Terakhir diberitakan setahun lalu, Google Glass meluncur sebagai produk enterprise generasi kedua. Publik mungkin sudah lupa bahwa ia sempat eksis sebagai produk consumer (meski tidak secara luas), namun sebagian lainnya mungkin juga masih mempertanyakan kapan Glass dapat terealisasi kembali sebagai produk yang dapat digunakan oleh konsumen secara umum.
Google memang tidak punya jawabannya, akan tetapi akuisisi terbaru mereka setidaknya mengindikasikan secuil harapan terkait masa depan Glass ke depannya. Melalui blog resminya, Google mengumumkan bahwa mereka telah mengakuisisi North, perusahaan asal Kanada yang sempat mencuri perhatian di tahun 2018 lewat produk debutannya, Focals.
Focals merupakan kacamata pintar yang cukup istimewa. Bentuknya hampir menyerupai kacamata biasa, dan kita tak akan menyadari bahwa ia merupakan sebuah gadget kalau bukan karena bagian tangkainya yang sedikit lebih gemuk dari biasanya. Teknologi display-nya pun unik, memanfaatkan retinal projection berbasis laser sehingga konten yang tampil pada lensa transparannya cuma bisa dilihat oleh si pengguna itu sendiri.
Sayangnya kekurangan terbesar Focals juga diakibatkan oleh teknologi display-nya tersebut. Karena menyangkut mata pengguna secara langsung, konsumen yang hendak membelinya diwajibkan untuk datang ke showroom North untuk menjalani proses 3D scanning kepala terlebih dulu, sehingga pada akhirnya ukuran dan bentuk kacamatanya bisa benar-benar sesuai dengan tiap-tiap pengguna, dan proyeksinya tidak ada yang meleset.
Menjelang akhir tahun lalu, North sempat diberitakan sedang menyiapkan penerus Focals yang diklaim lebih ringkas dan mengemas display yang lebih tajam. Sayang produk generasi kedua yang semestinya dijadwalkan hadir tahun ini tersebut tidak akan terwujud karena North memutuskan untuk membatalkan pengembangannya seiring bergabungnya mereka dengan Google.
Mungkinkah teknologi-teknologinya bakal ditransfer ke Google Glass sehingga kita pada akhirnya dapat berjumpa lagi dengan Glass versi consumer? Mungkin saja, tapi Google menolak untuk mendiskusikannya secara detail. Mereka hanya bilang bahwa kedatangan tim North dapat membantu mereka mewujudkan visinya di bidang ambient computing.
Perlu dicatat juga bahwa Focals bukanlah produk pertama North. Mereka juga merupakan pencipta Myo Armband, sebuah perangkat inovatif yang mampu menerjemahkan gerakan otot-otot di pergelangan tangan menjadi input untuk mengontrol berbagai macam perangkat. Google sudah pasti tidak akan menyia-nyiakan teknologinya dan bakal bereksperimen lebih lanjut dengannya.
Google Glass disingkap di tengah tingginya imajinasi dan harapan terhadap teknologi cross reality. Mulai tersedia secara terbatas di 2013, Glass adalah head-mounted display AR yang dikemas dalam wujud kaca mata, disiapkan sebagai perangkat komputasi wearable. Pengoperasiannya didukung oleh internet, mempersilakan kita untuk mengakses segala fungsinya lewat perintah suara.
Sayangnya hanya butuh sedikit waktu bagi Glass untuk menuai kritik. Kehadirannya membuat khalayak cemas terhadap privasi serta bisa membuka celah keamanan. Perangkat ini dapat melakukan perekaman, dan orang khawatir gerak-geriknya dipantau tanpa sepengetahuan mereka. Beberapa negara juga melarang pemakaian Glass saat berkendara karena berdampak buruk pada konsentrasi dan meningkatkan resiko keselamatan – baik bagi diri pengguna maupun orang lain.
Produksi model purwarupa Glass akhirnya dihentikan di bulan Januari 2015 dan kembali berkiprah sebagai perangkat segmen enterprise di tahun 2017. Dan kira-kira dua tahun selepasnya, sang raksasa internet mengumumkan versi anyar bertajuk Google Glass Enterprise Edition 2 yang mengusung sejumlah pembaruan. Seperti sebelumnya, perangkat ini diarahkan ke segmen bisnis dan tidak dijual langsung ke konsumen.
