Tag Archives: Guest Post

NFT hanya sebagian dari strategi musisi untuk berkarya yang berkesinambungan / Pixabay

Mencermati Tempat NFT Di Industri Musik

Tak lama setelah lulus kuliah, saya sudah bekerja di industri musik, terlibat dengan awal-awal layanan musik digital dalam bentuk ringtone dan ringbacktone (RBT). Petualangan pertama saya sebagai wiraswastawan, Ohdio.FM, adalah upaya memperkaya ekosistem musik. Bahkan perusahaan saya yang sekarang, KaryaKarsa, bermula dari menerapkan konsep direct-to-fans untuk musisi, walaupun kini KaryaKarsa bisa digunakan oleh kreator apapun. Jadi, karier saya sudah lama dekat dengan teknologi dan musik.

Salah satu topik paling ramai dibicarakan di tahun 2021 adalah NFT. Berbasis blockchain, NFT memberikan musisi alternatif dalam berpenghasilan dari kegiatan berkarya yang pada dasarnya mengurangi atau menghilangkan porsi pekerjaan (dan porsi bagi hasil) oleh penengah seperti distributor, bahkan label. Sehingga, NFT digadang-gadangkan sebagai teknologi yang akan pada akhirnya membawa kesejahteraan yang lebih merata pada produsen inti industri musik, yaitu musisi, karena musisi akan dapat mengatur sendiri harga dan royaltinya.

Namun, apakah prospeknya sesederhana itu?

2021 menjadi tahun yang cukup istimewa untuk gabungan musik + NFT. Dari 3BLAU sampai Audius, artikel ini cukup merangkum kejadian-kejadian menarik di ranah NFT musik. Dari tanah air, musisi Indonesia pun sudah mulai berkecimpung ke NFT; ada rilisan Aloysius Nitia menggunakan koin TEZ dan Alex Kuple merilis lagu NFT via Distrokid yang didistribusikan via Nifty Gateway (menggunakan ETH).

Secara umum, ketertarikan dunia ke NFT – lengkap dengan penolakannya – semakin meninggi sepanjang 2021. Jadi kalau dilihat secara anekdotal, potensi dampak teknologi NFT untuk industri musik, Indonesia maupun global, cukup besar.

Yang menarik dari NFT itu adalah bagian non-fungible, sehingga mendekatkan rilisan karya (misalnya musik) seperti yang sudah lama terjadi sebelum era internet dimulai, saat jumlah fisik sebuah karya itu terbatas (atau dibatasi).

Teknologi NFT memberikan verifikasi yang tak dapat dibantah soal kepemilikan terhadap sebuah aset digital dengan transparansi sampai ke transaksi awalnya, sebuah antitesis terhadap perbanyakan file digital tanpa batas dan tanpa rekam jejak jelas yang terjadi semenjak internet berdiri. Memang, filenya sendiri tetap dapat diperbanyak, tapi peneguhan hak akan karya tersebut tercatat di blockchain.

Keunggulan dari teknologi ini, digabungkan dengan semakin mudahnya memproduksi karya digital apapun dari komputer maupun HP, memberikan kendali dan kekuatan yang cukup besar kembali ke kreator seperti musisi.

Karena produksi toh sebenarnya bisa dilakukan sendiri semua, kini distribusi pun bisa dilakukan sendiri dengan bantuan situs-situs seperti Nifty Gateway atau Audius, tanpa harus adanya perusahaan rekaman maupun publisher (terlepas dari perlu atau tidak ya).

Nah, sebenarnya produksi dan distribusi mandiri, atau sering disebut indie, ini bukan sesuatu yang baru. Musisi sudah melakukan distribusi mandiri melalui situs seperti Bandcamp [atau KaryaKarsa], atau dibantu oleh layanan seperti Distrokid atua CDBaby.

Akan tetapi, untuk mengakses pendengar yang banyak, memang akhirnya akan berujung di layanan-layanan seperti Spotify dan Apple Music, yang model bisnisnya lebih menguntungkan siapapun label (atau agregator musik, seperti Believe) yang memiliki market share besar berdasarkan jumlah pendengar.

Perputaran uang music streaming belakangan ini bahkan didominasi oleh pemilik katalog lagu lama, yang notabene kebanyakan ada di para major label Universal Music, Sony Music Entertainment dan Warner Music.

Di sisi lain, kebanyakan pendengar musik masih enggan keluar uang jika yang ditawarkan “hanya” lagu. Dari pengamatan, konsumen musik – yang mau keluar uang – memilih untuk membayar untuk langganan layanan musik untuk mendapatkan lagu yang diinginkan, dan akan keluar uang lebih untuk hal-hal “unik” dari artis/musisi yang disukai, seperti merchandise, limited edition CD, dan sebagainya.

Preferensi konsumsi seperti ini, tentunya membuka lebar kemungkinan NFT musik menjadi salah satu cara fans seorang artis/musisi memberi dukungan.

Namun ada faktor lain yang sangat mempengaruhi kemungkinan seorang artis atau musisi mendapatkan penghasilan dari karyanya melalui merchandise sampai NFT, bahkan mendapatkan pemasukan lebih dari layanan music streaming. Faktor itu adalah basis pendengar atau fans.

Perlu diingat bahwa NFT dan merchandise, misalnya, adalah “barang jualan”. Kalau barang jualannya tidak ada potensi massa yang berminat membeli, akan menjadi masalah. Sehingga, pembentukan massa pendengar, penikmat dan fans ini tetap menjadi unsur penting dalam membangun karier seorang musisi komersial.

Di era sebelumnya, peranan membentuk massa pendengar ini banyak dilakukan oleh perusahaan rekaman. Mereka menemukan sebuah pola bisnis di mana mereka bisa benar-benar “mengorbitkan” seorang artis/musisi melalui usaha promosi yang gencar via media, memastikan lagunya terpasang cukup sering di TV dan radio, dan membentuk persepsi di media dan publik bahwa “lagunya enak dan artisnya keren”.

Di zaman media sosial ini, keadaan praktis berbalik saat seringkali artis sudah memiliki massa yang sudah terbangun sebelum melakukan perjanjian dengan perusahaan rekaman. Artis atau musisi yang sudah cukup sukses pun tidak tergantung pada pemasukan yang bisa dihasilkan via perusahaan rekaman, karena bisa “menyewakan” massa fansnya ke brand secara langsung dengan melakukan brand endorsement.

Dan kini, ada NFT.

Meskipun karier seorang artis atau musisi kini tidak melulu tergantung pada penjualan rekaman musik, komponen membangun massa ini tetap penting untuk memastikan ada yang membeli barang jualannya. Di sisi lain, industri NFT masih tergolong sangat spekulatif, seperti halnya cryptocurrencies yang digunakan untuk mencetak dan membelinya.

Meskipun saya yakin kolektor NFT memiliki keinginan tulus untuk mendukung kreator yang NFTnya mereka beli, tetap saja ada sisi spekulatif yang berharap nilai NFTnya akan mengalami apresiasi; ini bukan sesuatu yang buruk, karena hal yang sama juga terjadi di pasar seni yang lebih “tradisional” melalui seniman, kolektor dan galeri. Apresiasi terhadap seni tentu ada, namun spekulasi investasinya pastinya tetap ada. Ini realita yang perlu dihadapi saja.

Pada akhirnya, setidaknya buat saya, yang penting itu seberapa banyak seorang artis/musisi dapat menghasilkan uang untuk terus berkarya. Industri hiburan secara makro selama bertahun-tahun condong pada karya-karya yang dapat dijual ke massa yang besar, karena modal yang diperlukan untuk membuat karya tersebut – seperti film – juga besar, dipengaruhi juga oleh biaya yang diperlukan untuk pemasaran dan distribusi.

Dengan skala yang lebih kecil, dan pengeluaran biaya yang lebih rendah untuk pemasaran dan distribusi, harusnya ada tempat untuk kreator-kreator yang memiliki massa tak lebih dari 1000 followers sekalipun.

Untuk saya, NFT ataupun teknologi apapun yang akan datang untuk meramaikan pengalaman hiburan kita, hanya sebagian dari strategi atau produk yang perlu dipikirkan untuk karier berkarya yang berkesinambungan.


Disclosure: tulisan tamu ini dibuat oleh Ario Tamat. Ario adalah Co-Founder dan CEO Karyakarsa, platform apresiasi kreator Indonesia. Ia bisa dikontak di ario [at] karyakarsa [dot] com.

Grab akan resmi IPO pada tanggal 2 Desember ini. Apakah IPO-nya akan sukses?

Hal-hal Menarik yang Perlu Diperhatikan Menjelang IPO Grab

Pada masanya, desas desus mengenai debut Grab di Nasdaq diproyeksi akan berjalan lancar bagi investor. Di bulan April 2021, Grab mengumumkan rencananya untuk go public melalui merger SPAC dengan Altimeter Growth Corp dalam kesepakatan yang bernilai hampir $40 miliar.

Bagi yang mengikuti perkembangan isu IPO Grab yang akan datang — bahkan mungkin siap untuk membeli saham saat pasar dibuka. Ada beberapa hal yang perlu dipahami terkait situasi perusahaan saat ini.

