Nilai industri esports diperkirakan akan mencapai US$2,9 miliar pada 2022. Namun, kawasan yang menjadi pasar esports terbesar saat ini, seperti Amerika Utara, Eropa, Korea Selatan, dan Tiongkok mulai menjadi jenuh. Memang, pasar esports di kawasan tersebut masih akan terus tumbuh, tapi pertumbuhan esports di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, kemungkinan akan lebih pesat.
Esports diperkirakan akan berkembang pesat di Greater Southeast Asia (GSEA) yang mencakup Asia Tenggara dan Taiwan. Faktanya, esports akan menjadi salah satu faktor yang mendorong pertumbuhan industri game di kawasan tersebut. Sekarang, GSEA diperkirakan memiliki 154,3 juta gamer PC. Jumlah pengguna gamer PC diduga akan naik menjadi 186,3 juta orang pada 2023. Sementara jumlah gamer mobile diperkirakan akan naik menjadi 290,2 juta pada 2023, dari 227 juta pada tahun ini.
Di Indonesia, esports juga tengah berkembang pesat. Besarnya total hadiah turnamen esports menjadi salah satu indikasi hal tersebut. Mobile Legends Professional League Season 4 menjadi turnamen esports dengan hadiah terbesar pada tahun 2019 dengan total hadiah US$300 ribu, sama seperti GESC: Indonesia Dota 2 Minor yang merupakan turnamen dengan hadiah terbesar pada tahun lalu. Hanya saja, game esports yang berkembang di Indonesia berbeda dengan tren esports yang berkembang di global. Ini dapat menyebabkan berbagai masalah, seperti sulitnya mendapatkan sponsor yang mengincar pasar global di Indonesia.
Kawasan lain yang pasar esports-nya diperkirakan tumbuh adalah India, menurut laporan Esportz Network. Sebagai negara dengan populasi terbesar kedua setelah Tiongkok, India adalah pasar yang menarik bagi para pelaku esports. Belakangan, esports di India juga mulai berkembang. Hal ini terlihat dari jumlah total hadiah turnamen esports yang naik cukup pesat. DreamHack dan ESL juga mengadakan berbagai acara di negara ini.
Pada tahun depan, esports di kawasan Amerika Latin juga diperkirakan akan mengalami kenaikan. Setelah Riot Games menggabungkan liga-liga League of Legends regional menjadi Liga Latinoamérica pada 2019, mereka mengatakan bahwa jumlah penonton liga tersebut mengalami kenaikan. Publisher game lain, seperti EA, juga mulai melirik Amerika Latin. Minggu lalu, EA mengumumkan bahwa mereka akan membawa CONMEBOL Libertadores, turnamen klub Amerika Selatan ke FIFA 20.
Tentu saja, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi sebelum esports di negara-negara berkembang bisa tumbuh. Salah satunya adalah infrastruktur. PC gaming tak murah. Masyarakat di negara-negara berkembang belum tentu dapat membeli PC gaming. Bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat sekalipun, tak semua orang dapat membeli PC gaming, yang membuat munculnya startup seperti Nerd Street Gamers.
Tak hanya itu, jaringan internet di negara berkembang juga biasanya tak semumpuni negara maju. Di Indonesia, jumlah pengguna internet mencapai 171 juta orang, menurut APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia). Sementara itu, jumlah pengguna internet kabel di Indonesia diperkirakan hanya mencapai sekitar 10 juta orang.
Masalah lain yang dapat menghambat pertumbuhan esports di negara berkembang adalah regulasi. Misalnya, di Tiongkok, pemerintah membatasi lama waktu main anak dan remaja dengan alasan untuk meminimalisir dampak buruk dari bermain game. Sementara di Jepang, bermain game sering diidentikkan dengan bermain judi. Di Indonesia sendiri, belum banyak regulasi yang mengatur tentang esports.
Sumber header: pxhere