Satu hal menarik dari Glass Enterprise Edition 2 ialah, ia disuguhkan sebagai anggota keluarga produk Google, bukan lagi bagian dari Alphabet X. Secara dasar, tak ada banyak hal yang berubah dari perangkat wearable ini. Wujudnya tetap mirip kacamata baca, dengan modul menonjol ke depan di dekat lensa kanan serta satu modul lagi di bagian tangkai.
Modifikasi lebih banyak bisa ditemukan di dalam. Platform Qualcomm Snapdragon XR1 dipilih sebagai basis dari Glass Enterprise Edition 2. Di sana tersimpan CPU multi-core yang lebih cepat serta engine kecerdasan buatan. Kombinasi dari semua itu memastikan perangkat mengonsumsi daya lebih hemat, bekerja dengan performa lebih tinggi, serta menyimpan kemampuan machine learning yang lebih pintar.
Produsen juga memperbarui mutu dan kinerja kamera yang tetap dititikberatkan pada kapabilitas streaming video lewat perspektif orang pertama dan fitur kolaborasi. Selain itu, Google menambahkan port USB type-C yang mendukung fungsi fast charging serta tak lupa meningkatkan daya tahan baterainya. Spesifikasi lengkapnya bisa Anda lihat di sini.
Glass Enterprise Edition 2 dijajakan seharga US$ 1.000. Google menjelaskan secara singkat bagaimana perangkat wearable ini bisa membantu para profesional di beragam bidang industri, dari mulai logistik, manufaktur hingga tim di lapangan. Dengannya, pekerja dapat melihat instruksi, mengirimkan video atau foto inspeksi hingga mengakses checklist suatu tugas – semuanya secara hands-free.
Google Glass tidak cocok untuk konsumsi umum. Anggapan tersebut tidak perlu diperdebatkan lagi, sebab Google sendiri telah merancangnya ulang sebagai produk enterprise. Kendati demikian, Glass masih punya potensi untuk membantu mengatasi keperluan-keperluan khusus, seperti misalnya membantu anak-anak penderita autisme bersosialisasi dengan lebih baik.
Temuan itu didapat berdasarkan hasil pengujian tim peneliti di Stanford University. Mereka mengembangkan sebuah aplikasi smartphone berteknologi facial recognition yang bisa digandengkan dengan Glass, kemudian mengujinya bersama 14 penderita autisme dengan rentang usia 3 – 17 tahun selama 10 minggu.
Subjek percobaan itu bukannya mengenakan Glass setiap saat, melainkan minimal hanya tiga sesi setiap minggu, dengan durasi masing-masing sesi selama 20 menit. Hasilnya cukup positif; sebagian besar anak-anak yang ikut dalam program terapi ini terbukti bisa mempertahankan kontak matanya secara lebih baik, serta mampu mengenali bermacam ekspresi wajah orang lain.
Jadi, kamera milik Glass akan merekam wajah setiap orang yang ditemui sang anak, lalu meneruskan informasi tersebut ke smartphone. Aplikasinya yang telah dilatih menggunakan ratusan ribu foto wajah kemudian bertugas menebak ekspresi wajah orang yang tertangkap kamera, kemudian meneruskan kembali informasinya ke Glass – bisa dalam bentuk audio atau emoticon kecil yang tampil di ujung kanan atas pandangan sang anak.
Aplikasinya ini dapat mengenali delapan jenis ekspresi: senang, sedih, marah, jijik, kaget, takut, sombong dan tenang. Masing-masing ekspresi diwakili oleh emoticon yang berbeda, dan seluruh proses ini berlangsung secara real-time sehingga sang anak bisa langsung bereaksi sesuai kondisinya.
Usai tiap sesi, anak-anak beserta orang tuanya bisa meninjau ulang rekaman video interaksi mereka. Videonya juga dilengkapi timeline warna-warni (sesuai emoticon ekspresi wajahnya tadi) yang mengindikasikan kapan kombinasi Google Glass dan aplikasi ponsel ini berhasil mengidentifikasi tiap-tiap ekspresi wajah.
