Tag Archives: Heru Sutadi

Hadirnya Oorth dan Kesempatan Media Sosial Lokal untuk Bersaing

Belum lama ini tersiar kabar munculnya media sosial lokal baru bernama Oorth. Tepatnya sejak awal Oktober lalu, Oorth berusaha menggabungkan kapabilitas media sosial dengan teknologi finansial (fintech). Fokusnya bukan ke pengguna personal layaknya Facebook, melainkan ke komunitas, baik untuk komunitas sosial ataupun komunitas bisnis.

Selain Feeds untuk penyebaran informasi dan Chat untuk komunikasi, Oorth juga dilengkapi dengan fitur Donasi dan Digital Wallet. Menarik, menggabungkan Digital Wallet, memungkinkan pengguna dapat melakukan transaksi langsung dari platform media sosial tersebut. Namun demikian layanan ini belum resmi diluncurkan.

Berbincang tentang media sosial lokal, mungkin di benak kita langsung terbesit sebuah pertanyaan, “apa iya kita masih butuh inovasi berbasis media sosial tatkala Facebook, Twitter dan sebagainya sudah sangat mendominasi pasar di sini?”. Untuk itu kami berbincang dengan pengamat media sosial.

Pertama kami menghubungi Wiku Baskoro selaku pengamat media sosial. Ia mengungkapkan, bahwa pada dasarnya masih ada kesempatan untuk inovasi media sosial baru.

“Semua masih tergantung tujuan, bila lebih spesifik kemungkinan untuk scalling bakal besar peluangnya,” ujar Wiku.

Tujuan spesifik bisa jadi menghadirkan tren baru, karena uniknya memang pengguna di Indonesia bisa dengan mudah mengadopsi cara-cara baru dalam mengonsumsi konten digital.

Kami juga menghubungi pakar dari ICT Institute, Heru Sutadi. Ia menjelaskan kehadiran media sosial lokal sesungguhnya juga dapat menjadi antisipasi bilamana media sosial mainstream diblokir pemerintah atau mereka “ngambek” tidak memberikan layanan di Indonesia. Dengan alternatif, masyarakat bisa memilih mana media sosial yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan karakter lokal.

Oorth ingin menghadirkan layanan yang sistematis

CEO Oorth Krishna Adityangga menjelaskan, dirinya sangat optimis aplikasi ini dapat dinikmati dengan fitur terbaik yang dimilikinya. Selain memanfaatkan kapabilitas e-wallet –sesuatu yang cukup baru untuk pengguna media sosial di Indonesia—pendekatan ke komunitas juga dinilai akan menjadi nilai plus, karena konsep bermedia sosial yang ingin disajikan sebisa mungkin sesuai dengan kearifan budaya lokal. Akan ada inovasi yang segera dihadirkan.

Meski terlihat baru sebagai media sosial, Oorth ternyata memiliki keunikan dibanding aplikasi media sosial yang sudah ada. Menggunakan fitur E-Wallet dan Organize, kegiatan komunitas dapat mengatur keuangan secara sistematis yang dapat terlihat lengkap rekapitulasi semua arus keuangan.

“Sejak diumumkan secara perdana, saat ini user dalam aplikasi Oorth sudah lebih dari 7 ribu pengguna dan memiliki 200 lebih komunitas yang dibentuk oleh pengguna itu sendiri. Kami berharap dengan pembaharuan secara berkala melalui memantapkan fungsi dan fitur, akan semakin menambah pengguna Oorth dalam waktu dekat ini,” jelas Krishna.

Saat ini Oorth baru bisa digunakan di platform Android dan akan rilis di awal tahun 2018 untuk versi iOS, sekaligus fitur yang lebih kompleks pada sistem Android.

Application Information Will Show Up Here

Rencana Pengembangan Apple Innovation Center dan Urgensi Pemenuhan TKDN

Setelah proses negosiasi panjang antara pemerintah dengan pihak Apple Inc. terkait pemenuhan TKDN pemasaran produk iPhone di Indonesia, pihak Apple mengumumkan komitmennya untuk investasi dalam bentuk pendirian pusat pengembangan. Dengan nilai investasi mencapai $44 juta dan digunakan dalam tiga tahun mendatang. Kepastian tentang hal tersebut disampaikan langsung oleh I Gusti Putu Suryawirawan, Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika.

Langkah Apple ini juga menjadi tindak lanjut setelah sebelumnya berhasil mengantongi sertifikasi konten lokal untuk perangkat iPhone teranyar. TKDN yang akan ditegakkan mulai 2017 ini memaksa pengembang perangkat ponsel 4G/LTE untuk memberikan porsi SDM lokal untuk berkontribusi, baik dalam bentuk pengembangan perangkat lunak ataupun perakitan keras. Visinya pemerintah ingin memastikan bahwa Indonesia tidak hanya dimanfaatkan sebagai ladang konsumen saja, melainkan ada timbal balik yang memberikan insight seputar pengembangan produk tersebut.