Meskipun Grab memulai bisnis sebagai aplikasi transportasi online pada tahun 2012, perusahaan telah berkembang menjadi super-app yang bonafide, serta memiliki berbagai diversifikasi penawaran di dalam aplikasi untuk menargetkan sektor ekonomi digital yang tengah berkembang, seperti logistik, pengiriman makanan, dan layanan keuangan.

Inisiatif ini sepertinya berhasil, melihat model super-app yang terbukti solid. Coba bayangkan, seorang pekerja independen (gig worker) hanya membutuhkan modal tubuh yang lengkap serta moda transportasi untuk menjalankan tugas dan mendapatkan penghasilan.

Pengemudi ojek Grab di Indonesia, misalnya, bisa mengantar orang (ride-hailing), mengantarkan makanan (GrabFood), mengantarkan sembako (GrabMart), mengambil titipan dari pengguna aplikasi (GrabJastip), bahkan membantu pelanggan melakukan top-up (GrabKios), semua dalam satu hari.

Ketika pengemudi lebih produktif, unit ekonomi dalam platform akan jadi lebih baik. Sebanyak 59 persen armada pengemudi roda dua Grab melayani pengantaran penumpang dan pengiriman di seluruh Asia Tenggara.

Waktu kerja yang optimal serta kesempatan untuk memperoleh penghasilan yang lebih tinggi menjadi keuntungan tersendiri bagi para pengemudi, maka dari itu, akan lebih mudah untuk mempertahankan mereka dalam jaringan Grab.

Status sebagai super-app

Lain halnya di belahan bumi bagian Barat, model super-app berjalan relatif lancar di Asia Tenggara. Para pengguna di kawasan ini sebagian besar sudah terpapar digital, dan kebanyakan dari mereka menggunakan ponsel Android dengan kapasitas rendah, bukan iPhone. Oleh karena itu, penting bagi mereka untuk memiliki satu aplikasi yang bisa melakukan semuanya daripada banyak aplikasi dengan manfaat masing-masing.

Hal ini juga terjadi di China, meskipun hanya memiliki satu perbedaan fungsi mendasar, menunjukkan kekurangan sistem pengiriman pesan dalam super-app di Asia Tenggara. Penggunaan WhatsApp milik Facebook di Indonesia sudah terlalu kuat, dibandingkan dengan WeChat sebagai super-app di China.

Mungkin ada alasan lain mengapa satu super-app bisa cocok dengan pasar yang terfragmentasi ini, salah satunya adalah industri teknologi yang masih relatif dini. Bukanlah perkara mudah untuk memperbaiki dan menyempurnakan satu layanan, apalagi enam atau tujuh.

Perusahaan dengan keunggulan pasar di satu vertikal (misalnya, ride-hailing) dapat kembali berinvestasi dengan pendapatan mereka untuk menembus vertikal lain (pengiriman makanan dan pembayaran digital) serta membuka skala ekonomi bergulir.

Menariknya, hal itu membuat pengguna jauh lebih nyaman. Dengan menautkan akun kartu kredit ke Grab atau aplikasi dompet digital untuk membayar perjalanan pulang, detail secara otomatis akan terisi ketika Anda ingin memesan makan malam.

Selain itu, Anda juga dapat menggunakan dompet digital yang sudah ada, tidak perlu lagi membawa dompet fisik kemana pun. Dengan integrasi yang sukses seperti ini, pengalaman bagi konsumen yang paham digital (bukan sebuah masalah di Asia Tenggara) akan nyaris sempurna.

Meski masih merugi, Grab memiliki rekam jejak yang kuat dalam hal eksekusi. Seperti pada saat pertama kali masuk ke Indonesia di tahun 2014 sebagai underdog, perusahaan tertinggal jauh dengan rival lokalnya, Gojek, yang sudah unggul empat tahun. Nyatanya, saat ini Grab berhasil memimpin pasar perjalanan dan pengiriman makanan di negara ini. Aplikasi ini telah menyumbang $5,45 miliar untuk ekonomi lokal pada tahun 2019.

Fakta bahwa banyak konglomerat terkemuka di Indonesia memilih untuk berinvestasi di Grab merupakan bukti pengakuan mereka atas kemampuan Grab dalam navigasi lingkungan yang kompleks dengan kinerja yang lebih baik daripada pesaing.

Jejak regional startup ini menjadi pembeda utama di kawasan yang saling terhubung namun terfragmentasi seperti Asia Tenggara. Grab adalah satu-satunya pemain yang berhasil mengoperasikan model super-app sejati di berbagai pasar.

Hal ini menjadi penting. Model super-app Grab telah menunjukkan ketahanannya. Layanan ini tidak bergantung pada pasar tunggal atau vertikal mana pun, yang terbukti penting untuk melindungi perusahaan kendati periode krisis seperti pandemi. Hal ini mengantar perusahaan pada posisi yang solid untuk menjaring peluang pertumbuhan di seluruh wilayah.

Menurut laporan e-Conomy SEA 2021, pasar inti di Asia Tenggara diperkirakan akan mengalami pertumbuhan dua digit terhitung saat ini hingga 2025, dipimpin oleh Filipina dan Vietnam. Dengan sejarah keberhasilan lokalisasi Grab yang sudah terbukti, perusahaan juga diharapkan bisa memenangkan pasar Filipina dan Vietnam.

Kompleksitas Asia Tenggara juga menyebar ke dalam politik dan lingkungan bisnis yang lebih luas. Grab juga menunjukkan kemampuannya dalam menanggulangi hal ini dengan menjalin kemitraan yang kuat dengan pihak regulator, seperti Grab Tech Center di Jakarta.

Semua ini merupakan sinyal yang jelas dari Grab dengan kapasitasnya untuk memenangkan hati regulator dan memupuk hubungan kerja yang kuat dengan negara, sesuatu yang esensial di kawasan dengan politik beragam seperti Asia Tenggara.

Tidak ada bumbu rahasia untuk hidangan ini, jika Anda penasaran. Grab menggunakan formula sederhana dengan mencoba hadir di mana pun dan kapan pun untuk membantu pemerintah menyelesaikan masalah. Misalnya, perusahaan membantu mendirikan pusat vaksinasi di 54 kota di seluruh Indonesia, bahkan meluncurkan layanan vaksinasi drive-through untuk memberikan 5.000 suntikan per minggu.

Intisari dari setiap kisah sukses startup adalah kepemimpinan. Dari interaksi saya dengan anggota pendiri Grab, saya bisa mengatakan bahwa Anthony Tan memegang teguh keyakinannya dalam membangun tim lokal yang kuat dan intens. Para pemimpin Grab memiliki semangat yang nyata dan tulus untuk melayani komunitas tempat mereka berada.

Grab memiliki fundamental yang solid. Dengan misi penting, c-level yang mumpuni, dan rekam jejak yang terbukti, perusahaan siap untuk berkembang, terlebih dengan target pasar yang didominasi populasi muda dan kelas menengah yang masih bertumbuh.

Menjelang rencana Grab yang diperkirakan akan terdaftar pada 2 Desember, dengan kemungkinan menjadi perusahaan terbesar dari Asia Tenggara yang terdaftar di bursa AS hingga saat ini, semua mata akan tertuju pada kawasan ini. Di antara padatnya daftar perusahaan Asia Tenggara yang merencanakan IPO – ini akan menjadi kabar baik.

Di Indonesia, debut pasar Grab tidak diragukan lagi akan mendorong kepercayaan unicorn lokal dalam pemetaan rencana IPO mereka. Saya percaya era baru investasi teknologi akhirnya tiba, ketika raksasa lokal bersiap untuk go public di Bursa Efek Indonesia.

Teruntuk investor global yang ingin masuk pada tahap pra-IPO Grab, bentuk aliansi dengan perusahaan modal ventura lokal yang kuat, idealnya yang memiliki porsi di sektor publik dan swasta.


Disclosure: Artikel ini ditulis oleh CEO BRI Ventures Nicko Widjaja dan pertama kali dirilis oleh e27. Dirilis ulang dalam bahasa Indonesia sebagai bagian kerja sama dengan DailySocial

SEACL 2021 Selesai Digelar, Indonesia Rengkuh Posisi 3

SEACL 2021 baru aja selesai digelar, ajang tahunan PES yang musim ini digelar secara online mempertemukan para jagoan PES dari 8 negara di kawasan Asia Tenggara: Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura, Vietnam, Thailand, termasuk Indonesia.

Dimulai sejak tahun 2015, kompetisi SEACL berawal dari komunitas online di sosial media, baru pertama kali digelar secara offline pada tahun 2016 di Kota Hanoi, Vietnam. Berlanjut 2017 diadakan di Kota Bandung, Indonesia; 2018 di Kuala Lumpur, Malaysia; dan 2019 Bangkok Thailand tahun dimana Rizky Faidan meraih Juara Asia dan Tim WANI menjadi Tim COOP Runner-up World Finals. Tahun 2020 gelaran SEACL harus batal terselenggara dikarenakan pandemi, dan di Tahun 2021 ini, Liga1PES sebagai wadah sekaligus organizer kembali menggulirkan ide “kembali ONLINE” untuk SEACL musim ini.

