Tag Archives: hero shooter

Blizzard: Tidak Ada Diablo IV dan Overwatch 2 Tahun Ini

Di industri video game, nama Blizzard jelas sudah bisa dikategorikan sangat senior. Namun meski sudah berdiri selama tiga dekade, jumlah game yang digarap dan dirilisnya boleh dibilang masih bisa dihitung jari. Tentu saja, segelintir game itu terbukti sukses besar.

Sejarah menunjukkan kalau Blizzard memang tidak pernah mau terburu-buru dalam berkarya. Ambil contoh franchise StarCraft. Game StarCraft pertama dirilis di tahun 1998, dan sekuelnya, StarCraft II: Wings of Liberty, baru tiba sekitar 12 tahun setelahnya. Contoh lain adalah Diablo II dan Diablo III, yang jaraknya juga terpaut 12 tahun.

IP terbaru mereka, Overwatch, dirilis di tahun 2016. Game tersebut digarap menggunakan aset dari proyek berjudul Titan yang batal dirilis. Titan sendiri mulai dikembangkan sekitar tahun 2007, sebelum akhirnya pengembangannya dihentikan pada tahun 2013. Maka dari itu, bisa dibilang cikal-bakal Overwatch sudah terbentuk sejak sembilan tahun sebelum perilisannya.

Diablo IV

Jadi jangan heran kalau ke depannya Blizzard masih menerapkan filosofi yang sama. Dua game anyar yang sedang dikerjakannya, Diablo IV dan Overwatch 2, hingga kini masih belum punya jadwal rilis sama sekali, padahal keduanya sama-sama sudah diumumkan sejak tahun 2019 lalu. Dalam laporan finansial terbarunya, Blizzard bahkan memastikan bahwa mereka tidak akan merilis Diablo IV dan Overwatch 2 tahun ini.

Kedengarannya memang mengecewakan, tapi sebagai penggemar kedua franchise tersebut, saya pribadi sama sekali tidak keberatan menunggu lebih lama. Saya lebih memilih developer memanfaatkan waktunya sebaik mungkin guna menciptakan game yang benar-benar matang daripada terburu-buru dan hasilnya mengecewakan seperti Cyberpunk 2077.

Dalam kasus Diablo IV, meski Blizzard sendiri pernah bilang bahwa perilisannya masih lama, mereka rupanya cukup rajin membagikan update mengenai pengerjaannya. Update terakhirnya di bulan Desember 2020 kemarin membahas banyak detail mengenai penyempurnaan substansial yang mereka terapkan pada aspek itemization, aspek yang bisa dibilang menjadi kekuatan utama seri Diablo selama ini. Sebelumnya lagi, Blizzard juga sempat membahas secara merinci mengenai sistem skill dan talent pada Diablo IV.

Overwatch 2

Untuk Overwatch 2, Blizzard memang belum berbicara banyak. Namun kita tahu bahwa game ini pada dasarnya adalah Overwatch yang sama yang selama ini kita kenal, tapi yang digarap menggunakan engine baru, dan yang menaruh fokus ekstra pada konten PvE. Kalau butuh gambaran lebih jelas, Anda bisa tonton demonstrasi gameplay-nya dari dua tahun lalu.

Dua game tersebut adalah yang paling dinanti dari Blizzard, tapi penggemar sejatinya pasti tahu bahwa Blizzard juga sedang menggarap Diablo untuk perangkat mobile. Kabar baiknya, ada kemungkinan game berjudul Diablo Immortal itu bakal dirilis di tahun 2021 ini. Pastinya kapan belum diketahui, tapi semestinya Blizzard bakal membahasnya lebih jauh di event BlizzConline pada tanggal 19 – 20 Februari mendatang.

Sumber: PC Gamer.

Amazon Hentikan Pengembangan Crucible, Apa yang Membuatnya Gagal?

Masih ingat dengan Crucible, game hero shooter besutan Amazon yang sempat meluncur ke publik sebelum akhirnya mundur ke fase closed beta tidak lama sesudahnya? Apa yang saya takutkan rupanya benar-benar terjadi; game yang digarap oleh studio internal Amazon tersebut akan segera tamat riwayatnya.

Melalui sebuah pengumuman resmi, developer-nya dengan berat hati memutuskan untuk menyetop pengembangan Crucible dalam waktu dekat, persisnya setelah mereka merilis fitur custom game. Alasannya sederhana saja: mereka tidak melihat adanya “masa depan yang sustainable” buat Crucible.

