homido turut menyematkan fitur pengaturan IPD (Interpupillary Distance) yang pada dasarnya bisa meningkatkan kesan immersive.

Homido V2 mengemas fitur pengaturan IPD (interpupillary Distance) yang masih tergolong langka di ranah mobile VR / Homido
Homido V2 mengemas fitur pengaturan IPD (interpupillary Distance) yang masih tergolong langka di ranah mobile VR / Homido

Homido tak lupa menanamkan tombol kapasitif untuk memudahkan navigasi pengguna. Desainnya secara keseluruhan tampak lebih premium sekaligus fungsional, dimana ventilasi udaranya juga diyakini lebih baik daripada pendahulunya.

Pun begitu, yang menjadikan Homido V2 lebih dari sekadar smartphone holder adalah kehadiran berbagai macam aksesori pendukung. Yang pertama ada kamera 360 derajat seharga $200. Kemudian ada juga controller Bluetooth untuk Android maupun iOS, masing-masing dihargai $40 dan $60.

Paket penjualan Homido V2, belum termasuk aksesori-aksesori yang disebutkan / Homido
Paket penjualan Homido V2, belum termasuk aksesori-aksesori yang disebutkan / Homido

Namun yang paling keren adalah sebuah motion sensor macam Kinect, memungkinkan pengguna untuk berinteraksi dengan game VR secara fisik. Melengkapi semua itu adalah aplikasi Homido Center yang mengemas deretan konten menarik, meski sejauh ini masih kalah jika dibandingkan dengan milik Samsung Gear VR.

Terlepas dari itu, Homido V2 masih terdengar sangat menarik murni karena misinya membentuk sebuah ekosistem mobile VR. Headset-nya sendiri saat ini sudah dipasarkan seharga $80 – sama seperti harga awal versi pertamanya – sedangkan aksesori-aksesori pendampingnya akan segera menyusul.

Sumber: Engadget dan Homido.

EyeSight Technologies Kembangkan Sistem Kontrol Gesture untuk Gear VR dan Google Cardboard

Tidak seperti Oculus Rift dan HTC Vive, VR headset berbasis smartphone macam Samsung Gear VR dan Google Cardboard sejauh ini masih belum mendukung navigasi gesture. Buat pengguna Gear VR, navigasi bisa dilakukan via touchpad yang berada di sisi kanan headset, sedangkan pengguna Cardboard malah hanya terbatas pada satu tombol saja.

Bukankah akan jauh lebih menarik kalau kita bisa menavigasikan VR headset tanpa perlu menyentuh apa-apa? Tentu saja, tapi bagaimana caranya? Well, itulah misi yang tengah dituju oleh EyeSight Technologies. Mereka tengah mengembangkan sistem kontrol gesture untuk VR headset berbasis smartphone.

Berkat sistem ini, pengguna pada dasarnya hanya perlu menggerakkan tangan atau jari-jarinya di udara untuk menavigasi. Sistem rancangan EyeSight memanfaatkan kamera belakang smartphone untuk mendeteksi pergerakan tangan dan jari, sehingga tanpa perlu menyentuh apa-apa, input kontrol pun bisa terlaksana.

Menurut EyeSight, sistem ini kompatibel dengan Gear VR maupun Cardboard. Namun tentu saja kamera milik smartphone tidak boleh terblokir aksesnya, dan pengguna Cardboard yang tidak memiliki strap untuk kepala sepertinya bakal sedikit kesulitan.

Sayangnya hingga kini masih belum ada kepastian kapan EyeSight akan meluncurkan sistem kontrol gesture ini ke publik. Di sisi lain, developer aplikasi VR juga harus lebih dulu mengintegrasikan sistem ini sebelum konsumen bisa menikmatinya di VR headset-nya masing-masing.

Sumber: Engadget.

Virtual Reality Diprediksi Hasilkan Pemasukan Hampir $ 900 Juta di 2016

Oculus Rift dan HTC Vive, dua headset VR high-end itu telah mulai dikirimkan ke tangan konsumen, sebuah langkah besar bagi virtual reality dalam menyerbu ruang keluarga Anda. Banyak ahli memperkirakan, produk-produk ini dapat menyaingi smartphone, ditakar dari besarnya perubahan yang mereka berikan bagi cara manusia bekerja serta menghibur diri.

