Tag Archives: Gringgo

Startup Climate Change

15 Startup yang Mencoba Memberikan Solusi untuk Lingkungan

Isu lingkungan belakangan ini santer diperbincangkan oleh berbagai kalangan. Pasalnya, perubahan iklim telah nyata-nyata memberikan dampak buruk kepada kehidupan — mulai dari gagal panen akibat cuaca buruk berkepanjangan sampai dengan flora-fauna yang kehilangan habitatnya.

Melihat permasalahan yang ada, sejumlah inovator lokal mencoba menghadirkan cara baru yang dapat membantu masyarakat berpartisipasi untuk mengurangi potensi isu akibat perubahan iklim. Salah satunya, para startup ini hadir membantu masyarakat untuk bisa mengetahui kondisi kesehatan udara di daerah sekitar dan memberikan alternatif energi yang ramah lingkungan.

Berikut ini beberapa inovasi startup lokal terkait perubahan iklim yang layak diektahui.

BLUE

BLUE (Bina Usaha Lintas Ekonomi) adalah salah satu startup di bidang energi terbarukan yang didirikan pada 2018 Oleh Abu Bakar Abdul Karim Almukmin.

BLUE ini menyediakan solusi satu atap untuk barang dan jasa energi terbarukan melalui pasar Warung Energi. Selain itu, BLUE juga mengembangkan solusi energi surya B2B untuk sistem energi surya komersial, industri, dan terpusat untuk wilayah perkotaan dan pedesaan di Indonesia.

Debut pendanaan BLUE sendiri berasal dari New Energy Nexus yang telah mendanai 16 Startup climate change maupun renewable energy.

BuMoon.io

Salah satu startup social yang bergerak pada bidang IoT (Internet of Things), Blockchain, dan Artificial Intelegences yaitu BuMoon.io memiliki project juga untuk mengatasi climate change melalui token crypto.

BuMoon.io sendiri didirikan pada tahun 2021 oleh Dian Agustian Hadi dan Adya Kemara. Selain climate change, BuMoon.io juga mengatasi limbah sampah plastik yang ada. Hal ini bisa dijadikan salah satu hal yang baik untuk diikuti.

Konsep dari BuMoon.io ini sangat unik yaitu mereka memberlakukan “Eco Living Token”, pengguna dapat menyetor sampah ke BuMonn.io setelah itu kita akan mendapatkan benefit (uang, token, dan semacamnya). Model bisnis yang satu ini dilakukan secara periodik.

Tidak hanya Eco Living Token saja, BuMoon.io memliki proyek untuk pemasangan panel surya yang diambil dari data carbon trading, sehingga menjadi salah satu transaksi program yang cukup menarik.

Carboon Addons

Startup ini didirikan pada Agustus 2020. Carboon Addons menghadirkan solusi untuk menggerkakan dampak limbah serta startup untuk mengimbangi emisi karbon dari setiap pembelian seperti produk online dan tiket transportasi melalui add-on sebelum memeriksa produk.

Carbon Addons ini memungkinkan pengguna untuk mengimbangi jejak karbon dari pembelian produk/layanan mereka dengan menambahkan dana karbon tambahan sebelum checkout melalui plugin aplikasi perangkat lunak yang dapat diintegrasikan dengan platform seperti e-commerce.

Carboon Addons sendiri didirikan oleh Mohamad Naufal. Dengan adanya Carboon Addons sendiri, Mohama Naufal yakin bisa meminimalisir kerusakan lingkungan yang ada sehingga kita bisa menikmati keindahan alam terutama di Indonesia.

Duitin

Salah satu startup dengan waste management system yang aman adalah Duitin. Duitin adalah gerakan memilah, mengumpulkan, dan mengelola sampah agar bisa mendapatkan ‘kehidupan kedua’ melalui proses daur ulang.

Jadi Duitin, startup pengumpulan sampah, khususnya sampah anorganik. Apalagi, kampanye pengumpulan sampah anorganik – termasuk pemilahan sampah – terus berlanjut hingga saat ini.

Startup waste management yang satu ini didirikan oleh empat founder yaitu Agy (CEO), Adjiyo Prakoso (COO), Astriani L(CFO), dan Danni Fajariadi (CMO) yang pastinya akan membantu masyarakat Indonesia dalam mengelola limbah sampah dengan baik menggunakan Aplikasi Mobile yang terintegarasi yakni Duitin.