Lalu kenapa harus ada fitur baru yang dirilis kalau memang game-nya tidak akan dilanjutkan? Well, mungkin supaya tidak terlalu mengagetkan buat yang tergabung dalam program closed beta dan memang masih senang memainkannya. Fitur custom game itu pada dasarnya disiapkan supaya penggemar setia Crucible masih bisa bermain meski fitur matchmaking-nya ditiadakan tidak lama lagi.

Namun semua itu juga tidak akan berkepanjangan, sebab server Crucible untuk custom game hanya akan beroperasi sampai 9 November 2020, dan setelahnya game ini benar-benar tinggal sejarah. Tentu saja ini kontras dengan rencana awalnya, di mana Crucible dimundurkan ke tahap closed beta supaya dapat disempurnakan dengan mempertimbangkan masukan-masukan dari grup kecil yang aktif memainkannya, sebelum akhirnya dirilis kembali ke publik saat sudah benar-benar matang.

Rencana tersebut jelas sudah dibatalkan, dan Amazon juga bakal menawarkan refund secara menyeluruh bagi pemain yang sempat membeli konten in-game dalam Crucible. Relentless Studios, tim yang bertanggung jawab atas pengerjaan Crucible, bakal dialihkan ke proyek Amazon Games selanjutnya, termasuk halnya MMORPG berjudul New World yang akan dirilis tahun depan – semestinya tahun ini tapi akhirnya ditunda.

Kenapa Crucible bisa gagal?

Crucible

Kalau menurut saya pribadi, kegagalan Crucible membuktikan bahwa modal besar saja tidak cukup dalam industri video game. Rumornya, game ini menghabiskan sekitar $300 juta dan waktu pengembangan selama lebih dari empat tahun. Waktu yang kelewat lama untuk game yang sebentar saja sudah jadi kenangan.

Dalam laporan Wired baru-baru ini, diceritakan bahwa Crucible sebenarnya sudah siap dirilis pada tahun 2018, dan timing-nya kala itu jelas sangat pas, bertepatan dengan booming-nya kategori battle royale berkat PUBG dan Fortnite. Namun berhubung Crucible diproyeksikan menjadi salah satu judul andalan Amazon Game Studios (AGS) dalam menjalani debutnya, pengembangan Crucible pun terus dilanjutkan sampai dirasa benar-benar sempurna.

Namun ternyata semua tidak berjalan sesuai harapan. Crucible dirilis tanpa integrasi Twitch yang dijanjikan, dan game-nya bahkan tidak punya fitur voice chat bawaan meski merupakan game multiplayer kompetitif. Di titik ini, hype seputar game battle royale juga sudah tidak lagi sebesar di tahun 2018, ditambah lagi peluncuran Crucible hampir berbarengan dengan Valorant besutan Riot Games.

Faktor lain yang mungkin juga berpengaruh terhadap kegagalan Crucible adalah engine yang digunakan. Seperti yang kita tahu, Crucible digarap menggunakan Lumberyard, engine milik Amazon sendiri yang sebenarnya memiliki basis yang sama dengan CryEngine. Kepada Wired, seorang mantan karyawan AGS menjelaskan bahwa engine Lumberyard sangatlah sulit untuk digunakan dan menjadi penghambat utama proses pengembangan.

Crucible

Namun AGS bersikeras tetap memakai Lumberyard. Salah satu petingginya, Mike Frazzini, pernah mengatakan bahwa AGS harus mengerjakan sendiri semuanya karena uang sama sekali bukan masalah, dan mereka tidak segan mengucurkan dana sekitar $50-$70 juta untuk mendapatkan lisensi CryEngine dari Crytek, lalu menyempurnakannya menjadi Lumberyard.

Pada akhirnya, AGS pun harus menggarap engine Lumberyard dan sejumlah game secara bersamaan, dan itu jelas bukan pekerjaan mudah. Bayangkan seandainya developer perlu mengandalkan fungsionalitas tertentu guna mewujudkan suatu fitur dalam game, tapi ternyata engine-nya belum memiliki fungsionalitas tersebut, dan tim yang mengerjakan engine-nya harus bisa segera menyediakannya selagi dikejar waktu.

Saya kira tidak salah apabila sebagian besar dari kita menyimpulkan bahwa Amazon kelewat ambisius. Namun di sisi lain, ambisi mereka pastinya juga berdasar pada kesuksesan awal mereka di ranah gaming, yakni mengakuisisi Twitch di tahun 2014. Well, menyediakan platform live streaming dengan berlandaskan pada infrastruktur cloud yang sudah terbukti bisa diandalkan (AWS) jelas berbeda dari mengembangkan video game menggunakan engine yang masih amburadul.

