Startup job marketplace khusus kerah biru Pintarnya memperoleh tambahan pendanaan awal $8 juta (senilai hampir 120 miliar Rupiah) dari East Ventures dan Vertex Ventures SEA & India (VVSEAI). Perolehan ini menjadikan total putaran tahap awal yang berhasil dikumpulkan Pintarnya senilai $14,3 juta.
Sebelumnya pada Mei 2022 perusahaan mengumumkan pendanaan awal yang diraih dari Sequoia Capital India, General Catalyst, dan angel investor.
Pintarnya akan memanfaatkan tambahan dana ini untuk melanjutkan pengembangan teknologi dan kemampuan data. Tujuannya agar dapat memberikan nilai tambah bagi perusahaan dalam memfasilitasi proses pencarian kerja yang efisien bagi kandidat dan pemberi kerja. Maka dari itu, perusahaan sedang memperluas tim di semua lini.
“Kami ingin menjadi platform pilihan yang memfasilitasi pencocokan pasokan dan permintaan untuk kedua belah pihak dan menyediakan akses ke layanan keuangan yang lebih baik kepada pekerja kerah biru melalui identitas digital yang lebih baik dan riwayat pekerjaan yang dapat diverifikasi,” kata Co-Founder Pintarnya Henry Hendrawan dalam keterangan resmi, Selasa (19/7).
Selain bergabung menjadi investor, Co-Founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca juga akan bergabung dengan Pintarnya sebagai anggota Dewan.
Dia menyampaikan, terdapat peluang besar dalam memberdayakan jutaan pekerja kerah biru pada kawasan ini yang berusaha untuk mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik. Peluang tersebut tentunya hadir dengan berbagai halangan di sepanjang perjalanan pengguna namun pihaknya percaya Pintarnya adalah tim yang tepat untuk memecahkan masalah ini.
“Mereka memiliki pengalaman yang terbukti dalam membangun dan menguasai pasar business to consumer (B2C) dan berbagai produk layanan keuangan di Indonesia. Mereka membuat kemajuan pesat dan kami menantikan pencapaian-pencapaian yang akan dihadirkan oleh tim Pintarnya ke depannya,” kata Willson.
Managing Partner Vertex Ventures SEA & India Joo Hock Chua menambahkan, praktik pencarian kerja bagi para pekerja kerah abu-abu dan pengusaha untuk mempekerjakan pekerja yang tepat di Indonesia kurang efisien dan bahkan dapat dianggap kuno. Pintarnya memecahkan masalah ini dengan menggunakan teknologi dan data untuk memungkinkan pencarian dan perekrutan pekerjaan yang jauh lebih efisien dan hemat biaya.
Solusi Pintarnya
Pintarnya diluncurkan pada Mei 2022, didirikan oleh tiga mantan eksekutif senior; Nelly Nurmalasari, Henry Hendrawan, dan Ghirish Pokardas. Pintarnya membantu tenaga kerja Indonesia yang kian meningkat untuk mendapatkan pekerjaan, meningkatkan peluang kerja, dan membuka akses ke layanan keuangan yang lebih baik.
Diklaim, perusahaan telah menghubungkan lebih dari 6 ribu pengusaha dengan lebih dari 100 ribu pencari kerja yang mencari berbagai peluang di sektor F&B, ritel, logistik, dan perhotelan.
Pintarnya menyuguhkan layanan melalui situs web dan aplikasi mobile. Untuk saat ini layanan mereka baru bisa digunakan secara efektif untuk pengguna di Jabodetabek dan Bandung.
Dalam cara kerjanya, setelah pencari kerja mendaftar dan membuat profil, Pintarnya akan menggunakan informasi yang diberikan untuk merekomendasikan peluang pekerjaan yang relevan, termasuk mempertimbangkan berbagai parameter, tidak terbatas pada persyaratan pekerjaan, lokasi, dan keahlian. Pendekatan ini dinilai bisa memberikan akses tidak hanya ke prospek yang diverifikasi dan dikurasi.
Setelah itu Pintarnya akan bekerja sama dengan mitra pemberi kerja untuk mengkualifikasi dan merekrut pekerja kerah biru terkait. Pintarnya tidak hanya membantu para pekerja mendapatkan pekerjaan. Dengan identitas digital dan riwayat pekerjaan yang terverifikasi, akan membuka akses untuk layanan finansial yang lebih baik untuk mereka dengan kemitraan bersama institusi keuangan, memungkinkan pekerja kerah biru meraih mimpi mereka untuk hidup yang lebih layak.
Kendati tidak dijabarkan detailnya, dengan mekanisme berbasis data dan memanfaatkan platform Open Finance, Pintarnya juga berkomitmen untuk menyuguhkan layanan finansial formal bagi para pekerja tersebut. Tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, dengan memperjuangkan literasi dan inklusi finansial.