Pengembangan Apple Innovation Center di beberapa kota Indonesia

Secara bertahap pusat inovasi akan dikembangkan mulai tahun 2017 dalam bentuk Apple Innovation Center (AIC), ditempatkan di 4 kota yakni Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Surakarta. Disampaikan langsung Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto bahwa AIC akan turut memberikan pelatihan dan pengembangan SDM, khususnya untuk bisa mengembangkan startup baru. Setiap tahun ditargetkan 1800 orang bisa dilatih melalui pusat inovasi tersebut.

Lalu apakah pengembangan pusat inovasi tersebut sudah tepat, baik untuk kebutuhan Apple atau khususnya untuk masyarakat Indonesia?

Untuk menjawabnya kami mencoba berbincang dengan pakar dan pengamat TIK di Indonesia, dalam hal ini bersama Executive Director di Indonesia ICT Institute Heru Sutadi. Menurutnya jika melihat aturan yang dikeluarkan kehadiran AIC masih kurang signifikan dampak yang dihadirkan. Aturan pemerintah membuat TKDN untuk keterlibatan inovator lokal dalam pengembangan hardware dan software.

Tujuannya jelas, salah satunya akan bermuara pada penyerapan tenaga kerja. Terlebih lapangan kerja saat ini juga menjadi permasalahan bagi Indonesia. Tiap tahun banyak lulusan teknik dari berbagai perguruan tinggi tidak mendapatkan pekerjaan, atau kalaupun bekerja bukan di bidangnya. Padahal kalau vendor ponsel membuka pabrik, engineer dari lulusan dalam negeri dapat terserap, kemudian ada bagian marketing, bahkan security, sehingga akan membuka banyak lowongan kerja.

“Pembentukan Innovation Center bagus secara nama, namun tidak bermanfaat apa-apa. Beberapa bukti, konsep ini sudah dikembangkan beberapa vendor sebelumnya, yang kerja sama dengan beberapa kampus. Yang terjadi cuma penempatan perangkat dan perangkat itu dipakai untuk semacam lab saja. Jadi hampir tidak ada pembukaan lapangan kerja baru. Ini yang tidak dimengerti oleh teman-teman yang membuat regulasi,” tegas Heru kepada DailySocial.

Heru melanjutkan sembari menuturkan pengalamannya bersama pusat R&D di Jerman, “Kalau saya melihat Research and Development (R&D) beda dengan hanya Innovation Center, sebab R&D akan melibatkan banyak orang untuk melakukan riset, pengembangan perangkat serta mengintegrasikan perangkat, dari hardware, software, hingga aplikasi. Kalau nanti yang dibangun atau yang dimaksud dengan Apple Innovation Center itu pusat R&D, maka itu sudah tepat. Sebaliknya kalau cuma sekadar Innovation Center dan tidak melakukan riset, pengembangan serta integrasi, saya merada manfaatkan akan tidak begitu besar.”

Urgensi Apple mengejar lulus aturan TKDN di Indonesia

Berbicara soal urgensi, tech blogger dan pengamat digital Aulia Masna kepada kami memberikan pemaparan menarik. Menurutnya apa yang dilakukan Apple sebenarnya akan dihitung berbanding lurus dengan apa yang sudah/akan didapat dari konsumen Indonesia. Produk Apple saat ini segmentasinya sangat gamblang, diminati oleh kalangan terbatas (menengah ke atas). Daya belinya masih sedikit jika dipatok dengan jumlah konsumen perangkat mobile di Indonesia, dan jumlah penjualannya belum pun berarti besar. Terlebih secara kasat mata bisa dinilai, penikmat produk Apple yang masih minim tersebut umumnya orang-orang yang punya akses beli ke luar negeri.

Kendati demikian Aulia juga menyampaikan tentang sebuah strategi yang memang harus Apple bangun sejak dini. Jika Apple tidak menggarap pasar Indonesia secara serius dari sekarang, maka ketika nantinya sudah banyak konsumen yang mampu menjangkau produk-produknya, brand-image dan brand-loyality akan sangat minim. Ini bisa menjadi apa yang dipikirkan Apple saat ini, membaca dan mempertimbangkan tren yang akan datang dengan bertumbuhnya ekosistem produk Apple di Indonesia.

“Lagian brand Apple kan dilihat sebagai panutan. Orang pengen punya iPhone tapi bakal beli yang lebih murah kalau nggak mampu. Saat sudah mampu mereka bakal beli iPhone,” pungkas Aulia.

Soal Bigo: Pemblokiran, Pembatasan Konten Negatif, dan Penambahan Konten Positif

Konten digital di Indonesia semakin berkembang seiring dengan pertumbuhan kecepatan internet dan adopsi perangkat mobile oleh masyarakat. Tak hanya menikmati konten video secara streaming masyarakat kini juga sudah terbiasa dengan konten live streaming yang mulai tumbuh bersama dengan banyaknya layanan live streaming seperti Periscope, Cliponyu, Bigo, dan beberapa lainnya.

