Tag Archives: healthy food

DishServe Pivot

Alasan di Balik DishServe Pivot dari Bisnis Cloud Kitchen

Perubahan model bisnis (pivot) adalah langkah terlogis bagi startup yang ingin berkelanjutan ketika mereka gagal memonetisasi secara maksimal. Malah menjadi langkah yang baik apabila dilakukan oleh startup tahap awal, karena pada akhirnya dapat menguntungkan semua pihak. DishServe adalah salah satunya yang baru-baru ini mengumumkan pivot-nya secara resmi kepada publik.

Kini DishServe fokus menyediakan solusi otomatisasi operasional restoran, kafe, dan dapur khusus layanan pengiriman (delivery only). Sejak berdiri pada Desember 2020, startup ini membantu pebisnis F&B skala UMKM untuk berkembang dengan memanfaatkan jaringan cloud kitchen yang berasal dari rumahan.

Dalam wawancara bersama DailySocial.id, Co-founder &  CEO DishServe Rishabh Singhi menuturkan ada tiga temuan yang ditemukan di lapangan dan mendorong perusahaan untuk mengeksplorasi pendekatan strategis baru, yakni:

  • Margin kecil karena keuntungan diserap oleh aplikasi pengiriman makanan;
  • Pebisnis kuliner skala kecil tidak punya kapasitas untuk scale up produk (R&D) karena minim sumber daya;
  • Tidak konsisten dalam menjaga kualitas makanan karena proses memasak yang manual, alhasil sering kelabakan ketika menerima pesanan dalam jumlah besar.

Singhi menegaskan, ketiga alasan di atas menjadi alasan terkuat untuk pivot, bukan dari inti bisnis cloud kitchen itu sendiri yang dianggap tidak bakal mencetak keuntungan. Menurutnya, implementasi bisnis pada dasarnya tidak berpengaruh oleh perbedaan budaya atau lainnya bila diterapkan di Indonesia atau bukan.

“Kami tidak melihat ada penurunan pesanan di dalam DishServe [alasan lain di balik pivot]. Justru melihat dari perspektif pebisnis F&B bahwa mereka tidak bisa scale up karena limit produksi, tidak punya produk yang konsumen sukai, dan terlalu banyak middleman,” terangnya.

CEO & Co-Founder DishServe Rishabh Singhi / DishServe

Transformasi bisnis baru ini pertama kali terjadi pada Juli 2022, kemudian rampung pada tiga bulan kemudian tepatnya September 2022. Dengan model bisnis baru, kini struktur perusahaan jauh lebih ringan. Jalur menuju profitabilitas pun jadi jauh lebih cepat, bukan kejar titik impas lagi. Laba yang dicetak ini nantinya dapat digunakan perusahaan untuk diputar kembali untuk kebutuhan ekspansi, sehingga tidak terlalu bergantung pada pendanaan eksternal dari investor.

Perusahaan menargetkan dapat cetak untung pada kuartal III 2023 ini. Target ini jauh lebih cepat bila sepenuhnya mengandalkan model bisnis lama yang diprediksi baru akan terjadi pada 2026 alias butuh enam tahun sejak DishServe berdiri.

“Jadi rencana pertama kita adalah cetak untung, sehingga kami tidak bergantung pada pendanaan eksternal untuk mempertahankan bisnis kami. Namun kami akan secara oportunistik melihat penggalangan dana tergantung pada situasi pasar dan rencana ekspansi ke depannya.”

Perusahaan terakhir kali mengumumkan pendanaan yang diperoleh dari pra-seri A pada November 2021. Beberapa investor yang terlibat di antaranya, Genting Group, Insignia Venture Partners, Stonewater Ventures, Ratio Ventures, Rutland Ventures, 300x Ventures, MyAsiaVC, dan beberapa angel investor.

Model bisnis baru

Kini DishServe mengembangkan serangkaian inovasi untuk membantu mitra dapur mengoptimalkan penjualan dengan menyediakan solusi satu atap. Mulai dari:

  • Merek F&B berkualitas tinggi, pelatihan, sistem operasional/SOP, peralatan, dan dukungan untuk mitra dapur;
  • Aplikasi terintegrasi yang menyediakan akses bagi mitra dapur untuk mengelola menu, harga, promosi, inventaris, dukungan pelanggan, dan integrasi semua aplikasi pengiriman makanan;
  • Solusi pembayaran komprehensif, meliputi solusi makan di tempat berbasis kode QR yang meningkatkan pengalaman pelanggan, titik penjualan (POS), dan sistem rekonsiliasi keuangan otomatis dan memudahkan rekonsiliasi dari berbagai kanal.

