Tag Archives: Gufron Syarif

Foodtech Indonesia

Outlook Foodtech 2023: Menyeimbangkan Strategi Brand Aggregator dan Unit Ekonomi Positif

Industri makanan dan minuman (F&B) saat ini terus berkembang, begitu pula dengan perilaku dan preferensi pelanggan. Terlebih di era digital, konsumen lebih terinformasi dan menuntut daripada sebelumnya, sehingga penting bagi pebisnis memahami dan beradaptasi dengan perubahan ini agar berhasil merebut pangsa pasar.

Salah satu tren terbesar yang membentuk perilaku pelanggan di industri F&B adalah aspek kesehatan. Pandemi membuat sebagian besar konsumen semakin tertarik untuk mengetahui bahan dan informasi gizi dari makanan yang mereka makan; dan banyak yang memilih pilihan yang lebih sehat, nabati dan organik.

Di sisi operasional,  pemain F&B yang memanfaatkan omnichannel juga harus mulai memiliki strategi menyeluruh untuk bisa memperluas layanan dan menambah opsi brand mereka. Apakah dengan cara akuisisi atau kerja sama strategis.

Omnichannel memperkuat bisnis F&B

Selain faktor kesehatan, konsumen saat ini juga mulai melihat menuntut kenyamanan, variasi, dan pengalaman yang dipersonalisasi. Untuk memenuhi tuntutan ini, banyak bisnis F&B telah mengadopsi pendekatan omnichannel.

Secara khusus omnichannel mengacu pada pengalaman berbelanja yang mulus dan terintegrasi di berbagai kanal, termasuk toko fisik, pengiriman online, dan aplikasi lainnya. Tujuannya untuk memberikan pelanggan pengalaman berbelanja yang konsisten dan kohesif, apa pun cara mereka memilih untuk berinteraksi dengan brand tersebut.

Menurut President Director Dailybox Group Kelvin Subowo, setelah 2 tahun pandemi, pemesanan melalui layanan pesan antar pun sempat stagnan. Hal tersebut dikarenakan karakter orang Indonesia yang lekat dengan kebersamaan, sehingga tidak dapat 100% mengandalkan strategi layanan pesan antar, terutama di kota tier 2 dan 3.

Selama pandemi, perusahaan mencatatkan 80% omzet penjualan Dailybox berasal dari layanan pesan antar makanan online.

“Menurut kami, pembelian produk F&B melalui layanan pesan antar bukan lagi sebuah tren musiman, tetapi sudah menjadi kebiasaan. Hanya saja frekuensinya tidak akan setinggi di masa-masa awal pendemi. Karenanya, presence offline juga tetap harus ditingkatkan,” kata Kelvin.

Ditambahkan olehnya, saat ini beberapa outlet Dailybox Group yang hanya berkonsep take-away atau grab&go, secara perlahan diubah menjadi konsep dine-in agar orang bisa datang langsung.

Dalam industri F&B, strategi omnichannel dapat membantu bisnis. Di antaranya  meningkatkan pengalaman pelanggan, dengan menawarkan berbagai cara untuk memesan, membayar, dan menerima makanan mereka, pelanggan dapat memilih opsi yang paling nyaman. Pendekatan tersebut juga dapat membantu bisnis menjangkau pelanggan baru dan meningkatkan penjualan dengan menawarkan variasi produk dan layanan yang lebih luas melalui berbagai kanal.

Menurut Co-Founder & President Hangry Andreas Resha, selama ini perusahaan terus melakukan eksplorasi berbagai kanal yang ideal. Saat ini fokus perusahaan adalah meningkatkan layanan secara online, yang diklaim oleh mereka terus mengalami pertumbuhan yang positif. Namun demikian, saluran offline seperti dine-in atau take away juga mulai menunjukkan pertumbuhan yang masif.

“Meskipun PPKM dicabut dan kantor dibuka kembali, daya tarik dalam channel pengiriman makanan secara online tetap kuat. Hal ini membuktikan bahwa pergeseran preferensi terhadap makanan dan minuman yang lebih praktis, mudah didapat, dan berkualitas baik bukanlah tren sementara atau musiman saja,” kata Andreas.