Kini semua pemain di bidang teknologi, besar maupun kecil, tampak berbondong-bondong terjun ke ranah itu. Aksi mereka bisa dipahami. Meski VR kental dengan tema gaming, pada prakteknya ia dapat diimplementasikan ke bermacam-macam skenario penggunaan: industri medis dan kesehatan, edukasi, turisme, serta desain. Analis Strategy Analytics memprediksi, pemasukan dari penjualan produk VR berpeluang mencapai hampir US$ 900 juta di tahun ini.

Tepatnya adalah US$ 895 juta. 77 persen dari nilai itu diperkirakan merupakan hasil dari transaksi Rift, Vive, dan PlayStation VR. Namun bahkan ketika mereka semua dikombinasikan, volume penjualan ketiga device ini terlihat sangat kecil dibanding produk-produk berbasis smartphone yang umumnya lebih terjangkau – hanya 13 persen dari 12,8 juta unit headset virtual reality di 2016.

Hal ini memang wajar karena Rift dan Vive memang bukanlah barang murah. Headset VR milik Facebook tersebut dijajakan di harga US$ 600, sedangkan Vive menuntut harga yang lebih tinggi lagi, yaitu US$ 800. Sementara itu, Google Cardboard terdistribusi secara luas (dibagi-bagikan gratis dan dapat dibeli murah secara online). Pemilik handset flagship Samsung juga sudah bisa menikmati pengalaman VR ‘premium’ berbekal Gear VR.

Harga tinggi memang membatasi penjualan – Strategy Analytics mengestimasi hanya mencapai kurang lebih 1,7 juta perangkat high-end (Rift, Vive, PSVR). Walaupun demikian, di tahun ini khalayak awam akan mulai memahami potensi dan kecanggihan headset mutakhir tersebut. Di saat yang sama, pasar smartphone dibombardir oleh bundel VR. Analis percaya, dengan strategi jitu, headset VR berbasis handset dapat berperan sebagai ‘hidangan pembuka’ untuk mengiring konsumen ke produk yang lebih mumpuni.

Cliff Raskind selaku direktur Wearable Device Ecosystems di Strategy Analytics menyampaikan, 2016 ialah tahun krusial bagi virtual reality akibat perpaduan sejumlah faktor, memberikan tantangan sangat besar bagi produsen dalam memenuhi ekspektasi konsumen terhadap VR, terutama dari sisi ketersediaan konten dan keterbatasan teknis headset virtual reality kelas entry-level.

Direktur Strategy Analytics Cliff Raskind tak lupa menuturkan bahwa virtual reality akan kembali memicu persaingan panas antar produsen hardware, terutama di bidang resolusi layar, kartu grafis, penyimpanan, serta kamera-kamera 3D.

Sumber: Venture Beat.

Berkenalan dengan Octagon Studio, Startup AR dan VR Pemenang Penghargaan Internasional

Bicara soal augmented reality (AR) dan virtual reality (VR), nama-nama yang tebersit di benak kita mungkin adalah Microsoft HoloLens, Oculus Rift, Google Cardboard, dan lain sebagainya. Namun siapa yang menyangka kalau di Indonesia, tepatnya di kota Bandung, berdiri sebuah startup yang bergerak di kedua bidang tersebut, dengan prestasi di kancah internasional?

Mereka adalah Octagon Studio, dan belum lama ini, mereka berhasil membawa pulang trofi Best App dan Rising Star Awards dari event Wearable Technology Show (WTS) 2016 yang dihelat di kota London pada tanggal 15 – 16 Maret lalu.

Kemenangan ini merupakan kebanggaan tersendiri bagi Octagon. Dalam kesempatan pertama mereka mengikuti ajang WTS 2015 tahun lalu, Octagon hanya terpilih sebagai nominator untuk kategori Best App, Rising Star dan Best AR/VR Company.

Lalu apa sebenarnya yang membuat Octagon Studio begitu istimewa, hingga akhirnya mereka bisa bersaing dengan perusahaan-perusahaan luar? Well, portofolio produk mereka begitu luas, mencakup ranah edukasi hingga industri.

Octagon Studio Animal 4D+ AR Flashcards

Salah satu produknya yang paling populer adalah seri kartu pengingat (flashcard) edukatif berbasis AR. Produk ini dirancang untuk mengajarkan alfabet, bahasa Inggris, serta pengetahuan tentang dunia satwa, profesi, angkasa luar hingga makhluk-makhluk prasejarah. Berdasarkan keterangan yang diberikan CMO Octagon, Stella Setyiadi, sejauh ini mereka telah menjual lebih dari 200.000 unit AR flashcard ini baik di dalam maupun luar negeri.

