Tag Archives: growth stage

Founder memerlukan strategi dan upaya ekstra dalam putaran pendanaan tahap lanjut di kondisi saat ini / Unsplash

Insignia Beberkan Paradigma Baru Investasi untuk Startup Tahap Lanjut

Ula, startup B2B Commerce untuk UMKM, didirikan pada 2020 oleh Alan Wong, Derry Sakti, Riky Tenggara, dan Nipun Mehra. Dalam debutnya, mereka mendapat $10,5 juta pendanaan seed dari Sequoia, Lightspeed, serta sejumlah VC dan individu lain. Dalam 6 bulan, mereka mendapat pendanaan seri A 2x lipat dari sebelumnya. Kemudian, dalam waktu 9 bulan, mereka mengamankan pendanaan seri B senilai $87 juta, termasuk dari VC Jeff Bezos. Total dana ekuitas yang berhasil dikumpulkan mencapai $140 juta.

Cerita tersebut menggambarkan betapa mudahnya para pemodal ventura menggelontorkan uang investasi untuk sebuah startup. Dan itu tidak hanya terjadi di Ula, gelontoran pendanaan deras juga sempat terjadi ke startup lain seperti Lummo, BukuWarung, Astro, dan lainnya. Dalam waktu yang relatif singkat beberapa putaran pendanaan berhasil ditutup, melibatkan pemodal dari kancah lokal, regional, hingga global. Bahkan membuat mereka berstatus centaur kurang dari 2 tahun.

Sayangnya, mendapatkan pendanaan besar tidak menjamin startup mampu ‘take-off’ sampai tahap bisnis berkelanjutan. Ula dan Lummo misalnya, kini mereka memilih menutup model bisnis yang sebelumnya mengisi deck penggalangan dana dan melakukan penataan ulang operasional secara menyeluruh (termasuk membubarkan tim). Baik Ula dan Lummo memang diisi oleh jajaran founder yang cukup berpengalaman dalam ekosistem bisnis teknologi.

Koreksi pasar

Para pengamat menyebut, era ‘easy money’ dalam investasi startup sudah berakhir. Para investor kembali berpikir konservatif saat menaruh dananya ke sebuah startup, dengan menekankan metriks seperti pendapatan dan proyeksi perkembangan bisnis — alih-alih hanya mengejar pertumbuhan pengguna. Namun tidak dimungkiri, bahwa berkat investasi yang lancar di ekosistem startup telah melahirkan belasan unicorn dan puluhan centaur yang merevolusi berbagai sektor di Indonesia. Mendongkrak langsung pada ekonomi digital di wilayah ini.

Setelah pandemi, hipotesis mengenai sektor teknologi yang akan terakselerasi kencang diamini oleh berbagai pihak. Para investor jor-joran masuk ke startup teknologi baru yang dinilai dapat mendemokratisasi segmen bisnis tertentu (misalnya saat itu yang cukup populer adalah digitalisasi UMKM). Arus pendanaan tahap awal yang kencang menjadikan banyak startup baru mendapati valuasi fantastis — rata-rata pendanaan tahap awal sudah bernilai jutaan dolar.

Di sisi lain, ini berdampak pada terbentuknya gap pada putaran pendanaan tahap lanjut. Di tahap awal, startup sudah kadung mendapatkan valuasi fantastis – pengalian nilai valuasi post-money lebih tinggi dari rata-rata sebelumnya. Padahal kondisi ini rawan terdampak goncangan ketika terjadi turbulensi pada sistem perekonomian.

Benar saja, tahun 2022 kondisi ekonomi global mengalami sejumlah tekanan. Peningkatan suku bunga menjadikan para pemilik dana mulai mempertimbangkan ulang untuk berinvestasi ke startup – dengan tingkat risiko yang jauh lebih tinggi misal dibandingkan dengan deposito bank. Dengan dominasi LP di pemodal ventura yang berasal dari investor global, dampak penurunan iklim investasi pun sangat terasa di Asia Tenggara, terlebih di Indonesia.