Hal lainnya yang juga memainkan peranan penting dalam penerapan omnichannel adalah teknologi. Teknologi berperan besar dalam membentuk perilaku pelanggan. Mulai dari pemesanan dan pengiriman online hingga aplikasi seluler dan program loyalitas.

Memanfaatkan aplikasi sendiri, Haus! brand yang berada dalam kategori New Tea & Boba, berharap bisa mendapatkan sekitar 25% dari 50% pelanggan online yang sudah ada saat ini.

Disinggung apakah ke depannya akan lebih banyak pelanggan yang melakukan pembelian dengan opsi pick-up atau offline, menurut Co-Founder & CEO Haus! Gufron Syarif, akan tetap ada pelanggan yang memilih untuk melakukan pembelian secara online, tetapi pilihan pick-up dan langsung ke konter diperkirakan juga makin meningkat.

Potensi brand aggregator

Dilihat dari tuntutan konsumen kepada kenyamanan, variasi, dan pengalaman yang dipersonalisasi, tren agregasi brand atau brand aggregator saat ini mulai banyak dilirik oleh pebisnis F&B. Dengan strategi tersebut, perusahaan mengelola beberapa brand makanan dan minuman, biasanya dari kategori produk atau masakan yang berbeda. Selain mengembangkan/menginkubasi unit bisnis sendiri, beberapa pemain melakukan strategi M&A.

Tujuannya agar bisa menawarkan produk dan layanan yang lebih luas kepada pelanggan. Ke depannya, tren agregasi brand di industri F&B diperkirakan akan terus berkembang, sebagai upaya bisnis untuk mencari cara baru yang inovatif untuk menjangkau pelanggan dan meningkatkan pangsa pasar mereka.

Menurut CEO Prasetia Dwidharma Arya Setiadharma, brand aggregator akan menciptakan nilai, jika ada beberapa proses bisnis yang dapat disederhanakan di seluruh brand. Dalam industri F&B, hal ini bisa berarti memusatkan central kitchen atau memusatkan tim pemasaran/branding. Jika tidak ada nilai yang diciptakan oleh proses agregasi, tidak akan berhasil dalam jangka panjang.

Prasetia Dwidharma sendiri saat ini telah berinvestasi kepada Haus! yang telah memperluas produk melalui sister brand “Hot Oppa” yang telah dirilis pada November 2022. Varian produk makanan ke depannya akan menjadi fokus perusahaan untuk meningkatkan growth store dan vertikal penjualan.

Dengan menggabungkan beberapa brand dan produk makanan dan minuman, bisnis dapat memenuhi permintaan dan menawarkan kepada pelanggan untuk semua kebutuhan makanan dan minuman mereka.

Menurut Kelvin, industri F&B di Indonesia saat ini sudah sangat saturated, sehingga dengan hadirnya brand aggregator dapat membantu brand yang ada untuk lebih berkembang dari sisi distribusi, produksi hingga pemasaran.

Untuk pasar seperti Indonesia, pelanggan sangat aktif menggunakan media sosial. Menurut Partner Vertex Ventures SE Asia & India Gary Khoeng, ke depannya masa depan brand aggregator akan lebih banyak memanfaatkan pertumbuhan di media sosial.

Omnichannel sebagai strategi diprediksi juga akan terus tumbuh dan kami melihat bahwa perusahaan akan fokus untuk mendorong pengalaman pelanggan yang konsisten dan terbaik di semua channel. Bisnis juga akan memperdalam kemampuan pengumpulan dan analisis data mereka untuk membuat keputusan berdasarkan data,” kata Gary.

Saat ini Vertex Ventures merupakan salah satu investor strategis yang mendukung pertumbuhan bisnis Dailybox Group. Tercatat pertumbuhan bisnis Dailybox tidak terhalang saat pandemi, pendapatan kotor mereka secara grup pada 2021 tumbuh cukup pesat. Prestasi ini pun membuat Dailybox Group dilirik oleh sejumlah investor dan akhirnya sukses mendapat pendanaan Seri A pada Juli 2021 di masa pandemi.

“Beberapa tahun ke belakang kami telah mengakuisisi brand yang memiliki storefront atau eksis di platform offline, seperti Breadlife dan Lu’miere. Ke depannya, kami akan memperkenalkan beberapa brand baru yang dapat menunjang strategi multi platform kami,” kata Kelvin.

