Perubahan model bisnis (pivot) adalah langkah terlogis bagi startup yang ingin berkelanjutan ketika mereka gagal memonetisasi secara maksimal. Malah menjadi langkah yang baik apabila dilakukan oleh startup tahap awal, karena pada akhirnya dapat menguntungkan semua pihak. DishServe adalah salah satunya yang baru-baru ini mengumumkan pivot-nya secara resmi kepada publik.
Kini DishServe fokus menyediakan solusi otomatisasi operasional restoran, kafe, dan dapur khusus layanan pengiriman (delivery only). Sejak berdiri pada Desember 2020, startup ini membantu pebisnis F&B skala UMKM untuk berkembang dengan memanfaatkan jaringan cloud kitchen yang berasal dari rumahan.
Dalam wawancara bersama DailySocial.id, Co-founder & CEO DishServe Rishabh Singhi menuturkan ada tiga temuan yang ditemukan di lapangan dan mendorong perusahaan untuk mengeksplorasi pendekatan strategis baru, yakni:
- Margin kecil karena keuntungan diserap oleh aplikasi pengiriman makanan;
- Pebisnis kuliner skala kecil tidak punya kapasitas untuk scale up produk (R&D) karena minim sumber daya;
- Tidak konsisten dalam menjaga kualitas makanan karena proses memasak yang manual, alhasil sering kelabakan ketika menerima pesanan dalam jumlah besar.
Singhi menegaskan, ketiga alasan di atas menjadi alasan terkuat untuk pivot, bukan dari inti bisnis cloud kitchen itu sendiri yang dianggap tidak bakal mencetak keuntungan. Menurutnya, implementasi bisnis pada dasarnya tidak berpengaruh oleh perbedaan budaya atau lainnya bila diterapkan di Indonesia atau bukan.
“Kami tidak melihat ada penurunan pesanan di dalam DishServe [alasan lain di balik pivot]. Justru melihat dari perspektif pebisnis F&B bahwa mereka tidak bisa scale up karena limit produksi, tidak punya produk yang konsumen sukai, dan terlalu banyak middleman,” terangnya.
Transformasi bisnis baru ini pertama kali terjadi pada Juli 2022, kemudian rampung pada tiga bulan kemudian tepatnya September 2022. Dengan model bisnis baru, kini struktur perusahaan jauh lebih ringan. Jalur menuju profitabilitas pun jadi jauh lebih cepat, bukan kejar titik impas lagi. Laba yang dicetak ini nantinya dapat digunakan perusahaan untuk diputar kembali untuk kebutuhan ekspansi, sehingga tidak terlalu bergantung pada pendanaan eksternal dari investor.
Perusahaan menargetkan dapat cetak untung pada kuartal III 2023 ini. Target ini jauh lebih cepat bila sepenuhnya mengandalkan model bisnis lama yang diprediksi baru akan terjadi pada 2026 alias butuh enam tahun sejak DishServe berdiri.
“Jadi rencana pertama kita adalah cetak untung, sehingga kami tidak bergantung pada pendanaan eksternal untuk mempertahankan bisnis kami. Namun kami akan secara oportunistik melihat penggalangan dana tergantung pada situasi pasar dan rencana ekspansi ke depannya.”
Perusahaan terakhir kali mengumumkan pendanaan yang diperoleh dari pra-seri A pada November 2021. Beberapa investor yang terlibat di antaranya, Genting Group, Insignia Venture Partners, Stonewater Ventures, Ratio Ventures, Rutland Ventures, 300x Ventures, MyAsiaVC, dan beberapa angel investor.
Model bisnis baru
Kini DishServe mengembangkan serangkaian inovasi untuk membantu mitra dapur mengoptimalkan penjualan dengan menyediakan solusi satu atap. Mulai dari:
- Merek F&B berkualitas tinggi, pelatihan, sistem operasional/SOP, peralatan, dan dukungan untuk mitra dapur;
- Aplikasi terintegrasi yang menyediakan akses bagi mitra dapur untuk mengelola menu, harga, promosi, inventaris, dukungan pelanggan, dan integrasi semua aplikasi pengiriman makanan;
- Solusi pembayaran komprehensif, meliputi solusi makan di tempat berbasis kode QR yang meningkatkan pengalaman pelanggan, titik penjualan (POS), dan sistem rekonsiliasi keuangan otomatis dan memudahkan rekonsiliasi dari berbagai kanal.
