Google mengakuisisi produsen perangkat smart home Nest pada awal tahun 2014. Pasca akuisisi, Nest rupanya masih beroperasi sendiri, hingga akhirnya pada pertengahan tahun lalu, diumumkan bahwa tim Nest resmi dilebur dengan divisi hardware Google yang menangani produk-produk seperti smart speaker Google Home maupun Chromecast.
Namun itu bukan berarti nama Nest sudah tinggal sejarah. Sebaliknya, Google justru baru saja mengumumkan bahwa mereka bakal mulai memasarkan lini produk Google Home di bawah branding Nest. Salah satu contohnya adalah Google Home Hub yang kini telah berganti nama menjadi Nest Hub.
Bersamaan dengan itu, Google turut mengungkap smart display speaker yang lebih gres lagi, yaitu Nest Hub Max. Sesuai namanya, ia merupakan versi lebih bongsor dari Nest Hub. Kalau Nest Hub cuma mengemas layar sentuh 7 inci, Nest Hub Max mengusung layar sentuh 10 inci dengan resolusi 1280 x 800.
Tubuh yang lebih besar juga berarti Hub Max lebih mumpuni perihal performa audio, dan itu diwujudkan lewat sepasang tweeter 18 mm dengan output 10 W, didampingi oleh subwoofer 75 mm dengan output 30 W. Namun ternyata Google tidak menyia-nyiakan ruang ekstra yang dimiliki Hub Max untuk itu saja.
Berbeda dari Nest Hub, Hub Max mengemas kamera depan 6,5 megapixel dengan sudut pandang seluas 127 derajat. Video call jelas merupakan salah satu kegunaannya, dan Google pun tak lupa menyertakan fitur auto-framing supaya penggunanya selalu diposisikan di tengah bingkai layar selama percakapan video berlangsung – mirip seperti fitur yang ditawarkan Facebook Portal.
Juga menarik adalah bagaimana kehadiran kamera dapat membuat Hub Max jadi bisa difungsikan sebagai kamera pengawas suatu ruangan ketika penggunanya sedang berada di luar rumah. Seperti halnya kamera pengawas keluaran Nest, semuanya bisa dimonitor secara remote via aplikasi pendamping di smartphone.
Akan tetapi yang paling menarik adalah fitur bernama Face Match. Sebelum ini, Nest Hub sudah lebih dulu menawarkan fitur Voice Match, di mana Google Assistant yang terintegrasi mampu mengenali suara individu yang berbeda dan merespon dengan lebih spesifik. Face Match punya fungsi yang serupa, tapi yang dikenali bukanlah suara, melainkan wajah.
Jadi usai melewati proses pengenalan wajah dan datanya disimpan secara aman di perangkat, pengguna dapat langsung menikmati fitur Face Match. Setiap kali pengguna bergerak menghampiri Hub Max, kameranya bakal mengenalinya, lalu perangkat akan menampilkan informasi yang spesifik buat individu tersebut; entah itu agenda harian, panduan navigasi maupun info lainnya.
Di Amerika Serikat, Nest Hub Max bakal dipasarkan mulai musim panas mendatang seharga $229. Google juga berencana membawanya ke lebih banyak negara, sayang Indonesia masih belum termasuk salah satunya (yang paling dekat adalah Singapura).
Dalam kesempatan yang sama, Google juga memperbarui banderol harga tiap-tiap produk dari lini Home-nya. Nest Hub (Google Home Hub) kini dijual seharga $129 saja di Amerika Serikat, sedangkan Google Home dan Google Home Max sekarang dihargai masing-masing $99 dan $299.
“Alexa, I’m leaving.” Seketika itu pula lampu apartemen dipadamkan, tirai jendela diturunkan, dan penghangat ruangan dimatikan. Pulang kerja dan setibanya di rumah, Alexa kembali dipanggil; “Alexa, cooking time,” dan dalam sekejap lampu dapur langsung menyala, disusul oleh alunan musik upbeat yang di-stream via Spotify.
Kira-kira seperti itulah gambaran keseharian manusia modern. Namun kalau Anda jeli, Anda bisa melihat saya menyebut “penghangat ruangan” ketimbang “AC”. Alasannya, skenario ini jauh lebih mudah dicapai apabila kita tinggal di Amerika Serikat daripada di Indonesia.
