Tag Archives: Guntur S. Siboro

Lionsgate Play Indonesia

Aplikasi Lionsgate Play Resmi Meluncur di Indonesia, Tawarkan Konten Premium Hollywood dan Bollywood

Setelah sebelumnya mengumumkan kemitraan strategis, aplikasi video streaming Lionsgate Play hari ini (21/4) meresmikan kehadirannya di Indonesia. Mereka menawarkan beragam konten khas Hollywood yang dimiliki oleh Lionsgate Studio dan Starz, juga konten Bollywood ternama dan sajian orisinal mereka. Sebelum di Indonesia, akhir tahun 2020 lalu Lionsngate Play telah resmi meluncur di India.

Dalam acara temu media, President & Chief Executive Officer STARZ Jeffrey A. Hirsch menyebutkan, besarnya jumlah populasi di Indonesia, koneksi teknologi, dan penetrasi internet yang sudah cukup baik, menjadi alasan ideal bagi mereka sehingga memutuskan untuk menjajakan produknya di sini. Ia juga menegaskan, di Indonesia saat ini hanya ada sekitar 2-4 platform yang juga menawarkan layanan serupa [ditinjau dari konten salah satunya], sehingga masih banyak ruang untuk tumbuh di Indonesia.

Di fase awalnya, mereka masih fokus pada konten Hollywood dan Bollywood saja. Namun ke depannya Lionsgate Play juga berencana untuk menambah konten asal Indonesia. Menurut Managing Director SEA & Networks Rohit Jain, saat pandemi menjadi waktu yang tepat bagi Lionsgate Play untuk berinvestasi kepada konten dan fokus kepada pengalaman pengguna. Untuk itu ke depannya akan ditambah lagi konten menarik untuk pengguna premium Lionsgate Play.

“Sebelumnya kami telah meluncurkan layanan ini di India dan mendapatkan respons yang baik dari pasar. Kami juga telah menemukan blue print atau model bisnis yang tepat saat muncul pertama kali di India. Terutama untuk emerging market di Asia, dengan demikian model tersebut bisa direplikasi di pasar lainnya,” kata Rohit.

Untuk mendukung teknologi yang diterapkan di platform, Lionsgate saat ini telah memiliki Tech Developement Center di dua negara yaitu di Denver Amerika Serikat dan di Timur Tengah. Dengan demikian diharapkan mereka bisa memberikan pengalaman pengguna yang terbaik, didukung dengan tampilan UI/UX yang seasmless dan kemudahan mengakses aplikasi.

Menjalin kemitraan strategis

Dalam acara peluncuran Lionsgate Play Indonesia, turut dihadirkan juga tim lokal yang nantinya bertanggung jawab untuk mengelola Lionsgate Play di Indonesia. Mereka di antaranya adalah Guntur Siboro (Country Manager Indonesia), Karina Mahadi (Content Manager), dan Gene Tamesis Jr (SVP Bizdev & Partnerships).

Untuk mendukung pertumbuhan pengguna Lionsgate Play di Indonesia, telah dijalin kemitraan strategis. Mulai dari dengan operator telekomunikasi seperti Telkomsel hingga Indihome. Untuk memudahkan pilihan pembayaran, Lionsgate Play Indonesia juga telah bermitra dengan Gopay, ShopeePay, hingga Doku.

“Tentunya kami juga menawarkan pilihan pembayaran umum lainnya seperti kartu kredit, kartu debit hingga pembayaran melalui billing carrier (potong pulsa). Sesuai dengan esensi perusahaan, kami akan terus menambah kemitraan dengan pihak yang relevan,” kata Guntur.

Meskipun saat ini paket bundling hingga promosi masih tersedia untuk pengguna Telkomsel, namun ke depannya Lionsgate Play juga akan menambah kemitraan dengan operator telekomunikasi lainnya di Indonesia.

Layanan Lionsgate Play menyediakan dua model berlangganan untuk mengakses aplikasi yaitu Rp35.000 per bulan dan Rp179.000 selama setahun. Pilihan harga ini diharapkan dapat memberikan kesempatan kepada konsumen Indonesia untuk menikmati hiburan global terbaik dengan harga terjangkau dan kenyamanan mereka.

“Tujuan dari kemitraan ini tentunya adalah berguna bagi kedua belah pihak. Bagi mitra mereka bisa mendapatkan konten beragam dari kami dan tentunya pilihan yang ideal bagi pelanggan mereka,” imbuh Guntur.

Peluang Lionsgate Play di Indonesia

Berbeda dengan pemain lainnya yang lebih dulu telah hadir di Indonesia seperti Disney+Hotstar, pendekatan yang dilakukan oleh mereka adalah secara langsung menawarkan konten orisinal yang beragam asal sineas Indonesia. Netflix sendiri makin agresif menjalin kemitraan strategis dengan sineas lokal, yang tujuannya untuk menambah konten orisinal asal Indonesia.

Namun bagi Lionsgate Play yang selama ini sudah dikenal memiliki konten film asal Hollywood berkualitas yang telah berhasil mendapatkan berbagai penghargaan piala Oscar hingga Golden Globes, diyakini bisa menjadi pemancing bagi pengguna di Indonesia untuk menjadi pelanggan Lionsgate Play.