“Awal-nya agak kurang pede sih, karena melihat kondisi pandemi dan juga cukup lama vakum dari komunitas esports PES sejak awal pandemi.”, ujar Valent selaku Founder Liga1PES. Tapi alhasil event yang bisa dibilang “iseng”, justru mendapat respon sangat positif dan antusiasme yang luar biasa tidak hanya komunitas di Indonesia, melainkan juga komunitas regional di Asia Tenggara, terbukti 7 negara mengkonfirmasi keikutansertaan mereka di musim ini dengan menggelar kualifikasi di negara mereka masing-masing dan mengirimkan wakilnya untuk berpartisipasi di putaran final SEACL 2021 Online 28-29 Agustus kemarin.

Di musim sebelumnya, SEACL menggunakan format individu dimana setiap negara yang mengirimkan 4 orang wakil, setiap pemain yang dikirimkan akan bertanding secara individu, sehingga gelar Juara akan diperoleh oleh individu yang berhasil menjadi pemenang di babak Final. Sedangkan di musim 2021 memiliki format yang berbeda, meski setiap negara mengirimkan jumlah personil sama yaitu 4 orang, tapi kali ini mereka akan bermain sebagai SATU TIM mewakili negara masing-masing, sehingga penampilan 1 orang akan mempengaruhi keseluruhan Tim atau Negara tersebut. Hal tersebut dilakukan karena melihat perkembangan esports PES sekarang ini yang terus berkembang menuju format kompetisi menggunakan Tim, seperti Eleague Thailand dan Efootball.Pro di Eropa.

Format TIM yang digunakan pada SEACL kali ini menggunakan format 3 GAMES, yaitu 1v1, COOP 2v2 dan 1v1. Kualifikasi Indonesia musim ini pun diselenggarakan berbeda dimana kualifikasi dilakukan terbuka hanya untuk pemain yang belum memiliki pengalaman di tingkat PRO atau yang belum pernah bermain di kompetisi PRO. Alhasil 4 pemain Indonesia yang berhasil lolos dan menjadi wakil Indonesia di SEACL kali ini adalah para pemain yang memang secara pengalaman belum memiliki jam terbang di level internasional. Dan inilah yang menjadi VISI Liga1PES dengan event SEACL kali ini.

“Kami mengharapkan Liga1PES melalui SEACL bisa menjadi wadah bagi para pemain PES Indonesia yang mau memulai karir di esports untuk berkembang ke tingkat yang lebih tinggi, baik secara skill, mental, maupun pengalaman bertanding. Yang diharapkan melalui wadah ini Indonesia bisa terus melahirkan pemain-pemain PRO baru seperti Faidan dkk yang lahir dari tahun-tahun sebelumnya yang sekarang banyak dari mereka mulai memiliki karir dengan klub-klub sepakbola atau esports PRO, baik di Liga Thailand atau IFEL yang ada di Indonesia.” Kata Valent.

SEACL 2021 berlangsung selama 2 hari, Hari Sabtu 28 Agustus dimulai dengan babak grup dimana seluruh negara bertanding dengan format “Round Robin” yang hasilnya 4 negara teratas berhak lolos dan tampil ke babak gugur yang dimainkan Hari Minggu. Indonesia berhasil menduduki posisi runner-up selisih 1 POIN di bawah Vietnam, diikuti oleh Malaysia dan Thailand.

Sebagai pemuncak dan runner-up klasemen Vietnam & Indonesia berhak menempati “Upper Bracket” di babak gugur, sedangkan Malaysia & Thailand yang berada di posisi 3 & 4 babak grup harus memulai babak gugur dari posisi “Lower Bracket”. Pertemuan pertama Tim Indonesia dengan Tim Vietnam yang berisikan 4 pemain PRO yang berlaga di ELeague Thailand di babak grup, Tim Vietnam benar-benar menghajar habis-habisan tim Indonesia dengan memenangkan seluruh 3 GAME tanpa balas. 4-2, 2-1, dan 2-0.

Memasuki babak gugur Hari Minggu, kepercayaan diri Tim Indonesia sebenarnya cukup tinggi dan sangat siap menghadapi Tim Vietnam, tapi pengalaman para pemain Vietnam di liga PRO memang menjadi salah satu aspek terpenting dalam kompetisi setingkat SEA yang hasilnya, Tim Indonesia harus kembali mengakui keunggulan Tim Vietnam dan harus turun ke “Lower Bracket” untuk bersaing dengan Tim Malaysia yang berhasil unggul atas Thailand pada putaran pertama “Lower Bracket”.

Indonesia yang tampil sangat baik di putaran babak grup, lagi-lagi harus menelan pil pahit melawan Tim Malaysia yang berisikan juga para pemain PRO, termasuk 2 pemain Asian Games 2018 yang bermain di kategori COOP. Jika di babak grup Indonesia mampu memenangkan 2 GAME melawan Tim Malaysia dengan skor 2-2 PK, 1-0, 4-2, di babak grup justru Tim Malaysia berhasil membalikkan keadaan dengan penampilan memukau mereka dan mengalahkan Tim Indonesia dengan memenangkan 2 GAME langsung 2-2 PK dan 2-1. Alhasil Indonesia gagal lolos ke babak Grand Final dan harus puas sebagai Tim posisi ke-3 di babak grup.

Seluruh pertandingan Tim Indonesia dapat disaksikan melalui channel youtube Liga1PES: youtube.com/liga1pes

Di babak Grand Final, Tim Vietnam benar-benar mendominasi pertandingan, meski Tim COOP Malaysia mencuri 1 GAME dari Tim Vietnam, namun dominasi dan pengalaman pemain Vietnam di musim ini benar-benar menjadikan mereka layak sebagai Juara di regional SEA. Skor 5-1, 1-2, dan 5-0 memastikan Vietnam keluar sebagai Juara SEACL musim 2021.

Tetap semangat untuk Tim PES Garuda SEACL 2021! Jangan patah semangat, terus bermimpi untuk meraih prestasi! Kompetisi bukan soal memenangkan segalanya, tapi kompetisi untuk kita terus bertumbuh dan menjadikan pribadi kita yang lebih baik dari sebelumnya. GO esports & PES Indonesia!

Artikel ini ditulis oleh Valentinus Sanusi, founder dari Liga1PES. Penyesuaian ringat untuk tulisan agar sesuai dengan arahan media Hybrid.co.id. 

Dunia pemasaran kini mengalami pergeseran drastis seiring memanasnya kompetisi online. Penjual mencari kanal-kanal periklanan yang lebih baik dan terukur / Depositphotos

Apa yang Mendorong Meningkatnya Pengeluaran untuk Media Ritel?

Saat ini kebanyakan bisnis sudah sangat paham dengan konsekuensi dari pandemi global COVID-19: penjualan offline goyah, opsi bekerja dari mana saja, fluktuasi foot traffic karena adanya mandat lockdown, dan ecommerce menjadi kanal yang banyak brand harapkan infrastrukturnya mereka bangun lebih cepat.

Sebagaimana konsumen di Asia Tenggara berpindah dari mal ke Shopee, Lazada, Tiki dan Tokopedia dengan rekor menjulang, biaya periklanan secara natural mengikuti. Media ritel di pasar berkembang akhirnya lahir.

Amazon mengawali ini di Amerika Utara pada tahun 2018 dengan meluncurkan Amazon Advertising, marketplace bid-and-buy pertama. BCG memperkirakan, ada $100 triliun peluang bisnis yang bisa diraih oleh para retailer – jika mereka mampu mengejarnya.

Alat Pemasaran Lama

Untuk mengerti mengapa retailer dapat mencapai belanja iklan lebih besar, penting untuk sebelumnya mengevaluasi perkembangan dunia pemasaran saat ini.

Apakah iklan di halte bis? Bidding pada Google keywords atau sesi Clubhouse? Atau video TikTok yang viral? Seiring dunia menjadi semakin terhubung dan batas antara online dan offline jadi semakin “cair,” dunia pemasaran masa kini adalah gabungan dari berbagai kanal yang terikat dalam metrik performa kunci (key performance metrics).

Tujuan utama dari pemasaran, apapun mediumnya, adalah untuk menyoroti sebuah bisnis atau produk kepada konsumen yang tepat untuk meningkatkan potensi barang/jasa tersebut terjual. Dan seperti kebanyakan hal pada umumnya, ada cara yang buruk, baik, dan jauh lebih baik untuk melakukan sesuatu.

Kanal pemasaran tradisional terdiri dari TV linear, radio, dan cetak, karena medium-medium ini pernah populer pada masanya. Namun dengan kelahiran internet, lahir juga platform seperti situs web, streaming, dan email, disusul dengan munculnya media sosial dan aplikasi yang mengguncang lansekap periklanan. Pergeseran ini tetap menunjukkan sesuatu yang konstan: bisnis akan terus bergerak, mengikuti di mana konsumennya berada.

Jadi ketika sumber trafik dan pendapatan untuk kesekian kalinya berubah, katakanlah karena pandemi, bauran pemasaran (marketing mix) juga akan mengikuti. Bahkan dalam 12 bulan ke depan saja, banyak pemasar yang sudah berencana untuk mengurangi iklan di bioskop, cetak, dan out of home (OOH) dan meningkatkan budget di media sosial dan pencarian. Uang akan mengalir di mana konsumen berada.

