Tag Archives: Helen Wong

Jajaran manajemen Koltiva / Koltiva

Koltiva Umumkan Pendanaan Seri A Dipimpin oleh AC Ventures

Startup agritech Koltiva mengumumkan pendanaan seri A dipimpin oleh AC Ventures. Tidak disebutkan spesifik nilai pendanaan yang diterima, namun dalam putaran ini sejumlah investor turut terlibat, di antaranya Silverstrand Capital, Planet Rise, Development Finance Asia, dan Blue 7, serta investor  sebelumnya The Meloy Fund.

Dana segar akan dimanfaatkan Koltiva untuk mengembangkan SaaS yang memungkinkan perusahaan multinasional untuk memiliki sistem pelacakan rantai pasokan dari benih hingga ke tangan konsumen (from seed to table). Sebelumnya Koltiva telah mengantongi pendanaan awal pada September 2022 lalu dipimpin Silverstrand Capital.

Sejak didirikan tahun 2013, Koltiva menghadirkan beberapa solusi, seperti pemetaan lahan dan profil produsen, ketertelusuran benih hingga ke tangan konsumen, serta pelatihan dan bimbingan ke petani. Kini layanan mereka turut diperluas ke solusi climatetech. Koltiva mengembangkan produk yang dapat membantu dalam pengukuran dan penilaian gas rumah kaca (greenhouse gas/GHG).

Melalui platform digitalnya, Koltiva menawarkan aplikasi web dan mobile untuk mengurus berbagai aktivitas pertanian, seperti pendaftaran produsen, survei, pemantauan transaksi pertanian, pemetaan deforestasi, hingga pengukuran emisi gas rumah kaca di perkebunan. Dengan basis di Indonesia, Koltiva kini tim mereka bekerja dengan produsen di 52 negara, dan hampir setengah dari mereka adalah petani kecil di Indonesia.

“Saat bisnis multinasional semakin menuju keberlanjutan, Koltiva yang berbasis di Indonesia siap menjadi pemain utama dalam memastikan rantai pasok yang transparan. Dengan meningkatkan kesejahteraan petani skala kecil di pasar negara berkembang, dan membantu mereka beradaptasi dengan perubahan iklim, Koltiva adalah bukti nyata tentang bagaimana teknologi modern dapat membentuk ulang industri konvensional, memberikan dampak global, dan membangun masa depan yang lebih berkelanjutan secara lingkungan untuk generasi mendatang,” sambut Managing Partner AC Ventures Helen Wong.

Terobosan baru Koltiva

Koltiva turut memberikan pelatihan dan pendampingan kepada petani mitra / Koltiva
Koltiva turut memberikan pelatihan dan pendampingan kepada petani mitra / Koltiva

Koltiva tengah mengembangkan perangkat lunak yang menyediakan pelacakan dari benih hingga ke tangan konsumen. Perusahaan ingin memastikan bahwa perjalanan produk pertanian dari bahan baku, menuju ke operasi pertanian dan distribusi, hingga ke tangan konsumen dilakukan secara transparan. Inovasi ini membantu perusahaan multinasional dapat melacak asal-usul pasokan produk mereka yang sebagian besar berasal dari produsen kecil di Indonesia, dan negara-negara lain tempat Koltiva beroperasi.

Model bisnis ini dinilai semakin relevan, apalagi dengan adanya regulasi seperti Peraturan Produk Bebas Deforestasi Uni Eropa (EUDR) yang diamanatkan oleh Dewan Uni Eropa. Peraturan ini mewajibkan perusahaan membuktikan ketiadaan deforestasi dalam produk mereka dan mematuhi standar hukum tertentu. Akibatnya, lebih dari 50.000 perusahaan berbasis Uni Eropa sekarang wajib mematuhi regulasi ini, dan perusahaan non-UE yang terlibat secara signifikan dalam aktivitas di UE juga harus memastikan kepatuhan mereka.