Selain konten dari perpustakaan milik Lionsgate Studio dan Starz, Lionsgate Play juga telah mengakuisisi konten dari beberapa perusahaan entertainment di mancanegara, seperti dari BBC, Studio Canal dan Summit. Lionsgate Play di Indonesia menargetkan bisa menjangkau jutaan pengguna baru yang mendaftarkan diri menjadi pengguna Lionsgate Play.

“Saat ini Lionsgate telah memiliki sekitar 28 juta pengguna di lebih dari 56 negara. Dengan konten terkurasi tersebut kami berharap bisa memberikan pilihan baru kepada pengguna yang ingin menikmati konten premium,” kata Jeffrey.

Application Information Will Show Up Here
Lionsgate Play Indonesia

Kemitraan Telko Jadi Strategi Khas Debut OTT Asing, Lionsgate Play Gandeng Telkomsel

Layanan video streaming Lionsgate Play makin memantapkan penetrasinya di Indonesia. Dari rencana awalnya, platform asal Ameria Serika tersebut memang hendak mulai mengudara di Indonesia di penghujung kuartal pertama tahun ini. Guna mendapatkan traksi awal yang baik, mereka mengumumkan telah bekerja sama dengan Telkomsel.

Seperti diketahui, operator seluler pelat merah tersebut mengoperasikan aplikasi MAXstream. Di dalamnya berisi konten agregasi dari berbagai perusahaan video on-demand, baik lokal maupun mancanegara. Kerja sama non-eksklusif di atas juga akan memungkinkan pengguna MAXstream mengakses konten film dan serial yang disuguhkan Lionsgate.

Kepada DailySocial, General Manager Lionsgate Play Indonesia Guntur S. Siboro mengatakan, kerja sama ini diharapkan bisa memperkenalkan layanan video streaming tersebut ke basis pengguna Telkomsel. Terlebih saat ini mereka juga memiliki paket langganan internet khusus yang memberikan layanan tambahan berupa akses ke MAXstream.

“Kolaborasi ini baru permulaan, dengan perkembangan yang lebih menarik lagi dengan Telkomsel yang direncanakan untuk beberapa bulan mendatang,” kata Guntur.

Disney+ Hotstar dalam debut awalnya juga pakai strategi serupa, menggandeng Telkomsel sebagai mitra awal untuk penetrasinya di Indonesia. Saat ini pengguna Telkomsel mendapatkan akses khusus (bahkan gratis) ke aplikasi VOD tersebut. Strategi tersebut tampak berjalan baik, menurut data terbaru Media Partners Asia (MPA), hingga awal tahun ini Disney+ Hotstar sudah memiliki 2,5 juta pelanggan di Indonesia.

Terlepas dari itu, pasar VOD di Indonesia makin menarik. Di tengah gempuran pemain asing, layanan lokal juga terus mempertajam cengkeramannya. Apalagi konglomerasi media MNC Group mulai memboyong unit OTT-nya untuk melantai di bursa Amerika Serikat, artinya terbuka kesempatan yang lebih besar bagi investor global untuk mulai ikut menggarap pasar VOD di Indonesia.

Selain Vision+ dari MNC, ada pemain lokal lainnya yang juga sudah punya basis pengguna cukup signifikan. Salah satunya Vidio, yang merupakan bagian dari konglomerasi media lainnya, EMTEK. Laporan MPA juga mengatakan di awal tahun ini Vidio sudah memiliki sekitar 1,1 juta pelanggan berbayar.

Decacorn Gojek juga mantap dengan bisnis OTT-nya lewat Goplay. Bahkan mereka sudah mulai menggalang pendanaan secara independen untuk mengakselerasi bisnisnya.

Diyakini pasar VOD masih terbuka lebar untuk persaingannya. Menurut hasil riset Brightcove dalam laporan bertajuk “The Future of OTT in Asia”, konten menjadi salah satu penentu ketertarikan pengguna terhadap layanan VOD. Sehingga dengan strategi pendekatan konten yang tepat, suatu layanan bisa saja memenangkan pasar di kemudian hari.

Di luar Asia, nama Lionsgate Play dikenal dengan nama STARZPLAY, demikian pula di negara asalnya Amerika Serikat. Nama Lionsgate Play dipilih untuk negara di Asia, karena nama “Star” sebelumnya telah dimiliki terlebih dulu oleh perusahaan ternama di Asia yang juga merupakan perusahaan media terkemuka.

Application Information Will Show Up Here

Lionsgate Play Is to Launch in Indonesia in Q1 2021

Recently arrived in India, Lionsgate Play, an on-demand video platform owned by US based colossal studio, The Lionsgate Motion Picture Group, is scheduled to be launched in Indonesia in the first quarter of 2021.

Guntur S. Siboro, who currently serves as the representative of Lionsgate Play in Indonesia, delivered the news to DailySocial. Disney+ Hotstar also offered similar concept in mid-2020.

“Indonesia will be the first country in Southeast Asia to welcome the Lionsgate Play platform. The similar market of India and Indonesia becomes the reason for Lionsgate Play to launch in Indonesia after India,” Guntur said.

Outside the Asian countries, Lionsgate Play is known as STARZPLAY, as well as in its home country of the United States, Lionsgate Play was chosen for countries in Asia, because Star was the name previously owned by a well-known company in Asia which is also a leading media company.