Padahal dengan banyaknya startup tahap awal yang sudah mendapatkan pendanaan sejak beberapa tahun sebelumnya, dukungan pendanaan lanjutan sangat dibutuhkan. Dengan paradigma sebelumnya, startup mencoba mengutamakan growth, dengan harapan saat basis pengguna sudah terbentuk bisa memulai monetisasi di tahap selanjutnya. Ini membuat runway bisnis mereka terbatas dan cukup bergantung dengan putaran pendanaan berikutnya.

Sejumlah VC berpendapat, bahwa koreksi pasar (atau disebut tech winter) ini masih dirasakan hingga menjelang tutup tahun 2023 ini.

Memulai paradigma baru

Kami bertemu dengan Yinglan Tan, Founding Managing Partner Insignia Ventures Partners, yang telah berinvestasi ke startup di Indonesia dan Asia Tenggara dalam multi-stage. Ia berpendapat di kondisi pasar saat ini, para VC mengharapkan manajemen keuangan dan tata kelola bisnis yang lebih matang untuk startup setelah menyelesaikan putaran tahap awal (pasca-seri A). Dan ini harus dicerminkan pada laporan keuangan teraudit dengan unit ekonomi positif, manajemen arus kas yang sehat, dan beberapa validasi bisnis lainnya.

“Rasio biaya vs pengembalian bagi startup telah meningkat terutama untuk investasi tahap akhir, seiring naiknya cost of money dan penyesuaian harga dalam lanskap exit pasca-pandemi. Hal ini mendorong para VC  untuk lebih teliti dalam menghindari kerugian, atau memperluas paparan mereka terhadap perusahaan-perusahaan yang dianggap undervalued. Ada juga strategi untuk beralih ke putaran awal, meskipun hal ini mungkin memengaruhi kecepatan penyaluran dana yang besar,” ujar Tan.

Yinglan Tan dalam sebuah sesi bersama startup portofolionya di Jakarta / Insignia
Yinglan Tan dalam sebuah sesi bersama startup portofolionya di Jakarta / Insignia

Beberapa hal memang dilihat telah berubah akhir-akhir ini, durability of cash misalnya. Sebelumnya satu putaran pendanaan bisa mengamankan runway startup 12-18 bulan sebelum menutup putaran selanjutnya, namun sekarang ini sulit dilakukan oleh banyak startup. Di sisi lain proses penggalangan dana juga lebih sulit, para analis di VC membutuhkan waktu lebih banyak untuk melakukan penilaian ketat terkait performa startup tersebut.

Tan mengutarakan, situasi ini bisa diantisipasi founder dengan menerapkan sejumlah pilihan sekenario, di antaranya:

Skenario Penjelasan
Bergerak Agresif Fokus pada ekspansi dan pertumbuhan. Jika startup sudah memiliki uang tunai yang cukup, setidaknya memiliki runway tiga tahun atau sudah mencapai titik profitabilitas. Ini menjadi kondisi yang perlu diupayakan semua startup.
Mengerem Pengeluaran Startup bisa fokus untuk mengefisienkan pengeluaran untuk menambah runway, termasuk mengarahkan ulang bisnis menuju profitabilitas. Beberapa founder juga mengupayakan brdige round saat melakukan penyesuaian ini untuk memastikan putaran selanjutnya lebih mulus.
Melakukan Down-round Jika dua skenario di atas tidak memenuhi, startup bisa menggalang down-round dengan mengorbankan pada nilai valuasi yang diperkecil. Juga bisa mempertimbangkan instrumen lain seperti venture debt, financing, dan lainnya.
Menjual Bisnis Jika semua langkah di atas masih sulit dilakukan, maka menyerahkan kepemilikan startup ke pihak lain agar mendapat injeksi dana bisa jadi pilihan. Ini diupayakan agar produk/layanan bisa terus dikembangkan.

“Para pendiri yang berhasil dalam lima tahun terakhir bisa menggalang dana $10 juta dengan presentasi PowerPoint dan memberikan subsidi untuk pertumbuhan. Mereka tidak akan menjadi pendiri yang akan berhasil dalam lima tahun mendatang karena lingkungannya telah benar-benar berubah,” ujar Tan.