Agar brand aggregator berjalan sukses, perusahaan harus terus mengevaluasi dan mengoptimalkan strategi agregasi brand mereka berdasarkan feedback pelanggan dan analisis data. Hal ini termasuk secara teratur memperbarui teknologi dan penawaran untuk memastikan bahwa layanan dan produk tetap relevan dan memenuhi perubahan kebutuhan pelanggan. Kesimpulannya, tren agregasi brand di industri F&B akan terus berlanjut di masa mendatang, karena bisnis berupaya memaksimalkan jangkauan mereka dan meningkatkan loyalitas pelanggan.

Unit ekonomi dan faktor pendorong VC berinvestasi

Industri F&B telah menjadi salah satu penunjang ekonomi global, dan dalam beberapa tahun terakhir, telah menarik investasi yang signifikan dari perusahaan modal ventura (VC). Dengan pertumbuhan industri, VC mencari peluang untuk berinvestasi dalam bisnis F&B yang menjanjikan dan memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang. Hal termasuk perusahaan yang memiliki rekam jejak pertumbuhan pendapatan yang terbukti dan strategi yang jelas untuk memperluas basis pelanggan mereka.

VC juga kerap mencari bisnis F&B dengan unit ekonomi yang kuat, artinya biaya produksi dan pengiriman setiap unit lebih rendah daripada pendapatan yang dihasilkan dari penjualannya. Hal ini memungkinkan bisnis untuk menghasilkan margin positif dan menginvestasikan kembali keuntungan ke dalam pertumbuhan dan ekspansi.

Menurut Arya, setiap brand perlu memahami unit ekonomi mereka. Apakah perusahaan sudah untung di tingkat toko?, toko mana yang tidak menguntungkan dan mengapa?, Berapa break-even sales and break-even unit?.

“Selama masa ekspansi, setiap brand harus bisa memberikan alasan mengapa lokasi yang diusulkan bagus. Data lokasi menjadi faktor penting sebelum berkembang. Merek perlu memahami apa demografi pelanggannya,” kata Arya.

Dalam industri F&B, unit ekonomi merupakan faktor penting dalam menentukan potensi pertumbuhan dan skalabilitas. Dilihat dari bisnis dengan strategi pertumbuhan yang jelas, penawaran inovatif, dan ekonomi unit yang kuat, VC dapat mengidentifikasi dan berinvestasi dalam bisnis yang memiliki potensi terbesar. Kesimpulannya, fokus pertumbuhan dan unit ekonomi merupakan pertimbangan utama bagi perusahaan VC saat berinvestasi di industri F&B.

Menurut Gary dari Vertex Ventures, bisnis foodtech yang didukung oleh VC pada umumnya terdiri dari komponen online dan offline. Model bisnis online berkembang sehingga VC tidak bisa menentukan target pertumbuhan atau unit ekonomi yang perlu dicapai oleh startup sebelum berinvestasi.

“Secara umum, apa yang kita lihat adalah tingkat pertumbuhan bulanan yang konsisten dan sehat, retensi pelanggan yang sehat dan margin kontribusi laba, jika pendiri startup mampu meminimalkan biaya variabel,” kata Gary.

Ditambahkan olehnya, biasanya layanan secara offline juga melengkapi layanan secara online. Saat pandemi melandai, akan mulai terlihat pelanggan kembali ke toko offline, tidak hanya untuk membeli makanan tetapi juga untuk pengalaman langsung saat menikmati hidangan di lokasi.

Metrik yang kemudian dilihat oleh VC dalam hal ini meliputi, jika terjadi pertumbuhan pendapatan penjualan yang konsisten per toko/restoran, pertumbuhan penjualan (%) per toko/restoran, berapa lama waktu yang dibutuhkan setiap toko baru untuk mencapai break even dan mencapai profitabilitas, termasuk jumlah pengeluaran modal yang dibutuhkan untuk toko baru.

“Hal ini termasuk strategi distribusi makanan mereka, contohnya model central kitchen, apakah mereka mengoptimalkannya untuk skala ekonomi dan apa yang terjadi ketika mereka mencapai kapasitas maksimum, versus dapur individu di restoran, apakah operasinya dioptimalkan,” kata Gary.