Gringgo

Salah satu startup waste management yang ada di Bali ini dapat menjadi salah satu perusahaan yang dapat berdampak pada lingkungan. Gringgo didirikan oleh Oliver Pouillon (CEO) dan Febriadi Pratama (CTO) pada tahun 2014.

Cara kerja dari Gringgo sendiri adalah memfasilitasi pengelolaan sampah dengan menggunakan website based application yang terintegrasi antara satu sama lain. Hal ini agar para user dapat mengangkut sampahnya melalui aplikasi Gringgo. Namun, pengangkutan sampah ini ada tujuannya yaitu Gringgo ingin membangun sebuah layanan network untuk waste collection.

Pastinya hal tersebut dapat menjadi hal yang baik untuk bank sampah dan kolektor sampah sehingga dapat dimanfaatkan dengan baik.

Pada tahun 2019, Gringgo sendiri mendapatkan pendanaan sekitar $500.000 dari Google untuk mengekspansi bisnisnya ke beberapa wilayah kota seperti Jakarta dan Bali tentunya.

Hijauku.com

Hijauku.com adalah green portal yang menyediakan informasi terkini tentang gaya hidup hijau dan sehat. Startup climate change yang satu ini berisi ide-ide konten untuk penghijauan yang dibagikan menggunakan lisensi Creative Commons untuk mengedukasi orang-orang dan lebih jauh lagi menghijaukan bisnis dan kehidupan sehari-hari mereka.

Selain itu Hijauku.id ini adalah salah satu startup  yang bisa digunakan untuk mengetahui emisi karbon di daerah sekitarnya. Hijauku sendiri berdiri pada Maret 2011 didirikan oleh Hizbullah Arief. 

Selain emisi karbon, Hijauku.com juga memprediksi perubahan cuaca dan Iklim di Indonesia. Hal ini untuk mengetahui gambaran dasar yang baik untuk kamu gunakan dalam kehidupan sehari-hari dan beraktivitas.

Jangjo

Jangjo adalah startup baru di Indonesia. Startup yang satu ini ingin menciptakan ekosistem sinergi yang dapat mengintegrasikan setiap pemangku kepentingan (stakeholder) yang terlibat dalam pengelolaan sampah. Mulai dari rumah tangga, pemulung, perusahaan operator hingga industri.

Stakeholder yang dimaksud antara lain penghasil sampah (masyarakat), pengangkut sampah (operator), tempat penampungan sementara (hub), dan pengelolaan sampah (industri).

Untuk mengatasi permasalahan di atas, kata dia, Jangjo mengembangkan solusi utama yaitu edukasi pemilahan dan pengangkutan sampah terpilah untuk wilayah Jakarta. Warga yang terdidik memilah sampah bisa menggunakan jasa angkut sampah untuk didaur ulang oleh industri

Edukasi pemilahan sampah dilakukan door to door untuk kawasan pemukiman. Kemudian, Jangjo Rangers akan merekam data sampah yang telah dipilah melalui aplikasi.

Platform waste management ini didirikan oleh 4 Co-Founder Joe Hansen (Co-founder dan Commisioner), Nyoman Kwanhok (Co-founder dan CEO), Eki Setijadi (COO), dan  Hendra Yubianto (CMO) pada tahun 2019.

Startup waste management yang satu ini mendapatkan seed funding dari Darmawan Capital dengan nominal yang dirahasiakan. Dengan Investasi yang satu ini Jangjo akan mengekspansi bisnisnya dan memodernisasi aplikasinya.

Jejak.in

Jejak.in merupakan salah satu startup climate change yang menggunakan teknologi IoT (Internet of Things) dan AI (Artificial Intelegences). Startup ini awalnya adalah berbentuk FMCG yang didirikan oleh Arfan Alandra pada tahun 2018.

Jejak.in memiliki misi untuk menginisiasi aksi iklim melalui solusi berbasis AI dan IoT. Salah satu produk andalan mereka adalah Tree and Carbon Storage Monitoring Platform, sebuah platform yang memanfaatkan teknologi seluler, drone, sensor IoT, LiDAR, dan satelit untuk mengumpulkan dan menganalisis data ekologi lingkungan. 