Apakah negara kita sebegitu tertinggalnya perihal teknologi sampai-sampai tren smart home yang berpusat pada smart speaker dan integrasi voice assistant sulit diwujudkan? Jelas bukan itu masalahnya, tapi lalu mengapa smart speaker di Indonesia belum sepopuler di AS?
Saya melihat setidaknya ada empat poin penting yang menghambat perkembangan tren smart speaker di tanah air, dan saya akan coba membahasnya satu per satu lewat artikel ini.
Soal bahasa
Seperti yang kita tahu, voice assistant macam Alexa, Siri maupun Google Assistant diciptakan untuk berinteraksi secara lisan. Dukungan bahasa Indonesia mungkin sudah tersedia – terutama pada Google Assistant – tapi pada prakteknya komunikasi dengan voice assistant masih lebih mudah dijalani menggunakan bahasa Inggris.
Kalau tidak percaya, silakan cari video review Amazon Echo atau Google Home berbahasa Indonesia di YouTube. Videonya memang dalam bahasa Indonesia, akan tetapi bisa saya pastikan hampir semuanya berinteraksi dengan voice assistant menggunakan bahasa Inggris. Untuk yang sepenuhnya menggunakan bahasa Indonesia, kebanyakan adalah mereka yang iseng mencoba keahlian Google Assistant dalam melawak.
Masalah bahasa ini menurut saya hanyalah masalah waktu. Ketika pertama diluncurkan beberapa tahun lalu, Google Assistant juga tidak langsung bisa berbahasa Indonesia, namun sekarang ia sudah fasih dan pandai membuat lelucon dalam bahasa ibu kita. Seiring waktu, dukungan bahasa voice assistant akan semakin lengkap dan sempurna, dan semoga saja di titik itu kita sebagai konsumen juga jadi makin terbiasa berinteraksi menggunakan bahasa Indonesia.
Bagi yang sudah lancar berbahasa Inggris, saya kira Anda tak akan menemukan kesulitan dalam menggunakan smart speaker. Namun mayoritas tidak demikian, sehingga wajar apabila faktor bahasa ini menjadi penghambat perkembangan tren smart speaker di tanah air – setidaknya untuk saat ini.
Soal perbedaan budaya
Permasalahan bahasa dalam banyak kesempatan akan selalu dikaitkan dengan masalah perbedaan budaya. Yang membedakan di sini adalah, orang Indonesia cenderung tidak verbal ketika bersentuhan dengan teknologi.
Saya pribadi merasakannya. Saya fasih berbahasa Inggris, akan tetapi Siri di iPhone tidak pernah aktif. Pernah saya mencoba mengaktifkannya dengan maksud supaya lebih mudah memasang alarm (tinggal menginstruksikan Siri secara lisan), tapi ternyata saya jauh lebih terbiasa membuka aplikasi alarm secara manual, atau malah meminta tolong istri saya menyetel alarm di ponsel saya seumpama saya sedang disibukkan dengan hal lain dan tiba-tiba teringat harus bangun lebih awal di keesokan harinya.
Oke lah ini semua hanya masalah kebiasaan, tapi kita semua tahu tidak mudah mengubah suatu kebiasaan, apalagi yang sudah terbentuk sejak kecil. Bagi saya pribadi, kebiasaan ini bisa diubah apabila poin selanjutnya juga sudah bisa teratasi.
Soal ekosistem smart home yang belum besar
Pada skenario yang saya singgung di awal, perangkat smart home tentu memegang peranan penting dalam mewujudkannya. Lampu, tirai jendela, dan penghangat ruangan di situ semuanya dapat berkomunikasi via jaringan Wi-Fi, dan voice assistant memegang peran sebagai perantara.
Di Amerika Serikat, ekosistem smart home sudah tergolong sangat maju. Contoh yang paling gampang adalah pintu garasi. Di sana, cukup umum menjumpai rumah-rumah dengan pintu garasi yang dapat membuka sendiri ketika pemiliknya terdeteksi sudah dekat. Di Indonesia, saya yakin populasi penjualnya cukup langka, sebab memang pasarnya kurang cocok.