Insignia Ventures Partner telah berinvestasi ke sejumlah startup lokal. Berikut daftarnya:

  • Tahap awal: ATTN, Asani, Assemblr, Bakool, Credibook, Elevarm, Fishlog, Lifepal, Nimbly, Pahamify, Sayurbox, Tentang Anak, Verihub
  • Tahap lanjut: Ajaib, AwanTunai, Fazz, Flip, GoTo, Pinhome, Shipper, Super, Travelio

Dampak atas penyesuaian

Maraknya pemberitaan layoff, penutupan bisnis, pivot, akuisisi yang disampaikan secara eksplisit beberapa waktu terakhir membuktikan bahwa 4 skenario tersebut mungkin dijalankan dan memang menjadi pilihan yang relevan bagi para founder.

Praktik manajemen arus kas yang sehat sangat penting bagi pertumbuhan berkelanjutan perusahaan di pasar saat ini. Ini melibatkan sistem pengukuran yang akurat, fondasi keuangan yang kuat, pengelolaan pertumbuhan karyawan yang hati-hati, pengeluaran pemasaran yang terencana, serta pertimbangan alternatif pendanaan seperti hutang usaha.

Founder harus memahami risiko bisnis dan mempertimbangkan berbagai opsi pendanaan sebelum terjun ke pasar pendanaan. Praktik-praktik ini tak hanya terkait dengan keuangan, tapi juga banyak aspek pembangunan perusahaan, menegaskan bahwa mengintegrasikan praktik-praktik tersebut di atas ke dalam prinsip-prinsip operasional perusahaan sangat krusial untuk manajemen arus kas yang lebih baik.

Tan juga berkomentar soal pertimbangan exit melalui IPO bagi startup tahap lanjutan. Ia mengatakan, “Meskipun kami percaya bahwa pasar publik adalah pembeli terbaik untuk startup portofolio kami, ini bukanlah akhir tetapi transisi fundamental bagi setiap perusahaan. Penting bukan hanya agar perusahaan go public, tetapi juga agar mereka mampu memanfaatkan pasar publik secara efektif untuk pertumbuhan berkelanjutan. Banyak faktor yang perlu bersatu untuk perusahaan, mulai dari sifat bursa saham hingga cerita yang perusahaan bawa ke pasar dan persiapan yang telah mereka susun menjelang IPO.”

Komentar ini berlandaskan pada stigma yang kurang baik oleh publik atas perusahaan teknologi yang telah terlebih dulu melantai ke publik.

“Lebih dari sekadar mengantar sebuah perusahaan ke pasar publik pada titik waktu tertentu, yang lebih penting bagi kami adalah mendukung perusahaan dalam memperkuat dasar-dasar mereka jika mereka memutuskan untuk memulai proses go public,” pungkas Tan.

EV Growth Officially Merges with East Ventures

East Ventures (EV) announced its leadership for EV Growth, a joint venture formed in 2018 with SMDV and ZVC (formerly Yahoo Japan Capital). This restructuring affects the managerial structure in the internal EV and EV Growth and SMDV teams will join the force.

Roderick Purwana will be appointed as Managing Partner of East Ventures. David Tendian will be appointed as Operating Partner at SMDV. Shiniciro Hori will remain on EV Growth’s investment committee.

This merger is said to make EV the largest venture capitalist in Southeast Asia with more than 60 staff members and 8 partners, including Melisa Irene (Seed Partner), David Audy (Operating Partner), Triawan Munaf (Venture Adviser), and Koh Wai Kit (Venture Partner).

Even though EV has controlled all EV Growth funds, the SMDV and ZVC teams will continue to support and work closely with East Ventures and its ecosystem.

East Ventures’ Co-founder & Managing Partner, Willson Cuaca said, his team has a very strong synergy between EV Growth and the East Ventures ecosystem. This new setting will amplify efficiency and allow the EV to run fierce and faster.

“We will be able to help entrepreneurs in a better, smarter, and wiser way – fully focused on unlocking their potential,” he explained in an official statement, Wednesday (10/3).

East Ventures’ Managing Partner, Roderick Purwana added, SMDV has always been a true supporter of East Ventures and has made dozens of joint investments over the years. The two have discussed formalizing their relationship and working closely for more than 5 years.

“In 2018, we took the first big step by launching EV Growth as a joint venture. After that collaboration, we are ready to take it to the next stage. This merger will allow our founders to expand their combined ecosystem, capabilities, and networks,” Purwana said.