Jejak.in ini sangat bagus untuk dimanfaatkan dengan baik karena dengan adanya aplikasi ini masyarakat mampu mengetahui perkembangan climate change serta emisi karbon dengan real time.

Selain itu, ada fitur lain yang berfungsi untuk mengukur dampak penyerapan karbon, infiltrasi udara, kondisi tanah dan udara, serta keanekaragaman hayati.

Nafas

Didirikan oleh Ex-CMO Gojek Piotr Jakubowski dan Zulu Nathan Roestandy pada tahun 2018. Startup climate change yang satu ini memiliki perbedaan dibandingkan dengan startup climate change yang lain. Nafas bisa menghadirkan kondisi dan situasi iklim serta kadar emisi karbon yang tepat secara real time dan akurasinyas sangat jitu.

Nafas sudah memasang 46 sensor yang tersebar di Jabodetabek. Sensor mereka dapat memperbarui data kualitas udara setiap 20 menit. Adapun data yang disajikan dalam aplikasi nafas berupa kadar Air Quality Index (AQI) dan Particulate Matter (PM) 2,5. Mereka juga kini menjual produk pembersih udara Aria.

OCTOPUS

Octopus adalah  platform agregator yang bisa dimanfaatkan oleh industri terkait untuk mendapatkan sampah daur ulang dari pemulung dan pengepul. Layanan ini telah memulai operasionalnya di kota lapis 2 dan 3.

Octopus didirikan pada tahun 2020 oleh Dimas Ario Rubianto, Hamish Daud Wyllie, Niko Adi Nugroho, Moehammad Ichsan. Octopus juga sudah melayani ampir 200 ribu pengguna yang tersebar di lima kota besar di Indonesia, yaitu Jakarta, Tangerang Selatan, Bandung, Bali, dan Makassar. OCTOPUS juga telah bekerja sama dengan lebih dari 1.700 bank sampah dan 14.600 pemulung terlatih dan terverifikasi (mereka menyebutnya dengan “pelestari”).

Saat ini Octopus telah mendalami fokus bisnisnya untuk mengembangkan hal tersebut. Salah satunya melakukan membukukan pendanaan awal dari Openspace Ventures.

Plumelabs

Plume Labs, sebuah startup yang khusus untuk mengukur kualitas udara, baru-baru ini meluncurkan API Plume.io berbayar yang memungkinkan siapa saja untuk menambahkan kualitas udara ke layanan pembeli API mereka. Sebelumnya Plume Labs telah mengembangkan aplikasi mobile dan pengukur kualitas udara.

Plume Labs sendiri didirikan oleh Romain Lacombe pada tahun 2021. Pastinya Plume Labs ini akan menahadirkan startup climate change yang berbeda dengan yang lainnya. 

Rekosistem

Startup Zero Waste Management ini didirikan pada tahun 2018 oleh Ernest Layman dan Joshua Valentin. Rekosistem sendiri tumbuh dan berkembang menjadi perusahaan Zero Waste Management terkemuka dan termutakhir.

Produk dan layanan dari Rekosistem ini cukup banyak model bisnisnya sangat luas di B2B serta B2C dan layanan dan produk rekosistem ini komperhensif seperti edukasi pengelolaan sampah, Mengirim dan menerima sampah agar mudah diolah serta energi terbaharukan seperti Biogas dan sebagainya.

Produk utama yang ditawarkan Rekosistem antara lain Layanan Penjemputan (Repickup Service) dan Penyetoran Sampah ke Tempat Sampah (Redrop Service). Layanan penjemputan ulang meliputi layanan pengumpulan dan penjemputan sampah untuk rumah tangga atau perumahan, bisnis, perkantoran, sekolah, fasilitas umum, fasilitas olahraga, dan tempat komersial.

Rekosistem juga mendapatkan pendanaan dari  Bali Investment Club dan menjalin kerja sama strategis dengan Marubeni. Hal ini digunakan untuk melakukan eskpansi bisnis ke ranah yang lebih meluas lagi.

Sampangan

Salah satu startup waste management selanjutnya adalah Sampangan. Startup yang satu ini didirikan oleh Muhammad Fauzal Rizki (CEO) dengan Hana Punawarman (CPO) pada tahun 2019. Startup ini membantu para pengepul untuk mengelolaan sampah agar lebih berguna.