“However, the difference in name does not change the content we present in Asia and other countries. Lionsgate is not a big studio like Disney for example, but we have various Hollywood films, tv series, to indie films that have the best quality,” said Guntur.

Lionsgate Play pricelist and content

128882385_765745777618350_7554219817079945132_n

About the payment options for Lionsgate Play in Indonesia, Guntur avoids to reveal any further. However, he is open to the possibility with affordable and relevant prices to be given to target its customers in Indonesia.

Whether Lionsgate Play will partner with a local telco operator, as Disney+ Hotstar previously done with Telkomsel, is not further stated. Precisely, Guntur emphasized that even though the competition is getting fierce, with the existing content choices, it can be an option for Indonesian customers.

“I see that when Lionsgate Play finally arrived in Indonesia, it will not immediately turn off Disney+ Hostar, HBO Go, Netflix, and Amazon, which was prior to offer its services. Each of those has unique content with loyal customers,” Guntur said.

The strategic move taken by major studios such as Disney and The Lionsgate Motion Picture Group, has become an activity that many other major studios in the United States have aimed to compete with services such as Netflix, Amazon and Hulu, which mostly buy film production licenses. belong to each of these major studios.

“When I was at Hooq, I saw the steps taken by the major studio to stop licensing and launch its own OTT service, a trend that has proven successful and will be seen more in the future,” Guntur said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Lionsgate Play Indonesia

Lionsgate Play akan Meluncur di Indonesia pada Q1 2021

Setelah sudah lebih dulu hadir di India, Lionsgate Play yang merupakan platform video on-demand milik studio besar asal Amerika Serikat, The Lionsgate Motion Picture Group, rencananya akan segera hadir di Indonesia pada kuartal pertama tahun 2021 mendatang.

Kepada DailySocial. Guntur S. Siboro yang saat ini menjabat sebagai perwakilan Lionsgate Play di Indonesia menyampaikan kabar tersebut. Konsep serupa sebelumnya juga dilakukan oleh Disney+ Hotstar pertengahan tahun 2020 lalu.

“Indonesia nantinya akan menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang menjadi pilihan dari Lionsgate Play. Pasar India dan Indonesia terbilang serupa, hal tersebut yang kemudian menjadikan Lionsgate Play akan meluncur di Indonesia setelah India,” kata Guntur.

Di luar Asia, nama Lionsgate Play dikenal dengan nama STARZPLAY, demikian pula di negara asalnya Amerika Serikat, Nama Lionsgate Play dipilih untuk negara di Asia, karena nama Star sebelumnya telah dimiliki terlebih dahulu oleh perusahaan ternama di Asia yang juga merupakan perusahaan media terkemuka.

“Namun perbedaan nama tersebut tidak mengubah konten yang kami sajikan di Asia dan negara lainnya. Lionsgate memang bukan studio besar seperti Disney misalnya, namun kami memiliki film Hollywood yang beragam, tv seri, hingga film indie yang memiliki kualitas terbaik,” kata Guntur

Harga dan konten Lionsgate Play

128882385_765745777618350_7554219817079945132_n

Disinggung seperti pilihan pembayaran yang akan ditetapkan oleh Lionsgate Play di Indonesia, Guntur enggan mengungkapkan lebih jauh. Meskipun demikian Guntur tidak menutup kemungkinan harga terjangkau dan relevan akan diberikan kepada target pelanggan di Indonesia.

Apakah nantinya Lionsgate Play akan menggandeng perusahaan operator telekomunikasi lokal seperti yang dilakukan oleh Disney+ Hotstar bersama dengan Telkomsel, tidak disebutkan lebih lanjut. Yang pasti Guntur menegaskan meskipun persaingan makin sengit, namun dengan pilihan konten yang ada, bisa menjadi pilihan bagi pelanggan di Indonesia.

“Saya melihat jika nantinya Lionsgate Play hadir di Indonesia tidak akan langsung mematikan Disney+ Hostar, HBO Go, Netflix, dan Amazon yang sebelumnya sudah hadir di Indonesia. Masing-masing memiliki konten yang unik dengan pelanggan setia yang hanya dimiliki oleh setiap platform,” kata Guntur.

Langkah strategis yang dilakukan oleh studio besar seperti Disney dan The Lionsgate Motion Picture Group, telah menjadi kegiatan yang juga banyak dilakukan oleh studio besar lainnya di Amerika Serikat, yang bertujuan untuk menjadi pesaing layanan seperti Netflix hingga Amazon dan Hulu, yang kebanyakan membeli lisensi film produksi milik masing-masing studio besar tersebut.

“Saat saya di Hooq sudah terlihat langkah yang kemudian diambil oleh studio besar tersebut untuk menghentikan lisensi dan meluncurkan layanan OTT sendiri, menjadi tren yang terbukti sukses dan akan makin banyak terlihat ke depannya,” kata Guntur.