Ketika ekosistem smart home sudah meluas dan konsumen dapat dengan mudah melengkapi kediamannya dengan perabot-perabot pintar, di titik itulah smart speaker beserta voice assistant di dalamnya bisa berperan secara maksimal. Satu frasa singkat seperti di awal tadi sudah cukup untuk mengoperasikan beberapa perangkat sekaligus.
Pabrikan biasa menyebut fitur ini dengan istilah “routines“, dan menurut saya pribadi, routines adalah kunci dari sinergi antara smart speaker dan perangkat smart home. Tanpa routines, sebagian besar perangkat smart home akan terasa gimmicky. Namun dengan routines, kita bisa langsung merasakan bedanya beserta kepraktisan yang ditawarkannya.
Tahun lalu, saya mulai melihat banyak iklan-iklan properti yang mencantumkan “gratis perangkat smart home” sebagai salah satu nilai jual utamanya. Ini bisa menjadi pertanda bahwa ekosistem smart home di negara kita tidak stagnan, meski mungkin progress-nya masih tergolong lambat jika dibandingkan dengan di negara lain.
Kesimpulannya, masih ada harapan terkait perluasan ekosistem smart home di tanah air. Lalu ketika itu sudah terwujud, barulah kita bisa melihat peran esensial smart speaker, dan pada akhirnya kebiasaan kita yang kurang verbal perlahan juga bisa diubah saat sudah merasakan faedahnya.
Soal ketersediaan smart speaker yang terbatas
Poin yang terakhir ini adalah yang paling bisa dimaklumi, sebab perangkat elektronik dari kategori lain pun masih banyak yang serba terbatas ketersediaannya di tanah air. Sebagai produk baru dari kategori yang baru pula, wajar apabila pemasaran smart speaker di Indonesia belum gencar.
Sejauh ini yang saya tahu baru JBL yang sudah memasarkan lini speaker Link-nya di Indonesia. Google Home belum tersedia via jalur resmi, demikian pula Amazon Echo. Bahkan HomePod yang semestinya mudah diboyong ke tanah air – karena iBox yang berada di bawah Erajaya Group memegang hak distribusi eksklusif atas produk Apple – juga belum kunjung tersedia.
Tebakan saya, selain karena kategorinya masih baru, alasan lainnya menyambung poin sebelumnya mengenai ekosistem smart home. Karena ekosistemnya belum luas, peran smart speaker belum bisa maksimal, sehingga pada akhirnya pabrikan maupun distributor masih enggan membawa produk smart speaker-nya ke pasar Indonesia.
—
Kalau kita lihat, keempat masalah ini sebenarnya dapat teratasi dengan sendirinya seiring berjalannya waktu. Itulah mengapa saya mencantumkan kata “belum” pada judul ketimbang “tidak”, sebab memang saatnya masih belum tiba buat smart speaker untuk bersinar di pasar Indonesia.
Saya sama sekali tidak bermaksud mencegah Anda yang tertarik membeli, atau malah menjatuhkan yang sudah terlanjur membeli smart speaker. Beli sekarang atau nanti, smart speaker tetap sangatlah bermanfaat, hanya saja manfaatnya nanti (ketika tantangan-tantangan di atas sudah terlewati) akan lebih terasa lagi daripada sekarang.
Google banyak memperkenalkan hardware baru dalam sebuah event yang digelar di kota New York semalam. Bintang utamanya tentu saja adalah Pixel 3 dan Pixel 3 XL, diikuti oleh tablet Chrome OS Pixel Slate.
Namun Pixel bukan satu-satunya lini produk yang kedatangan anggota keluarga baru. Google turut mengungkap Google Home Hub untuk bersaing dengan perangkat seperti Amazon Echo Show dan Facebook Portal di segmen smart display speaker, serta Chromecast generasi ketiga.
Google Home Hub
Google Home, seperti yang kita tahu, adalah lini smart speaker yang dibekali integrasi Google Assistant. Hub pada dasarnya menawarkan pengalaman yang lebih interaktif berkat layar sentuh 7 inci yang memenuhi bagian depannya. Entah mengapa Google menolak menyebutkan resolusi panel LCD yang digunakan, tapi semestinya paling tidak sudah beresolusi HD.