SamPangan ini memiliki magic box yaitu Carbonized Technlogy untuk pengolahan sampah menjadi sesuatu yang berharga, yaitu mengubah sampah menjadi karbon secara berkala.

Carbonized Technology ini merupakan kombinasi proses Pyrolis dan Gasifikasi. Ini adalah proses penguraian materi menggunakan radiasi panas tanpa adanya oksigen (sehingga tidak ada pembakaran dan tidak ada polusi).

Magic Box ini beroperasi pada 100-400 derajat celcius dibandingkan dengan 700 dan 1200 derajat celcius untuk masing-masing diproses secara tradisional. Sumber energi adalah input limbah yang energi potensialnya diubah menjadi energi panas dalam prosesnya.

Secara sederhana konsepnya mirip dengan rice cooker atau oven. Tidak ada api. Hanya radiasi panas. Limbah masuk, karbon aktif + produk organik dan aman lainnya keluar.

Jadi secara tidak langsung sampang juga dapat mempengaruhi dan memperbaiki kualitas udara melalui pembakaran sampah dan limbah.

Waste4Change

Waste4Change adalah perusahaan pengelola sampah yang bertanggung jawab yang didirikan oleh Mohamad Bijaksana Junerosano pada tahun 2014 di Bekasi, Jawa Barat.

Waste4Change memberikan solusi pengelolaan sampah dari hulu hingga hilir yang terdiri dari 4 jalur, yaitu: Konsultasi : Penelitian dan kajian terkait persampahan Kampanye : Peningkatan kapasitas, edukasi, dan pendampingan Kumpulkan : Pengangkutan dan pengolahan sampah harian untuk zero waste to landfill Create : Daur ulang sampah dan program EPR (Extended Producer Responsibility).

Hingga saat ini, Waste4Change telah berhasil mengelola 5.400 ton sampah dan mengurangi 52% sampah yang berakhir di TPA. Saat ini, layanan pengelolaan sampah Waste4Change mencakup wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Surabaya, Sidoarjo, Semarang, Bandung, dan Medan.

Zerowaste

Zero Waste Indonesia (ZWID) adalah komunitas berbasis online yang didirikan pada tahun 2018 oleh Maurilla Imron dan Kirana Agustina dengan tujuan mengajak masyarakat Indonesia untuk menjalani gaya hidup zero waste. Zero Waste Lifestyle merupakan gaya hidup untuk meminimalkan produksi sampah yang dihasilkan dari setiap individu yang akan berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dalam upaya melestarikan lingkungan.

ZWID berperan aktif untuk terus menyebarkan kesadaran penerapan pola pikir bijak dalam pengelolaan sampah dengan menerapkan 6R (Rethink, Refuse, Reduce, Reuse, Recycle, dan Rot) dengan memberikan tips gaya zero waste yang bermanfaat dan informasi isu-isu pengelolaan sampah. dan kaitannya dengan kelestarian lingkungan.

Mengusung visi sebagai one-stop-solution platform dan payung informasi gaya hidup minim sampah di nusantara, ZWID juga menjadi wadah berkumpulnya individu, penggiat lingkungan, komunitas, dan semua pihak yang peduli terhadap kelestarian lingkungan.

Mengupas Upaya Gringgo Menyediakan Solusi Pengelolaan Sampah Berbekal AI

Ada banyak hal yang bangsa Indonesia bisa banggakan: keragaman budaya, kekayaan alam, hingga potensi sumber daya manusia. Namun ada sejumlah perkecualian. Harus kita akui, masih sedikit dari penduduk Indonesia yang betul-betul peduli terhadap lingkungan. Di bulan Agustus kemarin, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyampaikan bahwa kita adalah negara penyumbang sampah plastik ke laut terbesar kedua di dunia.

Laporan majalah Science di tahun 2015 menyebutkan ada 3,2 juta ton limbah plastik dihasilkan di kawasan indonesia tiap tahunnya dan 1,29 juta ton dibuang ke laut. Kondisi ini mendorong beberapa orang dan perusahaan untuk mengambil langkah konkret demi meminimalkan kerusakan yang ditimbulkan sampah. Yayasan Gringgo Indonesia ialah salah satu nama yang menonjol berkat gagasan inovatifnya dan keberhasilan mereka terpilih mendapatkan bantuan Google di program AI Impact Challenge.