DailySocial mewawancarai Gufron Syarif dari Haus! / DailySocial

[Video] Strategi Ekspansi Layanan Foodtech Haus!

DailySocial bersama CEO Haus! Gufron Syarif membahas tren perkembangan bisnis foodtech di Indonesia. Gufron mengklaim, efek pandemi tidak terlalu berdampak pada kelangsungan bisnis perusahaannya. Mereka disebut masih memiliki tren pertumbuhan profit positif sejak berdiri.

Seperti apa strategi bisnis Haus! demi profit yang berkelanjutan? Apa rencana dan target perusahaan sepanjang 2023?

Simak pembahasannya di video berikut ini.

Untuk video menarik lainnya seputar strategi bisnis startup di Indonesia, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV di sesi DScussion.

Haus! Rampungkan Pendanaan Baru di 2023, Siap Ekspansi 1.300 Toko

Setelah mengantongi putaran seri B1 pada Juni 2022, startup F&B di segmen new tea & bobba Haus! akan merampungkan pendanaan seri B2 pada awal 2023. Sebelumnya Haus! telah mendapatkan pendanaan seri A senilai Rp30 miliar dari BRI Ventures melalui Dana Sembrani Nusantara.

Kepada DailySocial, CEO Haus! Gufron Syarif mengungkapkan dana segar tersebut akan digunakan untuk eskpansi di Indonesia. Saat ini, Haus! telah memiliki sekitar 229 toko, dan akan menambah sekitar 1.300 toko baru.

“Kami sedang finalisasi penggalangan dana tahapan B2 yang sudah kami jajaki sejak bulan Oktober dan November tahun ini. Harapannya, kami bisa closing putaran pendanaan ini di kuartal I 2023,” katanya.

Tahun depan, Haus! juga berencana meluncurkan aplikasi dan memperluas produk melalui sister brand Hot Oppa yang telah dirilis pada November lalu. Varian produk makanan ke depannya akan menjadi fokus perusahaan untuk meningkatkan growth store dan vertikal penjualan.

Goal kami ke depan adalah menjadi F&B Holding. Berbeda dengan brand lainnya, kami akan fokus pada pasar menengah ke bawah. Dilihat dari model bisnis yang kami terapkan, perhitungannya saat ini adalah setiap square meter ruko yang kami sewa, harus dioptimasi revenue-nya,” tambahnya.

Selama pandemi, perusahaan mengklaim mengalami pertumbuhan yang positif. Salah satu alasan mereka tidak terpengaruh terhadap aturan PSBB adalah, gerai Haus! berlokasi di kawasan perumahan, bukan di dalam mal yang terkena imbas cukup besar saat pandemi.

Meluncurkan aplikasi

Untuk memperluas ekosistemnya, Haus! akan meluncurkan aplikasi di kuartal pertama 2023. Perusahaan memutuskan untuk menggunakan aplikasi karena ingin memahami kebiasaan dan loyalty pelanggan. Secara bertahap, aplikasi akan diluncurkan dengan fokus awal pada pick-up dan delivery, menyusul nanti pada fitur loyalty dan tambahan fitur lain.

Meskipun saat ini Haus! banyak mengandalkan pemesanan dan pengantaran dari agregator pihak ketiga, sejak September hingga sekarang ada pegeseran kebiasaan pelanggan Haus! yang melakukan pembelian secara offline.

“Hal ini berhubungan dengan financial health dari kebanyakan agregator pihak ketiga, yang mulai mengurangi cash burning dan subsidi. Akhirnya subsidi ongkir berkurang demikian juga dengan subsidi diskon. Saat ini kami mencatat porsinya sudah 50-50 antara pembelian offline dan online,” kata Gufron.

Dengan aplikasi sendiri, Haus! berharap bisa mendapatkan sekitar 25% dari 50% pelanggan online yang sudah ada saat ini. Disinggung apakah ke depannya akan lebih banyak pelanggan yang melakukan pembelian dengan opsi pick-up atau offline, Gufron menyebutkan akan tetap ada pelanggan yang memilih untuk melakukan pembelian secara online, tetapi pilihan pick-up dan langsung ke konter diperkirakan juga makin meningkat.