“Kami membantu korporasi multinasional menavigasi secara bijak lanskap yang dinamis serta regulasi yang terus berkembang akan kepatuhan praktik pertanian berkelanjutan, serta meningkatkan kehidupan para petani dan produsen kecil. Bisnis kami bertujuan untuk membentuk ekosistem yang memberikan manfaat kepada merek global, serta turut meningkatkan dan memperbaiki kondisi penghidupan dan kesejahteraan dari tingkat paling dasar di proses rantai pasok. Kami membayangkan dunia di mana perdagangan yang transparan dan berkelanjutan menjadi sebuah standar,” Co-Founder & CEO Koltiva Manfred Borer.

Application Information Will Show Up Here
Laporan "Indonesia's Fintech Industry is A Sleeping Giant Ready to Rise" yang disusun oleh AC Ventures dan BCG ungkap perkembangan fintech di Indonesia

Riset AC Ventures-BCG: Semakin Matang, Industri Fintech Indonesia Tumbuh 6 Kali Lipat

Dalam satu dekade terakhir, Indonesia telah mengalami peningkatan enam kali lipat pada jumlah pemain fintech, dari 51 pada 2011 menjadi 334 pada 2022. Hal terungkap dalam laporan berjudul “Indonesia’s Fintech Industry is A Sleeping Giant Ready to Rise” yang disusun oleh AC Ventures dan Boston Consulting Group (BCG).

Laporan tersebut mengungkap, pada awalnya, pertumbuhan sektor ini didorong oleh segmen pembayaran. Namun, lanskap fintech semakin beragam dan dinamis, diisi oleh sektor pinjaman, pembayaran, dan wealthtech yang menjadi industri menjanjikan di masa depan.

Selain itu, segmen baru di sektor fintech, seperti SaaS dan insurtech yang kian bermunculan, menunjukkan bahwa industri fintech di Indonesia semakin matang dan bergerak menuju produk dan layanan yang lebih canggih.

Gelombang pertama fintech yang diisi oleh sektor pembayaran kini memiliki lebih dari 60 juta pengguna aktif pada 2020. Sektor ini diperkirakan mencapai tingkat CAGR sebesar 26% pada 2025. Sementara di sektor pinjaman, terdapat lebih dari 30 juta akun peminjam p2p yang aktif pada 2021.

Sumber: Indonesia’s Fintech Industry is A Sleeping Giant Ready to Rise Report

Secara transaksi, nilai transaksi terus bertumbuh dengan lebih dari $20 miliar transaksi e-wallet selama 2017-2021. Adapun sektor pinjaman mencapai lebih dari $17 miliar yang disalurkan selama 2017-2022.

Selanjutnya, sektor wealthtech memiliki lebih dari 9 juta investor ritel pada 2022, mencapai nilai CAGR 56% sepanjang 2018-2022. Terakhir, adopsi platform SaaS juga semakin meningkat, dengan 6 juta UMKM menggunakannya dengan pertumbuhan 26 kali lipat dari tahun sebelumnya.

Sentimen investor

Laporan ini juga mengungkapkan bahwa sentimen investor tetap bullish terhadap sektor ini, terlihat dari kenaikan pendanaan ekuitas tahunan dari $353 juta pada 2020 menjadi $1,51 miliar pada 2021. Meskipun signifikan, sebagian dari pendanaan digunakan untuk menyuntik sektor pembayaran dan pinjaman.

Kemudian, tahun 2021 juga merupakan tahun pelarian bagi pemain wealthtech yang menerima dana lebih dari $500 juta. Ketika tahun 2022 menujukan sedikit penurunan dari total nilai pendanaan—dengan kekhawatiran makro-ekonomi global yang memengaruhi sentimen investor—Indonesia masih menarik pendanaan hampir $1,4 miliar yang menunjukkan ketahanan ekosistem.

“Investasi ke fintech di Indonesia pada periode 2020–2022 mencapai $3,2 miliar. Sebesar 4,6x lipat pertumbuhan pendanaan di periode 2017–2019 menunjukkan investor dengan komitmen kuat. Sebagian besar dana telah mengalir untuk perusahaan yang lebih matang di mana 60% dari volume kesepakatan masuk ke perusahaan tahap awal. Ini menunjukkan keinginan yang kuat untuk berinvestasi dalam inovasi baru,” tulis laporan tersebut.