Meski hasilnya bagus, para peneliti belum bisa memastikan apakah yang memberikan pengaruh positif selama terapi berlangsung hanyalah Google Glass, dan bukan faktor-faktor yang lain. Untuk memastikan hal itu, dibutuhkan percobaan lain yang juga mencakup anak-anak yang menjalani program terapi secara tradisional, alias tanpa bantuan Google Glass.
Baru bulan Juli kemarin, Google Glass resmi berkiprah kembali di dunia enterprise. Salah satu keunggulan utama Glass versi baru ini adalah desainnya, di mana ia kini dapat dilepas dan dipasangkan ke kacamata apapun, sehingga penggunaannya bisa disesuaikan dengan beragam skenario.
Empat bulan berselang, rival potensialnya sudah mulai bermunculan. Salah satunya datang dari pabrikan kamera ternama, Olympus. Pelopor segmen kamera mirrorless itu baru saja memperkenalkan smart glassess-nya sendiri yang diberi nama lengkap Olympus EyeTrek Insight EI-10.
Sama seperti Google Glass EE, Olympus EI-10 juga dirancang untuk dipasangkan ke berbagai kacamata maupun pelindung mata. Dari situ penggunanya bisa menyimak informasi yang ditampilkan oleh layar OLED beresolusi 640 x 400 pixel, selagi mengambil video atau foto beresolusi 2,4 megapixel.
Melihat spesifikasi kameranya, Anda mungkin bakal langsung berpaling ke Google Glass yang lebih superior. Kendati demikian, Olympus mengklaim bahwa mereka telah menerapkan sistem optik khusus agar display milik EI-10 bisa terlihat jernih dan tajam terlepas dari dimensinya yang sangat kecil.
Wi-Fi dan Bluetooth sudah menjadi suatu keharusan, sedangkan pengoperasiannya mengandalkan sentuhan pada panel sampingnya. Olympus sengaja memilih sistem operasi Android guna mendorong developer untuk mengembangkan aplikasi yang dibutuhkan oleh target pasar EI-10, yakni kalangan enterprise.
Sepintas desainnya mungkin tidak seringkas Google Glass versi baru, akan tetapi bobotnya masih cukup ringan di angka 66 gram. Baterainya diperkirakan bisa bertahan sampai 1 jam penggunaan, dan yang menarik, pengguna dapat melepas dan menggantinya dengan unit baterai lain agar perangkat bisa terus digunakan.
Satu hal krusial lain yang membedakan perangkat ini dengan Google Glass adalah, besutan Google itu sudah dipasarkan ke perusahaan dari berbagai industri, sedangkan Olympus masih menawarkannya ke kalangan developer seharga $1.500.
AR dan VR, dua akronim ini banyak menghiasi headline media publikasi dalam dua dua tahun terakhir. Keduanya sebenarnya sudah eksis sejak cukup lama, namun baru belakangan ini kembali menjadi sorotan. Yang mungkin menjadi pertanyaan, manakah dari keduanya yang memiliki pengaruh lebih besar terhadap pengguna?
Secara umum, keduanya sama-sama memiliki dampak yang cukup besar terhadap cara kita berinteraksi dengan dunia digital. Kendati demikian, AR sepertinya punya masa depan yang lebih cerah jika mengamati tren terkini.
Apa itu AR?
AR atau augmented reality, dapat diterjemahkan secara harfiah menjadi realitas tertambah. Tidak seperti virtual reality yang benar-benar menyuguhkan sebuah realitas baru di hadapan pengguna, augmented reality mencoba meleburkan dunia nyata dengan dunia virtual.
Game Pokemon Go yang dirilis tahun lalu merupakan cara terbaik untuk menjelaskan konsep AR. Dengan mata telanjang, mustahil kita bisa menemukan seekor Pikachu di sebuah taman kota. Namun ketika dilihat melalui kamera smartphone, akan muncul sejumlah Pokemon yang berkeliaran.