Luar negeri? Ya benar, meski berbasis di tanah air, produk-produk besutan Octagon Studio rupanya telah dikenal cukup luas di mancanegara. Reseller produk-produknya sejauh ini sudah tersebar di negara-negara seperti Malaysia, Singapura, Vietnam, Hong Kong, Australia, Perancis, Irlandia, Inggris Raya, Amerika Serikat hingga Kanada.

Bagaimana sebenarnya cara kerja produk AR flashcard ini? Well, sepintas mereka hanyalah kartu biasa bergambar binatang, dinosaurus, planet dan lain sebagainya. Namun ketika dikombinasikan dengan aplikasi mobile, gambar-gambar tersebut akan ‘hidup’ dalam wujud tiga dimensi yang mendetail. Tak hanya itu, interaksinya pun beragam. Saat kartu bergambar sapi Anda dekatkan dengan kartu bergambar rumput misalnya, maka dari aplikasinya akan tampak seekor sapi yang tengah merumput.

Beralih ke VR, Octagon memiliki produk headset yang mereka juluki VR Luna. Headset ini dirancang dengan basis Google Cardboard, namun mengemas sejumlah penyempurnaan, di antaranya material yang lebih kokoh serta desain terbuka yang tidak mengisolasi kamera smartphone di dalam headset.

Octagon VR Luna

Dengan demikian, VR Luna sebenarnya juga bisa disinergikan dengan produk-produk AR flashcard tadi untuk menyajikan pengalaman mixed reality. Ketimbang hanya menyaksikan hewan-hewan tadi ‘hidup’ di layar smartphone, pengguna VR Luna bisa menikmatinya secara lebih immersive.

Ajang WTS 2016 kemarin turut dimanfaatkan Octagon untuk memperkenalkan produk terbaru mereka, yakni seri AR T-Shirt. Konsep AR flashcard mereka yang populer tersebut kini diusung ke pakaian kasual yang biasa dikenakan sehari-harinya.

Sama seperti AR flashcard, kaus-kaus ini sepintas tak terlihat berbeda dari kaus pada umumnya. Namun saat dilihat menggunakan aplikasi smartphone yang tersedia secara cuma-cuma, gambar hewan maupun makhluk prasejarah yang terpatri pada kaus tersebut akan ‘hidup’ seketika, seperti yang bisa Anda lihat pada video unggahan salah satu pengunjung acara berikut ini.

Kendati sudah bisa dibilang cukup sukses, perjalanan yang harus dilalui Octagon Studio sebenarnya masih panjang. Hal ini banyak dipengaruhi oleh tren AR dan VR yang masih tergolong baru di tanah air. Pun begitu, Octagon optimis bahwa konsumen tanah air tak butuh waktu lama untuk menjadi familier dengan AR dan VR.

Untuk itu, mereka akan terus meningkatkan brand awareness dengan aktif mengikuti berbagai pameran, konferensi maupun melalui media sosial. Di saat yang sama, Stella juga menuturkan bahwa Octagon tak akan berhenti melakukan ekspansi, baik dari segi produk maupun jangkauan pasar.

Berbagai ide kreatif dari timnya akan terus digodok hingga menjadi produk final yang inovatif. Stella bahkan sempat menyebutkan bahwa timnya sudah mulai menggarap VR headset untuk PC ala Oculus Rift, meskipun masih dalam tahap pengembangan awal.

Soal jangkauan pasar, Octagon saat ini tengah melangsungkan diskusi bersama sejumlah lembaga pendidikan yang tertarik untuk menerapkan sejumlah produk Octagon dalam kurikulum belajar-mengajar mereka.

Octagon Studio Octaland 4D+ AR Flashcards

Dilihat dari kacamata konsumen, prestasi yang dicapai Octagon sejauh ini memang sangat fenomenal. Mereka dikenal di kancah internasional, padahal tren AR dan VR di negara asalnya masih belum begitu meluas.

Fokusnya yang berawal di bidang pendidikan juga menjadi bukti bahwa mereka tidak hanya mengejar keuntungan saja di ranah yang masih baru ini, tetapi juga untuk memberikan sarana belajar alternatif yang lebih menarik dan sesuai dengan kemajuan teknologi.