Via: PC Gamer.

Belum Dua Bulan Diluncurkan, Crucible Malah Mundur ke Fase Closed Beta

Sungguh malang nasib Crucible. Game hero shooter besutan Amazon tersebut baru meluncur ke Steam pada tanggal 20 Mei lalu, namun belum dua bulan berselang, Crucible justru sudah ditarik dari publik dan dimasukkan ke tahap closed beta.

Kabar ini datang setelah developer-nya memutuskan untuk memensiunkan dua dari tiga mode permainan dalam Crucible. Namun rupanya penyempitan fokus pun tidak cukup, sebab sekarang aksesnya juga ikut dipersempit; Crucible tidak akan bisa diunduh oleh pemain baru sampai batas waktu yang belum ditentukan.

Mereka yang sudah pernah memainkannya dipersilakan untuk terus bermain selama tahap closed beta berlangsung, dan developer-nya bakal menjadwalkan sesi bermain bersama setiap minggunya agar bisa langsung mendengarkan feedback dari komunitasnya. Intinya tidak ada yang berubah untuk para pemain Crucible selama ini, hanya saja mereka tak akan berjumpa dengan pemain baru untuk sementara waktu.

Bicara soal pemain, jumlah pemain Crucible terbilang menyedihkan. Data di SteamDB menunjukkan total paling banyak 187 orang yang memainkannya dalam 24 jam terakhir. Jumlah terbanyaknya pun cuma 25.145 pemain di hari peluncurannya, dan itu terus menurun seiring berjalannya waktu. Begitu sedikitnya jumlah pemain Crucible, developer-nya menyarankan para pemain untuk bergabung ke server Discord mereka agar lebih mudah membuat janji dengan pemain lainnya selama fase closed beta.

Crucible

Kalau ditanya apa yang salah dari Crucible, jawabannya mungkin bisa beberapa. Namun yang paling utama sepertinya adalah timing peluncurannya. Crucible hadir nyaris bersamaan dengan Valorant, yang sendirinya sudah sangat diantisipasi berkat kebesaran nama Riot Games di ranah game kompetitif. Crucible juga tidak pernah memulai dengan status beta terlebih dulu, menimbulkan kesan bahwa peluncurannya agak tergesa-gesa.

Kedua game ini memang cukup berbeda dari segi gameplay, akan tetapi Valorant yang lebih mirip CS:GO mungkin pada akhirnya lebih bisa memikat banyak kalangan. Dari sisi marketing, Amazon juga terkesan pasif. Sebaliknya, Riot Games justru berani membayar para streamer untuk memainkan Valorant sekaligus menyiarkannya, yang pada akhirnya berujung pada pemecahan rekor jumlah penonton di Twitch.

Faktor lain yang menurut saya juga cukup berpengaruh adalah terkait aksesnya. Valorant jauh lebih mudah diakses karena tidak menuntut spesifikasi PC yang tinggi untuk bisa berjalan di 60 fps. Sebaliknya, spesifikasi minimum untuk bisa menjalankan Crucible tergolong tinggi dan tidak bisa mewakili populasi gamer secara umum. Grafik Crucible memang lebih bagus daripada Valorant, tapi grafik sendiri tidak pernah menjadi penentu utama kesuksesan suatu game kompetitif.

Belum diketahui sampai kapan Crucible akan menjalani fase closed beta-nya. Semoga saja nasibnya tidak senaas Battleborn, yang harus di-discontinue karena terbukti kalah saing dengan game serupa yang meluncur secara hampir bersamaan, yaitu Overwatch.

Sumber: GamesRadar dan Crucible.

Baru Dua Minggu, Crucible Pensiunkan Dua dari Tiga Mode Permainannya

20 Mei lalu, Amazon resmi meluncurkan game hero shooter-nya, Crucible. Dibanding Valorant, Crucible terkesan lebih MOBA – semoga bukan pertanda buruk – berkat satu mode permainan bernama Heart of the Hives.

Seperti yang bisa Anda lihat pada video di bawah, Heart of the Hives tidak cuma menempatkan dua tim (masing-masing berisikan 4 pemain) untuk saling membunuh begitu saja. Objektif utamanya justru adalah menumpas monster raksasa yang muncul di tengah-tengah map, lalu merebut organnya yang disebut dengan istilah “heart“. Tim yang berhasil merebut tiga heart lebih dulu adalah pemenangnya.