Sumber: 2021 Nielsen Marketing Report: Era of Adoption

Pencarian kanal periklanan yang tepat

Seiring dengan menurunnya pengeluaran iklan pada kanal-kanal yang sudah tidak relevan, kanal mana yang kini meraup keuntungan? Jawabannya dapat kita temukan pada tren pendapatan iklan di pasar yang sudah “matang” seperti Amerika Serikat. Sementara Google dan Facebook masih menjadi pemain yang dominan, Amazon mulai memecah duopoli ini dan memperbesar porsinya dari 7.8% ke 10.3% dalam satu tahun.

Bagaimana bisa?

Karena kanal periklanan yang paling berharga adalah kanal yang memiliki paling banyak touchpoint atau jalur komunikasi dengan konsumen yang terukur.

Sumber: eMarketer Maret 2021

TV, radio, dan cetak akan kehilangan konsumen setelah kontak pertama, sementara situs web dan email dapat mengikuti jejak klik Anda, walau hilang setelah Anda keluar dari medium tersebut.

Jaringan periklanan (ad networks) dan media sosial menjadi raksasa industri karena mereka tidak saja memonitor minat dan pergerakan konsumen dalam berbagai medium, tapi mampu menargetkan ulang (retarget) konsumen tersebut dengan beragam konten iklan yang dipersonalisasi untuk mengejar konversi.

Walau banyak dari tool periklanan efektif yang tersedia untuk menjangkau pembeli, banyak juga yang melakukannya melalui cookies pihak ketiga, yang kini semakin punah karena semakin ketatnya pengawasan digital. Terpuruknya sistem tracking berbasis cookie mengakibatkan kemampuan pengiklan untuk melakukan penargetan ulang, membangun audiens serupa, dan membuat iklan yang terpersonalisasi semakin terbatas.

Seiring dengan meningkatnya kompetisi dan performance marketing yang menjadi kian lazim, kemampuan untuk melacak return on ad spend (ROAS) sangat penting agar bisnis dapat tumbuh dan meraih keuntungan. Di 2021, hampir 50% pemasar di dunia masih tidak percaya diri dalam mengukur ROI karena 1) mereka melihat metrik seperti awareness dan reach atau 2) konversi terjadi di luar kanal periklanan, sehingga membuat atribusi akurat jadi sebuah oxymoron.

Sumber: 2021 Nielsen Annual Marketing Survey

Apapun alasannya, kurangnya transparansi ROI mengakibatkan pengambilan keputusan eksekutif yang lebih lambat, pengeluaran iklan terbuang percuma, dan potensi terjadinya kerugian.

Raksasa periklanan baru

Munculnya Amazon sebagai pemain ecommerce yang dominan bukan suatu hal yang baru, namun kemunculannya sebagai raksasa periklanan telah tertutupi oleh bayang-bayang kesuksesan Amazon sebagai perusahaan logistik dan cloud. Ecommerce sebagai kanal periklanan terhitung unik karena ia menjangkau keseluruhan konsumen dari awal hingga akhir, mulai dari minat hingga pembelian dalam satu platform, terutama karena kini marketplace terus mencuri porsi pencarian dari search engine.

Sumber: Wunderman Thompson Commerce 2020 Survey

Marketplace tahu apa yang pembeli inginkan, seberapa sering produk tersebut dibeli, pengeluaran rata-rata per kategori, lokasi, dan dapat dengan reguler berkomunikasi dengan end user melalui email, notifikasi, games, chat, live stream, dan update pengiriman. Retailer digital sangat kaya akan data pihak pertama.

Dengan alat pemasaran on-site, sebuah brand dapat menempatkan produknya satu langkah sebelum check out kepada profil konsumen yang ditargetkan. Dari feedback yang didapatkan, brand tersebut juga dapat menentukan kata kunci yang paling efektif untuk mendorong penjualan, pada price point berapa, di hari-hari apa setiap bulannya, dan thumbnail produk apa yang membuat click-through rate (CTR) meningkat.

Ini mengapa bahkan platform streaming seperti Netflix baru-baru ini meluncurkan toko online. Semakin banyak touchpoints dengan konsumen yang tersedia, kanal tersebut akan menjadi semakin berharga.

Tantangan untuk menyukseskan ritel

Tekanan bagi para pebisnis di Asia Tenggara untuk mengadopsi ecommerce baru meningkat ketika pandemi COVID-19 ini terjadi, yang kemudian menciptakan peningkatan rekrutmen digital talent. Regulasi lockdown yang diterapkan di Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Indonesia lebih dari satu tahun kemudian membuat kemampuan first-mover advantage dalam dunia pemasaran ritel menjadi semakin dibutuhkan untuk mengakselerasi kesuksesan online.

Seiring dengan terbentuknya ecommerce menjadi kanal pemasaran impian, meraup keuntungan dari pemasaran ritel hanya bisa dicapai bila marketplace membekali brand dengan tool dan data yang tepat. Di Asia Tenggara, Shopee, Lazada dan Tokopedia sudah membuat solusi pemasaran (Marketing Solutions) seperti keyword bidding dan produk sponsor untuk penjual (contoh: MyAds dan Sponsored Search), namun semua solusi ini masih dalam tahap perkembangan.

Sumber: Epsilo Research July 2021

Para penjual di Asia Tenggara juga kesulitan untuk tumbuh, tidak seperti rekan Amazon mereka di Barat. Ini karena wilayah ini memiliki sembilan top marketplace dengan yang kuat di pasar lokal masing-masing. Untuk memenangkan ecommerce di Asia Tenggara, penjual harus ada di semua retailer.

“Kami mengerti tantangan yang dihadapi para pemilik toko di kawasan ini. Tidak seperti pasar-pasar lainnya di mana Amazon mendominasi, para merchant di sini [Asia Tenggara] berjualan di lebih dari tiga atau empat marketplace di enam pasar besar yang berbeda. Dengan portofolio yang besar, kalender kampanye yang sibuk, namun fitur tool yang kurang memadai, klien sering menginformasikan kepada kami bahwa marketer mereka kewalahan,” kata Quang Tran, Founder & CEO dari Epsilo, sebuah penyedia solusi SaaS ecommerce marketing yang didanai Surge Accelerator dari Sequoia India.

Sumber: Webretailer, 2021

“Kami membangun Epsilo untuk memberikan kendali pada pemilik toko untuk bertumbuh. Klien kami mungkin beragam, mulai dari Unilever sampai UKM, namun teknologi kami memungkinkan penjual dengan skala bisnis apapun untuk mengelola toko mereka dan menumbuhkan GMV mereka di berbagai marketplace besar, melintasi beragam geografi dan pengguna.”

Pada pasar yang didominasi Amazon seperti Eropa dan Amerika, bisnis seperti Epsilo – Helium10, Stackline, Jungle Scout – umumnya diadopsi oleh perusahaan untuk mengotomasi periklanan, meningkatkan ROAS, memperoleh competitive intelligence, dan menyatukan data analitik ecommerce di bawah satu platform. Para perusahaan SaaS ini telah meraih pendanaan lebih dari $300 juta karena VC mengakui popularitas dan potensi mereka di pasar global.

Untuk dapat memasuki gelombang pemasaran berikutnya di Asia Tenggara, ada tiga bahan kunci yang dibutuhkan untuk memanfaatkan media ritel:

Teknologi – tool seperti apa yang dapat membantu bisnis tereksekusi lebih cepat dan menyediakan laporan terkostumisasi berisi metrik yang bisa membuat keputusan lebih cepat diambil? Sementara banyak teknologi di luar sana yang menyediakan layanan yang sama, carilah piranti lunak yang dapat dikostumisasi dan kaya akan fitur.

Data – data apa yang bisa didapatkan dari marketplace? Apakah KPI yang tepat sudah diukur untuk terus mengerti bagaimana cara meningkatkan performa kampanye, atau KPI diukur hanya karena indeks-indeks itu yang selama ini selalu diukur? GMV dan ROAS memang penting, namun CVR (conversion), CTR, IS (items sold), dan lain-lain juga sama pentingnya.

Talenta – adalah orang-orang yang tepat di tempat yang tepat untuk menilai insight dan membuat perubahan jika performa tidak sesuai standar yang diinginkan? Jika talenta terlalu mahal atau terlalu sulit untuk direkrut, dapatkah teknologi digunakan mengotomasi pekerjaan-pekerjaan manual?

Pandemi COVID-19 menyalakan kembali api ecommerce seiring toko dan mal terpaksa tutup, memaksa mereka yang tidak percaya untuk pindah ke platform online. Tapi hanya para pemain yang dapat beradaptasi pada teknologi dan data dengan cepatlah yang mampu membuat dunia media ritel senilai $100 triliun menjadi nyata.


Disclosure: artikel ini dibuat oleh Cynthia Luo, Head of Marketing Epsilo.

Epsilo adalah penyedia solusi SaaS ecommerce marketing terkemuka yang menyatukan kampanye online dari seluruh SKU, marketplace, dan negara untuk mengoptimasi penjualan, pemasaran, dan kegiatan operasional. Teknologi Epsilo menumbuhkan GMV dan return-on-ad-spend (ROAS) melalui otomasi onsite marketing untuk keyword bidding dan penargetan yang efektif.

Cynthia bisa dikontak di hello@epsilo.io

Instagram dan WhatsApp menjadi platform terpopuler untuk kegiatan social commerce dan conversational commerce menggunakan API / DepositPhotos

“Social Commerce” dan “Conversational Commerce”: Alternatif Solusi Menjangkau Pasar yang Lebih Luas

Berbelanja melalui platform marketplace sudah tidak asing lagi di Indonesia. Pandemi yang berjalan setahun terakhir mendorong akselerasi yang lebih masif untuk pemanfaatan platform ini ketika bertransaksi, baik oleh penjual maupun pembeli.