Pintarnya adalah platform job marketplace yang menyasar kalangan pekerja kerah biru. Hari ini (19/5) mengumumkan telah mendapatkan pendanaan awal yang dipimpin oleh Sequoia Capital India dan General Catalyst. Nilai investasi yang dapat dibukukan $6,3 juta atau setara 93 miliar Rupiah.
Startup tersebut didirikan oleh Nelly Nurmalasari, Henry Hendrawan, dan Ghirish Pokardas. Nelly dan Henry sebelumnya dikenal sebagai eksekutif senior di Traveloka, khususnya di divisi produk keuangan dan teknologi. Sementara Ghirish sebelumnya bekerja menjadi eksekutif senior di KKR yang juga fokus di layanan finansial.
Nelly sendiri juga menjadi bagian dari kohort pertama program mentoring Sequoia Spark — yang secara spesifik didesain Sequoia untuk calon pengusaha perempuan potensial di Asia Tenggara dan India.
Dengan pendanaan ini, Pintarnya akan mengakselerasi pertumbuhan bisnis dengan melakukan perekrutan tim di bidang pengembangan, produk, desain, pemasaran, operasional, dan bisnis di Jakarta.
Latar belakang pendirian Pintarnya
Di segmen kerah biru, untuk mencari pekerjaan biasanya seseorang akan bergantung dari informasi yang tersebar dari mulut ke mulut. Kanal online yang ada pun juga menyajikan banyak informasi lowongan, hanya saja banyak yang tidak terverifikasi — bahkan tidak sedikit yang berujung pada penipuan terhadap pencari kerja.
Namun, di sisi lain pemberi kerja juga memiliki gap yang cukup serius untuk menjangkau calon tenaga kerja. Mereka membutuhkan platform yang dapat diandalkan dalam mengidentifikasi, memverifikasi, hingga memperkerjakan pekerja. Demikian diceritakan oleh Nelly (CEO). Permasalahan tersebut dialami secara langsung.
“Dulu saya mempekerjakan staf salon kecantikan melalui platform iklan baris online atau referensi para pekerja lain. Sangat sulit untuk menyaring dan memverifikasi kandidat dan pengalaman kerjanya dengan cepat. Di sisi lain, saya juga menyadari bahwa untuk para pencari kerja, sangat menjengkelkan untuk mencari dan melamar pekerjaan, lalu mereka menjadi korban penipuan dalam prosesnya,” ujar Nelly.
Ia melanjutkan, “Pintarnya bertujuan untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut untuk kedua belah pihak. Lalu, 80% dari populasi memiliki smartphone, jadi ini saat yang tepat untuk meluncurkan sebuah platform digital. Perubahan perilaku yang dipicu oleh pandemi COVID-19 baru-baru ini dan bangkitnya Open Finance di Indonesia juga memberikan dorongan pada misi kami.”
Solusi yang dihadirkan Pintarnya
Pintarnya menyuguhkan layanan melalui situs web dan aplikasi mobile. Untuk saat ini layanan mereka baru bisa digunakan secara efektif untuk pengguna di Jabodetabek dan Bandung.
Dalam cara kerjanya, setelah pencari kerja mendaftar dan membuat profil, Pintarnya akan menggunakan informasi yang diberikan untuk merekomendasikan peluang pekerjaan yang relevan. Termasuk mempertimbangkan berbagai parameter termasuk namun tidak terbatas pada persyaratan pekerjaan, lokasi, dan keahlian. Pendekatan ini dinilai bisa memberikan akses tidak hanya ke prospek yang diverifikasi dan dikurasi.
Setelah itu Pintarnya akan bekerja sama dengan mitra pemberi kerja untuk mengkualifikasi dan merekrut pekerja kerah biru terkait.
“Misi dari Pintarnya tidak hanya membantu para pekerja mendapatkan pekerjaan. Dengan identitas digital dan riwayat pekerjaan yang terverifikasi, kami akan membuka akses untuk layanan finansial yang lebih baik untuk mereka dengan kemitraan bersama institusi keuangan, memungkinkan pekerja kerah biru meraih mimpi mereka untuk hidup yang lebih layak,” imbuh Henry.
Kendati tidak dijabarkan detailnya, dengan mekanisme berbasis data dan memanfaatkan platform Open Finance, Pintarnya juga berkomitmen untuk menyuguhkan layanan finansial formal bagi para pekerja tersebut. Tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, dengan memperjuangkan literasi dan inklusi finansial.
