Tag Archives: GVS 2017

Belajar Membangun Startup Sukses dari Serial Entrepreneur Silicon Valley Bill Reichert

Silicon Valley saat ini telah menjadi trend setter untuk semua teknologi dan inovasi terkini. Diinisiasi oleh tech enthusiast yang mulai merasa bosan dan jenuh dengan kebiasaan mengidolakan selebiriti Hollywood di AS pada tahun 70-an, inovasi hingga teknologi terkini telah dilahirkan dari kawasan ini. Salah satu entrepreneur senior yang sejak awal berkarir di Silicon Valley adalah Bill Reichert yang saat ini menjabat sebagai Managing Director Garage Technology Ventures, sebuah VC yang berbasis di Silicon Valley dan telah banyak menelurkan startup berkualitas.

Pengalamannya selama 20 tahun sebagai serial entrepreneur, dipaparkan secara detil saat acara Global Ventures Summit 2017 akhir pekan lalu. Berikut ini adalah 5 tips yang perlu dicermati oleh pelaku startup belajar dari Bill Reichert.

Jadilah inovator

Dulu, sebelum Silicon Valley eksis, berbagai macam produk hingga perangkat yang dibuat berangkat dari hasil penemuan. Berbagai ahli hingga pakar lebih memfokuskan kepada penemuan terkini yang berguna untuk orang banyak. Namun demikian kehadiran Silicon Valley telah mengubah semua kebiasaan tersebut dan beralih menjadi fokus kepada inovasi. Inovasi yang mendorong para pelaku startup untuk memberikan layanan atau produk terkini yang berfungsi dengan baik untuk orang banyak.

Investasi ke tim

Tips lainnya yang juga dibagikan oleh Bill Reichert adalah, pentingnya untuk membangun “unbalanced team” dalam sebuah startup. Yang dimaksud dari “unbalanced team” adalah, rekrut berbagai orang yang memiliki skill dan kemampuan yang berbeda. Sehingga tim tersebut bisa saling melengkapi dengan berbagai talenta dan kemampuan yang dimiliki. Jangan terlalu banyak merekrut satu tim tertentu saja, tempatkan dengan baik berbagai posisi krusial yang dibutuhkan oleh startup dan ciptakan kolaborasi yang positif antar tim.

Jangan takut gagal

Dunia startup sarat dengan ide yang disruptive dan out of the box. Terkadang dibutuhkan cukup waktu serta eksekusi yang sempurna agar bisnis bisa berjalan dengan baik. Namun demikian ketika Anda sebagai pendiri startup merasa tidak mampu untuk menjalankan bisnis dan terpaksa harus menghentikan oprasional jangan putus asa. Kegagalan merupakan proses yang cukup normal dalam dunia startup. Dengan demikian Anda bisa belajar dari kesalahan dan mulai kembali membangun startup yang baru.

Luncurkan produk segera

Memiliki produk yang sempurna tentunya menjadi impian bagi semua startup, namun demikian untuk bisa menghasilkan produk atau layanan yang sempurna dibutuhkan waktu yang cukup lama, dan bisa berisiko terlambatnya produk tersebut dirilis. Jangan terlalu fokus kepada pengembangan hingga penyelesaian sebuah produk, jika produk Anda sudah siap dan bisa segera ditawarkan kepada publik. Produk akan menjadi ideal dan sempurna, ketika Anda mendapatkan feedback langsung dari pengguna.

Menjadi ‘enabler’ teknologi

Perusahaan sukses seperti Facebook, Google hingga Alibaba merupakan perusahaan sukses yang sepenuhnya memanfaatkan teknologi. Meskipun secara langsung ketiga perusahaan tersebut bukanlah perusahaan teknologi, namun dengan cara masing-masing mereka mampu menghadirkan layanan yang digunakan setiap harinya oleh orang banyak. Agar startup Anda bisa menjalankan bisnis dengan lancar, manfaatkan dengan baik teknologi yang sesuai dan tepat untuk layanan atau produk startup.