Mengikuti kegiatan baru Guntur S. Siboro, Calvin Kizana, Benny Tjia, Ongki Kurniawan, dan Sukan Makmuri yang masih berkecimpung di ekosistem startup Indonesia

[Where Are They Now] Apa Kabar Lima Penggiat Startup Ini (Bagian 2)

Dinamika dunia startup diwarnai kisah-kisah yang kerap membawa pendiri startup menjadi rising star dan entrepeneur sukses. Ada juga kisah yang kurang menyenangkan ketika startup harus tutup karena berbagai alasan. Beberapa pemain industri kini sudah memiliki karier baru, meski kebanyakan masih berkutat di ekosistem ini.

Di edisi kedua Where Are They Now, DailySocial mencoba mencari tahu kesibukan lima penggiat startup berikut ini.

Guntur Siboro

Sosok yang satu ini sudah cukup lama berkiprah di dunia telekomunikasi dan bisnis over-the-top (OTT) di Indonesia, Sejak meninggalkan posisinya di HOOQ sebagai Country Head, kini Guntur Siboro mengisi kesibukan sebagai pengajar di Universitas Pelita Harapan.

Kepada DailySocial, Guntur mengungkapkan, meskipun masih harus menyelesaikan penutupan kantor perwakilan HOOQ di Indonesia, saat ini Guntur juga tengah membantu mempersiapkan kehadiran platform OTT baru asal Amerika Serikat yang rencananya meluncur awal tahun 2021 mendatang.

Guntur enggan menyebutkan nama platform tersebut untuk saat ini, namun ia menyatakan, berdasarkan pengalaman profesionalnya selama ini, enggan beralih ke sektor lain dan masih setia di bisnis OTT Indonesia.

Calvin Kizana

Dikenal sebagai pendiri dan CEO PicMix dan PlayDay, kini Calvin Kizana menyandang posisi baru. Sejak bulan April 2020 lalu, Calvin resmi menjabat sebagai COO & Head of Platform GoPlay. Masuknya Calvin ke ekosistem Gojek memanfaatkan pengalamannya berkecimpung di industri kreatif.

GoPlay adalah anak perusahaan Gojek yang fokus ke layanan video on-demand dan mulai merambah ke konten live interaktif. GoPlay tahun ini memperoleh pendanaan dari investor eksternal untuk meningkatkan kualitas teknologi dan konten yang dimilikinya.

Benny Tjia

Nama Benny Tjia masuk ke industri startup Indonesia sejak tahun 2014 lalu. Pendiri startup Bornevia ini sejak kuliah telah bercita-cita untuk terjun dalam dunia startup.

Tahun 2013 Bornevia didirikan oleh Benny Tjia dan Tjiu Suryanto. Melalui produk berbasis SaaS, Bornevia digadang-gadang sebagai startup lokal yang akan mungkin memberikan pengaruh besar di lanskap produk teknologi korporasi. Namun pada tahun 2017, Bornevia mengumumkan penutupan operasional bisnisnya,

Kini Benny disibukkan pekerjaan barunya sebagai Principal di perusahaan modal ventura Indogen Capital. Berangkat dari pengalamannya sebagai mantan pendiri startup, insight dan pengalaman Benny memberikan warna bagi proses kurasi startup yang dilakukan perusahaan.

“Indogen Capital saat ini telah memiliki 19 investasi, termasuk di dalamnya Wahyoo, Evos, dan Travelio. Tanggung jawab saya termasuk memimpin investment team untuk mencari peluang investasi, penggalangan dana, dan juga melakukan monitoring dan mendukung portofolio kami,” kata Benny kepada DailySocial.

Ongki Kurniawan

Nama Ongki Kurniawan sangat dikenal ketika dirinya menjabat sebagai Direktur dan Chief Digital Services Officer XL Axiata. Setelah 7 tahun bekerja di XL Axiata, pertengahan tahun 2016 Ongki menjabat sebagai Managing Director Line Indonesia. Lepas dari Line, Ongki bergabung dengan Grab dan menjabat sebagai Executive Director Grab Indonesia.

Pasca mundur dari Grab Indonesia, Ongki hijrah ke posisi barunya mengurusi Revenue & Growth APAC, Stripe. Layanan pembayaran global Stripe menawarkan sistem pembayaran yang dapat diintegrasikan ke berbagai platform digital melalui konektivitas API.

Sukan Makmuri

Nama Sukan Makmuri dikenal sejak tahun 2013 lalu saat dirinya bergabung dengan tim Kaskus Networks. Lepas dari Kaskus, Sukan kemudian bergabung dengan GDP Venture. Tahun 2016 Sukan bergabung dengan Kudo dan menjabat sebagai CTO selama 1 tahun. Lepas dari Kudo, Sukan mendirikan startup dan ikut terlibat dalam private equity (PE) MaksPro Enterprises selama 4 tahun.

Terakhir Sukan menjabat sebagai CTO di Uang Teman, namun  tahun ini ia mempersiapkan peluncuran startup baru yang masih dirahasiakan nama dan bisnisnya.

GoPlay and Hooq Optimism with Video on Demand Service in Indonesia

With the rise of Video on Demand (VOD) apps in Indonesia, none of them positioned as the key player. The changing characteristic has forced the VOD service to run without any stable formula.

On this matter, DailySocial through #Selasastartup session trying to dig through the challenges the local and global VOD service players currently facing. The speakers are from GoPlay’s CEO, Edy Sulistyo and Hooq Indonesia’s Country Head, Guntur S. Siboro.