Target penggunanya pun luas, tidak terbatas pada bisnis kuliner rumahan saja, tapi juga bisnis yang berada di skala lebih tinggi. Tak terlepas juga bisnis yang sudah punya kehadiran toko offline juga tak liput dari incaran, sehingga DishServe tidak sepenuhnya bergantung pada bisnis pesan antar makanan saja.

Untuk melayani segmen delivery only, perusahaan telah membangun sederet merek F&B yang fokus untuk memproduksi makanan berkualitas tinggi dengan meningkatkan akses, harga terjangkau, dan cita rasa enak. Merek DishServe diklaim mampu meningkatkan daya jangkau konsumen dengan skema manufaktur massal di dapur terpusat (central kitchen), sehingga menurunkan biaya produksi sekaligus mempertahankan kualitas secara konsisten.

Central Kitchen DishServe / DishServe

Seluruh proses makanan dibuat dan dikemas di dapur terpusat DishServe yang berlokasi di Gambir, Jakarta Pusat. Kemudian didistribusikan ke lebih dari 200 jaringan cloud kitchen yang bergabung tersebar di 10 kota, seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, dan Medan. Radius mitra dapur ini rata-rata sekitar 2 km dari pemukiman konsumen.

Merek DishServe seluruhnya adalah menu makanan sehat. Nama-namanya adalah KitFit, LIT, Uncle Tam, Bing Bing, dan Chickass. Khusus merek yang terakhir ini bakal dirilis resmi ke publik dalam waktu dekat. KitFit adalah merek pertama yang dirilis perusahaan dan diklaim menjadi kontributor pendapatan terbesar sejauh ini.

Singhi menjelaskan alasan pihaknya tertarik masuk ke menu sehat karena masih sulitnya akses masyarakat untuk mengkonsumsi makanan sehat dengan harga terjangkau. Terlebih itu jumlah pemainnya juga belum banyak.

Maka dari itu, perlu upaya untuk mendemokratisasi makanan sehat yang mudah dicari dengan harga terjangkau, sama seperti kondisi saat ini yang sangat mudah menemukan makanan cepat saji. Sebab, mengonsumsi makanan sehat harus dilakukan secara rutin bukan sesekali saat berkunjung ke mal saja, tapi di mana saja konsumen berada.

Menurut data FAO, rata-rata masyarakat Indonesia mengonsumsi 122 gram sayur dan 92 gram buah setiap hari. Tingkat konsumsi tersebut lebih rendah dari tingkat asupan harian yang direkomendasikan, yaitu 300-400 gram sayur dan 100-150 gram buah.

“Dari perspektif kita mau menyelesaikan masalah di atas dengan menciptakan menu makanan sehat yang enak, harga terjangkau, dan mudah diakses dari rumah mereka. Anggap kami sebagai McD [McDonald’s], rasanya seperti McD, dan mudah ditemukan seperti McD.”

Perusahaan pun juga akan menambah satu merek sehat yang sedang dipersiapkan untuk tahun ini. Nantinya DishServe akan mengoperasikan enam merek yang siap dipilih konsumen.

Salah satu menu di KitFit / DishServe

Industri pesan-antar makanan

Menurut dia, potensi bisnis dapur delivery only sangat besar dengan lebih dari 300.000 kafe dan restoran UKM di Indonesia. Data internal menunjukkan, mitra dapur DishServe mampu menghasilkan pendapatan tambahan sebesar $2 ribu per bulan. Perusahaan berencana menambah 4 ribu jaringan mitra dapur hingga 2026 untuk mencapai pendapatan tahunan sebesar $100 juta.

Kendati industri pesan antar dihantui dengan tren perlambatan karena aktivitas luar rumah yang kembali tinggi pasca-pandemi menunjukkan penurunan kasus. Seperti yang dipaparkan oleh Momentum Works, industri pesan antar makanan di Asia Tenggara (secara GMV) tumbuh single digit sebesar 5% (year-on-year) atau mencapai $16,3 miliar pada 2022.

Pada dua tahun sebelumnya, industri ini mencetak pertumbuhan double digit, berturut-turut sebesar 11,9% (2020) dan 15,5% (2021). Faktornya tak lain pembatasan aktivitas di luar rumah yang mendorong orang-orang untuk memesan makanan dari rumah.