Kondisi ini membuat persaingan menjadi semakin ketat. Untuk meningkatkan daya saing sebuah merchant, social commerce dan conversational commerce menjadi dua strategi alternatif saat berjualan secara online.

Perbedaan pengertian

Social commerce adalah kegiatan jual-beli yang dilakukan media sosial. Ini berbeda dengan social media marketing ketika penjual hanya mempromosikan produk mereka di media sosial tetapi transaksi pembelian tetap terjadi di online marketplace. Adanya social commerce memudahkan konsumen untuk tidak perlu berpindah-pindah platform.

Conversational commerce adalah interaksi antara penjual dan pembeli melalui pesan/chatting. Strategi ini digunakan untuk membangun hubungan yang kuat dengan konsumen sehingga bisnis dapat memiliki loyalitas konsumen yang lebih tinggi. Strategi ini masih belum diimplementasikan dengan baik di Indonesia, padahal dilansir dari survei Trends 2.0 yang dilakukan Crowd DNA, 69% Gen Z ingin dapat berkomunikasi dengan lebih banyak brand melalui aplikasi pesan.

Penggunaan conversational commerce

Conversational commerce dapat digunakan untuk menunjang kegiatan jual beli di platform marketplace. Bisnis dapat memberikan informasi tentang keluaran produk terbaru atau diskon melalui aplikasi pesan instan.

Di Indonesia sendiri, menurut data IndonesiaDigital 2021, tingkat penetrasi penggunaan WhatsApp mencapai 87%. Jika perusahaan memanfaatkan WhatsApp dengan baik, mereka bisa membangun customer relationship dengan mudah karena menggunakan media komunikasi yang sesuai dengan apa yang konsumen gunakan. Fitur Mass Notification Messages di WhatsApp Business API memudahkan penyebaran material promosi ke banyak konsumen.

Untuk memberikan nilai lebih terhadap strategi conversational commerce, bisnis bisa melakukan pendakatan personal melalui pesan yang disebarkan.

Personalisasi yang paling mudah dilakukan adalah dengan menyebutkan nama konsumen di setiap pesan promosi. Melalui WhatsApp Business API, perusahaan dapat menjadwalkan mass notifications menggunakan template pesan seperti:

Halo, {{nama konsumen}}!. Kami punya yang baru, nih! Untuk menyambut hari libur sekolah, kami mengadakan sale untuk semua produk!

Penggunaan social commerce

Berdasarkan studi yang dilakukan Accenture berjudul Beauty Customer Journey Study, 97% pembeli make up dan skincare menggunakan Instagram untuk mencari brand baru hingga informasi tentang tips dan trik. Untuk memberikan pelayanan terhadap pasar seperti ini, perusahaan dapat reach out dan bertransaksi via Direct Message (DM) menggunakan Messenger API for Instagram.

Social commerce di Instagram sangat menguntungkan untuk membangun branding, karena perusahaan mempunyai situs sendiri (menggunakan platform ini) dalam bentuk feeds yang cantik dan rapi. Konsumen akan langsung melihat katalog yang dijual dan saat ingin membeli hanya perlu mengirimkan pesan agar langsung ditangani.

Keuntungan lain menggunakan Messenger API for Instagram adalah integrasi dengan sistem chatbot. Chatbot menjadi seperti salesperson untuk menjawab semua pertanyaan konsumen hingga menerima transaksi. Dengan menggabungkan kedua sistem ini, sangat mudah untuk konsumen untuk bertanya mengenai produk tanpa harus menunggu lama. Selain menciptakan experience yang lebih baik untuk konsumen, chatbot diklaim juga meningkatkan produktivitas dan efisiensi karena akan mengotomasi semua transaksi masuk.

Baik social commerce maupun conversational commerce memberikan added value bagi merchant dibandingkan jika hanya berjualan di marketplace. Kombinasi marketplace + conversational commerce + social commerce membantu bisnis memberikan pelayanan yang lebih menyeluruh dan menjangkau konsumen yang lebih luas.


Disclosure: artikel tamu ini ditulis oleh 3Dolphins, business solution provider yang memudahkan akses untuk WhatsApp Business API dan Messenger API for Instagram. Kontak lebih lanjut bisa melalui email ke info@inmotion.co.id.

Header image oleh DepositPhotos.

"Seamless digital journey" adalah inti dan proposisi unik yang mendefinisikan neobank. Konsep ini diperkirakan akan menjadi tema evolusi perbankan / Depositphotos

Masa Depan Neobank di Indonesia

Indonesia adalah negeri dengan populasi 270 juta penduduk yang adoptif dengan teknologi. Meskipun demikian, solusi keuangan digital di Indonesia belum diimplementasikan secara maksimal. Dengan pengguna internet hampir 197 juta orang atau 73.7% dari seluruh populasi, Indonesia adalah salah satu negara di Asia Pasifik dengan pasar digital yang belum terlayani secara keseluruhan.

Saat ini, 66% dari total populasi Indonesia tidak memiliki akses keuangan. Neobank dan bank digital mempunyai potensi untuk memberikan solusi keuangan kepada mereka yang membutuhkan akses pada kredit dan pinjaman. Neobank memiliki layanan yang berbeda dari bank biasa/tradisional untuk para pelanggan: bunga rendah dan tanpa biaya biaya yang besar, juga metode transaksi yang berbeda.

Berdasarkan riset, 63% nasabah perbankan di negara negara APAC diperkirakan akan mengadopsi layanan neobank pada tahun 2025, dan menjadikannya sebagai solusi pilihan untuk bertransaksi secara digital. Dengan angka penetrasi digital dan jumlah investasi ramah digital (digital friendly investment) yang tinggi, apakah Indonesia akan menjadi negara dengan pertumbuhan neobank tertinggi?

Tentu saja neobank bisa didirikan dari perusahaan non-bank dan saat ini pasar fintech tersebut sedang berkembang di Indonesia. Hal ini menjadi tantangan besar dan ancaman kepada perbankan tradisional untuk segera mempercepat proses mereka di bidang teknologi dan melayani pelanggan secara digital.

Apakah ekosistem keuangan Indonesia siap untuk digitalisasi?

Menurut INDEF, 40 dari total 110 bank di Indonesia berpotensi menjadi neobank di masa mendatang. Beberapa dari 40 bank ini telah menciptakan ekosistem digital, sehingga mereka akan lebih mudah beralih menjadi neobank. Namun, hal ini juga perlu didukung kemampuan teknologi di bidang solusi pinjaman kredit dan optimalisasi pertukaran informasi. Pertumbuhannya dinilai masih belum maksimal.

Perusahaan fintech seperti CredoLab, satu-satunya perusahaan penilaian skor kredit alternatif digital berdasarkan metadata smartphone, sangat berperan untuk menjembatani kekurangan ini. Pandemi juga telah membantu percepatan adopsi solusi fintech, keuangan dan transaksi digital, e-commerce, e-wallet, dan e-money di Indonesia.

Secara populasi, sebagian masyarakat Indonesia masih sangat bergantung pada metode perbankan tradisional dan terbiasa mengunjungi fasilitas fisik untuk melakukan transaksi.

Beberapa bank ternama telah membuat solusi perbankan digital seperti Bank BTPN dengan Jenius, Bank Permata dengan PermataMe, Bank UOB dengan TMRW dan yang terbaru adalah Bank Jago dan Bank BCA dengan Bank Royal. Meskipun begitu, akses ke pinjaman yang mudah dan tidak berbelit-belit akan mendorong orang Indonesia untuk memilih layanan digital di kemudian hari.

Layanan perbankan digital dipercepat di era pandemi ini dan membuat masyarakat terbiasa menggunakan layanan digital. Ada tiga karakteristik neobank atau digital bank yang harus dimiliki oleh layanan tersebut di dalam ekosistem perbankan digital: pertama, bank atau perusahaan tersebut harus beroperasi penuh secara digital dan tidak ada cabang fisik, kedua, memanfaatkan aplikasi dan teknologi dan yang ketiga adalah memiliki penetrasi pasar dalam ekosistem bisnis yang digital secara tinggi.

Fintech menjembatani kekurangan teknologi

Salah satu dampak dari pandemi ini adalah bank tradisional mengalami kesulitan untuk memberikan kredit ke pelanggan. Tetapi hal ini justru mendorong neobanks dan perbankan digital untuk mendapat keuntungan dari transaksi digital mereka. Riset yang dilakukan Google, Temasek, dan Bain & Company menunjukkan bahwa Indonesia pada tahun 2020 telah mencapai nilai transaksi ekonomi digital tertinggi di Asia Tenggara yaitu sebesar $44 miliar.

Di negara seperti Indonesia, ketika penetrasi internet dan seluler sangat tinggi, teknik penilaian kredit alternatif mampu menghasilkan skor kredit yang baik dan akan memungkinkan masyarakat Indonesia untuk mengakses pinjaman perbankan yang berkualitas, yang biasanya tidak mungkin mereka dapatkan karena ketiadaan skor kredit tradisional untuk mereka.