KinerjaPay Berencana Luncurkan KinerjaFood dan KinerjaTravel

Setelah meluncurkan KinerjaMall bulan November 2016 lalu, KinerjaPay Corp berencana untuk meluncurkan layanan baru pada bulan Agustus hingga Oktober mendatang. Tiga layanan terbaru yang diklaim bakal melengkapi KinerjaPay Corp sebagai One Stop Service adalah KinerjaTravel, KinerjaGames dan KinerjaFood.

Di sela-sela kegiatan Global Ventures Summit 2017 di Bali akhir pekan lalu, CEO PT KinerjaPay Indonesia Deny Rahardjo mengungkapkan:

“Sebagai perusahaan yang sudah terdaftar dalam bursa OTC (KPAY) kami akan menghadirkan inovasi terkini secara berkala sesuai dengan roadmap yang dimiliki.”

Hadirnya KinerjaFood yang nantinya akan berfungsi sebagai jasa pengantaran makanan seperti yang telah dilakukan oleh Go-Food dan GrabFood. Sementara untuk KinerjaTravel rencananya akan menjual tiket pesawat melalui KinerjaPay. Selama ini KinerjaPay Corp juga telah menjual paket wisata domestik di situs KinerjaMall.

Meluncurkan aplikasi mobile versi 4.0

Dalam presentasinya disampaikan pula informasi terkini seputar pembaruan yang dilakukan di aplikasi mobile KinerjaPay. Di versi 4.0 ini interface aplikasi diperbarui, dompet atau layanan e-wallet dari KinerjaPay juga dirilis, pilihan pembayaran untuk multi finance (MAF,MCF, Colombia Finance dan WOM), serta penambahan produk Gift Cards. Aplikasi khusus untuk pengguna ini diharapkan bisa memberi kemudahan dan pilihan baru untuk melakukan transaksi keuangan.

Sepanjang tahun 2017 ini KinerjaPay berharap bisa mencapai target, diantaranya adalah mengakuisisi 1 juta pengguna, mendapatkan 3 ribu transaksi per hari, dan meraih ARPU Rp 180 ribu.

KinerjaPay Corp mengalokasikan dana sekitar ratusan juta rupiah yang dimanfaatkan untuk membangun platform terpisah dari KinerjaMall. Hal ini dilakukan karena dari sisi produk dan pelanggan dan infrastruktur sudah berbagi dengan KinerjaPay. Nantinya KinerjaMall bakal memiliki tim sendiri terpisah dari KinerjaPay.

Application Information Will Show Up Here

Mengupas Kendala Layanan Fintech dan Logistik E-Commerce di Indonesia

Hari terakhir kegiatan Global Ventures Summit 2017 membahas topik yang saat ini menjadi tren di Indonesia yaitu fintech dan e-commerce. Sebagai negara yang saat ini masih dikenal paling rendah literasinya terhadap finansial, hal tersebut masih menjadi kendala terbesar, terutama untuk layanan fintech lokal hingga asing yang ada di Indonesia.

Sesi diskusi yang dipandu Nayoko Wicaksono dari Plug n Play, Ninou Sarwono dari Capital Group, dan Simon Costello dari HaloMoney membahas tantangan yang dihadapi oleh layanan fintech di tanah air.

Kesulitan startup layanan fintech untuk scale-up

Tahun 2017 bisa dibilang merupakan tahun terbaik untuk layanan fintech di Indonesia. Makin maraknya layanan P2P lending, layanan keuangan dan lainnya hadir di Indonesia, menandakan potensi yang cerah bagi layanan fintech saat ini. Namun demikian bagi layanan fintech yang sudah menjalankan bisnisnya selama 1-2 tahun terakhir, saat ini mengalami kesulitan untuk melakukan scale up.

Selain scale up, kendala lainnya yang hingga kini masih dirasakan oleh semua layanan fintech di Indonesia adalah masih rendahnya rasa percaya atau trust dikalangan pengguna untuk melakukan pembayaran dan aktivitas keuangan lainnya melalui desktop dan aplikasi mobile. Di sisi lain Indonesia sendiri merupakan negara terbanyak yang masih belum memiliki akun rekening dan bank, dan minimnya kepemilikan kartu kredit.