Gringgo 1

Gringgo merupakan satu dari 20 organisasi/startup non-profit di bidang sosial yang jadi penerima hibah Google.org dengan total dana senilai US$ 25 juta. Untuk memahami besarnya pencapaian mereka, perlu Anda tahu bahwa ada 2.600 pelamar Google AI Impact Challenge yang datang dari 12 negara dan Gringgo merupakan satu-satunya startup yang berasal dari kawasan Asia Tenggara.

Di luar dukungan dalam bentuk uang, Gringgo memperoleh bantuan kredit dan konsultasi dari Google Cloud, pelatihan dari pakar AI Google, serta berkesempatan mengikuti program mentoring selama enam bulan dari para ahli di Google Launchpad Accelerator. Di presentasinya, CTO Gringgo Febriadi Pratama menceritakan singkat pengalaman mereka mengikuti pertemuan selama lima hari bersama 19 penerima hibah di kota San Francisco.

Gringgo 8

 

Kompleksnya masalah limbah di Indonesia

Di sambutannya, Novrizal Tahar selaku Direktur Pengelolaan Sampah menjelaskan bahwa demi menyelamat-kan Indonesia dari bahaya laten timbunan sampah, pola pikir kita sudah mesti diubah. ‘Membuang sampah pada tempatnya’ bukan lagi jalan keluar yang bisa diandalkan. Masing-masing orang kini harus sadar dan mulai mengidentifikasi limbah yang mereka hasilkan serta menyortir jenis sampah sebelum membuangnya.

Gringgo 4

Tentu saja, prakteknya tidak sesederhana itu. Ada hanyak hal dan situasi yang membuat penanggulangan sampah bertambah pelik. Pertama, kedala datang dari keadaan sosial. Biasanya, masyarakat sangat meremehkan kesejahteraan para petugas pembersih dan pemulung. Pemasukan mereka juga sangat kecil, lalu mayoritas pengumpul sampah datang dari sektor usaha informal tanpa ada sama sekali sistem pendukung yang terintegrasi serta memadai.

Selain itu, sampah berdampak pada faktor ekonomi. Gringgo sebagai organisasi asal Bali melihat langsung bagaimana kotoran-kotoran yang terbawa arus dapat memenuhi pantai. Kondisi ini tentu saja memengaruhi turisme karena pemerintah daerah kadang terpaksa menutup area pantai buat melakukan pembersihan. Kemudian, sampah juga sangat memengaruhi sektor perikanan dan mencemari biota.

Gringgo 2

 

Memulai dari skala kecil

Gagasan di belakang penciptaan Gringgo dicetus pada tahun 2014, waktu itu mengusung tajuk Cash for Trash. Tim punya misi untuk memberi terobosan serta menciptakan dampak positif bagi lingkungan dengan cara membangun solusi perputaran ekonomi yang memprioritaskan masyarakat, planet dan kesehatan. Ketika Gringgo Indonesia Foundation resmi berdiri di 2017, proyek mereka dimulai di desa Sanur Kaja, Denpasar.

CTO Gringgo Febriadi Pratama di presentasinya.

Di tahun 2017, Denpasar memiliki populasi kurang lebih 898 ribu jiwa, dan diisi oleh 43 desa. Dalam setahun, penduduknya menghasilkan sekitar 700 ribu ton sampah, tetapi hanya 333.955 ton yang terkumpul secara benar. Waktu itu, wilayah operasi para pemungut sampah belum merata dan sering kali saling tumpang tindih. Dengan bertambahnya partisipan program, cakupan jadi lebih luas dan peluang satu pekerja kebersihan masuk ke area operasi rekannya jadi lebih kecil.

Berkat sistem garapan Gringgo, Febriadi bilang bahwa para pekerja kebersihan bisa mendapat pemasukan dua hingga tiga kali dari biasanya. Volume sampah yang terkumpul juga bertambah banyak sampai tiga kali lipat, mencapai 350-meter kubik per bulan, dan memperlihatkan kenaikan dari 9- jadi 12-ton tiap bulan. Sistem juga efektif dalam pengumpulan limbah plastik, dari yang tadinya cuma 400kg melesat jadi 5-ton per bulan.