Indonesian unique habit

Goplay and Hooq

During its operation in Indonesia for the past 4 years, Hooq noted the unique habits of the Indonesian people. Starting from the use of internet data quota on smartphones that are very concerned to use the wifi to access various needs on the internet. This, according to Hooq, makes it difficult for them to be able to present services that rely solely on applications.

For this reason, Hooq then formed a strategic partnership with telecommunications operators, broadband services, to the super apps platform. The goal is simple, it’s for Hooq that can be accessed anywhere and anytime.

“The difference that we felt in the past (2016) since Hooq launched until now is, the payment options are still very limited. It’s only available through credit cards like those launched by Netflix. However, with the presence of GoPay, Ovo and other digital wallets make it easier for users to make a purchase,” Guntur said.

From the side of GoPlay, which all businesses are supported by the Gojek ecosystem, this is precisely their strength. With the bundling concept packaged in the form of vouchers, GoPlay tries to take advantage of broad access to Gojek’s complete channel distribution.

These strengths later became attractive offers for content creators to Indonesian filmmakers, to focus on content and entrust other aspects to GoPlay.

“In terms of GoPlay, it is included in the Gojek ecosystem and supports the existing business. One of them is offering related service vouchers, bundling with GoFood to GoSend aiming to invite more people to access local content while promoting content to more users,” Edy added .

Though many Indonesian users prefer content for free but there are some that willing to subscribe and pay, in order to get quality content.

Original content and big data management

data analytics to improve services
data analytics to improve services

One thing that later became a same objective of the two VOD services was to encourage the best works of Indonesian creators and filmmakers. In this case, each of them established a strategic partnership with studios to Indonesian production houses, in order to create interesting original content for users.

GoPlay claims such market condition is what behind their goals as a bridge for viewers for easier access to the local films.

“At least the existence of GoPlay can give filmmakers in Indonesia the option to channel their work using digital services owned by GoPlay. In accordance with Gojek’s commitment to eliminate friction in daily life,” Edy said.

Hooq has introduced the production of 19 new original content consisting of series and films in the four countries in which they operate at the end of 2019. Of the 19 new titles, the largest Hooq original content comes from Indonesia with 14 titles consisting of series, films and stand-up comedy events.

It is not surprising to have a large number of new content slots in Indonesia because the majority of the Hooq market in Southeast Asia comes from Indonesia. That was justified by Thunder.

As a platform that fully utilizes smartphones for accessing content, GoPlay claims to have succeeded in gathering big data which is then processed and can be utilized by partners to filmmakers. By utilizing this data, filmmakers can see what kind of content is a favorite, the ideal duration and what genre or category of film is in demand by various groups. Technology and data analytics processing are the strengths of GoPlay.

Meanwhile, Hooq, which available not only on smartphones but also on broadband and home cable services spreading throughout Indonesia, claims that engagement actually occurs more through the channel. However, in terms of downloads and users, Hooq noted recorded more interaction in the application.

Regarding big data and data analytics, Hooq will also apply it to improve services, Guntur said the plan was included in the company’s roadmap. After proposing the liquidation at the end of last month, currently,  Hooq Indonesia is still waiting for the company’s decision to continue or stop its services in Indonesia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

 

Video on Demand Indonesia

GoPlay dan Hooq Optimis dengan Perkembangan “Video on Demand” di Indonesia

Meskipun sudah banyak aplikasi Video on Demand (VOD) di Indonesia, namun belum ada yang mampu menjadi pemain utama atau key player. Sifatnya yang kerap berubah, menjadikan layanan VOD tidak bisa dijalankan mengacu kepada formula yang stabil.

Melihat persoalan tersebut, DailySocial melalui sesi #Selasastartup mencoba untuk mengupas tuntas persoalan hingga tantangan yang hingga saat ini masih banyak ditemui pemain layanan VOD lokal hingga asing. Narasumber yang dihadirkan adalah CEO GoPlay Edy Sulistyo dan Country Head Hooq Indonesia Guntur S. Siboro.

Kebiasaan unik masyarakat Indonesia

Selama menjalankan bisnis di Indonesia sejak 4 tahun terakhir, Hooq mencatat kebiasaan unik masyarakat Indonesia. Mulai dari penggunaan kuota data internet di smartphone yang sangat diperhatikan hingga penggunaan wifi untuk mengakses berbagai kebutuhan di internet. Hal tersebut menurut Hooq menyulitkan mereka untuk bisa menghadirkan layanan yang hanya mengandalkan aplikasi.

Dengan alasan itulah Hooq kemudian menjalin kerja sama strategis dengan operator telekomunikasi, layanan broadband, hingga platform super apps. Tujuannya sederhana, agar Hooq bisa diakses di mana saja dan kapan saja.

“Perbedaan yang kami rasakan dulu (2016) sejak Hooq meluncur hingga saat ini adalah, pilihan pembayaran yang masih sangat terbatas jumlahnya. Hanya memanfaatkan kartu kredit saja seperti yang dilancarkan oleh Netflix. Namun kini dengan hadirnya GoPay, Ovo hingga dompet digital lainnya memudahkan pengguna untuk melakukan pembelian,” kata Guntur.

