Salah satu industri yang mulai banyak digarap wirausahawan lokal adalah segmen kecantikan dan perawatan pribadi (personal care). Tercatat saat ini industri kecantikan dan perawatan pribadi dunia pada tahun 2019 dikabarkan bernilai $532 miliar.
Tidak dapat dipungkiri, adanya kemudahan akses informasi tentang tren gaya hidup melalui media sosial mendorong adopsi yang lebih masif, meniru apa yang sudah terjadi di sejumlah negara maju.
Di Indonesia sendiri layanan seperti ini, termasuk yang berbasis teknologi, sebagian besar menyasar kalangan perempuan. Meskipun demikian, mulai ada startup perawatan pribadi yang menyediakan produk perawatan untuk laki-laki.
Meskipun masih harus bersaing dengan brand konvensional yang jauh lebih berpengalaman, kehadiran startup yang menyasar produk kecantikan dan perawatan pribadi bisa menjadi alternatif bagi masyarakat menikmati layanan dan produk dengan harga terjangkau.
Konsep Direct to Consumer
Nilai pasar industri kecantikan di Indonesia diperkirakan mencapai $5,8 miliar. Pertumbuhan tertinggi, sekitar 9,6%, terjadi di kategori produk perawatan kulit.
Startup seperti Base, Callista, Social Bella, dan Neuffa mencoba menyasar pasar ini dan kebanyakan menerapkan konsep Direct to Consumer (DTC).
Penerapan DTC menjadi solusi agar aktivitas di platform memberikan pengalaman berinteraksi yang berbeda, termasuk personalisasi.
“Dengan DTC, sebagai praktisi bisnis, kami dapat memberikan brand experience yang lebih holistik. Selain itu, kami mengembangkan algoritma berdasarkan jurnal-jurnal sains terkini untuk memberikan hasil analisis kulit kepada konsumen. Hasil analisis ini kemudian akan diolah oleh algoritma kami untuk menentukan bahan baku [active ingredient] apa yang dibutuhkan oleh konsumen,” kata CEO Base Yaumi Fauziah Sugiharta.
Untuk membeli produk Base, konsumen, biasa disebut “Base Friends”, terlebih dahulu melakukan konsultasi kulit secara virtual melalui fitur Skin Test sebelum mengirimkan produk yang sesuai dengan kondisi kulit, “skin goals”, dan gaya hidup mereka.
Sementara bagi Callista, penerapan Direct to Consumer, selain secara online, juga secara langsung melalui personal beauty assistant untuk mempermudah pelanggan mendapatkan paket produk personalisasi yang sesuai dengan masalah dan jenis kulit mereka.
“Setiap bulannya beauty asisstant kami akan melakukan follow up melalui WhatsApp untuk melihat progress dan melakukan optimalisasi pada paket perawatan selanjutnya,” kata Co-Founder & CEO Callista Ryan Narendra.
Di sisi lain, HelloBeauty menyediakan teknologi Software-as-a-Service (SaaS) untuk membantu para beauty artist (penyedia layanan kecantikan) mengelola, mempromosikan, dan mengembangkan layanan atau bisnis kecantikan dengan lebih mudah dengan bantuan teknologi. SaaS ini bisa digunakan dengan sistem berlangganan.
“HelloBeauty tentu menerapkan proses Direct to Consumer dalam menciptakan produk, marketing, penjualan hingga user retention karena dibutuhkan edukasi pengguna dengan benar,” kata CEO HelloBeauty Dennish Tjandra.
Model bisnis seperti ini, menurut Dennish memiliki tantangan yang cukup rumit, dilihat dari banyaknya pemain yang tumbang di Asia Tenggara.
Vanitee dan Vaniday di Singapura dan Bfab di Malaysia sudah tidak beroperasi. Bahkan akhir tahun lalu Go-Glam juga menutup layanannya.
“Hal ini bisa jadi menunjukkan bahwa industri layanan kecantikan digital masih sangat early stage dan menjadi tantangan bagi kami untuk mengedukasi pasar secara baik dan benar,” kata Dennish.
Tren dan tantangan startup lokal
Salah satu alasan tumbuhnya pasar di segmen ini adalah masuknya produk dan tren dari Korea Selatan. Apalagi dengan tren K-Pop dan K-Drama di berbagai negara, termasuk Indonesia.