“Saya melihat perbedaan tersebut terlihat dengan layanan fintech di AS yang lebih banyak didorong oleh pelaku startup, sementara di Indonesia operator telekomunikasi hingga bank, memiliki andil yang besar dan cukup agresif menghadirkan layanan fintech untuk pengguna,” kata Simon Costello.

Besarnya jumlah pengguna di operator telekomunikasi dan bank menjadi keuntungan lebih tentunya untuk memasarkan berbagai layanan yang ada. Simon menambahkan bahwa agar layanan fintech di Indonesia bisa eksis, harus fokus apakah ingin menjadi aggregator atau platform provider.

Dukungan pemerintah untuk layanan fintech

Layanan fintech selama ini selalu di asosiasikan dengan regulator, dalam hal ini OJK hingga Bank Indonesia. Agar semua pelaku startup yang menyasar layanan fintech bisa menjalankan bisnisnya dengan baik, dibutuhkan dukungan dan pengawalan yang cukup intensif dari regulator di Indonesia.

“Saat ini pemerintah Indonesia dan para regulator pada khususnya sudah mulai agresif membantu layanan fintech untuk menemukan formula dan regulasi yang tepat. Diharapkan nantinya akan lebih cepat dan aktif lagi regulator membuat keputusan serta kebijakan yang ada,” kata Ninou Sarwono.

Dilema layanan logistik di Indonesia

Muhamad Fajrin Rasyid dari Bukalapak, Loren Sanchez dari Linio, Krishnan dari Fabelio

Hari terakhir GVS 2017 juga menghadirkan pemain e-commerce dari Meksiko yaitu Loren Sanchez dari Linio, Krishnan dari Fabelio dan Muhamad Fajrin Rasyid dari Bukalapak. Dalam perbincangan tersebut masing-masing membicarakan tentang kendala terkait logistik di Indonesia dan Meksiko yang ternyata tidak jauh berbeda.

Luasnya wilayah di Indonesia terkadang menyulitkan layanan e-commerce untuk melakukan pengiriman barang ke pelosok di Indonesia. Kesamaan lain yang diklaim Loren Sanchez dari Linio adalah model kemitraan yang diterapkan Bukalapak dengan pihak logistik.

“Kami memiliki kemitraan dengan 10 perusahaan logistik di Indonesia. Hal tersebut memudahkan pengguna yang dengan bebas memilih perusahaan logistik mana yang ingin digunakan untuk pengantaran barang,” kata Fajrin.

Senada dengan Bukalapak, Linio juga melakukan kemitraan dengan beberapa perusahaan logistik serta memberikan kebebasan untuk pengguna melakukan pengantaran sesuai dengan perusahaan logistik pilihan.

“Karena luasnya Meksiko, terkadang para kurir kesulitan menemukan alamat karena tidak dilengkapi dengan alamat yang jelas dan kode pos. Hal tersebut yang hingga kini kasih menjadi kendala terbesar kami,” kata Loren.

Masalah lain yang kerap dihadapi Bukalapak adalah masih banyaknya penjual yang memanfaatkan media sosial. Kebanyakan dari penjual tersebut banyak yang palsu, namun berhasil menarik perhatian pembeli dengan iming-iming harga yang murah dan produk yang beragam.

“Karena penjual palsu tersebut makin rendah kepercayaan masyarakat Indonesia untuk melakukan pembelian secara online. Hal tersebut secara langsung merugikan kami sebagai layanan e-commerce yang sepenuhnya membutuhkan kepercayaan publik,” kata Fajrin.


Disclosure: DailySocial adalah media partner Global Ventures Summit 2017

Potensi Cerah Produk SaaS dan Makin Maraknya Kehadiran Investor Tiongkok di Indonesia

Memasuki hari kedua kegiatan Global Ventures Summit 2017, rangkaian acara lebih banyak diisi dengan penjabaran serta diskusi dari investor asing dan lokal. Venture capital lokal yang dihadirkan adalah Kejora Ventures dan Convergence Ventures. Ada pula VC asing seperti Wavemaker Partners yang memiliki beberapa portofolio di Asia Tenggara. Terdapat tiga hal yang menjadi sorotan dan disepakati oleh masing-masing investor tersebut, yaitu networking, SaaS dan pelokalan sebagai kunci kesuksesan membangun startup di Indonesia.