“Pertumbuhan pengiriman makanan menjadi normal ke tingkat pra-pandemi setelah dua tahun mengalami pertumbuhan yang signifikan. Pembukaan kembali pasca-covid (kembalinya makan di luar rumah, pengurangan subsidi untuk ongkos pengiriman), dan lanjutan dari rasionalisasi pasar, mengakibatkan pertumbuhan rendah,” tulis laporan tersebut.

Di samping itu, bisnis kuliner memang pada dasarnya memerlukan kehadiran fisik agar lebih mudah dikenali masyarakat. Hipotesis tersebut melandasi sejumlah pemain startup cloud kitchen yang awalnya online kini masuk ke segmen tersebut apalagi bila mereka ingin masuk ke kota lapis dua dan tiga yang masyarakatnya masih digandrungi dengan budaya nongkrong sembari kulineran. Beberapa yang sudah menerapkan adalah Hangry dan DailyBox. Bahkan banyak dari mereka yang meluncurkan berbagai merek makanan di dalam dapurnya.

Terkait dengan kondisi tersebut, Singhi menyampaikan, “Seperti yang disebutkan, kami membantu semua jenis dapur, seperti restoran kafe dan dapur delivery only. Sekitar 10% mitra dapur kami adalah bisnis kafe. Fokus kami adalah membantu semua jenis dapur.”

Salah satu keuntungan paling signifikan dari cloud kitchen multi-merek adalah memungkinkan perusahaan menawarkan beberapa masakan berbeda dari tempat yang sama. Karena tidak ada front-of-house sama sekali, cloud kitchen multi-merek telah berevolusi untuk memenuhi selera pelanggan yang berbeda, masing-masing berfungsi di bawah merek terpisah.

Misalnya, satu perusahaan cloud kitchen dapat mengoperasikan tiga merek, masing-masing berspesialisasi dalam masakan India, Italia, dan Cina, dari satu unit. Namun bagi pelanggan, tampaknya ini adalah merek independen dengan operasi independen yang menyajikan masakan berbeda. Karena ini adalah format pengiriman saja, biaya awal dan pemasaran yang rendah sering disebut sebagai pengubah permainan terbesar.

Dengan hambatan masuk minimum dan biaya modal rendah, cloud kitchen multi-merek lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan restoran tradisional atau bahkan cloud kitchen mandiri. Cloud kitchen multi-merek melayani basis pelanggan yang lebih luas dan memiliki kapasitas untuk meningkatkan tingkat pertumbuhan dari satu unit dapur. Pemanfaatan sumber daya yang efisien, tingkat persediaan yang memadai, dan biaya makanan yang terkendali memberikan prediktabilitas yang lebih baik dalam bisnis.

Konsep DishServe ini kurang lebih mirip juga sudah diterapkan oleh Wahyoo, melalui unitnya Wahyoo Kitchen Partner. Wahyoo memanfaatkan kemitraan dengan UMKM kuliner yang selama ini telah menjadi bagian dari perusahaan, dan menggaet mereka yang ingin mengutilisasi dapurnya yang “senggang”. Dalam arti mereka tidak sibuk dan masih bisa melayani konsumer melewati platform lain. Wahyoo jadi tidak perlu berinvestasi di sisi properti karena sudah punya jaringan UKM.

Wahyoo memasarkan produk-produknya melalui GrabFood, GoFood, dan ShopeeFood. Tak hanya itu, perusahaan juga mempersilakan mitranya untuk menjual secara offline untuk dine-in dan take away. Dengan demikian, mereka tidak perlu mengandalkan sepenuhnya platform online untuk penjualannya.

Application Information Will Show Up Here

Greenly Practices the New Retail Concept for Healthy Food Products Market

The new retail concept is getting popular among businessmen. The tech-based operation is quite fit to speed up offline business’ growth. Greenly, a fast-casual F&B retail network offering various healthy food and beverages has adopted the approach.

Greenly was founded by Liana Gonta Widjaja and Edrick Joe Soetanto. Liana is a Bachelor of Science from the University of California majoring in nutritional science, dietetics, who has begun her career as a nutritionist. Erick is a serial entrepreneur who also graduated from the University of California.

The healthy food business debuted in January 2019 in Surabaya, with 5 outlets. One is located in the mall with a restaurant and cafe concept, while the other 4 branches serve orders as cloud kitchen – taking orders through on-demand applications such as GoFood or GrabFood.

In a year, Greenly claims to have managed growth up to five times with hundreds of orders every day.