Tepat di atas layar tersebut tertanam sepasang mikrofon far-field untuk menangkap perintah suara pengguna dari kejauhan. Di antara mikrofon tersebut, ada sensor yang memungkinkan Hub untuk menyesuaikan tingkat kecerahan dan temperatur warna layarnya secara otomatis, menyesuaikan dengan kondisi pencahayaan di sekitar.
Output audionya ditunjang oleh sebuah full-range driver yang tersimpan di bagian dudukan layar. Bagian ini pun telah dibungkus bahan fabric khas lini Google Home, dengan empat pilihan warna yang tersedia: abu-abu, hitam, pink dan mint. Google tak lupa menyematkan Bluetooth 5.0 pada Hub.
Terkait fungsionalitas, apa yang ditawarkan Hub semestinya sama persis seperti Lenovo Smart Display dan JBL Link View, yang juga merupakan smart display speaker bertenaga Google Assistant, dengan sistem operasi Android Things.
Satu hal yang perlu dicatat, Hub tidak dilengkapi kamera, yang berarti ia tak dapat digunakan untuk video calling. Sebaliknya, video calling merupakan fitur yang dijadikan penawaran utama oleh Facebook Portal.
Google Home Hub akan segera dipasarkan mulai 22 Oktober mendatang di Amerika Serikat, Inggris dan Australia. Harganya dipatok $149, sudah termasuk gratis berlangganan YouTube Premium selama enam bulan.
Chromecast (3rd Gen)
Untuk Chromecast, perubahan yang dibawa generasi ketiganya ini sebenarnya tidak terlalu banyak. Desainnya direvisi menjadi lebih simpel, dan kini mengusung logo Google ketimbang Chrome. Pilihan warnanya kini cuma ada putih dan hitam.
Dimensinya tetap ringkas, dengan diameter 51,8 mm dan tebal 13,8 mm, serta bobot hanya 40 gram. Kabel HDMI-nya lagi-lagi menyatu dengan perangkat, dan ia masih memerlukan suplai daya dari adaptor via micro USB.
Google mengklaim performanya lebih cepat 15%, tapi yang lebih penting adalah, Chromecast baru ini telah mendukung resolusi 1080p 60 fps, bukan lagi 720p seperti generasi sebelumnya – kalau 4K yang Anda cari, Chromecast Ultra masih bisa dijadikan pilihan.
Saat sedang tidak digunakan, perangkat bisa menampilkan koleksi foto yang tersimpan di Google Photos pada TV. Ke depannya, Google juga akan menambahkan dukungan multi-room audio pada Chromecast generasi baru ini sehingga ia dapat difungsikan layaknya Chromecast Audio.
Selebihnya, Chromecast (3rd Gen) masih sama seperti sebelumnya. Harganya pun tidak berubah: $35. Saat ini Google telah memasarkannya di sejumlah negara, dan akan menyusul ke lebih banyak lagi tahun depan.
Google memaparkan sejumlah kemampuan baru Assistant pada ajang Google I/O bulan Mei lalu. Salah satu yang sangat menarik adalah fitur mereka sebut dengan istilah Continued Conversation, di mana percakapan dengan Assistant bisa berlangsung secara lebih alami karena kita tidak harus memulainya dengan frasa “Hey Google” atau “OK Google” setiap kali.
Fitur baru tersebut akhirnya sudah resmi tersedia di deretan smart speaker Google, yakni Home, Home Mini dan Home Max. Sejauh ini belum ada informasi mengenai ketersediaannya di smartphone, kemungkinan dikarenakan fitur ini membutuhkan kinerja mikrofon yang optimal, dan smart speaker jelas lebih superior soal ini.
Google juga memilih untuk menjadikannya sebagai fitur opsional. Perlu dicatat, kita masih perlu memanggil Assistant dengan frasa “Hey Google” atau “OK Google” pada awalnya. Namun setelahnya, Assistant bakal terus aktif dalam durasi yang cukup lama guna merespon perintah suara lanjutan dari pengguna tanpa harus diawali dengan frasa pemicunya itu tadi setiap kali.
Google mengilustrasikannya sebagai berikut: semisal kita baru bangun dan hendak mengecek ramalan cuaca, kita bisa memulainya dengan “Hey Google, what’s the weather today?” Lanjutannya bisa dengan “And what about tomorrow?”… “Can you add a rain jacket to my shopping list”… “And remind me to bring an umbrella tomorrow morning.” Lalu ditutup oleh “Thank you!”
