Tidak ada konsumen yang tidak suka dapat diskon atau uang kembali (cashback) saat belanja, meski secara konsep keduanya berbeda. Yang pertama, potongan harga sebelum pembelian, yang satunya lagi, mengembalikan uang konsumen setelah pembelian. Tapi keduanya punya ujung yang sama, merebut hati konsumen dengan harga termurah. Apalagi di tengah persaingan yang ketat, brand/perusahaan selalu putar otak bagaimana pabriknya tetap “ngebul”, strategi seperti demikian tetap dibutuhkan.
Kondisi tidak jauh berbeda ketika masuk ke dunia online. Suka atau tidak, dalam benak pelanggan sudah mulai mengharapkan diskon saat mereka berbelanja online. Diskon sepanjang tahun, diskon berbasis keanggotaan dan berbasis pendaftaran, kode diskon, dan kode kupon adalah mekanisme yang menonjol untuk memberikan diskon kepada pelanggan. Jadi, pada prinsipnya, pemain e-voucher sangat selaras dengan paradigma di mana e-commerce beroperasi.
Konsumen biasanya tertarik untuk belanja karena pemberian voucer (bentuk baku versi KBBI dari istilah voucher). Hampir di tiap situs belanja online terdapat opsi untuk memasukkan kode voucer saat checkout. Bila, UI/UX dari situs belanja ramah terhadap konsumen, akan tersedia mana voucher yang valid mana yang tidak sesuai dengan nominal belanjaan. Tidak perlu manual harus menulis kode voucernya. Belanja impulsif semakin terasa dimudahkan.
Di Indonesia sendiri, pemain e-voucher —cashback, reward, dan bentuk sejenis lainnya— sangat beragam. ShopBack dan Fave adalah nama terbesar dari non-Indonesia yang punya massa di sini. Di luar itu, terdapat Ultra Voucher sebagai perusahaan lokal yang sudah melantai di Bursa Efek Indonesia. Meski begitu, hingga saat ini di sini belum ada yang menjadi pemain dominan seperti Groupon saat masa kejayaannya.
Kemudian, timbul pertanyaan baru, memangnya seperti apa model bisnis voucer ini? Apakah prospeknya meragukan sehingga belum ada yang jadi dominan?
Menurut hipotesis yang diunggah Small Business, alasan pertama adalah beberapa pihak menduga bahwa seiring matangnya dunia e-commerce —dalam artian mulai berfokus pada laba alih-alih berfokus secara gila-gilaan pada bottom line—akan ada tekanan untuk menyingkirkan diskon. Jika hal ini terjadi, voucer bisa menjadi korban pertama.
Alasan kedua, untuk memberdayakan keuntungan yang diberikan pemain voucer, bisnis e-commerce harus menyerahkan dua kantong duit, untuk pelanggan dan untuk pemain voucer. Hal ini mungkin akan dianggap tidak menarik dan situs voucer dapat dihilangkan. Terakhir, social marketing, content marketing, affiliate marketing, dan sejenisnya tampak jauh lebih menarik bagi pemain e-commerce daripada kupon. Ini mungkin segera menghilangkan voucer sebagai senjata pemasaran di mata e-commerce.
“Tapi kami cenderung percaya bahwa voucer adalah alat yang terlalu kuat untuk menghilang dari muka e-commerce. Terutama ketika bisnis voucer cukup masuk akal untuk diintegrasikan secara mendalam ke dalam jejaring sosial penggunanya dan menawarkan penawaran yang benar-benar berfungsi, kami pikir pelanggan akan lebih memilih untuk membeli dari situs tempat mereka dapat menerapkan kode kupon. Dan itu akan mendorong bisnis e-commerce untuk terus menawarkan kode kupon agar tetap menjadi tujuan yang menarik,” tulis laporan tersebut.
Model bisnis Groupon
Sebelum masuk ke perkembangan bisnis voucer di Indonesia, kiprah Groupon perlu ditengok terlebih dahulu karena pemain global dan mengubahnya menjadi sesuatu yang paling diburu oleh discount hunter. Perusahaan menghubungkan pelanggan dengan bisnis lokal, terutama dengan menjual voucer dan kupon diskon untuk bisnis fisik.
Dalam hal ini, Groupon menghasilkan pendapatan dengan menggunakan salah satu model bisnis tertua: menjadi perantara. Perusahaan menghasilkan pendapatan produk dan layanan dalam tiga kategori: Lokal, Barang, dan Perjalanan. Dalam beberapa kasus, konsumen dapat membeli barang dan jasa dengan diskon lebih dari 50% dengan menggunakan voucer Groupon.