Berdasarkan pengakuan developer-nya, mode ini ternyata adalah yang paling populer di kalangan pemain Crucible. Maka dari itu, pengembangnya berniat untuk sepenuhnya berfokus menyempurnakan Heart of the Hives lebih jauh lagi.

Namun sebagai konsekuensinya, dua mode permainan lainnya, Alpha Hunters dan Harvester Command, bakal dipensiunkan. Keputusan ini memang terdengar agak mengganjal, apalagi mengingat Crucible baru berumur sekitar dua minggu.

Pun begitu, kita harus ingat bahwa Crucible masih berada dalam tahap Pre-Season, dan perubahan gameplay yang cukup drastis merupakan hal yang wajar sebelum suatu game kompetitif masuk ke Season 1.

Peralihan fokus ke satu mode saja juga berarti developer punya waktu lebih banyak untuk menyempurnakan sejumlah aspek lain sekaligus menambahkan fitur-fitur baru. Penyempurnaan ini disebut bakal datang dalam dua tahap.

Crucible

Di tahap pertama, developer akan berfokus menyajikan fitur-fitur esensial seperti voice chat, opsi surrender, mini map, mekanisme untuk mengatasi pemain yang AFK, dan penyempurnaan seputar latency. Performa game (frame rate) juga akan ikut dibenahi, demikian pula hit feedback, proses matchmaking, dan langkah-langkah buat memandu para pemain baru (onboarding).

Pada tahap keduanya, developer akan menyempurnakan map Heart of the Hives sekaligus makhluk yang menjadi lawan dalam mode tersebut. Dukungan custom game juga bakal ditambahkan, demikian pula fitur-fitur sosial yang lebih baik lagi. Selebihnya, semuanya bergantung pada masukan yang developer terima pasca penyempurnaan tahap pertama.

Pengembang Crucible cukup transparan terkait berbagai hal yang perlu dibenahi sekaligus ditambahkan, dan publik dipersilakan memantau prosesnya lewat suatu board Trello. Setelah semuanya benar-benar matang, barulah Crucible siap memulai Season 1.

Crucible saat ini sudah bisa diunduh secara cuma-cuma lewat Steam.

Sumber: Eurogamer dan Crucible.

Selama Fase Beta, Valorant Dimainkan Hampir 3 Juta Pemain Setiap Harinya

Valorant resmi meluncur hari ini. Setelah lebih dari satu dekade, Riot Games akhirnya punya game yang bukan berasal dari lore League of Legends. Valorant tentunya juga lebih berbobot ketimbang Teamfight Tactics yang ber-genre auto chess maupun Legends of Runeterra yang merupakan digital collectible card game (CCG).

Penggemar game first-person shooter (FPS) kompetitif tentunya juga lebih banyak daripada auto chess maupun CCG, dan ini bisa kita lihat dari data seputar fase closed beta Valorant.

Riot mengklaim bahwa kalau dirata-rata, ada hampir tiga juta orang yang memainkan Valorant setiap harinya selama fase beta. Sebagai perbandingan, CS:GO pada bulan Maret lalu sempat memecahkan rekor 1 juta concurrent player. Memang tidak apple-to-apple mengingat rekor CS:GO itu adalah untuk jumlah pemain yang online di saat bersamaan, tapi setidaknya kita punya gambaran sebesar apa hype Valorant.

Tidak kalah mengesankan adalah total durasi yang dihabiskan para penonton Valorant di Twitch. Tercatat bahwa dalam kurun waktu kurang dari dua bulan (7 April – 28 Mei), 470 juta jam habis terpakai untuk menonton sesi permainan Valorant. Pernah dalam satu hari, 1,7 juta orang menonton streaming Valorant secara bersamaan.

Dengan dirilisnya Valorant secara resmi, kita tidak perlu terkejut seandainya jumlah pemain hariannya terus bertambah banyak lagi. Demi meramaikan peluncurannya, Riot juga telah menambahkan seorang Agent baru bernama Reyna, map baru bernama Ascent, dan mode permainan baru bertajuk Spike Rush.

Sumber: PC Gamer.

Tinggalkan Fase Beta, Valorant Resmi Diluncurkan 2 Juni

Valorant, game FPS kompetitif persembahan Riot Games, sudah menjalani fase pengujian closed beta sejak 7 April kemarin. Namun belum dua bulan berselang, Riot rupanya sudah tidak sabar untuk merilis Valorant secara resmi.