Lingkungannya (taman kota) nyata, tapi objeknya (Pokemon) hanyalah ilusi belaka yang cuma bisa dilihat melalui smartphone, kira-kira seperti itu deskripsi sederhana AR. Sejauh ini kesannya AR mungkin hanya bermanfaat di bidang hiburan, tapi kenyataannya tidak demikian.
Manfaat AR
Selain memunculkan genre baru di bidang gaming, AR menyimpan banyak potensi di dunia pekerjaan. Contoh yang terbaru adalah Ford, yang memanfaatkan HoloLens untuk mempercepat proses desain mobil, memungkinkan tim desainernya untuk bereksperimen dan berkolaborasi dengan mudah dan cepat.
Contoh lain adalah Google Glass, yang belum lama ini dirilis kembali tapi khusus untuk kalangan enterprise saja. Tidak main-main, klien Google Glass mencakup nama-nama besar seperti Boeing, Volkswagen, General Electric dan DHL.
Di tangan para profesional ini, AR memungkinkan mereka untuk, misalnya, memproyeksikan desain baru moncong depan mobil di atas sebuah model fisik, lalu mengamati apa saja kekurangannya dan langsung mengerjakan revisinya tanpa harus membuat ulang model fisiknya.
Dalam konteks lain, pekerja pabrik yang menggunakan Google Glass jadi tidak perlu lagi membawa-bawa buku petunjuk selagi kedua tangannya disibukkan dengan sesuatu, sebab penerapan teknologi AR dalam Glass memungkinkan semua informasi yang dibutuhkan untuk ditampilkan langsung di hadapan mereka.
AR juga perlahan menunjukkan tajinya dalam keperluan marketing. Salah satu yang paling baru adalah Supercell, yang memanfaatkan platform AR milik Facebook untuk mempromosikan salah satu game terlarisnya, Clash of Clans.
Manfaat lain AR yang tidak kalah penting adalah di bidang pendidikan, dan ini sudah mulai meluas perkembangannya di tanah air. Startup asal Bandung, Octagon Studio, sudah cukup lama memasarkan flashcard berbasis AR yang dirancang untuk mengajarkan alfabet, bahasa maupun beragam pengetahuan umum lainnya secara interaktif.
Masih seputar pendidikan, ada aplikasi edukatif bernama Kartu Muslim yang digarap oleh sejumlah karyawan dari studio game lokal Touchten bersama Ustad Wijayanto. Ke depannya tren penerapan AR dalam bidang pendidikan dipastikan bakal terus berkembang, apalagi dengan adanya eksposur dari event seperti Jakarta XR Meetup.
Naik-turunnya tren AR
Manfaat-manfaat yang telah saya jabarkan di atas sebenarnya sudah bisa menggambarkan masa depan AR yang cukup cerah. Namun demikian, masih ada alasan lain mengapa AR punya peran yang sangat penting terhadap konsumen, bahkan lebih penting ketimbang VR.
Utamanya adalah bagaimana AR dapat mengubah cara kita berinteraksi dengan smartphone atau tablet, dan di saat yang sama masih melibatkan sejumlah objek fisik di sekitar. Saya ambil contoh Osmo Pizza Co., yang pada dasarnya merupakan perpaduan board game dan video game, dengan elemen edukatif yang tersisipkan secara elegan.
Dalam permainan ini, anak-anak berusia 5 – 12 tahun akan diajak belajar untuk menjalankan bisnis pizza-nya sendiri. Namun tidak seperti game simulasi pada umumnya, interaksi dalam Osmo Pizza Co. mengandalkan sejumlah objek fisik, mulai dari uang-uangan sampai adonan pizza palsu beserta topping-nya.
Sistem permainan seperti ini menurut saya dapat menyajikan porsi yang pas antara interaksi digital dan fisik; anak-anak yang bermain tidak hanya menikmati konten yang ditampilkan di layar secara pasif, tapi juga aktif mengutak-atik beragam alat bantu yang ada di sekitarnya tadi.
Pertanyaannya, mengapa baru sekarang AR kembali menjadi buah bibir? Padahal kalau Anda ingat, Nokia sempat meluncurkan aplikasi bernama City Lens di tahun 2012, yang memudahkan pengguna mencari lokasi menarik di sekitarnya hanya dengan mengarahkan kamera.