Frasa “thank you” atau “stop” ini bakal ditangkap oleh Assistant bahwa sesi percakapan spesifik itu sudah usai sehingga ia bisa kembali ‘tidur’. Selanjutnya, kita perlu mengucapkan frasa “Hey Google” atau “OK Google” untuk kembali memanggil Assistant.
Untuk sekarang fitur Continued Conversation ini baru tersedia hanya dalam bahasa Inggris. Sayangnya Google belum bisa memastikan kapan dukungan untuk bahasa lain bakal tersedia.
Di era smart speaker ini, memutar musik dapat dilakukan semudah mengucapkan judul lagunya saja. Kendati demikian, kepraktisan yang ditawarkan smart speaker rupanya belum bisa membuat seorang geek dengan nickname “hoveeman” lepas dari jeratan nostalgia masa-masa keemasan perangkat jukebox.
Dia memutuskan untuk membangun sebuah sistem unik di mana musik dapat diputar di Google Home dengan cara seperti mengoperasikan jukebox. Hasilnya sangat keren, kreatif, dan patut mendapatkan apresiasi, termasuk dari mereka yang kurang bisa memahami cara kerja teknisnya.
Dalam video di bawah, tampak bahwa musik akan langsung diputar di tiga speaker (sebuah soundbar yang mendukung Chromecast, Google Home dan Google Home Mini) sesaat setelah selembar kartu didekatkan ke sisi meja. Kartu yang digunakan tentu bukan sembarangan, melainkan yang dilengkapi chip RFID (radio frequency identification).
RFID bisa dianggap sebagai metode untuk mengenali suatu objek berdasarkan gelombang radionya. Teknologi NFC yang lebih dikenal sejatinya memiliki cara kerja yang hampir sama, dan memang dibangun dengan basis protokol yang sama dengan RFID.
Di balik sisi mejanya, terpasang perangkat RFID reader yang menyambung ke Raspberry Pi 3. Raspberry Pi inilah yang pada akhirnya mengirim instruksi ke speaker untuk memutar lagu dari layanan Google Play Music, dengan bantuan platform automasi Home Assistant.
Jujur saya salut dengan niat dan kreativitas orang ini. Apalagi ternyata dia juga berbaik hati membagikan panduan lengkapnya via GitHub buat mereka yang tertarik membangun sistem serupa.
Sejak awal Google Assistant diperkenalkan, Google sudah mengimpikan skenario dimana asisten virtual-nya itu bisa menghampiri semua perangkat dari berbagai macam kategori. Sejauh ini, Google Assistant sudah tersedia di banyak smartphone Android – bahkan iPhone – dan tentu saja smart speaker Google Home menjadi huniannya yang paling alami.
Saya bilang paling alami karena hampir dalam segala kesempatan, smart speaker dikendalikan menggunakan perintah suara. Kabar baiknya, Google Home bukan satu-satunya speaker yang mengusung integrasi Assistant, sebab di IFA 2017 sudah ada tiga pabrikan yang bersiap meluncurkan persembahannya masing-masing dalam waktu dekat, yaitu Anker, Mobvoi dan Panasonic.
Anker tampil dengan Zolo Mojo yang sepintas kelihatan seperti versi mini dari Google Home. Ini bukan smart speaker pertama Anker, tapi tentu saja yang pertama dilengkapi Google Assistant, plus mendukung fitur multi-room. Kehadirannya sekaligus melengkapi sub-brand Zolo yang memulai debutnya lewat earphone wireless ala Apple AirPods.
TicHome Mini dari Mobvoi adalah yang paling kecil di antara ketiganya. Desainnya sepintas mirip Amazon Echo Dot, dan ia telah mengantongi sertifikasi ketahanan air IPX6 (sekadar cipratan, bukan untuk diceburkan). Sama seperti Zolo Mojo, ia juga dapat difungsikan sebagai speaker Bluetooth biasa jika perlu, dengan daya tahan baterai sekitar 6 jam.
Di sisi lain, Panasonic SC-GA10 merupakan yang paling bongsor, dengan wujud balok minimalis yang berdiri tegak dan pantas dijadikan dekorasi ruangan. Melihat ukurannya, sepertinya kualitas suaranya adalah yang terbaik di antara ketiga smart speaker baru ini.