Potensi platform job marketplace kerah biru
Tidak dimungkiri juga, potensi nilai ekonomi pekerja kerah biru sangat besar, namun sangat kompleks dan terfragmentasi. Di Indonesia, 60 juta pekerja kerah biru mencakup lebih dari 70% pekerja berbayar dan menyumbangkan 20% pada PDB.
Hal ini turut disampaikan oleh Alex Tran dari General Catalyst. Ia berujar, “Indonesia memiliki salah satu populasi termuda di dunia, yang merupakan hal langka dan potensi bonus demografi jika orang diberi kesempatan untuk menjadi produktif dan stabil secara finansial. Hal Ini adalah tantangan dan peluang besar yang dapat dipecahkan oleh teknologi.”
Alex melanjutkan, “Kami senang dapat mendukung tim di Pintarnya saat mereka memulai misi untuk membantu pekerja kerah biru menyesuaikan diri dengan pemberi kerja, membangun komunitas, dan meningkatkan keterampilan. Kami juga senang dengan peluang fintech yang dapat muncul dari sini. Pekerjaan mengarah ke pendapatan mengarah ke akses pada layanan keuangan, jadi kami pikir masuk akal bahwa satu platform harus memiliki seluruh hubungan ini.”
Sejumlah platform untuk pekerja kerah biru sebelumnya juga sudah banyak bermunculan. Sebut saja AdaKerja, Sampingan, MyRobin, Lumina, sampai yang terbaru ada Atma. Atma juga baru-baru ini mengumumkan pendanaan pre-seed untuk mendukung debutnya senilai $5 juta — mereka hadir dengan pendekatan berbeda, yakni dengan pemberdayaan komunitas.
As a well-known unicorn in OTA vertical, Traveloka has now available in seven countries. The service is not only focus in accommodation and transportation. The company business has reached lifestyle and financial segment.
The last-mentioned sector is said to be the main umbrella on all transactions in Traveloka. Traveloka now provides more than 40 payment options, online or offline, including paylater service and insurance products.
The urge to travel, according to some research, has become part of the so-called millennials lifestyle. There are many supporting factors, including the improvement of road infrastructure and internet network, regional and central government’s encouragement to increase economic potential from the tourism sector, also transportation vehicles and various accommodations.
In other words, combining tourism with a big ticket size and financial needs become the key to provide the “buy now, pay later” service.
Since the establishment in June 2018 to date, Traveloka never reveals the PayLater service achievement, in terms of numbers of distribution, customers, and the bad credit.
However, we can get the picture from PT Pasar Dana Pinjaman (Danamas) as the first partner. Danamas, under the Sinar Mas Group becomes one of the first p2p lending to obtain license from OJK since 2017.
In an earlier interview with DailySocial, Danamas President Director Dani Lihardja revealed in the first year, the total distribution of Danamas through the cumulative figure of Rp1.4 trillion. The biggest contribution came from Traveloka in the amount of Rp1 trillion and the rest was commercial distribution to credit traders.
However, PayLater’s contribution has increasingly decreased by Danamas. In fact, he said it was minimal, although the exact numbers were not mentioned. This condition occurs due to many factors. First, Traveloka PayLater’s target users are mostly non-formal workers, not in line with the vision and mission of the company that targeting the informal and productive segments. As a result, Danamas cannot expand customers for more productive loan needs.
“Traveloka PayLater users are educated customers and the informal sector is not working here because most of them are white-collar. Therefore, this is quite different from our vision and mission to raise the unserved so that they are served, “he said.
Second, the funding source partners for Traveloka PayLater continue to grow. Besides Danamas, there are now Caturnusa, BRI and BNI. Nevertheless, Dani will not stop the cooperation agreement with Traveloka. “From the beginning we were not exclusive, we were willing because the ecosystem is the same as us. Borrowers don’t accept money, if the ecosystem is different, then we don’t want to.”
A good proposition
As a brand, Traveloka PayLater has a strong presence. Also, product diversification and broad function of funds attract lots of parties for cooperation.
In terms of function, Traveloka PayLater loan limits can now be used to pay for all transactions in the application, also in offline outlets thanks to the realization of cooperation with BRI in the physical form. All transactions through the card will be recorded in the application, there’s even a feature for paying bills.
Previously, in October 2019, BRI reportedly explore the potential to invest in Traveloka. Until the news was revealed, no decision had been announced to the public.
After BRI, other state-owned banks have followed to have cooperation with Traveloka, targeting Traveloka PayLater specifically. BNI, as a new source of funds and Bank Mandiri for credit card co-brands without any attachment of the PayLater brand.
The offered facilities are the opportunity to collect more loyalty points from transactions at Traveloka, daily discounts, and other offers from Bank Mandiri merchants. This is Traveloka’s first co-brand with banks to release credit cards.