Update: Sedikit tentang profil perusahaan, Octagon Studio didirikan pada tahun 2013 oleh pria berkebangsaan Irlandia, Michael Healy, yang kini bertindak sebagai CEO. Beliau ditemani oleh sepasang co-founder yaitu Aurelia Vina (COO) dan Hasbi Asyadiq (CTO). Saat ini Octagon Studio beroperasi di bawah PT Transport System Solutions. Markas besarnya sendiri berada di Irlandia, akan tetapi semua sumber dayanya ditempatkan di kantor mereka di kota Bandung.

Anda Kini Bisa Menelusuri Abbey Road Studios dalam Virtual Reality

Sekitar setahun yang lalu, Google meluncurkan proyek unik bernama Inside Abbey Road. Lewat sebuah situs khusus, pengguna diajak untuk menelusuri studio rekaman legendaris di kota London tersebut, dimana band-band kenamaan seperti The Beatles dan Pink Floyd sempat menjadikannya sebagai rumah kedua.

Kini Google sudah siap membawa proyek tersebut ke tingkat yang lebih tinggi, yakni dalam wujud virtual reality dengan bantuan headset Google Cardboard. Format tampilan Street View 360 derajat yang sudah ada bisa dipastikan akan terasa lebih immersive, sehingga pengguna pun bisa merasa seakan-akan sedang berada di dalam Abbey Road Studios.

Inside Abbey Road versi Cardboard ini masih akan menawarkan tur virtual yang dipandu oleh Giles Martin, yang tidak lain dari anak almarhum George Martin, produser The Beatles yang sudah sangat mengenali seluk-beluk Abbey Road Studios.

Inside Abbey Road - Cardboard

Selain menikmati tur, pengguna tentunya juga dibebaskan untuk mengeksplorasi Abbey Road Studios dengan sendirinya, berpindah dari satu studio ke yang lainnya, hingga akhirnya tiba pada ruang mastering dimana sebuah rekaman lagu sedang mendapat sentuhan akhir dari tangan ahli sebelum dirilis.

Ada banyak pengalaman unik yang ditawarkan Inside Abbey Road versi Cardboard, yang memang secara spesifik dirancang untuk virtual reality. Di Studio 1 misalnya, pengguna bisa merasakan seperti apa rasanya menjalani sesi rekaman bersama London Symphony Orchestra. Agar terasa lebih realistis, audio disajikan dalam format surround.

Kalau Anda punya Google Cardboard dan smartphone yang kompatibel, silakan langsung unduh aplikasi Inside Abbey Road di Google Play. Versi iOS-nya dijanjikan akan menyusul dalam waktu dekat.

Sumber: Google Blog.

Application Information Will Show Up Here

Cardboard Enabler Permudah Pengguna Gear VR Nikmati Konten Milik Google Cardboard

Meski secara teori Gear VR bisa menjalankan konten-konten yang diciptakan untuk Google Cardboard, pada prakteknya tidak semudah itu. Pasalnya, Gear VR akan selalu membawa Anda ke portal aplikasi yang berasal dari Oculus Store. Kalau Anda ingin membuka aplikasi Cardboard selagi di dalam Gear VR, selama ini solusinya harus mengandalkan rooting atau dengan tidak mencolokkan ponsel ke sambungan USB milik Gear VR.

Namun sekarang ada alternatif lain yang jauh lebih mudah. Bernama Cardboard Enabler for Gear VR, aplikasi ini memungkinkan ponsel Anda untuk menjalankan konten-konten milik Google Cardboard selama berada di dalam Gear VR tanpa memerlukan rooting ponsel sama sekali.

Cara kerjanya sederhana: buka aplikasi Cardboard Enabler, lalu pilih icon Google Cardboard dan aplikasi akan mematikan Gear VR Service. Selanjutnya, Anda tinggal membuka aplikasi Cardboard dan menyelipkan ponsel ke dalam Gear VR. Kalau ingin kembali mengakses aplikasi-aplikasi milik Gear VR, tinggal pilih icon-nya dalam Cardboard Enabler.

Cardboard Enabler for Gear VR

Hampir semua konten yang dirancang untuk Google Cardboard kompatibel dengan touchpad milik Gear VR, sehingga Anda pun punya input kontrol tambahan. Cardboard Enabler juga menawarkan opsi untuk mematikan fitur motion blur bagi yang sering merasa mual setelah menikmati konten VR terlalu lama.