ZVC’s Managing Partner, Shiniciro Hori also commented, “We believe that this transformation will further strengthen our presence and accelerate our investment in Southeast Asia. Z Holdings is to commit more to the Southeast Asian market and leverage group assets as part of the SoftBank Group.”

EV Growth was formed in 2018 with EV Growth Fund I raising a total of $250 million, exceeding the initial target of $150 million. The funds have been invested in more than 20 companies in Indonesia and Southeast Asia. Some of the portfolios are Ruangguru, Waresix, KoinWorks, Shopback, Stockbit, Fuse, Tokopedia, Traveloka, Grab and Gojek. This fund has generated an IRR (internal rate of return) of 27% as of 31 December 2020 with an early exit of MokaPOS to Gojek.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

East Ventures mengumumkan kepemimpinannya untuk EV Growth, perusahaan patungan yang dibentuk pada 2018 bersama SMDV dan ZVC (dulu Yahoo Japan Capital)

EV Growth Umumkan Peleburan dengan East Ventures

East Ventures (EV) mengumumkan kepemimpinannya untuk EV Growth, perusahaan patungan yang dibentuk pada 2018 bersama SMDV dan ZVC (dulu bernama Yahoo Japan Capital). Dampak dari restrukturisasi ini adalah perubahan struktur manajerial di dalam tubuh EV dan bergabungnya tim EV Growth dan SMDV.

Roderick Purwana akan ditunjuk menjadi Managing Partner East Ventures. David Tendian akan diangkat sebagai Operating Partner di SMDV. Shiniciro Hori akan tetap menjadi komite investasi EV Growth.

Diklaim penggabungan ini menjadikan EV sebagai modal ventura terbesar di Asia Tenggara dengan lebih dari 60 anggota staf dan 8 mitra, termasuk Melisa Irene (Seed Partner), David Audy (Operating Partner), Triawan Munaf (Venture Adviser), dan Koh Wai Kit (Venture Partner).

Meski EV kini mengendalikan seluruh fund EV Growth, tim SMDV dan ZVC akan tetap mendukung dan bekerja sama dengan East Ventures dan ekosistemnya.

Co-founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca menuturkan, pihaknya memiliki sinergi yang sangat kuat antara EV Growth dan ekosistem East Ventures. Pengaturan baru ini akan memperkuat efisiensi dan memungkinkan EV berjalan dengan lebih berani dan lebih cepat.

“Kami akan dapat membantu wirausahawan dengan cara yang lebih baik, lebih cerdas, dan lebih bijak – bertumpu sepenuhnya untuk membuka potensi mereka,” terangnya dalam keterangan resmi, Rabu (10/3).

Managing Partner East Ventures Roderick Purwana menambahkan, SMDV selalu menjadi pendukung setia East Ventures dan telah melakukan lusinan investasi bersama selama bertahun-tahun. Keduanya telah membahas formalisasi hubungan dan bekerja sama lebih dekat selama lebih dari 5 tahun.

“Di tahun 2018, kami mengambil langkah besar pertama dengan meluncurkan EV Growth sebagai upaya bersama. Setelah kolaborasi itu, kami merasa siap untuk membawa hubungan lebih jauh. Penjajaran ini akan memungkinkan para founder kami memperluas ekosistem, kemampuan dan jaringan secara gabungan,“ ujar Roderick.

Managing Partner ZVC Shiniciro Hori turut memberikan komentarnya, “Kami percaya bahwa transformasi ini akan semakin memperkuat kehadiran kami dan mempercepat investasi kami di Asia Tenggara. Z Holdings akan berkomitmen lebih banyak ke pasar Asia Tenggara dan memanfaatkan aset grup sebagai bagian dari SoftBank Group.”