Target penggunanya pun luas, tidak terbatas pada bisnis kuliner rumahan saja, tapi juga bisnis yang berada di skala lebih tinggi. Tak terlepas juga bisnis yang sudah punya kehadiran toko offline juga tak liput dari incaran, sehingga DishServe tidak sepenuhnya bergantung pada bisnis pesan antar makanan saja.
Untuk melayani segmen delivery only, perusahaan telah membangun sederet merek F&B yang fokus untuk memproduksi makanan berkualitas tinggi dengan meningkatkan akses, harga terjangkau, dan cita rasa enak. Merek DishServe diklaim mampu meningkatkan daya jangkau konsumen dengan skema manufaktur massal di dapur terpusat (central kitchen), sehingga menurunkan biaya produksi sekaligus mempertahankan kualitas secara konsisten.
Seluruh proses makanan dibuat dan dikemas di dapur terpusat DishServe yang berlokasi di Gambir, Jakarta Pusat. Kemudian didistribusikan ke lebih dari 200 jaringan cloud kitchen yang bergabung tersebar di 10 kota, seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, dan Medan. Radius mitra dapur ini rata-rata sekitar 2 km dari pemukiman konsumen.
Merek DishServe seluruhnya adalah menu makanan sehat. Nama-namanya adalah KitFit, LIT, Uncle Tam, Bing Bing, dan Chickass. Khusus merek yang terakhir ini bakal dirilis resmi ke publik dalam waktu dekat. KitFit adalah merek pertama yang dirilis perusahaan dan diklaim menjadi kontributor pendapatan terbesar sejauh ini.
Singhi menjelaskan alasan pihaknya tertarik masuk ke menu sehat karena masih sulitnya akses masyarakat untuk mengkonsumsi makanan sehat dengan harga terjangkau. Terlebih itu jumlah pemainnya juga belum banyak.
Maka dari itu, perlu upaya untuk mendemokratisasi makanan sehat yang mudah dicari dengan harga terjangkau, sama seperti kondisi saat ini yang sangat mudah menemukan makanan cepat saji. Sebab, mengonsumsi makanan sehat harus dilakukan secara rutin bukan sesekali saat berkunjung ke mal saja, tapi di mana saja konsumen berada.
Menurut data FAO, rata-rata masyarakat Indonesia mengonsumsi 122 gram sayur dan 92 gram buah setiap hari. Tingkat konsumsi tersebut lebih rendah dari tingkat asupan harian yang direkomendasikan, yaitu 300-400 gram sayur dan 100-150 gram buah.
“Dari perspektif kita mau menyelesaikan masalah di atas dengan menciptakan menu makanan sehat yang enak, harga terjangkau, dan mudah diakses dari rumah mereka. Anggap kami sebagai McD [McDonald’s], rasanya seperti McD, dan mudah ditemukan seperti McD.”
Perusahaan pun juga akan menambah satu merek sehat yang sedang dipersiapkan untuk tahun ini. Nantinya DishServe akan mengoperasikan enam merek yang siap dipilih konsumen.
Industri pesan-antar makanan
Menurut dia, potensi bisnis dapur delivery only sangat besar dengan lebih dari 300.000 kafe dan restoran UKM di Indonesia. Data internal menunjukkan, mitra dapur DishServe mampu menghasilkan pendapatan tambahan sebesar $2 ribu per bulan. Perusahaan berencana menambah 4 ribu jaringan mitra dapur hingga 2026 untuk mencapai pendapatan tahunan sebesar $100 juta.
Kendati industri pesan antar dihantui dengan tren perlambatan karena aktivitas luar rumah yang kembali tinggi pasca-pandemi menunjukkan penurunan kasus. Seperti yang dipaparkan oleh Momentum Works, industri pesan antar makanan di Asia Tenggara (secara GMV) tumbuh single digit sebesar 5% (year-on-year) atau mencapai $16,3 miliar pada 2022.