Ok, saya akui Nokia City Lens adalah contoh yang buruk, sebab aplikasi tersebut hanya tersedia untuk platform Windows Phone yang terbukti tidak laku. Namun poin yang ingin saya tekankan adalah, AR sudah menunjukkan potensinya sejak lama, tapi kemudian ia sempat hilang dari pembicaraan dan akhirnya bangkit kembali bersama dengan VR.
Lalu jika melihat perkembangannya, AR bisa dikatakan lebih maju dibanding VR. Kok bisa? Salah satu alasannya merujuk pada keterlibatan Apple dan Google. Dua perusahaan yang bertanggung jawab atas dua sistem operasi mobile terlaris itu belum lama memutuskan untuk serius memaksimalkan potensi AR.
ARKit dan ARCore
Buah pemikiran mereka adalah ARKit dan ARCore, yang sederhananya memungkinkan iOS dan Android untuk mendukung teknologi augmented reality secara native, tanpa memerlukan komponen ekstra maupun perangkat khusus.
Sebelum ARKit dan ARCore, Pokemon Go memang sudah bisa berjalan dengan lancar di iOS dan Android. Namun dengan ARKit dan ARCore, penerapan AR dapat lebih dimaksimalkan karena developer aplikasi dan game dapat mengakses beragam fungsinya secara mendalam.
ARKit pada dasarnya memungkinkan peningkatan kualitas grafik objek virtual yang ditampilkan. Hal ini dikarenakan hampir semua pemrosesan yang dibutuhkan dilakukan oleh prosesor, sehingga pada akhirnya GPU yang tidak tersentuh tersebut bisa dimaksimalkan oleh developer.
ARKit sejatinya memungkinkan developer untuk berfokus pada penyajian konten tanpa perlu memusingkan aspek krusial lain macam tracking, sebab semuanya sudah ditangani oleh ARKit. Ini juga yang menjadi alasan mengapa kursi dan sofa virtual yang disuguhkan aplikasi Ikea Place tampak cukup mendekati aslinya.
ARCore di sisi lain bisa disebut sebagai ARKit versi Android. Google sebelumnya memang sudah punya inisiatif sendiri untuk AR, yakni melalui Project Tango. Namun karena membutuhkan perangkat yang dilengkapi komponen khusus, Tango belum mampu mengatrol popularitas AR.
Lain halnya dengan ARCore, yang dirancang agar bisa berjalan di banyak smartphone yang menjalankan OS Android versi 7.0 Nougat. Premisnya hampir sama seperti ARKit, dimana kapabilitas tracking akan ditangani oleh sistem, dan developer tinggal berkonsentrasi pada konten.
Banyak yang memprediksi ARKit dan ARCore bakal menggerakkan popularitas tren AR ke depannya. Alasannya sederhana saja: keduanya sudah langsung tersedia di jutaan perangkat, sehingga status mainstream yang bakal melekat pada AR sebenarnya hanya tinggal menunggu waktu sesaat saja. VR di sisi lain sulit mengalami nasib yang sama karena konsumen diharuskan membeli perangkat baru.
Masa depan AR
Dari segi software, AR sebenarnya sudah tergolong sangat matang berkat kehadiran ARKit dan ARCore. Namun dari segi hardware, AR mungkin masih belum menemukan medium yang tepat; memegang smartphone dan mengarahkan kameranya bukan cara yang praktis untuk menikmati AR.
Kacamata atau headset merupakan salah satu solusi yang tengah dikejar banyak pihak. Salah satunya adalah sebuah startup bernama Mira, yang menawarkan AR headset berbasis mobile – macam Gear VR, tapi untuk AR. Tak hanya startup kecil, nama besar seperti Intel pun juga mulai berfokus ke AR, meski sejauh ini apa yang dikerjakannya masih misteri.
Di tempat lain, ada Disney yang percaya AR lebih ideal ketimbang VR dalam konteks taman hiburan. Disney bahkan telah bekerja sama dengan Lenovo untuk mengembangkan AR headset spesial yang dirancang untuk para pencinta Star Wars, lengkap dengan motion controller berwujud Lightsaber.