Traveloka PayLater as a potential unicorn
Traveloka Group President Henry Hendrawan, in an interview with Reuters at the end of 2019, stated, “Financial services as a whole started from almost zero in early last year and we hope that it will easily become a $1 billion business next year.”
DailySocial tried to elaborate further on Hendrawan’s statement, but Traveloka’s representatives refused to answer it.
Hendrawan’s statement indicated high optimism in his fintech business, there was even news that the company was raising special funding for this product line. It is not impossible, with a unique proposition that can make Traveloka’s fintech business (read: Caturnusa) bears the status of a unicorn, following its parent entity.
See on how Ovo has become the 5th unicorn, it doesn’t mean Traveloka couldn’t catch up.
Quoting from the 2019 Fintech Report, Traveloka occupies the fourth position as the most widely used paylater. The top positions in order occupied by Ovo, Gojek, Shopee. Looking at the awareness, Traveloka occupies the third position, the top position is occupied by Ovo and Gojek.
According to DailySocial observation, on the terms and conditions page, it is explained that the borrowers from Traveloka PayLater are PT Caturnusa Sejahtera Finance and Danamas.
Caturnusa is a rebrand of a finance company that was previously named PT Malacca Trust Finance. They are owned by PT Batavia Prosperindo Finance Tbk before being sold to PT Hermes Global Ventures PTE, LTD in September 2018.
Batavia sold 25 thousand shares to Hermes Global at a nominal value of Rp1 million per share. The transaction value reached IDR27.75 billion. The Indonesian Financial Services Association (APPI) Suwandi Wiratno confirmed that Hermes Global is a sister company of Traveloka.
“Traveloka has opened a multi-finance company, its name is Caturnusa. He bought it from Malacca Trust. In writing, PT Hermes Global Ventures, PTE LTD., Sister company of Traveloka,” he said as quoted by Bisnis.com, (1/28/2019).
With the new name, Caturnusa operates in the same area as the Traveloka headquarters.
Becoming financial company
Caturnusa, with its core business as a finance company, facilitates Traveloka’s movement to find sources of funds as it should’ve come from institutions. When using license as a lending company, there are limitations in finding sources of loans, which come from individual borrowers.
We can’t obtain any information of all the sources collected by Caturnusa. It does not violate the rules because there is no obligation to publish it unless it is a public company.
The Caturnusa business domain as a lender for Traveloka products also does not violate the rules. In POJK 35 of 2018, OJK explained that finance companies are given the freedom to add variations in financing products, namely multifinance.
Multifinance is the type of financing of goods and/or services required by the debtor for consumption and not for the purposes of business or productive activities within the agreed period.
In this financing, the FSA requires that it must be done by way of finance leases, purchases with installment payments, fund facilities, and/or other financing agreed by the FSA.
In addition to multifinance, in general, finance companies also have other product domains, namely working capital, investment, and other financing activities based on OJK approval.
Finance companies can have many sources of funds besides banks. There are other options, such as channeling, joint financing, issuing debt from MTN (medium-term notes), bonds, syndication on / offshore, to IPO.
Because Traveloka PayLater already has a business model, Caturnusa doesn’t have to bother looking for business models that conventional financing companies do. All business processes are done online. Another story, if there is a change in business strategy for product diversification.
Playing in the online business should not be a new field for finance companies. Akulaku can be the closest example in illustrating the potential of a finance company that brings a digital approach to its business processes.
The company has three licenses, the p2p lending (Asetku), e-commerce (Akulaku Silvrr and Akugrosir), and financing (Akulaku Finance). In fact, Akulaku has also become one of the shareholders in Bank Yudha Bhakti.
As we can see, Akulaku diversified access for its funding to be channeled back through a series of loan products. Not only consumer-based loans, Akulaku said that they currently receive loans for cars and working capital that are more productive.
In terms of industry, OJK sees the incumbent players have begun to implement. Head of OJK 2B IKNB Supervision Department Bambang W. Budiawan sees that from 57 listed companies, it started to show positive progress that leads to digital. Also, given the digital transformation requires a minimum cost and standard.
“Gradually [its development]. It doesn’t matter, if there is a large amount of capital, but when it’s on-budget, it will be gradual because this will need costs and has [to meet] minimum standards,” Bambang explained to DailySocial.
According to him, fintech lending and financing have different consumer segments, although there are several products that overlap. Having a finance company is not easy because there are many requirements that must be obeyed, including having to be able to maintain the gearing ratio, which is the ratio between the number of loans compared to own capital. The company must also have large capital with a minimum equity of Rp100 billion.
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Kartu kredit merupakan produk keuangan premium, namun punya eksklusivitas yang tinggi. Baru mau mengajukan saja, prosesnya sangat selektif dan memakan waktu. Hal ini wajar karena bank harus prudent dalam menjalankan fungsinya sebagai intermediary.