Dari sisi GoPlay yang semua bisnisnya didukung oleh ekosistem Gojek, hal tersebut justru yang menjadi kekuatan mereka. Dengan konsep bundling yang dikemas dalam bentuk voucher, GoPlay mencoba memanfaatkan akses luas hingga distribusi kanal yang lengkap milik Gojek.

Kekuatan tersebut yang kemudian menjadi penawaran menarik kepada konten kreator hingga sineas Indonesia, untuk fokus kepada konten dan mempercayakan aspek lainnya kepada GoPlay.

“Untuk GoPlay sendiri masuk dalam ekosistem di Gojek dan mendukung ekosistem yang ada. Salah satunya adalah penawaran voucher layanan terkait, bundling dengan GoFood hingga GoSend dengan tujuan untuk mengajak lebih banyak orang mengakses konten lokal sekaligus mempromosikan konten ke pengguna yang lebih banyak,” kata Edy.

Meskipun hingga saat ini masih banyak pengguna di Indonesia yang lebih menyukai konten secara gratis, namun mulai banyak pengguna yang memilih untuk berlangganan dan rela membayar, demi mendapatkan konten yang berkualitas.

Konten original dan pengolahan big data

Penerapan data anlytics untuk meningkatkan layanan
Penerapan data anlytics untuk meningkatkan layanan

Satu hal yang kemudian menjadi tujuan yang serupa dari kedua layanan VOD tersebut adalah, untuk mendorong karya-karya terbaik para konten kreator dan sineas Indonesia. Dalam hal ini masing-masing sengaja menjalin kemitraan strategis dengan studio hingga rumah produksi Indonesia, demi menciptakan konten original menarik untuk pengguna.

GoPlay mengklaim kondisi pasar yang demikian melatarbelakangi tujuan mereka sebagai jembatan penonton agar lebih mudah mengakses film-film produksi dalam negeri.

“Paling tidak dengan hadirnya GoPlay bisa memberikan opsi kepada sineas di Indonesia untuk menampilkan karya mereka memanfaatkan layanan digital yang dimiliki oleh GoPlay. Sesuai dengan komitmen dari Gojek untuk menghilangkan friction in daily life,” kata Edy.

Hooq sendiri akhir tahun 2019 lalu telah memperkenalkan produksi 19 konten orisinal baru yang terdiri dari serial dan film di empat negara tempat mereka beroperasi. Dari 19 judul baru, produksi konten orisinal Hooq terbanyak ada di Indonesia dengan 14 judul yang terdiri dari serial, film, dan acara stand up comedy.

Banyaknya slot konten baru di Indonesia tak mengherankan lantaran pasar Hooq di Asia Tenggara mayoritas berasal dari Indonesia. Hal itu dibenarkan Guntur.

Sebagai platform yang sepenuhnya memanfaatkan smartphone untuk pengguna mengakses konten, GoPlay mengklaim berhasil mengumpulkan big data yang kemudian diolah dan bisa dimanfaatkan oleh mitra hingga sineas. Dengan memanfaatkan data tersebut, para sineas bisa melihat konten seperti apa yang menjadi favorit, durasi yang ideal hingga genre atau kategori film seperti apa yang diminati oleh berbagai kalangan. Teknologi dan pengolahan data analytics menjadi kekuatan GoPlay.

Sementara itu, Hooq yang saat ini bukan hanya bisa dinikmati di smartphone namun juga di layanan broadband dan home cable yang tersebar di Indonesia, mengklaim justru engagement lebih banyak terjadi melalui kanal tersebut. Namun untuk jumlah unduhan dan pengguna, Hooq mencatat lebih banyak terjadi di aplikasi.

Disinggung apakah nantinya Hooq juga bakal menerapkan big data hingga data analytics untuk meningkatkan layanan, Guntur menyebutkan rencana tersebut sudah masuk dalam roadmap perusahaan. Setelah mengajukan opsi likuidasi akhir bulan lalu, saat ini Hooq Indonesia masih menunggu keputusan perusahaan untuk meneruskan atau menghentikan layanan mereka di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here
Belum ada keputusan PHK resmi, meskipun demikian pegawai Hooq dikabarkan mulai ditawarkan ke perusahaan lain

Ajukan Opsi Likuidasi, Layanan Hooq Indonesia Masih Berjalan

Meluncur sejak tahun 2016 lalu, layanan video on-demand Hooq yang didirikan oleh Singtel, Sony Pictures Television, dan Warner Bros mengajukan opsi likuidasi dengan alasan lambatnya pertumbuhan dan persaingan yang cukup sengit terhadap pemain serupa.

Platform ini dalam beberapa bulan terakhir mulai menunjukkan pertumbuhan yang lambat dengan mulai berkurangnya beberapa konten dan channel unggulan.

Kepada DailySocial, Country Head Hooq Indonesia Guntur S. Siboro mengungkapkan, sesuai dengan keputusan yang diambil Singtel akhir pekan lalu, saat ini Singtel telah menunjuk likuidator. Jika dalam waktu dua minggu tidak ada solusi terhadap kelanjutan perusahaan di Indonesia, layanannya akan dihentikan.

Disinggung tentang kelanjutan masa depan tim lokal, Guntur menegaskan,bisnis masih berjalan seperti biasa dan enggan menyebutkan nasib pegawai selanjutnya.