Saat ini perusahaan mengklaim telah profitable meski jumlahnya belum terlalu mature dibandingkan dengan brand yang sudah lebih dulu menjalankan bisnis. Sejak awal berdiri sebagai startup food tech, Haus! akan tetap fokus kepada profitabilitas dan memanfaatkan tren dari coffee chain hingga new tea & bobba.

“Secara kategori new tea & bobba secara global sedang meningkat. CAGR telah berjumlah hingga dua digit setiap tahunnya. Dan Indonesia baru hadir tahun 2010 lalu, tetapi saat ini mulai bergeser dari tren menjadi kebiasaan dan ke depannya akan menjadi kultur.” Tutup Gufron.

Strategi Bisnis Haus!

Haus! Kantongi Pendanaan Seri B1, Mantapkan Langkah Menuju IPO

Diluncurkan tahun 2018 lalu sebagai startup F&B di segmen produk new tea & boba, Haus! saat ini telah memiliki sekitar 200 outlet tersebar di Jabodetabek. Menerapkan model bisnis “cost leadership”, sejak awal perusahaan berupaya untuk konsisten menjaga kualitas produk.

Untuk bisa relevan dengan pangsa pasarnya, outlet turut didesain dengan nuansa gaya hidup dan dibumbui produk dengan harga jual terjangkau.

Kepada DailySocial.id, Co-Founder & CEO Haus! Gufron Syarif mengungkapkan, terinspirasi dari Tiongkok, produk new tea & boba yang menyasar kepada kelas menengah ke bawah memiliki potensi yang besar. Ia pun menilai bahwa ada potensi yang sama di Indonesia. Ternyata hipotesis terkait bisnis F&B tersebut tervalidasi baik di pasar. Pun demikian di mata investor.

Belum lama ini, Haus! kembali mengantongi dana segar dalam putaran seri B1 dari beberapa angel investor seperti Rama Notowidigdo mewakili Ubi Capital dan Arya Setiadharma mewakili Prasetia Dwidharma. Sejumlah pemodal ventura juga terlibat, di antaranya Strategic Year Holdings dan Atlas Global Ventures.

Dana segar akan difokuskan untuk mempercepat pertumbuhan bisnis dan merealisasikan cita-cita perusahaan untuk segera IPO.

“Kami menyadari jika perusahaan ingin berlari kencang idealnya adalah mendapatkan pendanaan melalui VC. Harapannya dana segar tersebut bisa kita manfaatkan untuk mengembangkan bisnis dan melangkah lebih cepat menuju IPO. Perusahaan juga memiliki target untuk bisa memiliki sekitar 1000 outlet, sekaligus memosisikan Haus! sebagai brand leader untuk kategori pasar ini,” kata Gufron.

Sebelumnya Haus! juga telah mendapatkan pendanaan seri A senilai 30 miliar Rupiah dari BRI Ventures melalui Dana Sembrani Nusantara. Setelah menerima suntikan dana tersebut tahun 2020 lalu, Haus! mencatatkan peningkatan penjualan sebesar 54,5% dari $11 juta (156 miliar Rupiah) pada tahun 2020 menjadi $17,53 juta (252 miliar Rupiah) pada tahun 2021.

Meluncurkan aplikasi, targetkan akuisisi 20% transaksi

Sebagai bagian rencana, bulan Juli mendatang Haus! akan meluncurkan aplikasi mobile perdananya. Bermitra dengan logistik pihak ketiga Lalamove, melalui aplikasi tersebut diharapkan bisa memberikan keuntungan lebih, termasuk dengan pengelolaan data yang lebih intensif.

Saat ini perusahaan mencatat sekitar 60% transaksi berasal dari marketplace. Hal tersebut menurut Gufron telah membantu mereka untuk melakukan distribusi, namun akan menjadi ideal jika perusahaan juga memiliki data dan opsi pengantaran sendiri melalui aplikasi.

“Kami menargetkan hingga tahun 2025 mendatang sekitar 20% bisa didapatkan transaksi melalui aplikasi sendiri. Melihat dinamika yang ada saat ini, kemitraan dengan marketpalce memang sangat membantu namun ke depannya kami melihat akan ada perubahan dari sisi kebijakan komisi dan lainnya yang dikenakan oleh marketplace kepada kami,” kata Gufron.