Regulasi perbankan yang ketat menjadi alasan utama mengapa perkembangan kartu kredit di sini stagnan. Statistik dari Bank Indonesia per November 2019 memaparkan, jumlah kartu kredit yang beredar sebanyak 17,38 juta unit, naik tipis 0,65% secara year on year. Pertumbuhan volume transaksi hanya naik 4,19%, sedangkan secara nilai naik 5,32%.
Kenaikan ini tidak sedrastis dibandingkan transaksi uang elektronik. Jumlah uang elektronik sebanyak 278 juta unit kartu, naik 66,47% secara year to date. Volume transaksinya tercatat mencapai 356,4 juta unit (naik 21,93%), dengan nilai Rp127 triliun (naik 170,21%).
Ketimpangan ini membuat produk kartu kredit digital, atau kini lebih tren disebut PayLater, menjadi sesuatu yang sangat hit selama dua tahun terakhir.
Semua beramai-ramai masuk ke segmen ini, menggaet fintech lending untuk menawarkan kemudahan pengajuan yang singkat dan jargon andalan bunga 0% untuk 30 hari pinjaman semakin sering dipakai.
Traveloka dan perjalanan produk PayLater
Beberapa bulan sebelum GoPay dan Ovo merilis PayLater, Traveloka mencuri start memperkenalkan istilah ini. Premisnya sederhana: ingin mempersingkat durasi konsumen saat memutuskan rencana pembelian tiket perjalanan beserta akomodasinya, tanpa khawatir dengan ketersediaan dana. Solusi yang sebenarnya bisa dijawab oleh kartu kredit.
Dalam konferensi pers (15/1), President Traveloka Group Operations Henry Hendrawan menjelaskan sebelum merilis PayLater, 90% pengguna melakukan pembelian last minute alias kurang dari dua hari sebelum keberangkatan. Dampaknya harga yang harus mereka bayarkan jauh lebih mahal, tidak bisa memilih kursi, dan tidak mendapat akomodasi yang diinginkan.
“Saat Lebaran, kita melihat booking biasanya terjadi saat mereka sudah dapat THR. Jadi kita lihat dengan PayLater bisa menjadi alternatif untuk financial planning, merencanakan semua rencana libur dan booking dari jauh-jauh hari karena harganya pasti jauh lebih terjangkau,” ucapnya.
Menurutnya, sejak PayLater diluncurkan medio 2018, penggunaan terbesar PayLater untuk pembayaran tiket perjalanan dan akomodasi hotel. Berikutnya, untuk pembayaran tiket atraksi dan hiburan. Henry tidak bersedia merinci lebih lanjut besaran transaksi terkait hal ini.
Nominal dana yang bisa diperoleh pengguna maksimal saat pertama kali dirilis berkisar Rp2 juta sampai Rp10 juta. Kini limitnya ditingkatkan hingga Rp50 juta dengan tenor sampai 12 bulan. Bunganya dimulai dari 2,14%-4,78% flat per bulan. Hampir seluruh layanan di Traveloka bisa memakai PayLater untuk opsi pembayarannya.
Mitra pertama fintech lending yang digaet Traveloka untuk menyediakan dana pinjaman adalah Danamas. Di situsnya dijelaskan ada tambahan mitra, yakni Caturnusa Sejahtera Finance, yang bertindak sebagai pemberi pinjaman (lender) di Danamas. Bisa diasumsikan dana PayLater yang diberikan ke pengguna Traveloka bersumber dari situ.
Caturnusa yang berlisensi sebagai perusahaan p2p lending juga terafiliasi dengan Danamas, alias masuk ke dalam naungan Sinar Mas Group.
Tepat pada Rabu (15/1), Traveloka menambah mitra lending. Kali ini adalah BNI. Bersama BNI perusahaan berambisi menyalurkan dana pinjaman hingga Rp6 triliun sepanjang tahun ini untuk satu juta pengguna Traveloka.
“Harapannya, [pinjaman PayLater] itu bisa disalurkan kepada sejuta pengguna PayLater pada tahun ini,” ujar Henry.
Direktur Bisnis Konsumer BNI Anggoro Eko Cahyo menjelaskan. melalui kerja sama ini, Traveloka PayLater terhubung dengan produk KTA milik BNI, yakni BNI Fleksi. Otomatis setiap pengguna PayLater akan menjadi nasabah BNI.
“Melalui kerja sama ini diharapkan terjadi peningkatan ekspansi kredit konsumer BNI sekaligus memberikan kemudahan kepada masyarakat luas, termasuk pengguna Traveloka PayLater yang pada akhirnya berpotensi menjadi nasabah BNI,” katanya.