Sumber: Indonesia’s Fintech Industry is A Sleeping Giant Ready to Rise Report

Managing Partner AC Ventures Helen Wong menyampaikan, AC Ventures telah melihat bahwa beberapa vertikal di industri fintech, termasuk perusahaan pembayaran dan bank digital, lebih matang daripada yang lain.

“Ke depannya, kami akan berinvestasi di lebih banyak vertikal. Misalnya, kami telah melakukan satu investasi dalam pembiayaan mobil, pembiayaan properti, dan mungkin juga beberapa pendukung untuk penilaian kredit dan investasi di KYC,” kata Wong dalam paparan laporan ACV-BCG, kemarin (29/3).

Embedded finance

Poin menarik lainnya yang disampaikan dalam laporan tersebut adalah potensi besar yang dari embedded finance dan akan menjadi game changer di industri keuangan di regional ini.

Managing Director & Partner BCG Sumit Kumar menyampaikan regulasi dari Bank Indonesia mengenai BI FAST dan SNAP menjadi dorongan penting dalam menciptakan inovasi berikutnya di industri fintech, yakni embedded finance. Hal ini mempermudah bank agar tidak perlu buka cabang, memperbanyak kerja sama dengan banyak pemain, termasuk B2C yang biasa digunakan masyarakat umum, dengan memasukkan aktivitas keuangan dan perbankan secara lebih mudah.

“Sebagai masukan, regulasi ini tidak boleh terdiktasi karena ke depannya ada lebih banyak hal yang akan berubah,” kata Kumar.

Sumber: Indonesia’s Fintech Industry is A Sleeping Giant Ready to Rise Report

Banyak contoh implementasi dari open banking yang sukses di berbagai negara, misalnya inovasi UPI (Unified Payments Interface) di India. UPI memungkinkan pemegang rekening di seluruh bank untuk mengirim dan menerima uang dari smartphone mereka hanya dengan menggunakan nomor identitas unik Aadhaar (sebutan E-KTP di India), nomor ponsel, atau alamat pembayaran virtual tanpa memasukkan detail rekening bank.

Juga inovasi yang dihadirkan oleh GCash, pemain e-wallet asal Filipina. Startup unicorn ini mendapat popularitas yang sangat besar karena mereka masuk ke pasar ritel dengan nilai transaksi yang receh. Di pasar ritel, artinya konsumen lebih suka membeli produk dalam kemasan yang lebih kecil dan terjangkau daripada membeli dalam jumlah besar.

Jadi ketika GCash mulai mengembangkan dan memperluas layanan keuangannya (dengan open banking), GCash mempertimbangkan ekonomi sachet dan memperhatikan kebutuhan konsumen di pasar.

“Sebesar 30% dari estimasi aktivitas perbankan di regional akan masuk ke embedded finance. Jadi bank konvensional harus mengikuti tren tersebut atau [bakal] tertinggal. Lalu pada 10 tahun mendatang, seluruhnya akan masuk ke embedded finance.”

CEO ALAMI Group Dima Djani yang turut hadir dalam kesempatan tersebut menyampaikan, bahwa kehadiran SNAP dan BI-FAST ini sangat dibutuhkan industri fintech karena dapat menekan berbagai biaya. Misalnya, saat menghadirkan fitur transfer bank gratis, yang kini menjadi fitur yang harus ada di setiap aplikasi bank digital.

“Dari commercial finance ke social finance dan kebalikannya, open banking bisa menjadi salah satu solusi terjangkau yang bisa dimanfaatkan untuk menyalurkan kredit produktif ke sektor yang membutuhkan. Hal ini melandasi kami untuk masuk ke pembiayaan KPR dan segera masuk ke umroh dan haji.” Tutupnya.