Gringgo 3

Solusi dari Gringgo diharapkan pula mendorong partisipan untuk fokus mengumpulkan jenis sampah yang tidak begitu umum, namun sebetulnya punya nilai tinggi. Satu contohnya adalah popok bekas. Ada material di dalamnya yang bisa didaur ulang dan tak semua orang tahu. Gringgo mencoba agar detail nilai dari limbah ini lebih terekspos, dan para petugas kebersihan juga lebih tahu ke mana mereka harus menyalurkannya.

Gringgo tentu saja punya rencana untuk memperluas jangkauan operasi ke wilayah luar Denpasar. Meski begitu, mereka juga telah menetapkan kriteria: daerah-daerah itu mesti punya karakteristik demografi mirip Denpasar, dengan jumlah penduduk antara 800 ribu sampai 2 juta jiwa.

 

Solusi dari Gringgo

Teknologi pengenalan gambar berbasis kecerdasan buatan merupakan tulang punggung dari platform Gringgo. Tapi untuk bisa beroperasi secara maksimal, ada banyak hal harus terpenuhi. Mungkin Anda sudah tahu mengenai kemitraan Gringgo bersama Datanest, sebuah platform DSaaS penyedia visualisasi data, kecerdasan buatan, prediksi machine learning, serta actionability. Gringgo juga harus lebih dulu mengumpulkan ratusan ribu gambar agar sistem dapat melakukan identifikasi dan mempelajari pola.

Gringgo 9

Saat tersedia luas nanti, solusi Gringgo diharapkan mampu bekerja secara simpel. Pengguna – baik pihak pengumpul sampah atau organisasi/perusahaan – dapat memasukkan foto, video, info GPS, metadata hingga hasil survei. Setelah proses pembersihan dilakukan, engine kecerdasan buatan, machine learning dan platform labelling akan menentukan langkah yang bisa dilakukan selanjutnya. Nantinya, UI akan menampilkan nama barang serta menghitung perkiraan nilai dari semuanya.

Menjawab pertanyaan saya soal di perangkat apa rencananya Gringgo akan mengimplementasikan sistem ini, Febriadi Pratama menjelaskan bahwa timnya masih melangsungkan pengujian di sejumlah hardware berbeda dan belum mengambil keputusan (tim tengah mempertimbangkan smartphone atau kamera. Yang jelas, seluruh data diolah di cloud, jadi prosesnya hampir tidak membebani device. Febriadi juga bilang pengembangan platform saat ini berada di tahap alpha.

gringgo

Gringgo Partners with Datanest to Develop AI Technology for Waste Management

A company focused on becoming a leading platform to handle city waste crisis and plastic waste in the sea Gringgo plans to expand service coverage to two cities in Indonesia.

The Bali based startup has partnered up with some private collectors. Using the current technology, Gringgo can get feedback from them to to improve services. In addition, they also have plan to raise funding this year.

“We form partnership with local waste collector and some privates. We’ll offer them our system to improve their work in exchange to the recycle products they serve, then sell it to the factory or bigger processor,” Gringgo’s CTO, Febriadi Pratama said to DailySocial.

Gringgo is a web-based app to facilitate waste management. Users can ask for their garbage to be taken and managed through this service. They target B2B segment, they use secondhand product sales and waste management consultation to monetize business. The company is currently has 10 clients in its platform.

Partnership with Datanest

Gringgo is just selected as one of the startup with opportunity from Google.org through Google AI Impact Challenge and granted with $500,000.

Gringgo is to be partnered with Datanest.io, a startup providing Data Science-as-a-Services working on Machine Learning & Artificial Intelligence industry, to implement AI system in objective to improve recycle capacity, decrease plastic waste at sea, and fix the waste management in society with minimum resources in real time.

As one of startup under accelerator program of GK-Plug and Play Indonesia, Gringgo had an opportunity to visit San Fransisco to prepare the event with Google. Both Gringgo and Datanest are graduates of the second batch.

“It’s an honor to receive Google’s grant. We’re so glad to see on how far we’ve come and capable to give better impact through our partnership with Google and Datanest. As the one with the grant in Southeast Asia, we’ll contribute positive values in Indonesian area,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Gringgo mendapatkan hibah dari Google senilai $500.000 untuk mengembangkan teknologi AI untuk pengelolaan sampah. Berencana berekspansi ke dua kota

Gandeng Datanest, Gringgo Kembangkan Teknologi AI untuk Pengelolaan Sampah

Fokus ke misi awalnya menjadi platform pilihan untuk menanggulangi krisis limbah perkotaan dan permasalahan limbah plastik di lautan, Gringgo dalam waktu dekat berencana untuk melebarkan wilayah layanan ke dua kota besar di Indonesia.