Pada dua tahun sebelumnya, industri ini mencetak pertumbuhan double digit, berturut-turut sebesar 11,9% (2020) dan 15,5% (2021). Faktornya tak lain pembatasan aktivitas di luar rumah yang mendorong orang-orang untuk memesan makanan dari rumah.
“Pertumbuhan pengiriman makanan menjadi normal ke tingkat pra-pandemi setelah dua tahun mengalami pertumbuhan yang signifikan. Pembukaan kembali pasca-covid (kembalinya makan di luar rumah, pengurangan subsidi untuk ongkos pengiriman), dan lanjutan dari rasionalisasi pasar, mengakibatkan pertumbuhan rendah,” tulis laporan tersebut.
Di samping itu, bisnis kuliner memang pada dasarnya memerlukan kehadiran fisik agar lebih mudah dikenali masyarakat. Hipotesis tersebut melandasi sejumlah pemain startup cloud kitchen yang awalnya online kini masuk ke segmen tersebut apalagi bila mereka ingin masuk ke kota lapis dua dan tiga yang masyarakatnya masih digandrungi dengan budaya nongkrong sembari kulineran. Beberapa yang sudah menerapkan adalah Hangry dan DailyBox. Bahkan banyak dari mereka yang meluncurkan berbagai merek makanan di dalam dapurnya.
Terkait dengan kondisi tersebut, Singhi menyampaikan, “Seperti yang disebutkan, kami membantu semua jenis dapur, seperti restoran kafe dan dapur delivery only. Sekitar 10% mitra dapur kami adalah bisnis kafe. Fokus kami adalah membantu semua jenis dapur.”
Salah satu keuntungan paling signifikan dari cloud kitchen multi-merek adalah memungkinkan perusahaan menawarkan beberapa masakan berbeda dari tempat yang sama. Karena tidak ada front-of-house sama sekali, cloud kitchen multi-merek telah berevolusi untuk memenuhi selera pelanggan yang berbeda, masing-masing berfungsi di bawah merek terpisah.
Misalnya, satu perusahaan cloud kitchen dapat mengoperasikan tiga merek, masing-masing berspesialisasi dalam masakan India, Italia, dan Cina, dari satu unit. Namun bagi pelanggan, tampaknya ini adalah merek independen dengan operasi independen yang menyajikan masakan berbeda. Karena ini adalah format pengiriman saja, biaya awal dan pemasaran yang rendah sering disebut sebagai pengubah permainan terbesar.
Dengan hambatan masuk minimum dan biaya modal rendah, cloud kitchen multi-merek lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan restoran tradisional atau bahkan cloud kitchen mandiri. Cloud kitchen multi-merek melayani basis pelanggan yang lebih luas dan memiliki kapasitas untuk meningkatkan tingkat pertumbuhan dari satu unit dapur. Pemanfaatan sumber daya yang efisien, tingkat persediaan yang memadai, dan biaya makanan yang terkendali memberikan prediktabilitas yang lebih baik dalam bisnis.
Konsep DishServe ini kurang lebih mirip juga sudah diterapkan oleh Wahyoo, melalui unitnya Wahyoo Kitchen Partner. Wahyoo memanfaatkan kemitraan dengan UMKM kuliner yang selama ini telah menjadi bagian dari perusahaan, dan menggaet mereka yang ingin mengutilisasi dapurnya yang “senggang”. Dalam arti mereka tidak sibuk dan masih bisa melayani konsumer melewati platform lain. Wahyoo jadi tidak perlu berinvestasi di sisi properti karena sudah punya jaringan UKM.
Wahyoo memasarkan produk-produknya melalui GrabFood, GoFood, dan ShopeeFood. Tak hanya itu, perusahaan juga mempersilakan mitranya untuk menjual secara offline untuk dine-in dan take away. Dengan demikian, mereka tidak perlu mengandalkan sepenuhnya platform online untuk penjualannya.