Dengan pendekatan cost leadership, Haus! diibaratkan serupa dengan low cost budget airline, yang layanan dan produknya bisa dinikmati oleh semua kalangan. Meskipun mereka tetap konsisten memberikan kualitas produk terbaik, namun untuk harga diupayakan tetap terjangkau, menyasar segmen menengah ke bawah.

Strategi bisnis lainnya yang juga diklaim telah memberikan dampak positif adalah, sejak awal mereka tidak menjalankan operasional secara franchise atau waralaba. Menurut Gufron, dengan menjalankan operasional secara sendiri, memudahkan mereka untuk menjaga kualitas dan kontrol operasional. Untuk jangka panjang konsep seperti ini juga bisa menjadikan bisnis lebih berkelanjutan.

Pengembangan outlet modern dan minimalis

Untuk bisa menjangkau lebih banyak pelanggan, Haus! sengaja membangun outlet di berbagai lokasi yang berbeda. Mulai dari perumahan, sekolah, hingga lokasi transportasi umum seperti stasiun KRL. Meskipun tidak memiliki lokasi yang luas dan hanya berbentuk outlet sederhana, namun strategi seperti ini mampu menumbuhkan transaksi memanfaatkan pengantaran dari marketplace.

“Berbeda dengan produk serupa lainnya yang kategorinya lebih menengah ke atas, kami tidak menempatkan outlet kita di pusat perbelanjaan premium. Nantinya jika memang Haus! memiliki rencana untuk meluncurkan outlet baru di mall, yang kita pilih adalah tempat berbelanja yang masuk dalam kategori menengah ke bawah,” kata Gufron.

Sudah sangat familiarnya kalangan masyarakat menikmati minuman kekinian , menjadikan bisnis yang diterapkan Haus! dan produk serupa lainnya bisa berjalan lebih lancar. Akselerasi saat pandemi juga telah membantu mereka melakukan ekspansi outlet lebih banyak lagi jumlahnya. Menurut Gufron kategori new tea & boba dan coffee chain ketika digali lebih dalam market size-nya bernilai 10 triliun Rupiah.

“Frekuensi pembeliannya jika dibandingkan di Tiongkok yang lebih rutin, bahkan menjadikan minuman dalam kategori ini sebagai dessert atau makanan penutup. Di Indonesia sudah mulai menuju ke sana, bergeser dari tren menjadi kebiasaan,” kata Gufron.

Beverage Brand “Haus!” Becomes Sembrani Nusantara’s First Portfolio, Secured 30 Billion Rupiah Funding

BRI Ventures (BVI) through the Sembrani Nusantara Venture Fund invests for the first time in non-fintech startups. It’s also not a technology service developer startup, but a new economy. It is the local beverage brand developer Haus! in the Series A funding round. The nominal has reached 30 billion Rupiah, as well as being Sembrani’s debut investment to startups.

It is said that BVI is completing several other investments through the new managed fund, which will be announced soon. As previously stated, Sembrani Nusantara‘s goal is to find and foster local startups in order to foster a sustainable SME ecosystem.

Since it was founded in 2018 by Gufron Syarif, currently Thirsty! already has 113 branch outlets in the Jabodetabek and Bandung areas. The market segmentation is Gen-Z and millennial, offering a variety of drinks and bread at relatively affordable prices, starting from IDR 5,000.

“With the Series A funding, we support SMEs to move up their game for greater scalability and carry out their expansion outside Jabodetabek. The B2C segment for this category is still very wide and we hope to open up collaboration spaces with an integrated ecosystem,” BVI’s CEO Nicko Widjaja said.

Meanwhile, Haus! CEO, Gufron Syarif said that his current focus is on bringing the business into a wider segment of society, while still promoting affordable products with good quality.

“We have a different strategy from the high-end brands on the market today. We believe that selling beverage and food products at affordable prices can attract more consumers in Indonesia. From the customer experience aspect, we design it in such a way that our outlet can provide convenience for all groups of society,” Gufron added.

The fresh beverage business, which targets a similar segment, is on the rise. Some local venture capitalists (who are used to investing in digital startups) are also starting to get there. Also Alpha JWC Ventures with Goola, Hangry, and Kopi Kenangan; then there is also East Ventures which builds and invests in Fore Coffee.