Startup yang memilih Bali sebagai kantor pusat ini telah menjalin kemitraan dengan beberapa private collector. Memanfaatkan teknologi yang dimiliki, Gringgo bisa mendapatkan feedback dari mereka agar bisa meningkatkan layanan. Selain menambah dua lokasi, tahun ini mereka memiliki rencana melakukan penggalangan dana.

“Jadi kita melakukan kerja sama dengan waste collector di desa dan beberapa private collector. Kita minta mereka menggunakan sistem kita untuk improve apa yang mereka, lakukan in exchange kita bisa beli barang daur ulang yang mereka kumpulkan kemudian kita jual langsung ke pabrik atau processor yang lebih besar,” kata CTO Gringgo Febriadi Pratama kepada DailySocial.

Gringgo adalah aplikasi berbasis web yang bisa dipakai memfasilitasi sistem pengolahan sampah. Melalui layanan ini, pengguna bisa meminta agar sampahnya dapat diangkut dan diolah. Menyasar segmen B2B, strategi monetisasi yang diterapkan Gringgo berbasis jual-beli barang bekas dan jasa konsultasi pengelolaan sampah. Saat ini perusahaan telah memiliki sekitar 10 klien yang memanfaatkan platform-nya.

Kemitraan dengan Datanest

Gringgo baru saja terpilih sebagai salah satu startup yang mendapatkan kesempatan dari Google.org melalui Google AI Impact Challenge dan berhak mendapatkan hibah senilai $500.000.

Nantinya Gringgo akan bermitra dengan Datanest.io, startup penyedia platform Data Science-as-a-Services yang bergerak pada industri Machine Learning & Artificial Intelligence, untuk menerapkan sistem kecerdasan buatan (AI) yang bertujuan meningkatkan kapasitas daur ulang, mengurangi polusi plastik di laut, dan memperbaiki pengelolaan sampah di lingkungan masyarakat dengan sumber daya yang minim secara real time.

Sebagai salah satu startup binaan program akselerator GK-Plug and Play Indonesia, Gringgo mendapatkan kesempatan mengunjungi San Francisco untuk mempersiapkan pelaksanaan hal tersebut dengan Google. Baik Gringgo maupun Datanest merupakan kedua startup lulusan akselerator program GK-Plug and Play Indonesia pada angkatan ke-2.

“Merupakan suatu kehormatan untuk terpilih sebagai salah satu penerima hibah Google AI Impact Challenge. Kami merasa sangat gembira melihat sejauh mana kami dapat melangkah dan memberikan dampak yang lebih besar melalui kerjasama kami dengan Google dan Datanest. Dan sebagai satu-satunya penerima hibah dari Asia Tenggara, kami akan menyumbangkan nilai yang positif bagi kawasan serta Indonesia,” kata Febriadi.

Application Information Will Show Up Here

Startup Gringgo Ingin Membantu Memfasilitasi Sistem Pengelolaan Sampah

Dewasa ini banyak orang yang kurang memperhatikan permasalahan sampah dan dampak yang dapat ditimbulkannya. Lebih banyak yang peduli dengan bagaimana menyingkirkan sampahnya masing-masing. Namun, kebiasaan tersebut ingin coba dirubah oleh Gringgo, startup yang berbasis di Bali, yang ingin membantu memfasilitasi waste management system.

Gringgo berdiri pada November 2014 silam, bersamaan dengan digelarnya acara Startup Weekend Bali yang mengambil tempart di co-working space Hubud, dengan nama Cash For Trash. Pendirinya yang saat ini full time ada dua orang, mereka adalah Olivier Pouillon sebagai CEO dan Febriadi Pratama (Febri) sebagai CTO. Selain Olivier dan Febri, masih ada dua orang lagi yang merupakan bagian dari pendiri dan bekerja secara sukarela untuk membantu Gringgo tumbuh.

Febri menceritakan bahwa latar belakang didirikannya Gringgo adalah masih banyaknya area yang belum memiliki akses ke pembuangan sampah. Denpasar, kota tempat tinggal Febri yang juga merupakan ibu kota provinsi Bali, adalah salah satunya.