Kembali ke asal sebagai kartu kredit fisik
Sepak terjang BNI dalam menggaet Traveloka menjadi contoh menarik bagaimana perbankan memanfaatkan perusahaan teknologi sebagai “kendaraan” untuk meningkatkan bisnisnya. Anggoro menerangkan keputusan BNI masuk sebagai pemberi pinjaman di Traveloka karena dia melihat adanya kesamaan target konsumen.
Strategi ini juga dilatarbelakangi keinginan perseroan memacu kinerja kredit konsumer di BNI karena Traveloka PayLater ini juga terhubung dengan BNI Fleksi. Ini adalah produk KTA untuk kebutuhan konsumsi bagi pegawai aktif yang punya penghasilan tetap dan gajinya di-payroll oleh BNI.
Pengguna Traveloka yang lolos verifikasi untuk pinjaman PayLater ini, menurut pengakuan Henry, mayoritas belum pernah memiliki kartu kredit. Proses KYC dalam setiap pengajuan aplikasi tergolong simpel. Traveloka membaca kebiasaan transaksi pengguna yang terekam di sistem.
“Lebih sering pakai Traveloka, maka kita akan lebih mudah mengerti pengguna dan mungkin kita akan lebih comfortable kasih limit-nya karena kita tahu siapa penggunanya.”
Anggoro mengungkapkan, sebelum kolaborasi ini dimulai, tentunya pihak BNI melakukan penilaian risiko kredit di dalam sistem Traveloka. Bagaimana mereka KYC, menentukan skoring kredit, dan lain-lain. “Kami sudah pastikan sesuai standar [perbankan].”
“Ini [hasil penilaian] memperlihatkan performa kami secara teknis dalam KYC,” tambah Henry.
Historis transaksi nasabah yang terkumpul di Traveloka, menjadi bank data yang sangat berharga untuk membangun sistem kredit skoring sendiri. Seluruh upaya Traveloka untuk membangun pembiayaan yang berkualitas akhirnya terbayar sudah ketika bank sekelas BNI masuk.
Sebelum BNI masuk, BRI juga menandatangani MoU dengan Traveloka untuk menyediakan PayLater Card. Fasilitas ini ditawarkan untuk pengguna terpilih Traveloka. Kebetulan, DailySocial termasuk salah satunya.
Kartu PayLater tidak jauh berbeda dengan kartu kredit yang diterbitkan bank pada umumnya. Fasilitas yang bisa dinikmati pengguna adalah bebas biaya tahunan selamanya, pengguna akan menerima notifikasi dari Traveloka setiap ada transaksi dengan kartu kredit untuk mempermudah pemantauan.
Seperti kartu kredit kebanyakan, limit dapat digunakan untuk transaksi online dan offline di luar ekosistem Traveloka, termasuk belanja di luar negeri terutama yang sudah terhubung dengan Visa. Bunga yang diberikan adalah 2,25% per bulan dan tagihan dapat dibayar melalui aplikasi Traveloka.
Ada kenaikan limit kredit yang diterima pengguna ketika meng-upgrade ke kartu fisik. Besarannya tergantung penilaian profil risiko.
Manfaat kemitraan Traveloka antara BRI dan BNI memberi nilai tambah bahwa secara sistem, kualitas perusahaan teknologi dalam penilaian risiko sudah sesuai standar perbankan. Bank pun tidak perlu khawatir.
Di tengah ketatnya regulasi di perbankan, perusahaan teknologi bisa menjadi “kendaraan” mengatasi stagnannya pertumbuhan kartu kredit. Akan ada saatnya penetrasi kartu kredit meningkat dengan cara yang prudent.
Tren cobranding kartu kredit di luar negeri
Apa yang dilakukan Traveloka dengan BRI bukan barang baru bila melihat benchmark di luar negeri. Di Singapura, Grab bersama MasterCard membuat GrabPay Card. Di India, ada Amazon dan perusahaan OTA MakeMyTrip yang menggaet ICICI Bank. Lebih jauh, di Amerika Serikat ada Uber bersama Visa dan Apple bersama Goldman Sachs.
Tren ini diprediksi akan terus berlanjut. Sempat beredar kabar Visa dan Gojek sedang berkongsi untuk merilis PayLater.
Patut dipahami, di Indonesia kebiasaan menggunakan kartu kredit belum terbentuk. Kondisi yang sama juga terjadi di Tiongkok. Di sana kartu kredit kurang peminat, karena ada Alipay dan WeChat Pay yang lebih ramah buat mereka.
Hal ini berbeda dengan Amerika Serikat dan Singapura. Penetrasi kartu kredit di sana sudah signifikan, sehingga strategi perusahaan teknologi untuk membuat kartu kredit jadi lebih masuk akal.