28 Mei nanti, fase pengujian Valorant akan berakhir, dan Riot bakal menghapus semua akun pemain yang ada. Lalu tanpa harus menunggu lama, kita semua dipersilakan untuk memainkan game free-to-play ini mulai tanggal 2 Juni.

Valorant

Sekadar mengingatkan, Valorant boleh dibilang merupakan hasil perkawinan antara Overwatch dan CS:GO. Ada beberapa hero – Agent kalau dalam kamus Valorant, dan sejauh ini jumlahnya sudah ada 10 – yang bisa dipilih yang menawarkan beragam skill uniknya masing-masing, akan tetapi variasi senjatanya sama untuk setiap karakter.

Entah kebetulan atau tidak, karakteristik senjata Valorant sangat mirip seperti di CS:GO, dan ini tentunya merupakan kabar gembira bagi para pemain profesional CS:GO yang pindah haluan ke Valorant. Di saat yang sama, pemain Overwatch mungkin memerlukan waktu ekstra buat beradaptasi, namun itu tidak mencegah salah satu bintang terbesarnya untuk banting setir.

Valorant

Terkait gameplay, Riot kabarnya sudah menyiapkan mode baru yang akan tersedia bersamaan dengan peluncuran resmi Valorant. Mode utamanya sendiri adalah mode yang sudah tidak asing lagi buat siapapun yang pernah memainkan Counter-Strike; satu tim bertugas menanam bom di titik yang ditentukan, sedangkan tim lainnya harus mencegah aksi teror tersebut (5 vs 5).

Timing peluncuran resmi Valorant ini hanya terpaut beberapa hari setelah Crucible, hero shooter besutan Amazon yang sudah lebih dulu hadir di Steam. Meski begitu, kedua game sebenarnya sangat berbeda. Bahkan dari segi tampilan saja sudah kelihatan perbedaannya, mengingat Crucible menyajikan permainan dari sudut pandang orang ketiga seperti Fortnite.

Sumber: Riot Games via VentureBeat.

Amazon Segera Luncurkan Game Hero Shooter-nya, Crucible

Sekitar empat tahun lalu, Amazon mengumumkan bahwa mereka akan merilis tiga game PC yang digarap menggunakan engine bikinan mereka sendiri, Lumberyard. Salah satu game-nya, Crucible, sudah dijadwalkan meluncur pada tanggal 20 Mei mendatang.

Crucible merupakan sebuah permainan hero shooter macam Overwatch atau Valorant. Valorant, seperti yang kita tahu, sempat memecahkan rekor jumlah penonton di Twitch walaupun masih berstatus beta. Jadi jangan heran kalau Amazon terkesan ingin mencuri momentum di sini.

Crucible

Tipikal game hero shooter, Crucible menawarkan sejumlah karakter yang dibekali beragam kemampuan uniknya masing-masing. Amazon menyebutnya dengan istilah hunter ketimbang hero, dan di awal peluncurannya bakal ada total 10 hunter yang bisa dimainkan.

Selain skill yang berbeda-beda, masing-masing hunter juga dilengkapi senjata yang berbeda pula. Di sini bisa kita lihat bahwa Crucible lebih mirip Overwatch ketimbang Valorant, dan itu juga berarti tim developer Crucible harus lebih cermat dalam hal balancing.

Crucible

Namun kemiripan Crucible dengan dua game tersebut terhenti di situ. Dari segi penyajian, Crucible justru lebih mirip Fortnite berkat tampilan dari sudut pandang orang ketiga (third-person view). Grafiknya memang tidak se-kartun Fortnite, dan dari trailer-nya tampak vegetasi yang cukup realistis – tipikal engine CryEngine yang merupakan basis dari Lumberyard.

Ada tiga mode permainan yang Crucible tawarkan, setidaknya di hari peluncurannya: Heart of the Hives, Alpha Hunters, dan Harvester Command. Dalam Heart of the Hives, dua tim yang masing-masing beranggotakan empat pemain akan bertempur dan memperebutkan sebuah sarang monster raksasa. Player vs AI vs player, kira-kira begitu deskripsi singkatnya.

Crucible

Untuk Alpha Hunters, modenya kurang lebih mirip seperti battle royale, di mana ada 8 pasang pemain (16 orang) yang memperebutkan titel last team standing. Terakhir, Harvester Command terdengar seperti mode capture the flag, menempatkan dua tim yang masing-masing beranggotakan delapan orang untuk berebut semacam control point.