Perusahaan melakukan IPO pada 2011, tetapi sejak saat itu pendapatan terus loyo sebagai akibat dari meningkatnya persaingan dan perjuangan untuk mempertahankan popularitas. Akhirnya, Groupon mengubah model bisnisnya dari pendekatan berbasis voucer ke kartu, di mana pelanggan menerima cashback setelah menggunakan kartu kredit tertaut tertentu untuk menyelesaikan pembelian produk yang diiklankan di platform Groupon.
Groupon menjual berbagai produk dengan diskon besar, termasuk barang fashion dan kecantikan, paket liburan, layanan spa, dan sertifikat hadiah ke bar dan restoran. Meskipun konsumen dapat dengan mudah membeli produk yang sama langsung dari bisnis yang menawarkannya, Groupon sering kali menawarkan harga jauh di bawah harga eceran.
Pada dasarnya, Groupon berfungsi sebagai mesin periklanan yang kuat, menghasilkan penjualan dan pengenalan merek yang lebih kuat untuk bisnis dengan imbalan biaya. Meskipun bisnis menerima barang dan jasa lebih sedikit daripada yang biasanya mereka kenakan, Groupon berfungsi sebagai pengiklan dengan jangkauan yang sangat luas, dan pebisnis juga diuntungkan dengan tidak harus membayar iklan di muka. Sebaliknya, mereka membayar sebagian pendapatan yang diperoleh berdasarkan kesepakatan dengan Groupon sesudahnya.
Groupon menarik bagi pemilik bisnis karena dijanjikan akan dikunjungi banyak pembeli yang melintas dan menjamin sejumlah peningkatan pendapatan. Akan tetapi dengan catatan, penawaran Groupon ini belum berlaku sampai sejumlah orang tertentu mendaftar, sehingga bisnis yang berpartisipasi tahu bahwa seberapa banyak pelanggan yang masuk.
Dengan munculnya kartu kredit yang tertaut diskon pada 2018, Groupon telah mendaftarkan hampir tujuh juta kartu kredit pada laporan tahunan terakhirnya. Sistem baru ini bertujuan untuk membuat proses lebih lancar bagi pelanggan; konsumen mungkin lebih mungkin untuk mengambil keuntungan dari beberapa penawaran terkait kartu daripada serangkaian voucher kupon individu.
Lebih lanjut, penawaran tertaut kartu memungkinkan pelanggan untuk tidak membayar sampai titik layanan dan menggunakan penawaran yang sama beberapa kali, fitur yang tidak tersedia dengan model voucer lama.
Melalui segmen Barang, Groupon juga menjual barang dagangan langsung ke pelanggan, melewati proses voucer sama sekali. Adapun untuk segmen Perjalanan, Groupon menjual penawaran perjalanan, termasuk penerbangan dan menginap di hotel, kepada pelanggan; beberapa di antaranya dilakukan melalui voucer, yang harus ditukarkan pelanggan nanti, dan dipesan langsung melalui Groupon.
Dengan model bisnis seperti ini, banyak pelanggan yang akhirnya menghabiskan uangnya lebih dari nilai Groupon yang mereka beli. Misalnya, seorang pelanggan yang membeli voucer salon mungkin juga memanjakan dirinya dengan pedikur, karena dia menghemat banyak untuk layanan awal. Jika bisnis menyediakan produk atau layanan berkualitas tinggi, pelanggan yang awalnya datang karena kesepakatan Groupon dapat menjadi pelanggan tetap.
Groupon sempat hadir di Indonesia. Pada masa jayanya sekitar 2011-2012, Groupon Indonesia merupakan pemain terbesar di segmen daily deals. Mereka hadir di sini berkat aksi akuisisinya terhadap Disdus. Mereka hengkang dari kawasan regional Asia Tenggara karena diakuisisi kompetitornya Fave pada Juni 2016.
Kinerja Groupon
Dalam laporan keuangannya, Groupon mengidentifikasi dua jenis pendapatan: tagihan kotor dan pendapatan. Jumlah tagihan bruto adalah total pendapatan dari penjualan barang dan jasa, tidak termasuk pajak dan pengembalian uang. Pendapatan mewakili jumlah transaksi di mana Groupon bertindak sebagai pasar dikurangi porsi layanan atau penyedia produk. Perusahaan juga menerima pendapatan langsung dari penjualan persediaan barang dagangan melalui situs marketplace.