“Our business model is new retail with an online to offline (O2O) approach, we adopt a multi-channel sales pattern in distributing products. Using this strategy, Greenly not only has a physical store in a shopping center like traditional retail but also operates a cloud kitchen and sales through online platforms,” Greenly’s Director & Co-founder Edrick Joe Soetanto said.

Entering its second year Greenly managed to secure seed funding led by East Ventures. The fresh funds received will be used for product innovation, technology development and expanding its network in Surabaya, including other cities.

Optimizing technology to leverage business

Furthermore, Soetanto said the new retail strategy with the O2O approach is what distinguishes the business from other conventional services and other similar businesses.

Greenly also developed a system with some leading features in order to be more effective, developed, and loved by its customers. The stuff being implemented are including supply chain management, POS, accounting and taxation systems, HRIS and payroll, also third-party delivery systems, user loyalty, and pick-up orders.

“The current technology has supported Greenly run business and serve customers in maximum effort. The development of backend technology helps us manage the supply chain efficiently, particularly since we manage fresh & perishable products with a very short extent. With the development of infrastructure technologies such as demand forecasting, inventory management, and logistics optimization, we can maximize production output, manage resource capacity effectively, track inventory accurately, minimize waste, and optimize distribution,” Soetanto added.

He also mentioned that technology integration and supply chain efficiency enable them to cut into the minimum operational cost, therefore we can offer products at affordable prices.

Integration with delivery services of third parties through the cloud kitchen concept is claimed to have succeeded in making dozens of Greenly customers comfortable.

Today, for the first three months of 2020, they are targeting to open 3 new outlets in Pakuwon Mall and Tunjungan Plaza, Surabaya. The first outlet in Jakarta will also be launched, located in the Senopati area. This year, Greenly is to focus on product development, technological innovation, customer growth, and expansion both in Jakarta, Surabaya, and other cities.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Greenly Makanan Sehat

Greenly Adopsi Konsep “New Retail” untuk Jual Produk Makanan Sehat

Konsep new retail tampaknya mulai banyak dilirik oleh pebisnis. Potensi pemanfaatan teknologi dirasa cocok untuk bisa membantu “bisnis offline” melanjut lebih kencang. Pendekatan tersebut kini juga diadopsi Greenly, jaringan ritel fast casual F&B yang menawarkan aneka makanan dan minuman sehat.

Greenly didirikan oleh Liana Gonta Widjaja dan Edrick Joe Soetanto. Liana adalah seorang Bachelor of Science dari University of California di bidang nutritional science, dietetics dan juga telah menjalani karier sebagai ahli nutrisi  kesehatan. Sedangkan Edrick adalah seorang serial entrepenuer yang juga lulusan University of California.

Bisnis makanan sehat tersebut pertama beroperasi pada Januari 2019 di Surabaya, dengan 5 outlet. Satu outlet berada di mall dengan konsep restoran dan cafe, sementara 4 cabang lainnya melayani pesan antara dengan konsep cloud kitchen — menerima pesanan melalui aplikasi on-demand seperti GoFood atau GrabFood.

Selama satu tahun perjalanannya, Greenly mengklaim telah berhasil mengalami pertumbuhan hingga lima kali lipat dengan ratusan pesanan tiap harinya.

“Bisnis model kami adalah new retail dengan pendekatan online to offline (O2O), kami mengadopsi pola penjualan multi-kanal dalam mendistribusikan produk. Dengan strategi ini, Greenly tidak hanya memiliki toko fisik di pusat perbelanjaan layaknya ritel tradisional, namun juga mengoperasikan cloud kitchen dan penjualan via platform online,” terang Director & Co-founder Greenly Edrick Joe Soetanto.

Memasuki tahun keduanya Greenly berhasil mendapatkan pendanaan tahap awal yang dipimpin oleh East Ventures. Dana segar yang didapat rencananya akan digunakan perusahaan untuk inovasi produk, pengembangan teknologi dan memperluas jaringannya di Surabaya, termasuk juga ekspansi di kota-kota lainnya.

Memaksimalkan teknologi untuk perkuat bisnis

Lebih jauh Edrick bercerita, bahwa strategi  new retail dengan pendekatan O2O  menjadikan mereka berbeda dengan layanan konvensional dan bisnis sejenis lainnya.