EV Growth dibentuk pada 2018 dengan meluncurkan EV Growth Fund I yang berhasil mengumpulkan total dana $250 juta, melebihi target awal sebesar $150 juta. Dana tersebut sudah diinvestasikan kepada lebih dari 20 perusahaan di Indonesia dan Asia Tenggara. Beberapa namanya adalah Ruangguru, Waresix, KoinWorks, Shopback, Stockbit, Fuse, Tokopedia, Traveloka, Grab dan Gojek. Fund ini telah menghasilkan IRR (internal rate of return) 27% per 31 Desember 2020 dengan early exit yaitu penjualan MokaPOS ke Gojek.

corporate venture capital indonesia

Peran CVC dalam Pengembangan Ekosistem Teknologi Digital

Empat sampai lima tahun yang lalu, corporate venture capital (CVC) adalah satu fenomena yang terhitung baru di kancah startup Indonesia, di mana banyak korporasi dalam negeri yang mulai masuk ke ranah pendanaan bisnis digital. Menilik iklimnya di luar Indonesia kala itu, bentuk venture capital yang satu ini terlihat telah lebih dulu menjadi tren progresif.

Tren tersebut bisa dilihat dari angka pertumbuhan yang positif secara global. Menurut data CB Insights, kontribusi CVC dalam ekosistem investasi venture capital (VC) secara global selalu meningkat; terlihat dari jumlah partisipasi CVC dalam seluruh pendanaan VC sebanyak 16% pada 2013 dan 23% pada 2018. Juga, tren keaktifan pendanaan CVC meningkat 47% dari tahun 2017 ke 2018.

Angka di atas menunjukkan daya dan upaya CVC untuk terus meningkatkan kesehatan ekosistem bisnis teknologi, yang juga tentunya sejalan dengan tujuan CVC untuk menghubungkan inovasi terbaik dengan bisnis dan akses pasar dari perusahaan induk. Dengan demikian, penting untuk menilik lebih lanjut bagaimana profil dan potensi dari perusahaan induk kemudian dapat berkontribusi ke startup melalui CVC, khususnya korporasi besar dengan CVC yang masih terbilang hijau.

Salah satunya adalah PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (Bank BRI) yang di kuartal tiga 2019 ini meluncurkan CVC mereka BRI Ventures. CEO BRI Ventures Nicko Widjaja menyebutkan bahwa meski BRI Ventures terhitung baru dalam penjelajahan di wilayah investasi dunia digital–dengan bekal tim subur pengalaman dan wawasan–namun ia yakin bahwa kecepatan eksekusi adalah cara terbaik untuk dapat memberi dampak pada inovasi terbaik. Lantas, bagaimana langkah taktis BRI Ventures sebagai CVC yang tergolong baru untuk dapat ikut serta mengembangkan ekosistem startup?

Visi CVC pada investasi di bisnis digital

Seperti yang disebutkan di awal artikel, masuknya korporasi dalam bentuk CVC ke dalam kolam bisnis inovasi digital menjadi perbincangan kurang lebih setengah dekade ke belakang. BRI Ventures saat ini jelas tampak masih muda ketika memasuki rimba startup dan teknologi, apalagi dengan perusahaan induk yang termasuk terbesar dan tertua di industri.

Menyambung apa yang disebutkan Nicko terkait keberadaan BRI Ventures di industri, Markus Liman Rahardja, VP Investor Relation and Strategy BRI Ventures, sama sekali tidak keberatan jika harus injak pedal sedalam-dalamnya untuk maju mempercepat pembaruan bagi Bank BRI.

“Karena BRI Ventures ada untuk mengakselerasi inovasi dari luar (Bank BRI) dan mengerjakan hal-hal yang tidak bisa dijalankan di dalam (Bank BRI). BRI Ventures akan mengambil peran sebagai penghubung inovasi, di mana nanti inovasinya bisa dari Bank BRI atau startup terkait, agar kita semua selalu siap menghadapi industri ini yang memang secara alami terus berubah,” tegas Markus.

Secara brand image, BRI Ventures boleh jadi dinilai baru, namun individu-individu di baliknya adalah para veteran di sektor digital, inovasi, dan teknologi. Selain Nicko, Markus, dan VP Investment BRI Ventures William Gozali yang memang sudah lebih banyak mengenyam pengalaman di industri (baik dari perspektif sebagai founder maupun VC), BRI Ventures juga diotaki oleh sang founder Indra Utoyo, Direktur Digital, Teknologi Informasi dan Operasi Bank BRI, yang juga dikenal sudah lama dalam pengambilan keputusan strategis di korporasi dalam fokus inovasi teknologi dan kolaborasi.