Kejora dan rencana ekpansi ke mancanegara

Sebagai salah satu venture capital dari Indonesia yang termasuk aktif membina startup lokal, Kejora Ventures memiliki rencana yang cukup agresif sepanjang tahun 2017. Salah satu rencana yang akan diwujudkan Kejora adalah menambah lebih banyak lagi kantor perwakilan Kejora di berbagai negara dan menambah jumlah partner dari Eropa, Korea Selatan, dan Thailand.

“Kami memang sedang menempatkan beberapa kantor oprasional di negara tujuan yang kami anggap memiliki potensi dan layak untuk ditempatkan kantor perwakilan, seperti yang baru kami lakukan di Bangkok baru-baru ini,” kata Managing Director Kejora Ventures Andy Zain.

Dalam proses pemilihan startup yang tepat di Indonesia, Andy dan tim melihat ke industri yang hingga kini masih belum disentuh oleh pemain lainnya. Contoh keberhasilan yang telah diterapkan Kejora adalah dengan menjadi salah satu venture capital yang serius mengembangkan layanan financial technology (fintech).

“Kami dari Kejora melihat nampaknya sudah cukup sulit untuk memasuki industri e-commerce di Indonesia. Dengan alasan itulah kami akhirnya memilih layanan fintech, HR dan logisitik yang menjadikan Kejora salah satu pionir di industri tersebut,” kata Founding Partner Kejora Group (Mountain Kejora Ventures) Sebastian Togelang.

Kekuatan networking untuk mendukung pertumbuhan startup

David Siemer dari Wavemaker Partners

Dalam beberapa diskusi yang digelar dalam cara GVS 2017 hari kedua, pentingnya networking saat membangun startup banyak disampaikan oleh para investor. Menurut Andy, sebaik apa pun ide yang dimiliki atau seberapa besar pendanaan yang didapatkan, tidak akan memberikan impact yang cukup baik jika tidak dibarengi dengan kemampuan untuk networking yang baik.

Kekuatan networking juga disinggung David Siemer dari Wavemaker Partners. Wavemaker adalah venture capital asal Amerika Serikat yang telah mendalami dunia startup di Asia Tenggara selama 10 tahun terakhir. Menurut Andrew, penggiat startup wajib mencermati seperti apa jaringan atau networking yang dimiliki oleh venture capital tersebut sebelum mendapatkan pendanaan. Jaringan tersebut seyogyanya akan memberikan keuntungan lebih kepada startup.

“Selain jaringan, hal lain yang harus diperhatikan oleh startup ketika memilih VC adalah siapa saja capital partner mereka, personality dari VC tersebut dan tentunya LP (limited partner).”

Potensi menjanjikan SaaS

Terkait dengan sektor yang paling menjanjikan untuk diinvestasikan di Indonesia, Adrian Li dari Convergence Ventures menyebutkan layanan atau produk Software as a Service (SaaS) tidak disangka memiliki potensi yang cukup cerah di Indonesia. Adrian juga menambahkan selain SaaS, sektor yang menarik untuk dikembangkan adalah mobile internet, O2O dan fintech.

“Awalnya saya tidak yakin dengan produk SaaS atau bisnis software di Indonesia, namun saat ini sudah banyak produk SaaS dan software tumbuh dengan baik di Indonesia,” kata Adrian.

Sementara itu menurut Andrew dari Wavemaker, produk SaaS di Asia Tenggara, nilai valuasinya masih sangat rendah. Namun hal tersebut tidak menjadikan sektor SaaS kurang diminati.