Greenly juga mengembangkan sistem dengan sejumlah fitur yang dibutuhkan agar mereka bisa lebih efektif, berkembang, sekaligus dicintai pelanggannya. Yang diimplementasikan mulai dari manajemen supply chain, POS, sistem akuntansi dan perpajakan, HRIS dan payrol, hingga sistem pengantaran pihak ketiga, loyalitas pengguna dan pick-up order.

“Teknologi yang kami pergunakan membantu Greenly menjalankan bisnis dan melayani pelanggan dengan lebih optimal. Pengembangan teknologi backend membantu kami dalam mengatur supply chain dengan lebih efisien, terlebih karena kami mengelola produk fresh & perishable dengan shelf life yang sangat singkat. Dengan pengembangan teknologi infrastruktur seperti demand forecasting, inventory management hingga logistic optimization, kami dapat memaksimalkan output produksi, mengatur kapasitas sumber daya secara efektif, melacak inventaris secara akurat, meminimalkan waste, hingga mengoptimalkan distribusi,” lanjut Edrick.

Ia juga menerangkan bahwa integrasi teknologi dan efisiensi supply chain membuat mereka bisa memangkas biaya operasional ke level minimum sehingga kami dapat menawarkan harga terjangkau untuk produk-produknya.

Integrasi dengan layanan pesan antar pihak ketiga melalui konsep cloud kitchen yang dibangun juga diklaim berhasil membuat nyaman puluhan ribu pelanggan Greenly.

Kini untuk tiga bulan pertama di tahun 2020 mereka menargetkan untuk membuka 3 gerai baru di Pakuwon Mall dan Tunjungan Plaza, Surabaya. Gerai pertama di Jakarta juga akan diresmikan, tepatnya di kawasan Senopati. Sepanjang tahun ini Greenly akan fokus pada pengembangan produk, inovasi teknologi, pertumbuhan pelanggan, dan ekspansi baik di Jakarta, Surabaya, juga kota-kota lainnya.

Layanan E-Commerce Makanan Sehat Lemonilo Resmi Beroperasi

Di Indonesia mulai banyak yang menggemari tren hidup sehat. Mulai dari rutin berolahraga seperti lari dan yoga hingga urusan makanan. Tren ini yang coba dieksplorasi oleh Lemonilo, salah satu bisnis e-commerce yang menawarkan makanan organik (alami) dan makanan-makanan sehat lainnya untuk mendukung pola hidup sehat. Salah satu permasalahan yang coba diselesaikan adalah masalah harga.

Lemonilo sendiri sudah beroperasi kurang lebih selama enam bulan. Selama kurun waktu tersebut, Lemonilo berhasil memiliki ribuan konsumen yang tersebar di seluruh Indonesia dengan konsentrasi di Jawa dan Bali.

Lemonilo diprakarsai tiga orang, yakni Shinta Nurfauzia, Johannes Ardiant, dan Ronald Wijaya. Mereka bertiga juga berperan dalam pengembangan layanan Konsula, salah satu layanan yang fokus pada sektor kesehatan.

“Produk-produk yang ada di Lemonilo.com didapatkan langsung dari produsen sehingga kami bisa menawarkan harga hingga 20-50% lebih murah dari supermarket. Ke depannya, Lemonilo.com tidak hanya akan menawarkan makanan namun juga produk sehat dan alami di kategori lainnya,” ujar Shinta.

Shinta kepada DailySocial juga bercerita bahwa untuk memastikan kualitas produk yang ada di layanan Lemonilo pihaknya memiliki tim food analyst yang memiliki tugas untuk melakukan pengecekan terhadap bahan pembuatan setiap produk yang akan ditampilkan. Sebelum masuk dan tayang di situs Lemonilo sebuah produk akan melewati food trial dan analisis yang dilakukan oleh tim tersebut.

“Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa produk yang masuk Lemonilo tidak melakukan “klaim sehat palsu” padahal menggunakan bahan-bahan berbahaya. Dari pengalaman kami, sayangnya cukup banyak produsen dan manufacturer yang melakukan ini. Jadi intinya, kalau ada suatu produk yang mengklaim dirinya ‘sehat’ dan tidak masuk Lemonilo, user harus mempertanyakan kebenarannya,” lanjutnya.

Shinta menjelaskan Lemonilo adalah vertikal baru yang dikembangkan Konsula dengan tim yang terdedikasi.

Pasar untuk makanan sehat dan terjangkau

Lemonilo berangkat dari permasalahan mahalnya harga makanan alami dan sehat. Posisinya sebagai bisnis e-commerce diharapkan mampu menjadikan Lemonilo sebagai salah satu pasar yang mudah dijangkau untuk makanan alami, sehat, dan tentu harga yang terjangkau.