Teknik penilaian kredit alternatif CredoLab melibatkan penggunaan Artificial Intelligence dan algoritma Machine Learning untuk mengumpulkan jutaan faktor penentu yang tertanam dalam jejak digital calon peminjam. Faktor-faktor penentu ini kemudian akan diubah menjadi sebuah skor kredit yang akan mengidentifikasi seseorang sebagai peminjam yang baik atau buruk.

Masalah regulasi dan perkembangan perbankan digital di Indonesia

Dengan inklusi keuangan dan penggunaan layanan digital yang tinggi, neobank berpotensi menjadi layanan perbankan digital yang dipilih masyarakat Indonesia. Saat ini, neobank masih membutuhkan regulasi lebih lanjut dari OJK.

Regulasi yang mendukung di bidang neobank dan digital bank akan meningkatkan potensi industri perbankan di Indonesia untuk dapat berkompetisi dengan neobank dari luar negeri.

Digitalisasi layanan keuangan tidak hanya akan terbukti berhasil bagi masyarakat tetapi juga akan menguntungkan stakeholder internal dan investor. Biaya overhead dan operasional akan berkurang secara signifikan dibandingkan dengan bank tradisional dengan cabang fisik.

Membuka masa depan digital di Indonesia

Seamless digital journey adalah inti dan proposisi unik yang mendefinisikan neobank dan bank digital. Selain itu, kemampuan untuk mendiversifikasikan hubungan perbankan, kemudahan akses informasi di tangan pelanggan, mengakomodasi pelanggan yang aktif secara digital, dan memperbaiki tingkat penerimaan pelanggan untuk memilih layanan digital akan mengakselerasi industri perbankan dan keuangan Indonesia.

Kerja sama antara bank dan pelaku keuangan lain dengan fintech adalah kunci utama dalam menentukan kesuksesan Indonesia dalam mengidentifikasi calon peminjam dengan tetap memperhatikan faktor risiko yang terkendali. Peran dari pemerintah, baik dari sisi upaya maupun kebijakan, sangat diperlukan untuk mendukung dan mengasah industri keuangan.

Indonesia adalah negara dengan potensi pertumbuhan di bidang teknologi yang tinggi. Adopsi dan implementasi layanan perbankan digital dan neobank akan menguntungkan perekonomian negara. Kemampuan untuk memperluas layanan keuangan kepada keluarga berpenghasilan rendah dan mereka yang belum pernah mendapatkan layanan keuangan akan membuka pintu keuangan baru di era transformasi digital ini.


Disclosure: Tulisan ini dibuat oleh Paramita Wikansari, Country Sales Director, Indonesia, CredoLab, the leader in alternative credit scoring

Mempelajari Strategi Inovasi Perusahaan Lewat Sistem Kekebalan Tubuh

Anda mungkin sudah mendengar tentang novel populer Aldous Huxley yang berjudul “Brave New World“, beserta inspirasi dari “Brave molecular world” di dalam diri Anda. Di masa pandemi, sistem kekebalan tubuh sedang menghadapi tantangan. Banyak bisnis juga harus melewati masa-masa penuh tekanan. Kita percaya akan dunia molekuler yang berani, saat sistem kekebalan tubuh bertahan terhadap kuman, kemudian memberi inspirasi mengenai inovasi selama masa-masa sulit sebagai berikut.

Dalam kehidupan sehari-hari, para ilmuwan memperkirakan bahwa jumlah kuman telah melebihi jumlah sel sistem kekebalan tubuh kita. Perhitungan kasarnya, 1 sel pertahanan mungkin harus menghadapi 10-100 bibit kuman. Namun, selama ini kita merasa sehat, tanpa merasa terganggu oleh pertempuran molekular yang terjadi di dalam tubuh kita. Sementara kuman selalu berusaha menyelinap masuk, sistem kekebalan tubuh kita waspada, mengantisipasi makhluk dan aktivitas yang mencurigakan.

Ada dua macam sistem kekebalan tubuh pada manusia: bawaan dan adaptif. Tentara sistem bawaan berkolaborasi dan mendukung pembelajaran tentara adaptif. Ketika kuman menyusup, tentara sistem bawaan kita, salah satunya disebut fagosit, akan mengejar kuman itu. (Jangan khawatir, ia tidak memiliki bola mata). Kemudian, “pertarungan tangan kosong” dimulai. Menggunakan lengan pseudo-nya, fagosit kita akan mengambil dan menembak berbagai bahan kimia beracun untuk membunuh kuman tersebut. Sepanjang perjalanannya, perusahaan Anda akan menghadapi berbagai tantangan yang tidak terduga, termasuk persaingan yang mengancam. Jika Anda menyukai modus operandi fagosit ini dalam menangani kuman jahat, perusahaan harus bisa menyiapkan strategi responsif untuk mempertahankan wilayahnya.

Selanjutnya, prajurit pertahanan kita dengan cermat mengikis kuman. Kemudian mengangkut sisanya dan meneruskan temuan ini ke anggota sistem kekebalan adaptif – sel B dan sel T, untuk dipelajari lebih lanjut. Namun, jika tentara fagosit diliputi oleh koloni yang lebih tangguh, prajurit lain akan segera datang untuk membantu. Pernah mengalami peradangan? Ini merupakan satu waktu dimana tentara kecil Anda merekrut pasukan cadangan, mengulur waktu bagi tentara sistem adaptif untuk mempelajari koloni lalu menyusun respon optimal. Jadi, sembari dalam menghadapi tantangan yang sedang berlangsung, perusahaan membutuhkan cara untuk secara sistematis dan terus-menerus belajar dari kegagalan dan keberhasilan. Perusahaan juga perlu menemukan cara untuk “membeli waktu” ketika perlu mundur, menilai situasi, dan menyusun strategi.

Sistem pertahanan kita selalu mempelajari hal-hal baru. “Pembelajaran” ini terjadi di kelenjar getah bening kita. Anda dapat menganggap mereka sebagai “ruang perang”, tempat tentara sistem kekebalan adaptif — seperti sel B dan sel T belajar, berinovasi, dan menyusun strategi bersama untuk meningkatkan serangan respons terbaik. Misalnya, sel T, mereka belajar membedakan penjajah dari sel dan protein kita sehingga mereka tidak membuat kesalahan di medan perang, sedangkan sel B selalu bermain-main dengan berbagai bentuk antibodi. Karena satu-satunya hal yang pasti adalah ketidakpastian, perusahaan perlu mengotak-atik produk dan layanan yang mereka tawarkan dari waktu ke waktu. Dengan cara ini, ketika situasi yang tidak terduga terjadi, mereka mampu meningkatkan respons awal dan menjadi adaptif. Jadi, dengan tidak adanya ancaman, mereka belajar dan berlatih. Dan di hadapan serangan, mereka terus belajar dari apa yang dilaporkan tentara lain dari medan perang. Dengan kata lain, mereka selalu waspada selama keadaan normal dan masa perang.

Sel-B memiliki banyak kombinasi melalui mutasi saat bekerja maupum tidak, siap di lengan mereka. Mereka ada di sana untuk waspada akan kuman seliicik apapun, yang mungkin tiba-tiba menyerang. Jika Anda melihat proses pembelajarannya, mungkin terlihat berlebihan dan mahal. Tentunya, sebagian antibodi bekerja sementara sebagiannya tidak. Namun jika dipikir lagi, semua adalah bagian dari sistem inovasi yang sukses. Setiap kali ada penyerang baru, sistem pertahanan dapat secara responsif bertahan dengan versi awal dari antibodi adaptif. Di “ruang perang”, sel T terus belajar dan menyesuaikan diri berdasarkan keberhasilan dan kegagalan pelepasan antibodi awal untuk menghasilkan serangan yang lebih spesifik dan kuat terhadap penyerang.

Tidak hanya pelajar yang rendah hati, tetapi sel T juga ahli dalam komunikasi dan perencana. Setelah belajar dari medan perang, sel T mengirim sitokin ke sebagian besar sel-B. Anda dapat menganggap sinyal ini sebagai instruksi WhatsApp yang menentukan dengan tepat jenis sel-B antibodi apa yang diperlukan untuk memulai proses penciptaan. Selanjutnya, antibodi spesifik dan optimal ini akan dihafal oleh sel T memori, sehingga tanggapan di masa depan terhadap patogen yang sama akan lebih cepat.

Sel-T adalah jenis tentara elit yang juga melakukan inspeksi di medan perang. Kadang kuman licik bersembunyi di dalam sel. Kadang kuman ini berdandan dan menipu fagosit kita untuk berpikir bahwa mereka adalah teman. Dengan demikian, fagosit tidak akan mengejar dan memotongnya. Tetapi sel-T dapat melihat skema kuman jahat. Katakanlah, virus menyamar dan mendirikan toko virus di dalam sel inang. Karena tersembunyi, antibodi jangka panjang tidak dapat mencapai penyerang ini. Sel T dapat mengetahuinya. Lalu akan datang ke sel yang terinfeksi dan memiliki “pertempuran jarak pendek” untuk menjatuhkan penjajah ini.