Cardboard Enabler ini sangat ideal bagi pengguna Gear VR yang sudah merasa bosan dengan konten-konten yang tersedia, serta ingin menikmati keragaman konten milik Google Cardboard tanpa harus membeli headset yang terpisah. Aplikasinya bisa didapat langsung dari Google Play seharga kurang dari Rp 10 ribu.

Sumber: Road to VR. Gambar header: Oculus.

Application Information Will Show Up Here

vTime Ibarat The Sims Versi Virtual Reality, Tersedia untuk Gear VR dan Google Cardboard

Tidak selamanya virtual reality berarti Anda akan terisolasi dari dunia luar dan asyik sendiri di dalam dunia virtual. Sebuah studio digital asal Inggris, Starship Group, ingin membuktikannya lewat aplikasi VR bernama vTime yang kini sudah tersedia untuk Gear VR dan Google Cardboard.

Oleh pengembangnya, vTime dilihat sebagai suatu “sociable network” yang memungkinkan empat pengguna untuk saling terhubung dan berkomunikasi di satu lokasi virtual dengan detail yang menakjubkan. Pengguna bebas merancang avatar-nya masing-masing sesuka hati, dan pengguna lain dapat merasakan ‘kehadiran’ lawan bicaranya secara langsung.

vTime bisa dianggap sebagai The Sims-nya virtual reality, minus fitur membangun tempat tinggal. Pengguna bisa memilih lokasi berbincang yang bervariasi, mulai dari kemah api unggun, tepi danau dan tebing, sampai di orbit bumi sekalipun.

vTime

vTime bisa dioperasikan secara hands-free, yang berarti pengguna hanya perlu mengarahkan pandangannya untuk mengakses menu interaksi. Kalaupun tak ada headset Cardboard atau Gear VR, pengguna masih bisa menjalankan vTime langsung pada handset yang kompatibel sebagai berikut: Nexus 4, Nexus 5, Nexus 6, Nexus 6P, LG G3, HTC One M9, Samsung S3, Samsung Note 4, Samsung Note 5, Samsung Galaxy S6 dan S6 Edge+, Samsung Galaxy S7 dan S7 Edge.

Pihak pengembangnya punya alasan tersendiri mengapa sejauh ini vTime hanya kompatibel dengan perangkat-perangkat di atas. Mengingat detail lokasi virtual yang ditawarkan amat mendalam, perangkat harus punya spesifikasi yang cukup mumpuni agar semuanya bisa berjalan dengan mulus.

vTime

Selagi bercakap-cakap lewat vTime, pengguna bisa mengambil selfie atau wefie melalui menu interaksi. Dari situ pengguna bisa mengakses foto-foto yang diambil dengan login di situs vTime dan membuka timeline-nya masing-masing. Yup, vTime juga dilengkapi sejumlah elemen media sosial, termasuk halnya daftar teman maupun mode untuk bertemu dengan pengguna lain secara acak.

vTime sudah lebih dulu dirilis di Gear VR pada bulan Desember kemarin, namun kini pengguna handset non-Samsung juga bisa menikmati pengalaman sosial virtual reality ini lewat Google Cardboard.

Sumber: Road to VR dan vTime.

Application Information Will Show Up Here

Samsung Gear VR vs. Google Cardboard, Anda Pilih Mana?

Jawaban versi pendek dari pertanyaan di atas sangat mudah: kalau Anda punya smartphone Samsung Galaxy yang kompatibel, pilih Gear VR. Kalau tidak, Cardboard bisa mengobati rasa penasaran Anda terhadap virtual reality.

Namun pada kenyataannya tidak semudah itu. Meski keduanya sama-sama merupakan VR headset untuk mobile dengan cara pemakaian yang sama, Samsung Gear VR dan Google Cardboard mengemas teknologi yang berbeda. Masing-masing tentunya punya kelebihan dan kekurangan tersendiri, dan membahasnya adalah tujuan dari artikel ini.

Google Cardboard

Google Cardboard

Cardboard bisa dianggap sebagai jalan pintas atau cara cepat untuk bisa merasakan pengalaman virtual reality. Harganya murah, mulai dari puluhan sampai ratusan ribu, dan mudah sekali dipesan dari berbagai toko online. Lebih menarik lagi, ia kompatibel dengan banyak perangkat, termasuk iPhone.