Saat ini, untuk terus memperkenalkan dan menjangkau lebih banyak kalangan, Lemonilo menjalankan sejumlah strategi. Salah satunya adalah menjalin kerja sama dengan beberapa komunitas-komunitas kesehatan, event, dan tempat gym di Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia. Tidak menutup kemungkinan Lemonilo akan menjajaki kerja sama dengan lembaga, institusi, atau organisasi lain.

Dari data internal yang terkumpul selama ini Lemonilo mengklaim konsentrasi terbesar pelanggan mereka berada di Jawa dan Bali dengan segmen terbesarnya adalah wanita yang berada di kisaran usia 18-34 tahun. Produk yang paling populer adalah snack atau cemilan.

Shinta juga menjelaskan bahwa salah satu kebanggaan tim Lemonilo adalah ketika banyak pelanggan yang dengan suka rela dan bahagia membagikan pengalaman mereka berbelanja di Lemonilo di media sosial pribadi mereka.

Menurut Shinta, dalam waktu dekat pihaknya akan merilis beberapa fitur baru yang merupakan hasil masukan pengguna Lemonilo selama ini.

“Kami juga sangat menyadari bahwa terdapat beberapa produk yang high demand dan sering kali sold out dalam satu jam pertama produknya live. Dari interaksi dengan user seperti inilah kami tambah yakin bahwa hidup sehat memang benar-benar sedang menjadi tren yang terus tumbuh di Indonesia dan produk-produk sehat dan alami berpotensi untuk menggantikan produk konvensional jika harganya dapat dijangkau oleh masyarakat.”

“Lemonilo.com hadir untuk menyambut tren ini dan meningkatkan awareness pengguna kami atas manfaat dari mengonsumsi produk alami dan sehat sehari-hari,” tutupnya.

Layanan E-Commerce ‘Niche’ Lemonilo Tawarkan Produk Makanan dan Minuman Sehat

Satu lagi layanan e-commerce ‘niche’ lokal hadir di Indonesia. Kali ini khusus menawarkan produk makanan dan minuman sehat untuk masyarakat Indonesia yang memperhatikan asupan konsumsinya. Lemonilo, baru hadir selama 3 bulan, menawarkan produk makanan dan minuman segar tanpa bahan pengawet dan pengiriman bisa dilakukan ke seluruh Indonesia.

Di situsnya, Lemonilo disebutkan merupakan bagian PT Konsula Amarta Nusantara, atau yang kita kenal sebagai startup medtech Konsula. Konsula sendiri memiliki marketplace paket kesehatan dan kecantikan. DailySocial belum memperoleh tanggapan soal bagaimana relasi pengelolaan Konsula dan Lemonilo.

Layanan khusus makanan dan minuman sehat

Selama ini pilihan makanan sehat, menu diet, dan minuman segar lainnya sudah banyak dijual melalui toko online atau media sosial. Meskipun demikian belum ada layanan e-commerce yang menghadirkan secara khusus pilihan menu diet dan produk sehat untuk masyarakat Indonesia. Menurut informasi yang kami dapatkan, Lemonilo didirikan dengan mencoba meng-cater pelanggan yang tertarik dengan menu sehat dari berbagai merchant yang ada.

Kategori yang dimiliki Lemonilo cukup beragam, sekilas tidak terlalu berbeda dengan pilihan menu yang ada di Gorry Gourmet, Black Garlic, atau Berry Kitchen. Lemonilo menyediakan pilihan seperti catering, makanan siap saji, cemilan, bahan makanan segar hingga produk minuman. Meskipun semua produk sudah bisa dikirim di seluruh Indonesia, namun untuk bahan makanan yang terbilang segar saat ini hanya tersedia di wilayah Jakarta.

Harga yang ditawarkan juga cukup beragam mulai dari Rp 100 ribu hingga Rp 900 ribu rupiah, sesuai dengan paket dan menu yang dipilih pelanggan.

Menurut sumber kami, Lemonilo melakukan kurasi produk dan memastikan makanan yang dijual tidak mengandung bahan kimia, MSG, atau pewarna makanan.

Meskipun telah beroperasi selama 3 bulan untuk pemesanan dan pembelian, Lemonilo belum diluncurkan secara resmi. Rencananya dalam waktu dekat, menurut informasi yang kami peroleh, Lemonilo segera diresmikan dengan menghadirkan pilihan merchant dan produk yang lebih beragam.