Menurut laporan PwC, strategi cobranding kartu kredit merupakan strategi win win, baik buat perusahaan dan issuer (bank penerbit). Dari sisi issuer, mereka akan mendapat akses ke basis pelanggan tersegmen, kenaikan rata-rata transaksi, menurunkan tingkat akun dorman, dan meningkatkan “stickiness” dengan konsumen.
Untuk mitra, mereka mendapatkan visibilitas brand yang lebih baik, kontribusi top dan bottom line lewat pendapatan bersama, dan meningkatkan loyalitas konsumen. Sementara untuk pemegang kartu, mereka mendapat penawaran khusus semacam diskon atau voucher, benefit film gratis, perjalanan, menginap, dan manfaat tambahan untuk asuransi, akses lounge, dan lain sebagainya.
Slowly but surely, Indonesia’s giants start to initiate exit strategy through go-public, including Traveloka. This is shared directly by its Co-Founder & CEO, Ferry Unardi in an interview with Bloomberg. He said the realistic plan for IPO is to be accomplished in the next 2-3 years.
In order to achieve the goal, the company’s main homework is to maintain a positive financial flow. He also said the business is currently stable and facing the right track. They also have a clear direction to be profitable in the near future.
There’s a chance for dual listing
There has been a discussion about the go-public initiative with some parties, including IDX, Unardi said. However, the company might have to choose to make a listing on the other side of the digital world, in the US.
This has become a common move, like what happened to Alibaba, starting off in the US a few years back then, and in the Hong Kong exchange recently.
Previously in a separate occasion, Traveloka’s President Henry Hendrawan also mentioned the IPO issue. The company is likely to have a dual listing, in Indonesia and another country. The strategy to accelerate the realization is by optimizing digital financial services in the application ecosystem, in order to accelerate profit gain.
Aside from Traveloka, a similar initiative was made by other unicorns, such as Tokopedia and Gojek. Tokopedia is currently in the fundraising mode for 21 trillion Rupiah to prepare the company’s profitability entering the IPO season. Through various pits, the CEO, William Tanuwijaya has brought up the initiative to have pre-IPO first.
Analytical assumptions arose about digital startups flocked to plan for IPO, it is due to the overvaluation issue from other digital companies, like WeWork and Uber, resulting in a decrease of valuation (and investors’ trust) in a significant way. Moreover, there’s a projection of deceleration to the global economy in the next few years that could affect the current business model.
Continue with the fundraising
Similar to the other unicorns, Traveloka is said to grow with a conservative investment fund. As informed, the mechanism works as investors made an investment in return for stock, obligation, or cash – in another way is convertible notes – with merely lower risk, therefore, adopted by many startups.
The team is to accelerate growth by exploring new vertical that supports OTA business, such as lifestyle and financial technology. Some of the initiatives have started, such as the PayLater feature in partnership with Danamas, also Bank Rakyat Indonesia. – BRI is said to have a discussion regarding investment for Traveloka. In the wellness sector, they’ve optimized the Xperience feature to help their consumer’s recreational experience.
In order to accelerate, the company will continue to make fundraising. In fact, Unardi ensured that they are looking for investors with probability as strategic partners to support the new verticals. Rumor sparks in the mid-2018, that Traveloka has been looking for new funding up to 7 billion Rupiah.
Traveloka has been backed by some investors, including Expedia, JD.com, GIC, and Sequoia Capital.
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Pelan tapi pasti raksasa digital Indonesia mulai menyusun strategi exit melalui penawaran publik, tak terkecuali Traveloka. Hal ini disampaikan langsung oleh Co-Founder & CEO Ferry Unardi dalam sebuah wawancara bersama Bloomberg. Ia mengatakan rencana realistis IPO akan dilakukan sekitar 2-3 tahun mendatang.
Untuk mencapai hal itu, PR utama perusahaan adalah memastikan arus keuangan perusahaan positif. Ia pun menyampaikan bahwa saat ini kondisi bisnisnya masih stabil dan dalam lajur pertumbuhan yang sesuai. Turut ditegaskan mereka sudah memiliki arah yang jelas untuk menuai profit dalam waktu dekat.
Kemungkinan IPO di dua tempat
Sudah ada perbincangan mengenai rencana go-public dengan beberapa pihak, termasuk IDX, demikian disampaikan Unardi. Namun ada kemungkinan perusahaan akan terlebih dulu memilih listing di tempat perusahaan digital dunia lainnya berada, di Amerika Serikat.
Ini jadi praktik yang lumrah, seperti yang dilakukan Alibaba, mengawali di Amerika Serikat beberapa tahun lalu, dilanjutkan di bursa Hong Kong beberapa hari lalu.