Kehadiran perusahaan dan VC Tiongkok di Indonesia

Adrian Li dari Convergence, Jefferson Chen dari GSR Ventures, Ian Goh dari 01VC

Salah satu topik menarik yang juga dibahas dalam acara GVS 2017 adalah kehadiran investor dan perusahaan raksasa asal Tiongkok seperti Alibaba ke Indonesia. Dengan jumlah penduduk yang banyak dan kebiasaan konsumen yang tidak jauh berbeda dengan Tiongkok, Indonesia menjadi pasar yang menarik untuk dijajaki  investor Tiongkok.

Namun demikian, pelokalan masih menjadi faktor penentu keberhasilan perusahaan asing yang berencana masuk ke Indonesia. Hal ini ditegaskan Jefferson Chen dari GSR Ventures.

“Untuk menjalankan bisnis di Indonesia harus mengerti kultur dan pasar di Indonesia. Hal ini berlaku untuk semua bisnis dari luar negeri untuk selalu menempatkan tim lokal terlebih dahulu di Indonesia.”

Akuisisi yang dilakukan oleh Alibaba kepada Lazada, kolaborasi antara Emtek dengan Alipay juga membuktikan bahwa secara perlahan makin banyak investor asal Tiongkok yang mulai melirik pasar di Indonesia. Menurut Ian Goh, Founding Partner 01vc, diperkirakan akan lebih banyak lagi investor asal Tiongkok yang berinvestasi di Indonesia.

“Saya melihat akan makin banyak Chinese capital masuk ke bisnis di Indonesia. Untuk itu masalah seperti kurangnya talenta yang berkualitas hingga minimnya kemampuan dan pengalaman dari pendiri startup harus diminimalisir,” kata Goh.


DailySocial adalah media partner Global Venture Summit 2017

Rencana Sinergi Telkom dan Startup Binaan MDI

Dalam acara Global Ventures Summit 2017 di hari pertama CEO MDI Ventures Nicko Widjaja memberikan informasi berupa pencapaian serta target yang ingin diraih. Dalam presentasinya Nicko menjabarkan beberapa poin penting termasuk latar belakang dirinya sebelum bergabung di MDI hingga harapannya dari MDI untuk startup di Indonesia.

“Sejak awal komitmen dari MDI adalah hanya memberikan investasi kepada startup Seri A ke atas. Hal ini kami lakukan agar tidak bersaing dengan Indigo (inkubator dan akselerator milik Telkom). Sebagai VC yang sepenuhnya dimiliki oleh Telkom, kami masih mencari cara terbaik untuk menghasilkan profit,” kata Nicko.

Selama ini MDI dikenal dengan pendekatannya yang cukup intensif kepada startup binaan. Hal tersebut dilakukan agar memastikan kinerja dari startup tersebut sejalan dengan visi dan misi MDI.

“Selama ini saya kerap melakukan pendekatan “hands on” kepada semua startup yang ada. Hasilnya cukup memuaskan kami dari MDI agar bisa memastikan startup yang kami investasikan berjalan dengan baik.

Sinergi Telkom dan startup MDI

Dengan jaringan luas yang dimiliki oleh Telkom memberikan kesempatan MDI untuk melakukan sinergi dengan startup pilihan, yang tentunya sesuai dengan karakter dari MDI dan Telkom. Hal tersebut saat ini secara bertahap telah dilakukan oleh MDI, dengan menyinergikan beberapa startup yang diberikan pendanaan dengan MDI dan jaringan usaha bisnis dari Telkom. Mulai dari mobile subscription, cloud and IT managed service serta layanan e-commerce.

Rencananya akan ada 14 Sinergi lainnya yang bakal diterapkan oleh MDI di antaranya adalah privyID dengan Indihome, aCommerce dengan metraplasa dan finnet, codapay dengan Telkomsel dan metranet, Ncomputing dengan telkomsigma.

Teknologi yang kemudian dikembangkan oleh MDI dengan Telkom adalah menyinergikan infomedia yang merupakan layanan pelanggan dari Telkom. Selama ini infomedia menggunakan telepon dengan biaya oprasional yang cukup tinggi jumlahnya. Sementara untuk revenue sepenuhnya mengandalkan calling fees, dan transaksi terjadi diluar proses bisnis.