Pada akhirnya, sel T, adalah tentara yang mampu membuat keputusan sulit di saat genting. Selama pertempuran jarak pendek, jika salah satu sel terinfeksi, sel T akan membunuhnya dengan harapan menghancurkan semua musuh di dalam sel yang dibajak dan mencegah kerusakan lebih lanjut. Jika Anda pernah menderita influenza, fakta bahwa Anda pulih, berarti sel T Anda telah melakukan pertempuran jarak pendek ini dan membuat keputusan sulit untuk Anda.

Kami berharap operasi ini tidak hanya memaparkan Anda pada kompetisi tentara molekuler yang luar biasa, tetapi juga untuk menginspirasi Anda belajar, berinovasi, dan bekerja sama seperti mereka. Sama seperti banyaknya kuman yang melebihi jumlah tentara yang memiliki sistem kekebalan tubuh, tantangan akan selalu tampak besar. Namun, sel-sel kekebalan itu tidak pernah lari. Jadi, jangan gentar. Sifat tak kenal takut, kooperatif, dan inovatif, mereka terjalin dalam DNA kita.


Artikel ini adalah artikel tamu yang ditulis oleh Grace Dewi. Ia adalah Ahli Biologi Kimia & sarjana Fulbright Presidential Ph.D. dalam Strategi Bisnis.

Fearlessness, cooperativeness, and innovativeness are encoded in our DNA. This is how our adaptive immune system teach about corporate innovation strategy

What Our Immune System Can Teach about Corporate Innovation Strategy

You have heard about Aldous Huxley’s famous novel “Brave New World”, yet there is also an inspiring “Brave molecular world” within you. In the time of the pandemic, the immune system faces challenges. A lot of businesses too, have to cope with stressful times. We believe our brave molecular world, our immune system while defending us against germs, can also inspire us about innovation during challenging times as follows.

In our day-to-day life, scientists estimated that germs outnumber our immune system cells. There is a rough estimate that 1 defense cell may have to face 10-100 invaders. Yet, most of the days, we feel healthy, unperturbed by the molecular-level battles inside our body. While germs are always trying to sneak-in, our immune system is on guard, looking for suspicious beings and activities.

Human has two immune systems: innate and adaptive. The innate system’s soldiers collaborate and support the learning of the adaptive’s soldiers. When a germ sneaks in, our innate system’s soldier, one of them called phagocyte, will chase that germ. (Fear not, it does not have an eyeball). Then, the “hand-to-hand combat” begins. Using its pseudo arms, our phagocyte grabs and shoots various toxic chemicals to kill the germ. Throughout its life, your firm will face various unexpected challenges, including threatening competition. If you like our phagocyte modus operandi in tackling evil germs, your firm should prepare a spectrum of quick responses to defend your turf.

Next, our defense soldier meticulously chops-up the germs. It transports these chopped-up remains and communicates the findings to the adaptive immune system’s members—the B cells and T cells, for further studies. If, however, our phagocyte soldiers are overwhelmed by more formidable invaders, others immediately come to help. Ever have an inflammation? This is one of the times when your little soldiers are recruiting back-up forces, buying time for the adaptive system’s soldiers to learn about the invader and craft optimal responses. So, even in the face of an ongoing challenge, a firm needs a way to systematically and continually learn from both failures and successes. A firm also needs to devise a way for “buying time” when it needs to step back, assess the situation, and strategizing.

Our defense system is always learning new things. This “learning” happens in our lymph nodes. You can think of them as a kind of “war room,” where adaptive immune system soldiers—such as B cells and T cells learn, innovate, and strategize together to mount the best response attack. For example, the T cells, they learn to differentiate invaders from our cells and proteins so that they make no mistake in the battlefields, while the B cells always tinkering with various antibody shapes. Since the only certain thing is uncertainty, a firm needs to tinker with products and services they offer from time to time. This way, when an unexpected situation occurs, they are capable of mounting early responses and being adaptive. So, in the absence of threats, they are learning and training. And in the presence of an attack, they continue to learn from what the other soldiers report from the battlefield. In other words, they are always vigilant during both peace and wartime.

The B-cells have a lot of combinations through mutations used or not used, ready on their sleeves. They are there to prepare for whatever sneaky, cunning, germs that may unexpectedly invade. If you look at the learning process, it might look as redundant and costly. Indeed, some antibodies are used and some remain unused. But if you think about it, it is part of a successful innovation system. Whenever a novel invader attacks, the defense system can mount a rapid early version of the adaptive antibody. At the “war room” T cells continue to learn and adjust based on the success and failure of the early antibody release to craft a more specific and powerful attack against the invader.

Not only humble learners, but T cells are also experts in communication and planner. After learning from the battlefield, T cells send cytokines to most B-cells. You can think of this signal as a WhatsApp instruction that specifies exactly what kind of antibody B-cells need to start manufacturing. Next, this specific and optimal antibody will be memorized by memory T cells, so that future responses against the same pathogen will be faster.

Now, T-cells are the kind of elite soldiers who also check the battlefield. Sometime deceitful germs hide inside a cell. Sometimes these germs dress-up and trick our phagocyte into thinking that they are friends. Thus, the phagocyte will not chase and chop them. But T-cells can see the malicious germs’ scheme. Say, a virus is camouflaging and setting up a viral shop inside a host’s cell. Being hidden, the long-range antibodies can not reach these invaders. T cells can figure that out. It will come to the infected cells and have a “short-range combat” to quell these invaders.

Finally, T cells are also soldiers who are capable of making decisive difficult decisions. During short-range combat, if a cell is badly infected, the assassin T-cell will kill it with the hope of destroying all foes inside the hijacked cell and preventing further harm. If you ever had influenza, the fact that you recovered, mean your T cells have done this short-range combat and made hard decisions for you.

We hope that this op-ed not only exposes you to the extraordinary league of molecular soldiers, but also to inspire you to learn, innovate, and cooperate like them. Just as the sheer number of germs that outnumber immune system soldiers, challenges will always look huge. Yet, those immune cells never run away. So, be courageous. Fearlessness, cooperativeness, and innovativeness, they are encoded in our DNA.


This guest post is written by Grace Dewi. She’s a Chemical Biologist & Fulbright Presidential Ph.D. scholar in Business Strategy.

Pendiri dan CEO HijUp Diajeng Lestari berbagi tentang perjalanan bisnis HijUp. Dari strategi bakar uang hingga kembali menguntungkan dalam waktu 6 bulan

Cerita Bisnis HijUp: Pelajaran Berharga bagi Komunitas Startup

Saya memulai HijUp pada 2011. Pada bulan pertama HiJup diluncurkan, bisnis ini sangat menguntungkan. Perusahaan ini saya kelola bersama dua asisten. Berbekal kamar 4×4, kami mencoba menjalankan perusahaan. Saat itu, kami berhasil menghasilkan keuntungan senilai $20.000 dari pendapatan di bulan pertama hasil jerih payah bertiga. Tak pelak, ini adalah bisnis yang sangat menguntungkan.

Pada pertengahan 2019, setelah 8 tahun berdiri, kami berhasil mengumpulkan dana senilai $5 juta. Bisnis tumbuh lebih dari 20x lipat sejak saat itu. Namun, masih belum mencapai profit. Tak terhitung berapa banyak dana yang sudah “dibakar”, dan terkadang kami panik ketika ada pertanyaan tentang berapa lama ini akan berlangsung. Saya sendiri tidak bisa tidur nyenyak. Saya menyadari pada waktu itu bahwa memiliki banyak uang tidak berarti semua baik-baik saja. Kami kaya, kami punya banyak uang dari pendanaan (sebagai sebuah bisnis yang sangat menguntungkan). Kami berpikir akan mendapatkan dana yang lebih besar lagi tahun depan. Lalu, kami menggunakan strategi “bakar uang” untuk mencapai pertumbuhan. Beberapa orang mengatakan kepada saya bahwa jika kita tumbuh lebih cepat, investor akan terus datang. Mereka meyakinkan untuk “tidak usah khawatir masalah uang”. Sayang sekali, kenyataannya tidak seperti itu. Investor tidak datang. Saya mulai tidak percaya pada aturan main ini lagi. Kita harus punya cara sendiri untuk bertahan hidup. Kita harus bisa mengendalikan takdir.

Kami memiliki waktu selama 6 bulan. Saya membuat analisis tentang bagaimana bisa kita kehabisan uang. Mengapa begitu berbeda dari masa-masa awal yang bisa meraup banyak untung. Jadi, berikut adalah beberapa temuan yang kemudian menjadi dasar dari keputusan-keputusan saya.

Jumlah Pegawai

Banyak founder yang merasa bangga dengan jumlah tim yang mereka miliki di perusahaan. Saya adalah salah satu dari mereka. Namun, ini menjadi pola pikir yang salah. Hal ini lebih kepada sisi emosional dan ego seorang founder. Saya menyadari hal ini ketika menganalisis tim yang ada. Saat itu ada sekitar 160 pegawai. Pendapatan per orang berkurang setiap kali saya menambah jumlah pegawai. Tentu saja, jumlah pegawai yang banyak membuat saya merasa lebih baik, tetapi dari jumlah itu, perusahaan tidak terlihat lebih baik. Lebih buruk lagi, banyaknya pegawai menjadi salah satu pendorong utama dari biaya besar lainnya seperti gedung, listrik, administrasi, dll. Setiap satu orang yang saya tambahkan akan menghabiskan setengah atas gaji mereka. Sesuatu yang tidak saya sadari.