Ketiganya punya jadwal rilis yang berbeda. Zolo Mojo bakal meluncur lebih dulu ke pasaran mulai akhir Oktober, dengan banderol $70. TicHome Mini masih misterius, namun konsumen bisa mendapatkan potongan harga 30% jika mendaftarkan email newsletter di situsnya. Untuk Panasonic, SC-GA10 bakal menyusul di awal 2018, tapi harganya masih belum dirincikan.
Pengumuman lain yang tak kalah menarik adalah kolaborasi Google dan LG, dimana ke depannya berbagai perabot rumah LG dapat dikendalikan dengan Google Assistant yang terpasang di smart speaker maupun smartphone. Mulai dari mesin cuci sampai robot vacuum cleaner, konsumen dapat menugaskan mereka hanya dengan mengucapkan mantra “Ok Google,” diikuti oleh instruksi yang relevan.
Google Home akhirnya mendapat dukungan multi-akun, sepekan setelah rumornya berhembus. Pembaruan ini memungkinkan pengguna untuk menghubungkan hingga enam akun yang berbeda pada satu perangkat Google Home.
Menariknya, Google ternyata berhasil melalui tantangan terbesar dalam penerapan fitur multi-akun, yakni terkait bagaimana perangkat bisa mengidentifikasi pengguna yang berbeda. Berbekal kemajuan teknologi neural network, Google Home sanggup membedakan pengguna berdasarkan suaranya.
Jadi ketika menyambungkan akun ke Google Home, Anda akan diminta untuk mengajari Google Assistant supaya dia bisa mengenali suara Anda. Caranya cukup dengan mengucapkan frasa “Ok Google” dan “Hey Google” masing-masing sebanyak dua kali, kemudian neural network akan menganalisanya dan mendeteksi karakteristik tertentu dari suara tiap-tiap pengguna.
Setelahnya, setiap kali Anda mengucapkan “Ok Google” atau “Hey Google”, teknologi yang sama akan membandingkan suara Anda dengan hasil analisis sebelumnya guna memastikan apakah benar Anda yang sedang berbicara. Prosesnya diyakini terjadi dalam hitungan milidetik, dan demi alasan keamanan tidak ada data analisis yang diunggah ke cloud.
Pada akhirnya Google Home bisa menjadi gadget keluarga yang esensial, dan Google Assistant pun bisa benar-benar berfungsi sebagai asisten pribadi Anda, kekasih Anda maupun orang lain yang tinggal serumah dengan Anda.
Untuk sementara fitur ini baru tersedia buat pengguna Google Home di AS saja – perangkatnya sendiri sampai sekarang belum tersedia di banyak negara.
Kehadiran perangkat macam Google Home memudahkan kita dalam mengakses informasi tanpa perlu membuka smartphone dan hanya dengan menggunakan perintah suara. Itulah mengapa Google menempatkannya sebagai gadget rumahan, bukan personal seperti ponsel kita masing-masing.
Sayang perannya sebagai gadget rumahan kurang begitu efektif, setidaknya untuk sekarang. Pasalnya, Google Home sejauh ini hanya mendukung satu akun pribadi saja. Jadi kalau yang tersambung adalah akun saya, maka Anda tidak bisa seenaknya menanyakan tentang hasil pertandingan tim basket favorit Anda karena yang tercatat adalah tim andalan saya.
Ke depannya hal ini dipastikan akan berubah, dan Google sudah menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka sedang sibuk mengerjakan dukungan multi-akun. Berdasarkan pantauan The Verge, aplikasi Google Home sempat menampilkan pesan “Multiple users now supported”, meski sekarang pesan itu sudah dihapus karena fiturnya memang belum siap.
Bisa jadi Google merasa masih perlu menunda perilisan fitur multi-akun karena masih memikirkan cara kerja terbaiknya – spesifiknya bagaimana perangkat bisa membedakan satu pengguna dan yang lainnya. Awalnya mungkin pengguna masih harus mengganti akun secara manual lewat aplikasi, tapi ke depannya tidak menutup kemungkinan perangkat dapat mengidentifikasi pengguna yang berbeda dengan mengenali suaranya masing-masing.