Dengan sinergi yang dilakukan bersama Kata.ai, diharapkan nantinya bisa menjadi Multi-channel (phone, sms, messaging), lebih efisien (AI-assisted operations) dan revenue akan diambil dari subscription serta transaksi.

“Saat ini teknologi tersebut masih dalam pengembangan. Telkom bersama Kata.ai masih membangun teknologi yang ada sampai akhirnya siap untuk diluncurkan,” kata Nicko.

Kata.ai sendiri merupakan startup lokal yang mendapatkan investasi dari MDI dan dipimpin oleh Irzan Raditya.


Disclosure: DailySocial adalah media partner Global Ventures Summit 2017

Tren VC Global dan Untung Rugi Mendapatkan Pendanaan dari Corporate Venture Capital

Rangkaian kegiatan Global Ventures Summit (GVS) 2017 hari pertama banyak diisi dengan topik serta informasi menarik seputar VC secara global. Salah satu presentasi menarik disajikan Preqin Global Private Equity dan Venture Capital. Dalam laporan yang dirilis tahun 2017 ini, Felice Egidio dari Preqin menyampaikan beberapa topik menarik tentang tren seputar VC.

Melihat tren dan performa VC secara global

Dari data yang berhasil dikumpulkan oleh Preqin, kebanyakan deals atau kesepakatan yang terwujud di kalangan VC adalah sebanyak 28% adalah yang berhubungan dengan software, 23% berhubungan dengan internet, sisanya adalah lebih kepada kategori telekomunikasi, healthcare, IT, business service dan clean technology.

Hal menarik lainnya yang disampaikan Preqin adalah negara di Amerika Utara merupakan negara terbanyak yang berhasil mengantongi kesepakatan dengan VC, disusul dengan Eropa dan Tiongkok. Sementara untuk putaran pendanaan yang paling banyak diberikan adalah Angel/Seed sebanyak 30% kemudian Seri A sebanyak 28%, disusul dengan Seri B sebanyak 14%, dan Seri D sebanyak 8%.

Terkait jumlah startup yang telah berhasil melakukan Exit, tahun 2014 merupakan tahun dengan jumlah tertinggi Exit startup sebanyak 1486 startup secara global. Setelah itu jumlah startup yang Exit semakin menurun.

Disebutkan juga hanya 26 startup yang berhasil IPO. Data ini dikumpulkan oleh Preqin selama kuartal pertama tahun 2017. Negara di Amerika Utara merupakan startup dengan jumlah terbanyak yang berhasil Exit, disusul Eropa, Tiongkok, dan India.

“Jumlah startup yang mendapatkan pendanaan saat ini masih didominasi oleh startup asal Amerika Serikat. Sementara startup asal India saat ini sudah mulai mengalami pertumbuhan yang baik dan termasuk yang paling banyak mendapatkan pendanaan di Asia,” kata Felice.

Secara keseluruhan performa VC sepanjang tahun 2016 menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik. Diperkirakan dalam waktu 10 tahun ke depan performa dari VC secara global bakal makin meningkat.

Untung rugi mendapatkan pendanaan dari CVC (Corporate Venture Capital)

Salah satu speaker internasional yang hadir di hari pertama acara GVS 2017 adalah Andrew Romans dari Rubicon Venture Capital. Dalam presentasinya, Andrew menyampaikan beberapa tips yang wajib dicermati untuk para penggiat startup agar mulai memikirkan untuk melakukan pendekatan kepada CVC.

Beberapa alasan yang disampaikan oleh Andrew adalah kecepatan mendapatkan pendanaan untuk kapital (karena hanya ada 1 Limited Partners) dan kesempatan menjual produk dan layanan yang dimiliki melalui sumber (konsumen) yang dimiliki korporasi tersebut. Tak kalah pentingnya adalah kemungkinan yang cukup besar untuk diakuisisi perusahaan tersebut nantinya.

Meskipun demikian, masih banyak kalangan tertentu yang menyarankan kepada startup untuk menghindari pendekatan dengan CVC. Diungkapkan sifat kolaborasi dengan CVC berbeda dengan venture capital pada umumnya.