Saya berbicara dengan tim SDM serta mengusulkan untuk merumahkan sebanyak mungkin orang, dengan memastikan operasi HijUp tetap berjalan dengan baik. Mereka mengusulkan untuk mengurangi 100 pegawai. Mereka mengatakan HijUp akan tetap berjalan dengan baik walaupun dengan pengurangan 70% stafnya. Saya terkejut, setelah bertahun-tahun, kami baru menyadari hal ini. Kami dibutakan oleh uang yang kami miliki. Ini adalah pelajaran yang sangat mahal bagi saya sebagai pendiri dan CEO.

Diajeng Lestari, HijUp's Founder and CEO
HijUp’s Founder and CEO, Diajeng Lestari

Bagi saya, memecat orang bukanlah hal yang mudah. Itu adalah keputusan yang sangat sulit dan sangat pribadi. Saya menaruh rasa percaya pada tim yang sudah ada. Mereka adalah orang-orang hebat. Jauh di lubuk hati saya, rasa bersalah menyelimuti. Saya terus menuding diri sendiri sebagai seorang CEO yang tidak kredibel. Kesadaran saya dipertanyakan, saya terlalu emosional. Ada perasaan campur aduk dalam diri saya dan saya pun kehilangan kepercayaan diri. Pada akhirnya, saya mengumumkan kepada semua tim bahwa keputusan besar telah diambil, untuk mengurangi 70% jumlah staf.

Dengan perampingan ini, kami berhasil memotong 80% tingkat pembakaran uang. Waktu kami semakin lama. Namun, itu saja tidak cukup. Saya ingin kembali ke masa-masa keemasan awal HijUp, masa kebebasan di mana kami jadi bisnis yang sangat menguntungkan.

Menyederhanakan teknologi dan operasional

Biaya teknologi menjadi salah satu perhatian. Memang benar, saya bukan pendiri dengan latar belakang teknologi. Hal ini benar-benar menjadi tantangan besar, sebuah titik buta bagi saya. Lalu, saya kemudian bertanya kepada suami, Achmad Zaky, yang merupakan pendiri dengan bakat teknologi yang lebih besar. Dia mengatakan bahwa kami seharusnya bisa memotong 80% teknologi yang tidak perlu. Menurutnya, teknologi yang kami bangun terlalu rumit, terlalu canggih untuk startup kecil seperti HijUp. “Ya Tuhan,” kataku.

Saya menelepon tim teknologi saya dan meminta mereka untuk memotong 80% dari biaya teknologi yang tidak perlu. Kami akhirnya berhasil memotong biaya yang cukup berarti. Proyek ini memotong setengah dari laju pembakaran yang ada. Menambah waktu kami lebih lama.

Kami juga menemukan banyak proses yang sebenarnya tidak perlu. Beberapa proses juga ikut disederhanakan. Ini hanya sebagian kecil dari laju pembakaran kami. Tetapi dampak pada produktivitas dan kebahagiaan bagi staf banyak, mereka dapat membuat dampak yang sama dengan sedikit usaha.

Fokus pada pelanggan dan partner yang membawa profit

Temuan saya berikutnya terletak pada mitra atau penyewa. Kami memiliki banyak penyewa dan kami menemukan bahwa setiap penyewa tidak sama dalam hal keuntungan. Seseorang dapat menghasilkan banyak keuntungan, sedangkan yang lain “membakar uang” menggunakan sumber daya yang sama. Jadi, kami mengusulkan untuk memangkas para penyewa yang tidak menghasilkan profit.

Kami menggandakan usaha dan investasi kami hanya kepada penyewa yang menguntungkan. Hasilnya luar biasa. Para penyewa juga menaruh lebih banyak sumber daya di dalam bisnis kami. Jadi, profit kian menanjak.

Kami mulai menuai profit 6 bulan setelah semua proyek ini dimulai. Di era Covid-19 ini, saya merasa bersyukur bahwa kami membuat keputusan ini. Kami merasa siap sekarang. Kami sangat gesit dan siap menghadapi lingkungan Covid-19 ini.

Dari pengalaman ini, saya menyadari bahwa penting bagi pendiri dan CEO untuk menjadi sadar dan selalu rasional. Apakah kita benar-benar membutuhkan satu dan lain hal. Kita juga harus berpikir bahwa pendanaan adalah uang kita sendiri, bukan uang investor. Dengan memiliki pola pikir seperti itu, kita akan membelanjakan dengan bijak, karena uang tidak akan datang dua kali.

Saya juga menyadari bahwa tidak semua startup sama. Mungkin sebuah unicorn bisa mengikuti alur pertumbuhan. Namun, startup seperti HijUp tidak bisa memberlakukan hal itu. Model bisnis dan faktor skala berbeda. Semuanya harus mengarah pada profit serta pertumbuhan yang stabil.

Semoga pengalaman yang saya bagikan bisa berguna bagi banyak founder di manapun berada.


Artikel ini adalah artikel tamu yang ditulis oleh Diajeng Lestari. Ia adalah Founder dan CEO HijUp.

A Story of HijUp Turnaround: Lesson Learned for Startup Community

I started HijUp in 2011. The first month I launched HijUp, it was a very profitable business. I managed the company with two of my assistants. We occupied a 4×4 room to run the company. We generated $20,000 of revenue in the first month of our launch with only 3 of us. And yes, it was a very profitable business.

In mid of 2019, 8 years after it was founded, we have been raising $5 million so far. The business grew more than 20x since then. But, it was not profitable. We burned a lot of money, and sometimes we panicked when asking questions about how long our runaway was. I myself could not sleep well enough. I realized at that time that having too much money was not necessarily good. We were rich, we had a lot of money from funding (because we were a very profitable business). We thought we would get bigger funding again next coming year. So, we burned money to grow. Some people told me that if we grow faster, the investor will keep coming. They said “don’t worry about money”. But, the reality is not like that. They were not coming. I started to not believe in this rule of game anymore. We have to survive in our own way. We should define our own destiny.

We had a 6 months runaway. I made an analysis why we still lose money. What made it different from the early days that were very profitable. So, here are some of my findings and I made a decision based on these findings.

Number of People

Many founders are really proud about the number of teams that they have in the company. I was one of them. But, this is the wrong mindset. This is more emotional and the ego of a founder. I realized when I analyzed my team. I had 160 people back then. The revenue per people was decreasing every time I added more people. Of course, I felt better with many people, but from the number, the company did not look better. Even worse, people were actually the key driver of the other big costs like building, electricity, administration, etc. Every one person I added, cost half of their salary on top of their salary. Something that I was not aware of.

I talked to my HR team and proposed to cut as many as people but still make sure HijUp operations still went well. They came up to me and proposed to cut 100 people. They said HijUp would be still running well even if it cuts 70% of its staff. I was surprised, after many years, we didn’t realize this. We were blinded by the money that we had. This is a very expensive lesson for me as a founder and a CEO.

Diajeng Lestari, HijUp's Founder and CEO
Diajeng Lestari, Founder and CEO of HijUp

For me, cutting people is not my thing. It was a very hard and personal decision to me. I always believe in the team that I have already hired. They are great people. Deep in my heart, I felt very guilty. I kept telling myself it looked like I was a very bad CEO. I was not aware, I was too emotional. I had mixed feelings about myself and I lost my confidence. In the end, I announced to all the team that we would take this big decision, cutting 70% of the people.

By cutting the people, we cut 80% of the burn rate. Our runaway was getting longer. But it was not enough. I want to go back to the early days of HijUp feeling, freedom because we were so profitable.

Simplify tech & operation

I also looked up at our tech cost. I know, I’m not a tech founder. This part is really a big hole for me, my blind spot. So, I managed to ask my husband, Achmad Zaky, who is a more tech founder. He said that we actually can cut 80% of unnecessary tech. He said the tech that we built was too complicated, too advanced for a small startup like HijUp. “Oh my God,” I said.

I called my tech team and asked them to cut 80% of unnecessary tech costs. We finally managed to cut quite a meaningful cost. This project cut the existing burn rate by half. Make our runaway even longer.

We also found that we had a lot of unnecessary processes. We simplify that process too. This was only a small part of our burn rate. But the impact on productivity and happiness to the staff is a lot, they can make the same impact with less effort.

Focus on profitable customer and partner

My next finding was on partners or tenants. We had a lot of tenants and we found that each tenant is not the same in terms of profitability. One can generate a lot of profit, and one can generate a lot of money burn with the same resource. So, we proposed to cut the unprofitable tenants.

We double down our effort and investment to the profitable tenants only. The result was amazing. The tenants also put more resources in us. So the profitability is increasing too.

We started being profitable 6 months after all of this project started. In this Covid-19 era, I feel grateful that we made these decisions. We feel prepared now. We are very agile and ready to face this Covid-19 environment.

From these experiences, I realized that it is important for the founder and CEO to be aware and always being rational. Do we really need this and that. We also have to think that funding money is our own money, not investor money. By having that kind of mindset, we will spend wisely, because money will not come twice.

I also realized that not all startups are the same. Maybe a unicorn can follow the growth path. But startups like HijUp can not follow the growth path. The business model and scale factor is different. It has to follow a profitable path, but steady growth.

Hopefully this sharing will be insightful for many founder throughout the world.


Disclosure: this guest post is written by Diajeng Lestari, CEO and Founder of HijUp