Beberapa bulan terakhir Google tampaknya sibuk membangun divisi hardware dan mengembangkan berbagai macam perangkat. Selain smartphone dan VR headset baru, raksasa internet tersebut juga memperkenalkan tiga perangkat baru untuk kebutuhan rumahan: Google Wifi, Google Home dan Chromecast Ultra.
Google Wifi
Sesuai namanya, Google Wifi merupakan sebuah router Wi-Fi. Ia merupakan kelanjutan dari OnHub yang diluncurkan tahun lalu dengan dua model buatan TP-LINK dan Asus. Kali ini, Google sepertinya sudah cukup percaya diri untuk merancang Google Wifi sendiri.
Keunggulan utama Google Wifi terletak pada penggunaan teknologi mesh network, dimana satu router yang terhubung dengan kabel Ethernet bisa berkomunikasi dengan router lainnya, membentuk suatu jaringan Wi-Fi dengan cakupan yang amat luas. Sederhananya, kalau rumah Anda besar, Anda tinggal menempatkan dua atau tiga Google Wifi dan menikmati akses internet di segala sudut rumah.
Google mengklaim tidak ada proses pengaturan kompleks yang harus dihadapi pengguna. Semuanya berjalan secara otomatis. Google Wifi datang bersama sebuah aplikasi pendamping untuk memonitor koneksi sekaligus perangkat apa saja yang terhubung. Pengguna juga bisa menyetop akses internet pada suatu perangkat untuk sementara, berguna ketika sudah waktunya makan malam dan anak Anda masih asyik dengan tablet-nya di kamar.
Pre-order untuk Google Wifi bisa dilakukan mulai bulan November, tapi baru di Amerika Serikat saja. Harganya $129 per unit, atau $299 untuk bundel isi tiga unit.
Google Home
Google Home sebenarnya sempat disinggung di ajang Google I/O 2016 lalu. Perangkat ini merupakan speaker nirkabel dengan Google Assistant terintegrasi. Hal ini berarti kendalinya mengandalkan perintah suara secara penuh, dan ada banyak yang bisa dilakukan dengannya; mulai dari memutar musik, melakukan pencarian di Google sampai mengontrol perangkat smart home.
Google Home bisa memutar musik dari berbagai layanan streaming secara langsung, baik Google Play Music, Pandora, Spotify, TuneIn atau YouTube. Pengguna juga bisa memutar musik yang berasal dari ponselnya dengan cara yang sama seperti menggunakan Chromecast.
Bicara soal Chromecast, Google Home dapat digunakan untuk mengendalikan TV atau speaker yang ditancapi Chromecast menggunakan suara. Yup, Anda tidak perlu memakai smartphone untuk memutar video Netflix di TV, cukup ucapkan “OK Google” dan bicara dengan gaya yang alami, maka Google Assistant akan memahaminya.
Lebih lanjut, perintah suara yang sama juga bisa dipakai untuk mengendalikan bohlam pintar Philips Hue atau thermostat besutan Nest. Dukungan lainnya mencakup Samsung SmartThings dan IFTTT, sedangkan merek lain akan menyusul ke depannya.
Google Home ditawarkan seharga $129 dan bisa dibeli mulai bulan November mendatang. Pelat dasarnya bisa diganti dengan warna lain maupun yang bermaterial logam, dan pengguna akan mendapatkan akses gratis ke YouTube Red selama 6 bulan.
Chromecast Ultra
Chromecast generasi kedua bisa dibilang sebagai salah satu produk tersukses Google. Penerusnya kini mengusung label “Ultra”, mengindikasikan lonjakan performa sekaligus spesifikasi yang lebih canggih.
Benar saja, Chromecast Ultra siap memutar video beresolusi 4K maupun yang berformat HDR. Waktu loading juga diklaim lebih cepat 1,8 kali, dan ia dibekali port Ethernet pada adapter-nya seandainya jaringan Wi-Fi Anda kurang bagus.
Wujudnya sendiri tidak jauh berbeda dari Chromecast 2, hanya saja sekarang sudah tidak ada lagi logo Chrome, digantikan oleh logo Google kecil di bagian bawah. Kabel HDMI-nya tetap terintegrasi dan bisa menancap ke bagian belakangnya dengan magnet. Harganya juga cukup terjangkau di angka $69, dan tersedia mulai November mendatang.