AC Ventures mengumumkan Helen Wong, pemodal ventura dengan pengalaman lebih dari 20 tahun di Tiongkok dan negara berkembang, bergabung sebagai Senior Advisor dan Venture Partner

Ambisi Veteran Modal Ventura Helen Wong Dampingi AC Ventures ke Tahap Lanjutan

AC Ventures mengumumkan Helen Wong, pemodal ventura dengan pengalaman lebih dari 20 tahun di Tiongkok dan negara berkembang, bergabung sebagai Senior Advisor dan Venture Partner. Helen akan bertugas mendukung AC Ventures di berbagai bidang, termasuk pengembangan perusahaan, pelatihan tim, investasi, hingga penasihat portofolio.

Masuknya Helen, menandai strategi AC Ventures yang akan terus melakukan investasi besar-besaran untuk memperkuat tim mereka (investment team dan value creation teams) dan berencana meningkatkan jumlah tim hingga lebih dari 50% pada tahun ini.

Dalam keterangan resmi disampaikan, Helen memiliki rekam jejak yang tidak diragukan dalam mengidentifikasi tim yang kuat dan sektor yang berpotensi tinggi di Tiongkok dan Asia Tenggara. Mengawali kariernya bekerja di berbagai wilayah di seluruh dunia, ia sempat memimpin investasi di Akulaku dan Reddoorz, serta menjabat di sejumlah perusahaan teknologi terkemuka asal Tiongkok, seperti Tudou/Youku, dan Mobike.

Hubungan Helen dengan para petinggi di AC Ventures, seperti Adrian Li, Michael Soerijadji, dan Pandu Sjahrir telah terbangun selama beberapa waktu dan mengenal mereka cukup baik. Helen sebelumnya pernah menjadi individual LP di AC Ventures. Mereka kerap berinteraksi terkait alur kesepakatan (deal flow) dan tren investasi di Asia Tenggara, termasuk merepresentasikan beberapa kesepakatan internal di perusahaannya terdahulu, seperti Carsome dan Payfazz.

“Saya pribadi telah berinvestasi di startup Indonesia yang juga sedang ditinjau oleh AC Ventures. Kami berdua (Helen dan Adrian) sangat memikirkan pendiri dan area perusahaan. Sebagai individual LP, saya mulai membimbing beberapa perusahaan yang menjadi bagian dari portofolio AC Ventures, berbagi pengalaman dari perusahaan-perusahaan Tiongkok dengan model bisnis serupa,” terang Helen.

Founder & Managing Partner AC Ventures Adrian Li mengatakan, “Kami sangat senang dapat bekerja sama dengan Helen untuk mempercepat pertumbuhan AC Ventures ke depan. Pengalaman yang luas dari Tiongkok dan hubungan jangka panjang yang ia miliki di Asia Utara akan melengkapi fokus dan eksekusi kami di Asia Tenggara dengan sempurna, menambah dimensi unik dalam penawaran kami kepada para wirausahawan.”

Helen meyakini, pengalaman globalnya dapat membantu para pengusaha di Asia Tenggara dalam menemukan tren investasi di seluruh wilayah, dan bekerja sama dengan portofolio perusahaan untuk mengoptimalkan penciptaan nilai mereka. Dari pandangannya terhadap berbagai siklus investasi, dan tidak dipungkiri jika perusahaan pasti mengalami pasang surut. Di beberapa masa sulit, ia turut memberikan saran dan bimbingan kepada perusahaan terkait langkah dan strategi apa yang harus mereka ambil, penggalangan dana, persoalan SDM, dan lain-lain.

“Saya percaya, kombinasi dari pengalaman global saya, terutama di Tiongkok, dan koneksi lokal para pendiri AC Ventures yang kuat di kawasan Asia Tenggara dan Indonesia dapat menjadi nilai tambah yang sangat baik bagi pengusaha dan dapat menghasilkan pengembalian modal (return) yang baik untuk para LP,” kata Helen.