Semua ini bisa mengindikasikan masa depan AR yang cerah. Saya tidak bilang VR bermasa depan suram, hanya saja perkembangannya mungkin tidak akan secepat AR yang lebih mudah diterima dan diadopsi oleh konsumen secara luas berkat akses yang jauh lebih gampang.
Terakhir kali kita mendengar kabar mengenai Google Glass adalah di penghujung tahun 2015, dimana pada saat itu beredar foto versi kedua Google Glass yang ditujukan untuk kalangan enterprise. Kabar tersebut ternyata akurat, sebab Google baru saja mengumumkan ketersediaan Glass Enterprise Edition (EE) secara resmi.
Glass EE bukan lagi sekadar produk eksperimental, melainkan versi final yang sudah digunakan oleh lebih dari 50 perusahaan dari beragam industri (agrikultur, manufaktur, medis maupun logistik), yang mencakup nama-nama besar seperti Boeing, Volkswagen, General Electric serta DHL.
Versi baru Glass ini sepintas kelihatan mirip seperti yang dulu, akan tetapi sejatinya ada satu perubahan desain yang sangat signifikan: modul Glass EE bisa dilepas dan dipasangkan ke kacamata apapun, termasuk pelindung mata yang biasa digunakan di kawasan industri.
Jeroannya tentu juga ikut di-upgrade. Selain mengemas prosesor yang lebih kencang, koneksi Wi-Fi yang lebih cepat dan baterai yang lebih awet, kameranya juga naik kelas dari 5 megapixel ke 8 megapixel. Yang tidak kalah penting, sekarang akan ada indikator yang menyala ketika pengguna memakainya kameranya untuk merekam video – meski ini tak lagi relevan tanpa eksitensi Glass di segmen consumer.
Penggunaan Glass di bidang industri memang jauh lebih masuk akal ketimbang di tangan konsumen sehari-hari. Pekerja pabrik yang kedua tangannya selalu sibuk bisa bekerja secara lebih efisien tanpa harus berhenti sejenak untuk mencontek buku manual, semua instruksi yang diperlukan bisa langsung ditampilkan di hadapan matanya oleh Glass.
Sebagai produk enterprise, wajar apabila tidak ada banderol harga yang tercantum pada Glass EE. Google sendiri memilih untuk memasarkannya lewat jaringan mitranya, yang berarti Glass EE bakal dibundel bersama solusi bisnis yang spesifik yang dibutuhkan oleh para konsumennya.
Di titik ini, dunia semestinya sudah move on dari Google Glass. Meski sempat beredar kabar bahwa versi keduanya sedang dikerjakan, hype-nya tidak bisa seheboh dulu sebab versi keduanya ini cuma ditujukan buat kalangan enterprise. Dari situ pabrikan lain mencoba mengisi kekosongan dengan perangkat yang lebih menyerupai sebuah kacamata biasa, seperti Vuzix salah satunya.
Sekarang giliran sebuah startup asal Korea Selatan, Alpha Labs, yang mencoba mempersembahkan kacamata AR besutannya. Dijuluki Alpha Glass, wujudnya lebih mirip kacamata biasa ketimbang Google Glass, meski tangkainya agak lebih tebal dari biasanya karena harus menjadi rumah untuk hampir semua komponen elektroniknya.
Tidak seperti Google Glass yang memanfaatkan prisma untuk menyajikan konten AR, pada Alpha Glass semua kontennya akan langsung ditampilkan di lensa kacamata. Rahasianya terletak pada sebuah display micro OLED yang tertanam di bagian tangkai. Layar ini diposisikan menghadap ke lensa kolimator di bagian penopang hidung, yang bertugas memantulkan gambar ke lensa sehingga konten bisa langsung tampak di depan mata.
Kontennya sendiri bisa berupa panduan navigasi, informasi cuaca, notifikasi dan masih banyak lagi. Alpha Glass ditenagai oleh OS Android 5.1 yang telah dimodifikasi, dan ia turut dilengkapi integrasi asisten virtual yang dapat diajak berinteraksi via perintah suara macam Siri maupun Google Assistant.