“Belum ada keputusan final jadi belum ada PHK. Saat ini Hooq Indonesia masih beroperasi seperti biasa, sampai ada keputusan likuidator,” kata Guntur.

Menurut sirkulasi informasi yang diperoleh DailySocial, setidaknya 94 pegawai Hooq terdampak likuidasi ini dengan 17 pegawai di antaranya merupakan pegawai Hooq Indonesia. Detail ini mulai diinfokan secara luas untuk membantu mereka memperoleh pekerjaan baru.

Persaingan ketat di industri

Acara Hooq di Indonesia beberapa waktu lalu
Acara Hooq di Indonesia beberapa waktu lalu

Di awal kehadirannya fokus Hooq adalah menayangkan berbagai konten film dan serial TV dari Hollywood. Dalam setahun terakhir, Hooq Indonesia menghadirkan konten original, pilihan berlangganan konten freemium, dan Live TV di platform mereka.

Hooq Indonesia menjalin kemitraan dengan sejumlah rumah produksi, sehingga setiap film yang didukung akan tersedia secara eksklusif tidak lebih dari 120 hari setelah penayangan di bioskop.

Melihat opsi likuidasi yang harus diambil, bisa dibilang persaingan di industri ini sangat ketat, termasuk dengan para pemain global, seperti Netflix dan Amazon Prime Video. Selain di Indonesia, Hooq juga tersedia di Singapura, Filipina, Thailand, dan India.

Application Information Will Show Up Here

Indonesia’s Battle of Video Streaming Platforms

There are many video streaming service platforms running the business in Indonesia, whether it’s local, regional, or global-sized. Although it’s considered niche, particularly targeting the young generation, their position is getting steady in the market.

The pioneer in this service, Netflix, might be the most premium player among the others, starts acquiring local content creators to lead the Indonesian market. What happened with Netflix, can be the blueprint for similar services.

Streaming platform in Indonesia

The regional players with a long history in Indonesia are Hooq and Iflix. Both have local affiliations to help coverage to this growing market share.

Since the beginning, Hooq that is focused on providing content from Hollywood, Asia, and Indonesia, has done some transformations, including the additional linear channel [cable TV], local listing, and Indonesian original content. A similar strategy is applied by Iflix. Although with a similar business model, both platforms are claimed to have a significant distinction.

“Since its debut to this day, Iflix has been through some transformations. Starts from the exclusive content to the Indonesian old movies. We’re now focused on providing Indonesian original content as well from other countries in Asia. It’s no longer focused on Hollywood products, this concept is expected to acquire a broader segment from the middle to lower class,” Iflix’ Executive Director, Cam Walker.

Related to the free linear channel and local listing in the platform, Cam thought the strategy is effective to create an alternative entertainment for users. The free streaming option is said to be a certain charm for the target market.

“By providing free streaming, they can directly increase the number of new users who are eventually willing to pay. This concept is quite effective.”

video streamign platform

Hooq on the other side, that is used to have the most Indonesian movies and series, starts adding up categories from their linear channels. They also provided some channels of cable TV to be available in Indonesia. Those channels are deliberately provided on Hooq based on demand and partnerships.

Hooq Indonesia’s Country Head, Guntur Siboro said that Hooq is still aiming to provide Indonesia’s original content and stay open for partnerships with related parties to expand and acquire users.

Similar to Hooq and Iflix, Vidio, a streaming platform under Emtek Group, starts showing Indonesia’s original content. The main distinction is in the premium sports content as users demand.

However, the fact that it’s occasional, Vidio wouldn’t be focused on sports alone.

“We also have more benefits under the Emtek Group ecosystem, which also includes two of Indonesia’s biggest TV stations [SCTV and Indosiar]. Thus, we can show what’s dear to the Indonesian population into the platform. Not only TV series but also variety shows and the music programs,” Vidio’s Chief of Content, Tina Arwin said.

Trend and the future

Indonesian market that has yet to mature makes it difficult to determine the leading platform in Indonesia. Not only Hooq and Iflix but also Vidio has to compete with many platforms that offer competitive prices or affordable subscriptions.

In the future, Tina Arwin sought there will be more Indonesia’s original content to be shown on various platforms. While the Hollywood content is still a monopoly game for US-based platforms, such as Netflix and Amazon Prime Video.

A similar answer said by Cam Walker. As he observed from Iflix point of view that is focused on providing Indonesia’s original content, this is such an effective way to gain more users who are mostly in the middle to the low economy. While for the premium segment, still go with Netflix subscriptions or Cable TV.

Another highlight that is predicted to happen in the next few years is the M&A of some platforms. Recently, Iflix has secured investment from MNC Group, while in August MNC Group also launched its own streaming platform. When the competition gets ugly, the M&A potential will be very wide open.

Eventually, all depend on the marketing strategy, partnerships, and high-quality original content to acquire more users. Even though this segment is still open for fresh ideas, the complex industry constellation makes it hard for the new local player to compete.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Persaingan Platform “Video Streaming” di Indonesia

Ada banyak platform video streaming service yang beroperasi di Indonesia, baik yang beroperasi secara lokal, regional, maupun global. Meskipun kehadiran mereka masih tergolong niche, khususnya menyasar kalangan muda, positioning mereka cukup kuat di target pasar tersebut.