Covid-19 has definitely had an impact on the F&B industry, but at the same time tests the business mentality of its founders. Some who choose to continue to accelerate their business, carry out the transformation to take advantage of the existing range of services. For example, what Haus! did, when there were social restrictions in the city, they optimized the use of ride-hailing services such as GoFood or GrabFood.

It has not been announced whether after this funding Haus! will also focus on developing digital lines to improve various aspects of the business – just like what several other startups have done. It’s just certain, if the existing players tend to play in the upper-middle segment, Haus! is stil exploring the broader mid-market segment.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Pendanaan Haus! Sembrani Nusantara

Pengembang Brand Minuman “Haus!” Jadi Portofolio Pertama Sembrani Nusantara, Bukukan Dana 30 Miliar Rupiah

BRI Ventures (BVI) melalui Dana Ventura Sembrani Nusantara untuk pertama kalinya berinvestasi ke startup di luar fintech. Bukan juga startup pengembang layanan teknologi, melainkan new economy. Yakni kepada pengembang brand minuman lokal Haus!, dalam putaran pendanaan seri A. Dana yang diberikan mencapai 30 miliar Rupiah, sekaligus menjadi debut kucuran dana Sembrani ke startup.

Turut disampaikan, BVI tengah merampungkan beberapa investasi lainnya lewat dana kelolaan baru tersebut, akan diumumkan dalam waktu dekat. Seperti disampaikan sebelumnya, tujuan Sembrani Nusantara untuk menemukan dan membina startup lokal dalam rangka menumbuhkan ekosistem UMKM yang berkelanjutan.

Sejak didirikan tahun 2018 oleh Gufron Syarif, saat ini Haus! sudah memiliki 113 cabang outlet di wilayah Jabodetabek dan Bandung. Segmentasi pasarnya adalah Gen-Z dan milenial, menawarkan aneka minuman dan roti dengan harga yang relatif terjangkau, mulai dari Rp5000,-.

“Dengan pendanaan seri A ini, kami mendukung UMKM naik kelas untuk skalabilitas yang lebih besar dan melaksanakan ekspansinya ke luar Jabodetabek Segmen B2C untuk kategori ini masih sangat luas dan kami berharap untuk membuka ruang kolaborasi dengan ekosistem yang terpadu,” sambut CEO BVI Nicko Widjaja.

Sementara itu CEO Haus! Gufron Syarif mengatakan bahwa fokusnya saat ini membawa bisnis masuk ke segmen masyarakat yang lebih luas, dengan tetap mengedepankan produk berharga terjangkau dengan kualitas yang baik.

“Kami memiliki strategi berbeda dengan brand high end yang ada di pasaran sekarang. Kami percaya bahwa menjual produk minuman dan makanan dengan harga yang terjangkau dapat menarik lebih banyak konsumen di Indonesia. Dari aspek customer experience pun kami desain sedemikian rupa sehingga kunjungan ke outlet kami menjadi nyaman bagi segala golongan masyarakat,” imbuh Gufron.

Bisnis minuman segar yang menyasar segmen serupa memang tengah naik daun. Beberapa pemodal ventura lokal (yang biasa berinvestasi pada startup digital) juga mulai masuk ke sana. Sebut saja Alpha JWC Ventures dengan Goola, Hangry, dan Kopi Kenangan; lalu ada juga East Ventures yang berinvestasi dan membina Fore Coffee.

Covid-19 nyata-nyata memberikan dampak bagi industri F&B, namun sekaligus menguji mentalitas bisnis para founder-nya. Beberapa yang memilih terus mengakselerasi bisnis, lakukan transformasi memanfaatkan ragam layanan yang ada. Misalnya yang juga dilakukan Haus!, saat ada pembatasan sosial di kota, mereka mengoptimalkan menggunakan layanan pesan-antar dari ride-hailing seperti GoFood atau GrabFood.

Belum disampaikan apakah setelah pendanaan ini Haus! juga akan fokus mengembangkan lini digital untuk peningkatan berbagai aspek bisnis – layaknya yang dilakukan beberapa startup lain di atas. Hanya saja dipastikan, jika pemain yang ada tersebut cenderung main ke segmen menengah ke atas, Haus! masih akan mengeksplorasi segmen pasar menengah secara lebih luas.