“Di tempat saya tinggal, di Denpasar, itu tidak ada jasa pengambilan sampah ke rumah. Jadi, setiap beberapa hari sekali saya bawa sampah ke kantor karena di kantor ada jasa pengumpulan sampah. […] Jadi, kami ingin kalau suatu saat nanti kami bisa dengan mudah request jasa angkut sampah,” tutur Febri.

Cara kerja Gringgo

Febri menjelaskan Gringgo sebagai sebuah web based app yang bisa dipakai untuk memfasilitasi sistem pengolahan sampah. Sederhananya, melalui layanan Gringgo pengguna bisa meminta agar sampahnya dapat diangkut dan diolah.

Febri mengatakan, “Yup, that’s the idea [Gringgo memfasilitasi pengguna agar bisa meminta sampahnya diangkut]. Jadi, nanti orang bisa daftar dan request [di Gringgo]. Lalu kami carikan kolektor terdekat yang kemudian akan mengambil dan membawa ke fasilitas mereka untuk diolah.”

“Kami kerja sama dengan badan-badan pemerintah atau swasta yang bergerak di bidang pengumpulan dan pengolahan sampah untuk membangun sebuah network untuk waste collection. Nantinya setiap orang yang punya akses internet bisa dengan mudah meminta untuk pengambilan sampah di rumah atau tempat mereka melakukan kegiatan,” tambahnya.

Febri juga menekankan bahwa pihak Gringgo tidak akan menyentuh sampah yang akan diangkut. Gringgo hanya memfasilitasi dan membantu para kolektor untuk bisa bekerja lebih baik dan mungkin mendapatkan penghasilan lebih.

Ketika disinggung mengenai monetisasi, Febri menyebutkan susah untuk menjelaskan bisnis model yang diadopsi oleh Gringgo saat ini. Namun sebagai social enterprise, Gringgo bisa mendapatkan dana tidak hanya dari investasi tetapi juga donasi sebagai dana awal operasional. Febri juga mengungkap bahwa saat ini Gringgo sedang mencari investor yang memiliki minat dan visi yang sama dengan mereka.

Fokus operasional Gringgo ke depan

Selain melalui situsnya, Griggo juga telah memiliki aplikasi mobile yang saat ini baru tersedia untuk platform Android. Aplikasinya sendiri saat ini masih dalam pengembangan dan baru sebatas memberikan informasi seperti barang-barang apa saja yang bisa didaur ulang dan perkiraan harga dari barang tersebut. Sedangkan untuk fokus operasionalnya sendiri, Gringgo akan memfokuskan pada daerah Seminyak dan Denpasar di Bali.

Olivier mengatakan, “Kami fokus pada pelaksanaan solusi untuk Bali, khususnya Seminyak dan Denpasar. Masalah sampah adalah masalah yang lebih besar di Bali yang juga mempengaruhi [sektor] pariwisata secara negatif, bukan hanya masyarakat umum.”

“Bali telah mendapatkan reputasi kotor dan kami di sini untuk memberikan solusi nyata dan jangka panjang dengan mitra kami. Ini hanya tahap pertama, kami ingin membangun dan menjangkau lebih banyak orang, juga daerah,” lanjutnya.

Olivier sendiri telah melang melintang dengan isu lingkungan sejak akhir tahun 1993 di Indonesia. Mulai dari bekerja dengan Wisnu Foundation, organisasi lingkungan Indonesia pertama yang berdiri di Bali, hingga pada tahun 2009 mendirikan perusahaan pengolahan sampah sendiri yang bernama Bali Recycling. Sementara Febri sendiri memiliki latar belakang sebagai seorang desain interior dan baru terjun ke dunia lingkungan sejak bergabung dengan Gringgo.

“Kami bukan [perusahaan] e-commerce, chatting, atau travel. Kami benar-benar memanfaatkan teknologi untuk menyelesaikan masalah yang umum terjadi yang juga mempengaruhi semua orang [sampah]. […] Sekarang, kita ini mulai hidup di era bagaimana caranya me-recover sumber daya yang terbuang dan di Gringgo kami mengajak semua pihak untuk memulainya,” tandas Febri.

Application Information Will Show Up Here