Tanpa harus terkejut, Crucible merupakan game free-to-play. Belum diketahui bentuk monetisasinya bakal seperti apa, dan semoga saja tidak menjurus ke arah pay-to-win. Juga belum dijelaskan adalah bagaimana Crucible nantinya bakal terintegrasi dengan platform Twitch seperti yang Amazon singgung empat tahun silam.

Sumber: VentureBeat.

Kalah Saing dengan Overwatch, Battleborn Resmi Diberhentikan pada Januari 2021

Beberapa minggu sebelum Overwatch dirilis, perpaduan gameplay MOBA dan shooter sebenarnya sudah lebih dulu diterapkan oleh game berjudul Battleborn. Kedua game itu memang menawarkan premis yang mirip – first-person shooter dengan karakter yang dibekali beragam skill unik ala game MOBA – akan tetapi yang terbukti sukses rupanya cuma Overwatch.

Sungguh malang nasib Battleborn. Hanya berselang setahun setelah diluncurkan di bulan Mei 2016, game bikinan Gearbox Software tersebut harus ‘turun kasta’ menjadi game free-to-play demi menarik minat lebih banyak pemain. Kini Battleborn malah hanya tinggal menunggu waktu; 2K Games selaku publisher-nya baru saja mengumumkan rencana untuk menutup server Battleborn pada Januari 2021.

Dampak langsung dari pengumuman tersebut adalah hilangnya Battleborn dari berbagai platform distribusi online. Selanjutnya, mulai 24 Februari 2020, para pemain Battleborn tak lagi bisa membeli mata uang virtual yang digunakan di dalam game. Lalu saat masa pensiunnya tiba di tahun 2021, Battleborn benar-benar tidak akan bisa dimainkan lagi oleh siapapun.

Battleborn

Saya pribadi merupakan pemain Battleborn sekaligus Overwatch. Sebagai penggemar berat seri Borderlands, yang notabene merupakan franchise shooter terlaris Gearbox, saya dengan mudahnya terpikat oleh Battleborn, apalagi saya juga sudah menghabiskan ribuan jam bermain DotA dan Dota 2.

Namun yang membuat Battleborn gagal menurut saya justru adalah elemen MOBA-nya yang terlalu kental. Di Battleborn, hero yang Anda mainkan akan bertempur bersama pasukan-pasukan kroco yang kerap disebut dengan istilah minion atau creep di kalangan pemain MOBA. Overwatch tidak demikian, yang saling membunuh hanyalah para hero-nya saja.

Kehadiran minion menjadikan Battleborn lebih menyerupai MOBA dibanding Overwatch. Namun di sisi lain hal itu juga berpengaruh langsung terhadap tempo dan durasi permainannya; satu match di Battleborn berlangsung jauh lebih lama daripada di Overwatch, dan ini menurut saya kurang cocok untuk mayoritas konsumen, terutama mereka yang mengekspektasikan tempo permainan cepat ala game shooter pada umumnya.

Dibandingkan Battleborn, gameplay Overwatch terkesan lebih simpel sekaligus lebih mudah dipahami / Blizzard
Dibandingkan Battleborn, gameplay Overwatch terkesan lebih simpel sekaligus lebih mudah dipahami / Blizzard

Lebih lanjut, elemen MOBA yang kental pada Battleborn juga menjadikan learning curve-nya cukup tinggi. Para pemain baru pasti akan merasa lebih kesulitan menguasai mekanik-mekanik di Battleborn ketimbang Overwatch. Sekali lagi, gameplay yang ditawarkan Battleborn sebenarnya sangat menarik, tapi menarik hanya untuk sebagian kecil konsumen saja.

Sangat disayangkan memang melihat game potensial seperti ini harus dilupakan begitu saja. Sejauh ingatan saya, durasi total saya memainkan Battleborn hanya berkisar puluhan jam, sedangkan di Overwatch saya sudah online selama ratusan jam. Durasi tiap match di Overwatch yang tergolong singkat membuat saya masih bisa sesekali memainkannya meski saya harus menjaga dua orang anak sekaligus.

Seandainya Overwatch tidak eksis, nasib Battleborn mungkin akan lebih beruntung daripada sekarang. Namun kenyataannya tidak demikian. Kedua game ini dirilis hampir bersamaan, dan yang bisa bertahan rupanya adalah yang lebih ramah terhadap pemain baru, bukan yang kelewat kompleks yang hanya memikat kalangan kecil saja.

Via: Gamasutra.