Dari segi konsep beberapa layanan banyak ditujukan untuk kegiatan hiburan seperti halnya Bigo. Sayangnya konsep awal yang diusung Bigo sebagai live stream untuk fashion dan hiburan justru banyak dimanfaatkan untuk konten negatif berbau pornografi. Pada akhirnya maraknya konten negatif di Bigo memaksa pemerintah melakukan “pembatasan” (yang mengarah ke pemblokiran) terhadap layanan live stream asal Singapura tersebut.

[Baca juga: Ketika Konten Platform Live Video Mulai Menjurus Ke Arah Negatif]

Bigo sebenarnya punya konsep yang positif. Bigo mencoba memberikan kesempatan penggunanya untuk menunjukkan bakat mereka mulai dari menyanyi hingga bakat dalam memilih mode pakaian. Sayangnya konsep positif dari Bigo “diselewengkan” para penggunanya. Bigo digunakan sebagai ajang untuk memproduksi konten negatif yang erat dengan pornografi. Image Bigo yang terlanjur sebagai layanan live stream negatif membuat pemerintah akhirnya mulai menutupi akses DNS Bigo.

Aksi blokir pemerintah ini memang bukan hal baru. Sudah banyak layanan yang kena blokir dikarenakan oleh konten-konten yang ada di dalamnya. Untuk kasus Bigo sendiri pemerintah disebutkan sudah memberikan surat kepada kantor pusat Bigo di Singapura. Karena tidak kunjung ada balasan, akhirnya pemerintah memutuskan untuk melakukan aksi.

Konten negatif memperburuk citra Bigo

Sama seperti layanan user generate lainnya, Bigo sebenarnya sudah menerapkan kebijakan melarang penggunanya, terutama broadcaster untuk menayangkan konten-konten negatif. “Polisi” Bigo pun tidak segan untuk melakukan blokir permanen terhadap akun yang terbukti melanggar. Sayangnya hal ini tidak begitu efektif dalam memberikan efek jera terhadap penggunanya. Malahan citra Bigo semakin buruk akibat dipublikasikannya konten Bigo di platform video lain dengan embel-embel yang menjurus ke arah negatif.

Bigo, sama seperti layanan live stream lainnya, sebenarnya menyimpan potensi untuk digunakan dalam berbagai hal positif. Contohnya seperti menyiarkan seminar, sosialisasi program, iklan, atau hal positif lainnya.

[Baca juga: Apakah Pemblokiran Efektif Memerangi Pembajakan?]

Sangat susah sebenarnya menghapus konten negatif di sebuah platform. Media sosial populer seperti Twitter, Facebook, dan YouTube pun sebenarnya tidak lepas dari konten-konten negatif.

Executive Director Indonesia ICT Institure Haru Sutadi menilai bahwa kontrol terhadap konten negatif memang tidak mudah. Tanggung jawab pembersihan konten ini merupakan tanggung jawab penyedia platform dan juga pengguna pengisi konten.

“Sepanjang transparan, akuntabel dan nondiskrimintif, jika ada pelanggaran UU ITE, pemblokiran sah saja. Namun, sebenarnya kan yang juga tak kalah penting dilakukan adalah, pertama, sosialisasi aturan kepada penyedia platform maupun masyarakat. Kedua, menjalin koordinasi khususnya dengan penyedia platform untuk misal men-delete konten yang dilarang UU, seperti pornografi. Memang masalahnya, kadang penyedia platform susah diajak koordinasi atau bahkan cuek saja kalau layanan mereka diblokir di sini karena mungkin Indonesia bukan pasar utama,” terang Heru.

Pemblokiran sebenarnya bukan langkah bagus untuk menghentikan konten negatif. Toh selama ini pemblokiran masih belum efektif meringkus konten tersebut. Yang ada konten-konten negatif muncul dengan cara lain dan bentuk lain. Yang harusnya dilakukan untuk memerangi konten negatif adalah menambah lebih banyak konten positif sehingga menjadi highlight utama yang dicari masyarakat kita.

Di Masa Euforia E-commerce, Pos Indonesia Seharusnya Tunjukkan Diri Sebagai Pemain Utama di Segmen Logistik

Fokus di bidang logistik dapat dimaksimalkan dalam momentum e-commerce / Shutterstock

Dewasa ini sektor e-commerce terlihat mencolok sebagai sebuah bisnis digital yang begitu menawan. Makin akrabnya masyarakat dengan layanan internet ditambah efisiensi yang diberikan dalam menemukan barang yang diinginkan menjadi pemicunya. ICD Research pernah memprediksikan bahwa dari tahun 2012 hingga 2015 pertumbuhan pasar e-commerce di Indonesia akan mencapai 42 persen. Dan benar, pertumbuhan tersebut kini terlihat tampak signifikan.

Continue reading Di Masa Euforia E-commerce, Pos Indonesia Seharusnya Tunjukkan Diri Sebagai Pemain Utama di Segmen Logistik