Event Google I/O 2016 sudah resmi dimulai pada tanggal 18 Mei kemarin. Seperti di tahun-tahun sebelumnya, ajang ini dimanfaatkan Google untuk mengumumkan rentetan hardware maupun software baru bikinan mereka, termasuk halnya yang sudah menjadi agenda tahunan, yaitu versi baru Android.
Google I/O tahun ini tidak melulu soal Android N. Masih banyak produk-produk lain yang diluncurkan yang tidak kalah menarik. Apa saja contohnya? Tanpa perlu berlama-lama, mari kita bahas satu per satu.
Google Assistant dan Google Home
Bisa dibilang sebagai penyempurnaan dari Google Now, asisten virtual besutan Google kini diklaim lebih ‘hidup’ dari sebelumnya. Ia bisa memahami percakapan sekaligus merespon dengan cara yang lebih natural, dan pemahamannya akan konteks yang dibicarakan juga semakin matang.
Google Assistant ini akan menjadi otak di balik perangkat anyar bernama Google Home. Perangkat ini pada dasarnya merupakan sebuah speaker nirkabel berwujud silinder. Namun selain menghantarkan alunan musik, Google Home juga siap menerima instruksi suara dari pengguna guna mengontrol berbagai perangkat smart home serta mengakses beragam layanan, mulai dari menetapkan timer oven, mengecek jadwal keberangkatan pesawat sampai menyala-matikan lampu ruangan.
Allo dan Duo
Keduanya merupakan aplikasi komunikasi baru dari Google. Allo adalah aplikasi pesan instan pintar yang juga disokong oleh Google Assistant, dimana pengguna bisa melakukan pencarian beraneka informasi langsung dari dalam aplikasi.
Menemani Allo adalah Duo, sebuah aplikasi video call yang sangat sederhana nan efisien. Menurut Google, video call dengan aplikasi ini bahkan bisa berjalan lancar meski koneksi pengguna tergolong lamban.
Android N
Bintang terbesar dari Google I/O setiap tahunnya, Android N datang dengan peningkatan pada performa sekaligus efisiensi baterai dan storage. Versi publiknya memang belum dirilis, akan tetapi Google telah membuka program public beta untuk publik – bukan hanya developer saja – dengan catatan Anda menggunakan perangkat Nexus yang kompatibel.
Lalu bagaimana dengan namanya? Well, rumor berhembus bahwa Google akan menjulukinya Android “Nutella”, tapi Google masih belum mempunyai keputusan final, dan mereka tentunya juga harus mendapat persetujuan dari Ferrero selaku pemegang lisensi Nutella terlebih dulu.
Yang justru lebih menarik adalah keputusan Google untuk meminta bantuan kita dalam mencarikan nama untuk Android N. Mereka membuat situs khusus untuk mengumpulkan ide-ide kreatif dari kita semua; saya pribadi telah mencantumkan Android “Nogosari”. 🙂
Daydream
Yang ini merupakan kejutan dari Google. Daydream adalah sebuah platform VR baru yang dirancang dan dioptimalkan untuk Android N. Daydream mencakup software sekaligus hardware, dimana Google telah menciptakan referensi desain VR headset beserta controller-nya. Tidak seperti Cardboard yang bisa kita rakit sendiri, Daydream nantinya akan diproduksi oleh sejumlah mitra Google.
Android Wear 2.0
Android Wear 2.0 didapuk sebagai update yang paling signifikan sejak platform ini dirilis pertama kali dua tahun yang lalu. Pembaruan yang paling utama adalah, aplikasi Android Wear kini dapat bekerja secara terpisah tanpa perlu terhubung dengan smartphone setiap waktu.
Google juga merombak tampilannya agar lebih mudah dinavigasikan dan lebih optimal di layar berbentuk bulat. Pembaruan lain dari segi desain mencakup tampilan notifikasi baru serta sebuah app launcher.
Android Auto
Kalau sebelumnya pengguna harus punya mobil yang kompatibel untuk bisa menikmati Android Auto, nantinya tak lagi demikian. Google telah mengulik Android Auto supaya bisa dijalankan langsung di smartphone tanpa harus tersambung ke sistem dashboard milik mobil terlebih dulu.