Untuk bisa melakukan semua ini, Alpha Glass mengemas chipset dengan prosesor quad-core dan RAM 2 GB, plus kapasitas penyimpanan sebesar 16 GB. Konektivitas seperti Wi-Fi dan Bluetooth tidak dilupakan, demikian pula dengan speaker bone conduction, dan tentu saja, kamera 5 megapixel di ujung frame sebelah kiri.
Untuk mengoperasikan kameranya, pengguna hanya perlu menyentuh tangkai sebelah kiri, yang ternyata juga sudah dilengkapi dengan panel sentuh. Di sisi lain, tangkai kanannya didominasi oleh baterai yang diyakini sanggup bertahan selama 6 jam sebelum perlu di-charge kembali dengan kabel micro USB.
Alpha Glass sebenarnya sudah mulai dikembangkan sejak tahun 2014, dan kini pengembangnya sudah siap memasarkannya ke kalangan developer agar ekosistem kontennya bisa siap ketika perangkat dirilis ke publik. Di Kickstarter, Alpha Glass Developer Kit ini bisa dipesan dengan harga paling murah $720, sedangkan harga retail untuk konsumen nanti diperkirakan berkisar $1.000.
Sudah cukup lama kita tidak mendengar kabar mengenai salah satu inovasi teknologi paling kontroversial di dunia, Google Glass. Setelah program Explorer-nya dihentikan di bulan Januari kemarin, sejatinya ada banyak rumor yang beredar seputar Google Glass dari berbagai sumber.
Namun yang terbaru kali ini datang dari organisasi pemerintahan Amerika, FCC (Federal Communications Commision), dalam wujud foto asli perangkat. Seperti yang bisa Anda lihat pada gambar di atas, sejatinya tidak ada banyak perubahan pada versi baru Google Glass.
Meski sepintas kelihatan sama, sebenarnya ada banyak peningkatan yang signifikan pada versi kedua Google Glass ini. Satu yang paling mencolok adalah, frame-nya kini bisa dilipat layaknya kacamata biasa, dan secara keseluruhan Google Glass versi anyar ini mempunyai fisik yang tahan air dan lebih tahan banting.
Masih seputar fisiknya, prisma yang berperan sebagai layar Glass kini membesar guna memberikan tampilan yang lebih luas tepat di pandangan pengguna. Google kabarnya juga tengah menyiapkan sebuah battery pack eksternal yang akan menancap pada perangkat dengan memanfaatkan magnet.
Aspek internal Google Glass versi baru ini juga telah menerima banyak perubahan. Di antaranya adalah prosesor Intel Atom yang lebih kencang tapi juga lebih tidak cepat panas, kemudian ada konektivitas Wi-Fi 5 GHz dan komponen optik kamera yang lebih andal.
Menariknya, setiap kali pengguna nantinya mengaktifkan kamera milik Google Glass baru ini, sebuah lampu di bagian depannya akan menyala. Perubahan ini sepertinya sengaja diterapkan untuk menghapus stigma bahwa Google Glass beserta kameranya kerap melanggar privasi orang lain di sekitar penggunanya.
Namun perubahan yang paling penting untuk diperhatikan sejatinya adalah target pasarnya. Versi kedua Google Glass ini ditujukan buat kaum profesional, sehingga julukannya pun berganti dari Explorer menjadi “Enterprise Edition”.
Sejauh ini memang belum ada konfirmasi resmi dari Google, tapi Glass: Enterprise Edition ini rencananya hanya akan didistribusikan melalui program Glass for Work yang mencakup perusahaan-perusahaan. Bahkan rumornya sudah ada ratusan Google Glass: Enterprise Edition yang disebarkan ke para karyawan perusahaan yang terlibat dalam program tersebut.
Berdasarkan laporan WHO tahun 2010, diperkirakan ada 39 juta jiwa penderita tunanetra. Kabar baiknya, angka ini terus berkurang dibanding tahun-tahun sebelumnya berkat intervensi medis dan dukungan data. Inventor telah mencoba menyajikan beragam jalan keluar. Dan solusi dari Stan Karpenko serta kawan-kawan boleh dibilang merupakan salah satu yang terunik. Continue reading GiveVision Berikan Kemampuan ‘Melihat’ Bagi Tunanetra→