Pelopor layanan ini, Netflix, meski terbilang paling premium di antara semua layanan, mulai merangkul kreator konten lokal demi menjangkau pasar Indonesia. Apa yang dilakukan Netflix bisa dibilang menjadi blue print bagi layanan serupa untuk merangkul pasar ini.

Platform streaming di Indonesia

Platform regional yang sudah lama beredar di Indonesia adalah Hooq dan Iflix. Keduanya memiliki afiliasi lokal untuk membantu merebut pangsa pasar yang mulai tumbuh ini.

Sejak awal berdiri, Hooq yang fokus menghadirkan konten asal Hollywood, Asia hingga Indonesia, telah melakukan berbagai transformasi, termasuk di dalamnya tambahan linear channel [televisi kabel], local listing, hingga konten original Indonesia. Cara serupa juga diterapkan Iflix. Meskipun memiliki kesamaan dari sisi model bisnis, kedua platform tersebut mengklaim memiliki perbedaan yang signifikan.

“Sejak awal berdiri hingga saat ini, Iflix telah mengalami beberapa transformasi. Mulai dari tayangan eksklusif hingga konten film bioskop lawas Indonesia. Kini fokus kami adalah menghadirkan konten original Indonesia dan negara lainnya di Asia. Tidak lagi fokus kepada produk Hollywood, dengan konsep ini diharapkan bisa merangkul lebih banyak segmentasi menengah ke bawah untuk menggunakan Iflix,” kata Executive Director Iflix Cam Walker.

Terkait linear channel dan local listing yang gratis dalam platform, menurut Cam strategi tersebut cukup efektif untuk menghadirkan alternatif hiburan untuk pengguna. Pilihan menonton secara gratis disebutkan masih menjadi daya tarik tersendiri bagi target pengguna.

“Dengan menghadirkan tayangan secara gratis, secara langsung bisa menambah jumlah pengguna baru yang pada akhirnya bersedia membayar. Konsep seperti ini cukup efektif kami terapkan.

Sementara itu Hooq, yang sebelumnya memiliki konten film dan serial televisi Indonesia paling banyak, mulai menambah pilihan baru dari linear channel mereka. Salah satunya adalah memindahkan beberapa channel yang tersedia di layanan TV kabel yang sudah tersedia di Indonesia. Channel pilihan tersebut sengaja dihadirkan Hooq berdasarkan demand dan jalinan kemitraan.

Menurut Country Head Hooq Indonesia Guntur Siboro, saat ini Hooq masih terus berupaya untuk menghadirkan konten original Indonesia dan membuka berbagai kemitraan dengan pihak terkait untuk memperluas dan menambah jumlah pengguna Hooq.

Serupa dengan Hooq dan Iflix, Vidio, platform streaming yang dikembangkan Emtek Group, mulai banyak menampilkan konten original Indonesia. Perbedaan signifikan Vidio berada pada konten olahraga premium yang diminati pengguna.

Namun karena sifatnya yang musiman, Vidio tidak mau terpaku ke konten olahraga saja.

“Kami juga memiliki keuntungan lebih karena masuk dalam ekosistem Emtek Group yang di dalamnya terdapat dua stasiun televisi besar di Indonesia [SCTV dan Indosiar]. Dengan demikian kami bisa menampilkan program televisi yang menjadi favorit masyarakat Indonesia ke dalam platform. Bukan hanya serial televisi dan sinetron, melainkan juga variety show hingga program musik lainnya,” kata Chief Content Vidio Tina Arwin.

Tren dan masa depan

Masih belum mature-nya pasar Indonesia menyulitkan untuk bisa mengetahui siapa platform unggulan di Indonesia. Baik Hooq, Iflix, maupun Vidio harus bersaing dengan berbagai platform yang menawarkan harga berlangganan cukup miring dan terbilang terjangkau.

Ke depannya Tina Arwin melihat akan lebih banyak lagi konten original Indonesia yang bakal dihadirkan oleh berbagai platform. Sementara konten Hollywood masih menjadi monopoli platform asal Amerika Serikat, seperti Netflix dan Amazon Prime Video.

Pernyataan serupa disebutkan Cam Walker. Dilihat dari kacamata Iflix yang cukup fokus menghadirkan konten original Indonesia, cara-cara seperti ini diklaim cukup ampuh menarik lebih banyak pengguna baru yang kebanyakan berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Sementara segmen premium cenderung masih memilih untuk berlangganan Netflix atau televisi berlangganan.

Hal menarik lainnya yang diprediksi bakal terjadi beberapa tahun ke depan adalah terjadinya aksi M&A beberapa platform. Baru-baru ini Iflix mendapatkan suntikan dana dari MNC Group, sedangkan bulan Agustus lalu MNC Group juga meluncurkan platform streaming sendiri. Jika persaingan makin sengit, potensi M&A makin terbuka.

Pada akhirnya semua akan kembali ke strategi pemasaran, dukungan kemitraan, dan konten original berkualitas untuk menarik lebih banyak pengguna. Meski tidak menutup peluang hadirnya ide-ide segar di segmen ini, konstelasi industri yang kompleks cukup menyulitkan pemain lokal baru untuk bersaing.