Sebelumnya dalam kesempatan terpisah President Traveloka Henry Hendrawan juga menyampaikan soal IPO. Kemungkinan perusahaan akan melakukan dual listing, di Indonesia dan di negara lain. Strategi yang dilakukan untuk mempercepat realisasinya dengan mengoptimalkan layanan keuangan digital di ekosistem aplikasi, untuk mengakselerasi penciptaan profit.
Tidak hanya Traveloka, rencana serupa juga tengah digalakkan oleh unicorn lain, misalnya Tokopedia dan Gojek. Tokopedia sendiri tengah galang pendanaan baru hingga 21 triliun Rupiah untuk mempersiapkan profitabilitas perusahaan menjelang IPO. Dalam berbagai kesempatan CEO William Tanuwijaya sudah menyinggung keinginan perusahaan melakukan pra-IPO terlebih dulu.
Banyak analisis yang beredar mengenai startup digital yang berbondong menginisiasi IPO, salah satunya ditengarai isu overvaluation dari perusahaan digital lain, seperti WeWork dan Uber, yang justru menurunkan nilai (dan kepercayaan investor) secara signifikan. Terlebih ada proyeksi perlambatan ekonomi global dalam beberapa waktu mendatang yang bisa berdampak pada model bisnis yang sekarang dijalankan.
Masih terus melakukan fundraising
Sama seperti unicron lokal lainnya, disampaikan saat ini Traveloka masih terus melaju dengan conservative invesment fund. Sebagai informasi, dalam mekanisme tersebut investor memberikan pendanaan dengan imbal balik dapat berupa saham, obligasi, atau uang tunai – bentukan yang lebih riil salah satunya convertible notes – ini cenderung minim risiko, sehingga banyak diadopsi usaha rintisan.
Pihaknya masih akan terus mengejar pertumbuhan dengan mengeksplorasi vertikal baru yang mendukung bisnis OTA, yakni gaya hidup dan teknologi finansial. Beberapa inisiatif sudah digulirkan, termasuk fitur PayLater bekerja sama dengan Danamas sekaligus Bank Rakyat Indonesia – BRI dikabarkan tengah dalam tahap penjajakan untuk turut andil jadi investor Traveloka. Untuk gaya hidup mereka juga sudah mulai optimalkan Xperience untuk mendukung kegiatan rekreasi penggunanya.
Genjot pertumbuhan, perusahaan masih akan terus melakukan penggalangan dana. Akan tetapi Unardi menegaskan, bahwa mereka tengah mencari investor yang sekaligus dapat dijadikan rekanan strategis untuk mengembangkan dua vertikal baru di atas. Pertengahan tahun lalu beredar kabar, Traveloka tengah cari dana hingga 7 triliun Rupiah.
Traveloka telah didukung oleh sejumlah investor, termasuk Expedia, JD.com, GIC, hingga Sequoia Capital.
Kemarin (26/9) Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Traveloka mengumumkan kerja sama strategis untuk peluncuran kartu kredit PayLater Card. Produk kolaborasi tersebut akan menawarkan solusi inovatif untuk meningkatkan akses terhadap produk finansial, termasuk proses aplikasi dan verifikasi yang hanya memerlukan waktu maksimal 1 hari – diakses melalui aplikasi Traveloka. Seremoni penandatanganan kerja sama diadakan di Singapura, turut hadir CFO Visa Asia Pasifik Andrew Tan.
Persetujuan atas pendaftaran dilakukan melalui proses penilaian kredit yang efisien, dikembangkan bersama tim BRI dan Traveloka. Menggunakan kartu tersebut, pengguna dapat membeli seluruh produk dan layanan Traveloka. Selain itu, pengguna juga dapat menggunakan PayLater Card untuk bertransaksi di merchant online dan offline di lebih dari 53 juta lokasi merchants di seluruh dunia yang menerima pembayaran dengan Visa.
“Kehadiran PayLater Card menawarkan skema baru pembayaran dan pengalaman unik kepada para pengguna semakin melengkapi layanan perbankan kami. Kerja sama cobranding ini juga sejalan dengan strategi pemasaran kartu kredit kami untuk meningkatkan customer base dan penetrasi pasar di segmen milenial. PayLater Card menandai era baru bisnis kartu kredit di Indonesia,” ujar Direktur Konsumer Bank BRI Handayani.
“Kami optimis dengan kerja sama ini kami mampu mencapai target 5 juta pengguna PayLater Card di tahun 2025, mengingat potensi pasar yang besar serta tingginya pertumbuhan penggunaan teknologi digital di Indonesia,” ujar President Group of Operations Traveloka Henry Hendrawan.