Pada 2018, Groupon melaporkan tagihan kotor sebesar $5,2 miliar dan pendapatan $2,6 miliar. Pendapatan ini turun dari $2,8 miliar pada tahun sebelumnya. Adapun, basis pelanggan aktif mencapai 48,2 juta, turun dari 49,5 juta pada tahun sebelumnya. Sementara, laba bersih untuk 2018 adalah $2 juta dan arus kas operasi adalah $191 juta.
Bisnis Groupon terus merosot pada puncaknya hingga 2021. Mengutip dari Statista, selama beberapa tahun terakhir jumlah pembeli Groupon menurun tajam. Dari hampir 54 juta pelanggan unik yang membeli setidaknya satu penawaran di situs pada kuartal IV 2014, angka ini menyusut menjadi 22,2 juta pembeli pada kuartal I 2022.
Penurunan jumlah pelanggan telah berdampak signifikan pada pendapatan Groupon. Pada 2021, pendapatan global Groupon sekitar $967 juta, jauh lebih sedikit dari setengah dari apa yang tercatat pada puncaknya di 2016. Sebagian besar karena pandemi Covid-19 pada 2020, membukukan kerugian bersih sekitar $286 juta. Namun pada satu tahun berikutnya, perusahaan mengumpulkan lebih dari $120 juta dari laba bersih, peningkatan besar setelah kerugian pada tahun sebelumnya.
Sementara itu, aplikasi Groupon diunduh 5,8 juta kali di seluruh dunia. Sementara Amerika Serikat, tempat kelahirannya, menempati peringkat teratas untuk unduhan aplikasi – dengan lebih dari 4,3 juta unduhan tercatat tahun itu. Uni Emirat Arab menyajikan pertumbuhan tertinggi dalam unduhan aplikasi Groupon di App Store dan Google Play.
Investopedia menyebut, kelangsungan model bisnis Groupon dalam jangka panjang adalah topik yang banyak diperdebatkan. Untuk beberapa bisnis, pelanggan yang besar ini hanya membayar sebagian kecil dari harga eceran sebenarnya bisa dimaksimalkan nominalnya. Selain itu, beberapa kritikus turut menyoroti penurunan kualitas penawaran Groupon dalam beberapa tahun terakhir sebagai indikasi kehancuran yang akan datang.
Bisnis UVCR
Corporate Secretary Ultra Voucher (UVCR) Ayu Kusuma Trisyani masih meyakini prospek bisnis voucer di Indonesia masih cerah dan dapat tumbuh secara berkelanjutan. Kepada DailySocial.id, dia menyampaikan bahwa apa yang terjadi di Groupon Indonesia tidak bisa mewakili dari kondisi bisnis voucer di Indonesia.
“Profitability dan liquidity harus tetap menjadi goals utama bagi sebuah perusahaan. Bukan tentang seberapa besar market size-nya, tapi tentang menghadirkan revenue generator baru dengan menyelesaikan problem yang ada di market,” kata Ayu.
Dia melanjutkan, program marketing yang bertujuan untuk konversi —penjualan maupun akuisisi pelanggan— masih akan terus dilakukan oleh banyak perusahaan. Artinya, ruang untuk platform rewards akan selalu ada dan berkelanjutan. Alasan ini yang mendorong UVCR pada 2016 menginisiasi bisnis utama di bidang voucer.
“Ke depannya, rewards model mungkin akan menggunakan tools yang berbeda, namun masih dengan core model yang sama. Untuk tetap sustain tentu saja UVCR melakukan adaptasi terhadap interest & demand di market, baik B2B dan B2C,” kata dia.
Berdasarkan laporan keuangan sepanjang 2021, UVCR mencatatkan pertumbuhan laba bersih hingga 253% atau senilai Rp5,57 miliar dari sebelumnya Rp1,57 miliar, menunjukkan tren tumbuh positif dari 2019 sebesar Rp291 juta. Kinerja dari bottom line UVCR ini melesat karena ditopang oleh kenaikan penjualan bersih sebesar Rp939,20 miliar. Perolehan itu meningkat 177,26% dari 2020 yang tercatat sebesar Rp338,74 miliar.
“Untuk kuartal I 2022, kami telah mencapai hampir 50% goal kami di tahun 2022. Target kuantitatif kami adalah revenue Rp1,3 triliun dengan beberapa inisiasi yang siap kami luncurkan di kuartal III.”