Dia melanjutkan, yang dapat dipelajari oleh pengusaha di Asia Tenggara terkait perkembangan internet di Tiongkok, adalah sebenarnya pasar internet Tiongkok memiliki sejarah yang lebih panjang. Oleh karenanya, beberapa model bisnis telah muncul dan diulang beberapa kali. Ia pun percaya, beberapa elemen tertentu sebetulnya serupa dan beberapa tidak dapat dipindahtangankan.

“Perusahaan Tiongkok telah mempelajari beberapa hal, antara lain mengenai penskalaan dan kecepatan pengembangan yang saya yakini merupakan pelajaran penting untuk setiap startup. Saya percaya jika para pengusaha dapat belajar memanfaatkan pasar odal untuk mengembangkan perusahaan mereka lebih jauh dan bahkan melakukan akuisisi.”

Kendati begitu, digitalisasi di Asia Tenggara ini dipercepat oleh Covid-19. Persoalan edukasi kepada pengguna yang semula merupakan salah satu bagian tersulit yang dihadapi oleh startup, kini menjadi lebih mudah. Oleh karena itu, persoalan monetisasi pun idealnya turut menjadi lebih mudah. Tren jangka panjang yang membuat dirinya optimistis adalah demografi di kawasan ini.

Tenaga kerja muda dan pertumbuhan urbanisasi mendorong pertumbuhan ekonomi, dan pemisahan US/Tiongkok menjadikan lebih banyak peluang untuk Asia Tenggara. Tantangan utama yang dihadapi, justru mengenai bakat. “Namun, Asia Tenggara menarik talenta-talenta dari bagian dunia lain, dan pilihan untuk bekerja secara remote dapat menjadi alternatif untuk mengurangi hambatan tersebut.”

Namun, pada tingkat yang lebih makro, tantangan bagi Asia Tenggara sejak dulu hingga hari ini adalah sifat pasar yang terfragmentasi. Ini berarti, dengan mulai berfokus pada Indonesia, pasar terbesar untuk menguji kesesuaian pasar produk dan selanjutnya melakukan pengembangan ke berbagai negara adalah strategi yang baik.

AC Ventures Fund III

Pada akhir Desember kemarin, AC Ventures menutup dana kelolaan ketiganya (Fund III) senilai lebih dari $205 juta dari investor-investor terkemuka. Di antaranya, World’s Bank International Finance Corporation (IFC) dan platform ventura Abu Dhabi Developmental Holdings (ADQ), Disrupt AD, yang menjadikan total AUM perusahaan ini mencapai lebih dari $380 juta di seluruh dana kelolaannya.

Sebagian dana dari Fund III telah aktif diinvestasikan sejak penutupan putaran pertama pada Maret 2020. Dana ini sudah diinvestasikan ke 30 perusahaan dari 35 yang ditargetkan. Beberapa dari perusahaan tersebut, semua diinvestasikan pada tahap pra-seri A, telah berkembang pesat selama pandemi. Nama-namanya adalah Shipper, Stockbit, Ula, Aruna, BukuWarung, dan CoLearn yang tercatat sebagai Centaur, beberapa bahkan telah mencapai valuasi mendekati Unicorn. Funding interest dalam portofolio juga terus menguat, dengan lebih dari $100 juta dari pendanaan yang diumumkan untuk empat perusahaan portofolio lainnya sejak awal 2022.

Dengan lebih dari 35 investasi yang telah diselesaikan pada Fund III, perluasan tim lokal yang berbasis di Jakarta memungkinkan dukungan yang lebih besar dari para pendiri portofolio perusahaan AC Ventures tanpa mengganggu proses peningkatan skala bisnis mereka. Sejalan dengan komitmen AC Ventures untuk memberikan nilai tambah bagi para entrepreneur, AC Ventures akan berinvestasi untuk memperkuat tim mereka (investment dan value creation teams).

Secara khusus, AC Ventures akan menghadirkan para ahli fungsional tambahan dalam bidang manajemen bakat, pemasaran, pengembangan bisnis, dan pembentukan modal untuk mendukung portofolio perusahaan mereka yang berkembang dalam beberapa bulan mendatang.