“Audiens kami cenderung mengenal sosial media sejak dini dan terpapar dengan Korean Wave yang masuk ke Indonesia sejak awal 2006. Hal ini, turut membentuk persepsi audiens kami terhadap gaya hidup ataupun kultur. Sampai hari ini, masih banyak brand kosmetik lokal yang mengeluarkan produk kosmetik ala Korea Selatan seperti bedak cushion yang banyak digunakan oleh artis dan penyanyi dari negara ginseng tersebut,” kata Yaumi.
Hal senada diungkapkan Dennish yang melihat masuknya produk asal Korea Selatan ke Indonesia secara langsung ikut mendorong industri kecantikan di Indonesia. Namun Dennish melihat, produk-produk kecantikan lokal di Indonesia saat ini juga tidak kalah hebat.
Kebutuhan kulit orang Indonesia berbeda dengan orang Korea Selatan atau negara lainnya. Produk lokal dianggap memiliki kesempatan yang besar untuk lebih unggul, karena memahami dan sesuai dengan kebutuhan kulit orang Indonesia.
“Yang kadang disayangkan adalah masih banyaknya konsumen di Indonesia yang memandang bahwa brand luar lebih baik kualitasnya dari brand lokal Indonesia. Padahal belum tentu seperti itu. Banyak produk kecantikan lokal Indonesia yang punya kualitas lebih baik dari produk luar,” kata Dennish.
Persoalan tersebut diklaim masih menjadi tantangan startup yang menyasar industri produk kecantikan dan perawatan tubuh. Untuk bisa bersaing dengan produk luar, Yaumi mengajak para pemain lokal untuk bisa lebih kreatif dalam menjangkau pasar dengan bekal kapital atau modal yang efisien.
Strategi lain yang dianggap ampuh menambah jumlah pelanggan adalah melakukan pendekatan personalisasi. Salah satunya dengan layanan konsultasi.
“Saya melihat saat ini personalized skin care merupakan tren yang sedang terjadi di tahun 2020,” ujar Ryan.
Minat investor
Dukungan investor memiliki peranan penting bagi startup. Selain untuk mempercepat pertumbuhan, menemukan investor sebagai mitra yang tepat dan mengerti industri kecantikan penting untuk perkembangan bisnis ke depannya.
Meskipun belum banyak jumlah startup yang menawarkan produk dan layanan kecantikan saat ini, beberapa investor mulai banyak melirik model bisnis yang mereka tawarkan, termasuk venture capital seperti East Ventures dan program akselerasi Gojek Xcelerate.
Salah satu alasan mengapa sejumlah investor tertarik berinvestasi ke startup teknologi yang berkutat di industri kecantikan adalah pendekatan personalisasi ke pelanggan dan pemahaman yang kuat akan industri yang mereka sasar.
“Beauty merupakan sektor yang menarik, karena masyarakat indonesia mencari produk-produk beauty inovasi baru yang bagus namun terjangkau. Selain itu, potensinya juga besar, bukan ‘industry winner takes all‘ tetapi bisa ada beberapa pemain besar,” kata Partner East Ventures Melisa Irene.
East Ventures telah memberikan pendanaan tahap awal tahun lalu ke Base, sementara marketplace Social Bella (dengan brand Sociolla) telah mendapatkan sejumlah pendanaan lanjutan dan termasuk dalam jajaran startup bervaluasi di atas $100 juta (centaur).
“Kami mengerti bahwa setiap investor memiliki preferensi masing-masing mengenai jenis industri ataupun lini bisnis yang ingin digeluti. Sampai saat ini, kami sudah bertemu dengan investor yang memang memiliki fokus ataupun ketertarikan di bidang kecantikan, wellness, consumer goods, e-commerce, dan retail. Sejauh ini, kami mendapatkan respon dan masukan positif,” kata Yaumi.
Sementara itu, Gojek Xcelerate melihat pencapaian Callista yang signifikan dalam menciptakan produk dan layanan kecantikan. Mereka terus mendorong Callista untuk memperluas skala bisnis dan mencapai pertumbuhan yang signifikan.
Tahun ini Callista memiliki sejumlah target yang ingin dicapai, termasuk fokus ke jalur offline melalui program beauty ambassador. Hal tersebut dilakukan berdasarkan pengalaman, karena banyak pelanggan yang membeli produk Callista apabila direkomendasikan teman atau keluarganya.