Distribusi produk di channel e-commerce dianggap menjadi salah satu penyumbang pendapatan terbesar UVCR di tahun lalu, sekaligus berperan dalam meningkatkan laba kotor UVCR sebesar 127% secara yoy. Meski tidak dirinci oleh Ayu, mayoritas kontribusi datang dari penjualan di channel B2C.
UVCR merupakan perusahaan yang menjual berbagai macam voucer fisik dan digital dari merchant yang telah bekerja sama dengan perusahaan, sesuai dengan ketentuan regulasi di Indonesia. Voucer yang diproduksi kemudian didistribusikan ke seluruh channel milik UVCR, baik B2C dan B2B. Hingga saat ini, perseroan telah menjalin kerja sama dengan lebih dari 400 brand yang tersebar sebanyak 40.000 outlet di seluruh Indonesia.
“Voucer menjadi core business model kami, tapi generating revenue dari teknologi merupakan bisnis model terbaru kami untuk meningkatkan net profit margin kami.”
Dimaksudkan lebih jauh, UVCR memiliki aplikasi yang dapat membeli, menyimpan, dan membagikan voucer untuk kerabat dari raturan merchant yang telah hadir di aplikasi. Mulai dari F&B, lifestyle, hiburan, investasi, kesehatan, dan kecantikan. Disamping itu, terdapat fitur biller untuk membayar tagihan rutin dan berulang, seperti bayar BPJS, listrik, paket data, item game, dan sebagainya.
Inisiasi tersebut akan terus dilanjutkan dengan memosisikan UVCR sebagai CATS (Catalogue-Service-as-SAAS). Ayu bilang, solusi ini hadir untuk platform yang ingin memiliki ekosistem voucher sekarang cukup dengan menjadi partner UVCR. Perseroan sudah melakukan pilot project bersama BCA dan Bank Sinarmas. Kedua bank ini punya basis nasabah yang besar, jadi momok empuk bagi UVCR akusisi pengguna baru.
Di luar itu, perusahaan juga melayani konsumen korporat untuk pembelian gift card dalam jumlah banyak. Voucer tersebut dapat diintegrasikan lewat aplikasi UVCR dalam bentuk penambahan saldo yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran untuk beli voucer apa pun yang tersedia di aplikasi.
“UV Gift Card edisi terbaru kami juga sudah dapat digunakan di seluruh Alfamart seluruh indonesia, dan kami continue untuk dapat meng-enable UV Gift Card ini agar bisa digunakan di merchant-merchant kami secara direct redemption tanpa aplikasi.”
Dalam laporan keuangan di tahun lalu, dijelaskan skema kerja sama antara perusahaan dengan mitra. Salah satunya, Boga Group untuk penyediaan dan/atau penerbitan voucer digital di dalam aplikasi Ultra Voucher, yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran oleh konsumen dalam melakukan transaksi di outlet milik Boga Group.
Berdasarkan perjanjian yang dibuat pada Mei 2018, pembelian voucer seluruhnya bernilai Rp1 miliar dalam waktu satu tahun. Boga Group akan memberikan cashback berupa voucer sebesar 12,5% kepada UVCR berlaku apabila pembelian voucer mencapai nilai sekurang-kurangnya Rp500 juta atau kelipatannya dalam satu tahun. Perjanjian ini sudah beberapa kali diperpanjang sampai terakhir Maret 2021.
Dijelaskan lebih jauh, Boga Group akan memberikan diskon jika akumulasi pembelian dalam kurun waktu periode kerja sama, i) Tiering 1: Rp1 miliar – Rp2,99 miliar mendapatkan diskon 10%; ii) Tiering 2: di atas Rp3 miliar mendapatkan diskon 12,5%. Masa berlaku voucer satu tahun efektif sejak tanggal penerbitan voucer.
Tokopedia, Shopee, JD.id, Bhinneka, adalah platform online lainnya yang turut memanfaatkan solusi e-voucher yang turut disediakan oleh UVCR. Masing-masing skema kerja sama tergantung kesepakatan masing-masing perusahaan.
Head of External Communications Tokopedia Ekhel Chandra Wijaya menuturkan, perusahaan berkolaborasi dengan banyak pihak stratagis untuk menghadirkan pengalaman belanja online yang lebih menyenangkan dan efisien. Salah satunya melalui voucer, bisa berupa voucer cashback, voucer diskon, voucer toko, bebas ongkos kirim, dan lainnya.