Bersama figur-figur tersebut di dalam tim utama, BRI Ventures mengambil peran sebagai CVC yang membangun ekosistem digital secara menyeluruh. Keberadaan Bank BRI sebagai perusahaan induk tentu mengundang asumsi di awal bahwa dukungan BRI Ventures lebih fokus pada industri finansial (secara spesifik fintech).

“Kami akan masuk tidak hanya di industri keuangan, tapi juga ke emerging ecosystem lainnya, tentu dengan melihat inovasi digital yang mempunyai nilai besar. Hanya saja, kami berharap value-nya benar-benar nyata, bukan angka-angka dan cerita-cerita karangan. Real people, real work, real customers, and relevant value propositions,” ujar Markus.

CVC secara umum pasti menginginkan keterhubungan dengan bisnis utama grup. Bank BRI dengan BRI Ventures tentu punya ekspektasi serupa, dengan nilai inovasi tinggi yang mencakup berbagai sektor industri digital. “BRI ‘kan saat ini menjadi solusi finansial yang terintegrasi. BRI Ventures ingin menjadi ekosistem digital yang terintegrasi,” terang William memperkuat penuturan Markus terkait visi BRI Ventures.

CVC untuk ekosistem digital Indonesia

Berjalan bersama raksasa jasa keuangan di Indonesia yang terhitung tua tetap membuat BRI Ventures bergerak leluasa dalam menjalin komitmen dengan ekosistem teknologi, dengan dua fungsi yang menjadi payung utama dalam kolaborasi, yakni fungsi Digital Center of Excellence (DCE) untuk kolaborasi dengan fintech dan fungsi Kerja Sama Teknologi (KJT) untuk kolaborasi dengan non-fintech.

“Jadi kalau ditanya sejauh mana kolaborasinya, paling sedikit kami punya komitmen dengan memiliki tim yang spesifik, yang memang tugasnya untuk melakukan kolaborasi dengan bank. Di era sekarang, tidak semua bisa dijalankan sendiri,” ujar Markus.

Kasus nyata kolaborasi Bank BRI dengan ekosistem teknologi yang dipimpin langsung oleh Markus ialah Indonesia Mall. Kolaborasi yang diluncurkan pada April 2018 ini adalah program kerja sama antara Bank BRI dengan beberapa e-commerce terkemuka di Indonesia (Tokopedia, Bukalapak, Shopee, Blibli, dan Blanja) dalam membuat official online store dari produk UMKM terpilih.

“Kami tidak punya sumber daya berupa keahlian, logistik, dan kapital dari sisi e-commerce. Makanya, dibanding membuat e-commerce sendiri, kami lebih memilih kolaborasi. Kita eksekusi hal-hal yang bisa kita kolaborasikan untuk mengakselerasi inovasi dan akan dipikirkan bentuk kerja samanya,” tutur Markus.

Komitmen Bank BRI terhadap kolaborasi yang direncanakan oleh BRI Ventures terlihat dari pendanaan senilai $250 juta seperti yang pernah disebutkan. Dengan sumber daya setara Rp3,5 triliun tersebut, fokus terdekat BRI Ventures adalah untuk menata portofolio, terutama untuk merangkul ekosistem di luar fintech.

“Ekosistem ini antara lain agriculture, maritim, kesehatan, pendidikan, tourism & travel, transportasi, industri kreatif, dan retail. Kami oportunis secara jumlah, jadi kami tidak mengincar harus berapa deal,” terang William.

Fokus kolaborasi BRI Ventures saat ini adalah di tahap growth stage, di mana startup yang mereka incar adalah mereka yang sudah memiliki produk dan model bisnis. “Kami sudah ada penjajakan dengan sejumlah startup. Cuma pengumumannya tidak bisa langsung. Sampai akhir tahun baru LinkAja yang sudah diumumkan. Sebetulnya ada beberapa startup lagi yang sedang kami evaluasi. Tahun ini, kami dalam tahap akhir di 4-6 startup, untuk detailnya akan kami umumkan di waktu yang lebih tepat,” sambung William.

Disclosure: Artikel ini adalah konten bersponsor yang didukung oleh BRI Ventures.