“Setidaknya saya menyarankan kepada pelaku startup untuk melakukan pertemuan dengan CVC sebelum memutuskan untuk menolak atau menyetujui. Agar bisa mendapatkan gambaran yang jelas usai pertemuan dilakukan,” tutup Andrew.


Disclosure: DailySocial adalah media partner Global Ventures Summit 2017

Global Ventures Summit 2017 Akan Sajikan Sensasi Silicon Valley di Bali

Pagelaran Global Ventures Summit (GVS) akan segera dihelat untuk pertama kalinya di Indonesia pada tanggal 19-21 April 2017 mendatang bertempat di Nusa Dua Convention Center Bali. Sekurangnya akan ada 25 venture capital, 50 angel investor dan 100 startup yang akan turut serta dalam acara ini. Global Ventures Summit 2017 mencoba membawa sensasi Silicon Valley ke Indonesia. Untuk pendaftaran ke rangkaian acara ini masih dibuka, bisa didapat melalui tautan berikut http://www.gvsummit.co/application-form.

Founder GVS Ahmed Shabana menyampaikan salah satu alasan mengapa penyelenggaraannya di Indonesia karena ia meyakini bahwa generasi unicorn selanjutnya adalah di Asia dan Indonesia memiliki kesempatan untuk memiliki pertumbuhan signifikan dalam bisnis startup digital. Untuk mengakselerasi pertumbuhan tersebut, keterlibatan Silicon Valley dibutuhkan, khususnya para venture capital, guna memberikan “bahan bakar” bagi pertumbuhan perusahaan.

Manfaat mengikuti GVS 2017 bagi startup

Salah satu agenda yang akan dijalankan pada GVS 2017 adalah “GVS Pitch Battle”, sebuah kompetisi singkat bagi startup untuk memenangkan hadiah berupa uang tunai dan kesempatan berkunjung ke Silicon Valley. Hanya para startup terpilih saja yang berhak mengikuti kompetisi ini, dan pendaftarannya masih dibuka. Startup terpilih tersebut nantinya juga akan diberikan dua tiket gratis untuk mengikuti rangkaian acara GVS 2017 di Bali.

Selain itu bagi para startup yang berminat juga dapat mengikuti ajang pameran di GVS Exhibition. Menjadi kesempatan menarik karena para rekanan venture capital seperti dari 500 Startups, Fenox Venture Capital, Y Combinator, MDI Ventures, dan banyak lagi akan hadir memeriahkan acara tersebut. Sangat terbuka kesempatan untuk bermitra dengan para investor ataupun sesama penggiat startup lain.

Menyajikan puluhan pemateri panel diskusi terbaik dalam bidang startup digital

Ada sekitar 30 sesi keynote dan diskusi panel terbuka untuk para peserta GVS 2017. Para pemateri yang dihadirkan termasuk dari jajaran investor internasional, investor lokal, pemain startup regional dan startup-startup terbaik di Indonesia. Pembahasan mulai tentang investasi, regulasi, pematangan startup hingga kiat untuk mencapai unicorn akan menjadi tema pembahasan dalam berbagai diskusi yang digelar.

Nama-nama seperti Nadiem Makarim, Achmad Zacky, Nicko Widjaja, Shinta Dhanuwardoyo, dan beberapa lainnya mengisi line-up pemateri lokal. Sedangkan Vishal Harnal (500 Startups), Christine Herron (Intel Capital), Anis Uzzaman (Fenox Venture Capital), Mat Ward (Helpster) dan beberapa penggiat startup lain akan mengisi line-up pemateri regional dan internasional.

Ragam kesempatan untuk mengikuti acara ini masih terbuka, baik sebagai peserta, mengisi pameran hingga mengikuti kompetisi. Info lebih lanjut dan pendaftaran dapat diakses di laman resmi GVS 2017. Dan untuk pendaftaran ke acara, dapat mengisi formulir berikut: klik tautan ini.


Disclosure: DailySocial adalah media partner Global Ventures Summit 2017 Bali