“Praktiknya misal, kami memberikan voucer belanja Rp0 khusus unutk pengguna baru lewat program Traktiran Pengguna Baru. Untuk masyarakat di berbagai kota di Indonesia, kami juga menyediakan voucer bebas ongkir instan di kampanye Kumpulan Toko Pilihan (KTP) yang dipersonalisasi untuk setiap daerah dan menerapkan teknologi geo-tagging sebagai turunan inisiatif hyperlocal,” kata Ekhel.
Kehadiran voucer, sambung dia, memberikan dampak positif terhadap tren belanja di Tokopedia selama kuartal I 2022 hingga Ramadan 2022. Tanpa didetailkan dengan angka, diklaim dari data internal, voucer potongan harga belanja, voucer tiket acara, serta voucer potongan harga restoran menjadi kategori e-voucher yang paling laris selama kurun waktu tersebut.
“Manfaat dari hadirnya voucer juga dirasakan langsung oleh para pegiat usaha. [..] Melihat antusiasme masyarakat terhadap promo, termasuk voucer belanja sangat tinggi, ke depannya kami akan terus berinvasi agar kehadiran voucer dapat terus sesuai dengan kebutuhan pembeli.”
Prospek UVCR
Bila target bisnis pendapatan UVCR tercapai Rp1,3 triliun tahun ini, tentu saja prospek bisnisnya akan cerah. Setidaknya, perseroan sudah berhasil cetak laba dan tidak terjerat dalam strategi bakar duit yang berkepanjangan. Akan tetapi, bila mengacu pada laporan keuangannya, kemampuan UVCR dalam menghasilkan laba relatif tidak besar.
Mengutip dari data RTI, pada tahun lalu margin laba bersih atau net profit margin (NPM) UVCR hanya 0,60%. Angka ini jauh lebih baik dari kuartal I 2021 sebesar 0,28%. Namun ini masih sangat jauh bila melihat rata-rata industri sebesar 65,08%. Dengan kata lain, UVCR membutuhkan runway yang lebih panjang untuk terus meningkatkan kinerjanya. Masuk ke produk baru CATS dan melebarkan sayap bisnis ke ASEAN dapat menjadi penolong.
Pasalnya, bisnis seperti UVCR ini bukan tanpa risiko. Sebagai pemain digital, perseroan juga senantiasa dihadang oleh isu keamanan data, penipuan, dan peretasan.
Selain itu, model bisnisnya juga relatif mudah ditiru, sehingga tidak menutup kemungkinan bakal ada pesaing baru yang siap merebut kue di vertikal tersebut.
ShopBack, yang satu vertikal dengan UVCR, patut disoroti. Terlebih pasca mengumumkan perolehan dana segar Seri F sebesar Rp1,18 triliun yang dipimpin Asia Partners. Perusahaan yang didirikan Henry Chan dan Joel Leong ini, telah memiliki 35 juta pengguna dan beroperasi di 10 negara. Tahun lalu, perusahaan perluas solusi dengan mengakuisisi startup paylater asal Singapura, Hoolah.
Dengan amunisi yang besar, bukan jadi isu bagi ShopBack untuk lebih agresif mengembangkan kemitraannya dengan merchant offline, sesuatu yang belum hadir di Indonesia atau solusi lainnya di vertikal yang bersinggungan.
Di Indonesia sendiri, menurut data SimilarWeb, situs ShopBack menempati peringkat ke-6 di antara platform e-commerce lainnya. Adapun untuk kunjungan bulanannya hampir 600 ribu kali kunjungan, tertinggi untuk kategori layanan cashback. Adapun aplikasinya di Google Play masuk dalam urutan ke-19 untuk kategori Shopping, berjajaran dengan aplikasi e-commerce.
Dalam memperoleh pendapatan, ShopBack beroperasi di bawah model bisnis marketplace, menghubungkan merchant dengan pembeli yang ingin menerima cashback untuk pembelian. Perusahaan menghasilkan uang melalui dua strategi. Pertama, komisi afiliasi. Jadi, merchant membayar ShopBack komisi dengan imbalan mengirimi mereka pelanggan yang termotivasi untuk belanja. Perusahaan kemudian membagikan sebagian dari komisi ini kepada pelanggan dalam bentuk hadiah cashback.
Kedua, periklanan. ShopBack juga menghasilkan uang dengan menjual tempat iklan di situs web atau aplikasi selulernya. Di beranda situs web, misalnya, ada dua iklan spanduk menonjol di paruh atas yang mengiklankan berbagai merek dan acara promosi. Perusahaan dikompensasi oleh pengiklan dalam bentuk biaya tetap selama durasi iklan.