Cardboard punya banyak varian, tergantung kreativitas masing-masing perancangnya. Ada yang sangat simpel, ada juga yang dilengkapi strap untuk kepala sekaligus sebuah tombol navigasi. Google bahkan menyediakan panduan lengkap sehingga Anda bisa membuat dan merakit Cardboard versi Anda sendiri.

Google Cardboard

Cardboard didukung oleh segudang konten, dimana secara teori kita tidak bakal kehabisan pilihan. Namun yang menjadi masalah, pengalaman VR terkadang tidak terasa terlalu immersive. Kok bisa? Ada banyak alasan, yang pertama soal desain. Kalau rancangannya rapi, mungkin cahaya dari luar yang ‘bocor’ ke dalam hanya sedikit. Terlepas dari itu, hal ini jelas mengurangi kesan immersive yang diberikan.

Alasan yang kedua perihal kenyamanan. Meski bobotnya ringan, lama-kelamaan pengguna pasti merasa kurang nyaman kalau tangannya harus memegangi terus. Kalaupun Anda memilih varian Cardboard yang dilengkapi strap, absennya bantalan di sekitar lensa bisa membuat mata dan hidung terasa pegal setelah beberapa waktu memakainya.

Alasan ketiga adalah seputar kontrol. Tanpa dilengkapi input kontrol, pengguna Cardboard harus bolak-balik melepas-pasang handset jika hendak berganti aplikasi.

Samsung Gear VR

Samsung Gear VR

Berbeda dengan Cardboard, Gear VR memang eksklusif untuk sejumlah perangkat Samsung Galaxy saja, termasuk S7 dan S7 Edge. Hal ini bisa dilihat sebagai kekurangan, tapi juga merupakan suatu kelebihan: karena hanya kompatibel dengan handset kelas atas yang berperforma tinggi, pengalaman VR bisa dipastikan berjalan mulus.

Jumlah konten yang dimiliki Gear VR mungkin masih kalah dibanding Cardboard, karena pengguna hanya terbatas pada konten yang tersedia di Oculus Store saja. Sekali lagi, ini bisa dianggap sebagai suatu keunggulan: semua konten dipastikan akan terasa immersive, dan banyak game dengan grafik berkualitas tinggi yang bisa dimainkan.

Samsung Gear VR

Keunggulan ini didukung oleh desain Gear VR itu sendiri. Ia memang sedikit lebih besar dan lebih berat ketimbang Cardboard, tapi secara keseluruhan lebih nyaman dikenakan. Utamanya berkat kehadiran strap untuk diikatkan ke kepala dan bantalan empuk yang mengitari sepasang lensanya. Tidak kalah penting, pengguna yang berkacamata juga tetap bisa menggunakannya dengan nyaman karena pengaturan fokus lensanya bisa disesuaikan.

Kehadiran sebuah touchpad dan sejumlah tombol kian menyempurnakan pengalaman VR yang ditawarkan. Kontrol yang lengkap ini mengeleminasi kelemahan Cardboard dimana pengguna harus melepas-pasang handset untuk mengakses konten yang berbeda. Di sini pengguna tinggal mengusap touchpad, dan gesture semacam ini bahkan juga bisa digunakan di dalam sejumlah game.

Kesimpulan

Semuanya kembali pada kebutuhan pengguna. Cardboard sepertinya sangat cocok bagi Anda yang ingin berbagi pengalaman VR bersama keluarga atau teman; pasangkan di depan mata, lalu oper ke anggota keluarga lain untuk saling berbagi keasyikan yang ditawarkan teknologi virtual reality.

Harganya yang terjangkau kian mendukung premis tersebut, apalagi ia kompatibel dengan banyak smartphone. Semakin banyaknya jumlah video 360 derajat, baik di YouTube atau Facebook, juga bisa menjadi alasan mengapa Cardboard wajib dimiliki pengguna smartphone.

Akan tetapi kalau yang Anda cari adalah pengalaman virtual reality terbaik dalam wujud yang portable dan nirkabel, Gear VR adalah pilihan terbaik, apalagi kalau smartphone yang Anda pakai adalah Galaxy Note 5, S6, S6 Edge, S6 Edge+, atau malah S7 dan S7 Edge.

Pada dasarnya, tagline “Powered by Oculus” yang diusung Gear VR bukan gimmick semata. Oculus sepertinya benar-benar mengoptimalkan Gear VR semaksimal mungkin, dan itu bisa dilihat dari variasi konten bermutu yang tersedia untuk Gear VR.