The local instant messaging application Hi App officially opened its doors to the public on Tuesday (20/10) yesterday. As newcomers, they are quite optimistic that they can reap the cake in the “one-sided” instant messaging business because it is controlled by outside players.
Previously, in DailySocial coverage, one of the sources said that a reason for local messaging application has yet to dominate in the country is that it has failed to create a network effect, and this is the fundamental part of a messaging application.
The network effect is an effect that makes users and the people around them use the same application to communicate with each other.
Hi App suggests that in order to create this, it depends on the features offered. Hi App’s Managing Director, Michelle Kusuma said, this feature is very important, and its development will surely not happen overnight.
“What elements are missing in our society that could revolutionize the way we communicate with each other? There is no one-size-fits-all answer to this question and it will always develop,” Michelle told DailySocial.
The current and future development of the Hi App relies heavily on comprehensive data analysis and market research to determine which features will be particularly useful for the Indonesian market. The company will conduct surveys and interviews with various groups of people to get a better understanding of the communication problems faced by many people in Indonesia.
Also, collaborate with communities according to their segmentation, therefore users can try and recommend Hi App to the people around them.
In Indonesia, there are currently several messaging applications made by local developers. Aside from the Hi App, there are ChatAja, liteBIG, Catfiz, and others. There are some platforms introduced in the market and ended up losing.
Hi App feature and target
Currently, the features included in Hi App are translator, chat organizer, file sharing, light, and dark mode.
Hi App’s Product Specialist, Fanny Febriani Susilo explained, the translator feature was introduced for Indonesians who often interact with other people who do not speak Bahasa resulting in an obstacle when communicating. The available language is currently Indonesian to English and vice versa.
Next, the chat organizer feature separates personal and group chat rooms, therefore, they don’t get mixed up like similar existing applications. This is adjusted to the characteristics of Indonesians who tend to be communal, such as eager to talk and share information in groups.
In order to support user flexibility in sharing files, Hi App provides a maximum shareable file capacity of 100 Mb. Users can share documents, photos, and videos in their chat rooms.
Another aspect is, Hi App uses end-to-end encryption by default for every message it sends and it never saved user messages on the server in their regular format. This is to ensure data protection and user privacy.
Also, it implements a secure end-to-end identity system using phone number authentication via OTP verification. Fanny said that the Hi App application was designed to be very light to be used smoothly on various types of cellphones, both low-end and high-end.
“This application can be installed on mobile phones with a minimum operating system Android 5.1 Lollipop and iOS 11.”
Michelle continued, currently, Hi App is only operating in the B2C segment, then starting to enter the B2B. “The Hi App development team is currently working on a next feature which we hope will help businesses adapt.”
She cannot disclose this feature, but she ensures that the feature will be designed by considering the synergy between the formal and informal business sectors, especially in terms of support for the micro, small and medium enterprises sector.
As this launching, she expects that Hi App will be able to attract at least more than 700 thousand downloads by next year. “The ETA will probably change as we release more features and analyze more market data going forward,” she concluded.
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Aplikasi pesan instan lokal Hi App meresmikan kehadirannya ke publik pada Selasa (20/10) kemarin. Sebagai pendatang baru, mereka cukup optimis dapat meraup kue di bisnis aplikasi pesan instan yang “berat sebelah” karena dikuasai oleh pemain dari luar.
Dalam tulisan DailySocial sebelumnya, salah seorang narasumber mengatakan bahwa salah satu pangkal isu mengapa belum ada aplikasi messaging lokal yang mendominasi di negaranya sendiri adalah tidak berhasil menciptakan efek jaringan (network effect), bagian terpenting karena ini adalah fundamental dari aplikasi messaging.
Network effect merupakan efek yang menciptakan pengguna dan orang-orang di sekitar mereka menggunakan aplikasi yang sama untuk berkomunikasi satu sama lain.
Hi App punya pandangan bahwa untuk menciptakan hal tersebut, berkorelasi dengan fitur-fitur yang ditawarkan. Managing Director Hi App Michelle Kusuma menuturkan, fitur ini sangat penting dan dalam menciptakannya tidak akan terjadi dalam semalam saja.
“Elemen apa yang hilang dalam masyarakat kita yang dapat merevolusi cara kita berkomunikasi satu sama lain? Tidak ada satu jawaban mutlak untuk pertanyaan ini dan itu akan selalu berkembang,” ucap Michelle kepada DailySocial.
Pengembangan Hi App saat ini dan ke depannya sangat bergantung pada analisis data komprehensif dan riset pasar untuk menentukan fitur mana yang secara khusus akan berguna untuk pasar Indonesia. Perusahaan akan melakukan survei dan wawancara dengan berbagai kelompok orang untuk mendapatkan pemahaman lebih baik tentang masalah komunikasi yang dihadapi banyak orang di Indonesia.
Juga, berkolaborasi dengan komunitas-komunitas sesuai dengan segmentasinya, sehingga para pengguna dapat mencoba dan merekomendasikan Hi App ke orang-orang di sekitarnya.
Di Indonesia sendiri, saat ini ada beberapa aplikasi pesan yang dibuat pengembang lokal. Selain Hi App, ada ChatAja, liteBIG, Catfiz, dan lainnya. Bahkan beberapa yang pernah hadir di pasar akhirnya berguguran.
Fitur dan target Hi App
Sejauh ini fitur-fitur yang terdapat di Hi App adalah penerjemah, chat organizer, berbagi file, mode terang dan gelap.
Product Specialist Hi App Fanny Febriani Susilo menjelaskan, fitur penerjemah dihadirkan untuk orang Indonesia yang saat ini juga berinteraksi dengan orang lain yang tidak bisa berbahasa Indonesia, sehingga menjadi kendala saat berkomunikasi. Bahasa yang dapat diterjemahkan saat ini adalah Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris dan sebaliknya.
Lalu, fitur chat organizer yang memisahkan ruang obrolan personal dan grup, sehingga tidak tercampur seperti aplikasi sejenis yang sudah ada. Hal ini disesuaikan dengan karakteristik orang Indonesia yang sifatnya cenderung komunal, gemar berbincang-bincang, serta berbagi informasi di grup.
Untuk mendukung keleluasaan pengguna dalam berbagi file, Hi App menyediakan kapasitas file yang bisa dibagikan maksimal 100 Mb. Pengguna dapat berbagi dokumen, foto, dan video di ruang obrolan mereka.
Aspek lainnya yang diperhatikan Hi App adalah memanfaatkan end-to-end encryption secara default untuk setiap pesan yang dikirimkan dan tidak pernah menyimpan pesan pengguna di server dalam format biasa. Hal ini untuk menjamin perlindungan data dan privasi pengguna.
Ditambah, menerapkan sistem identitas end-to-end yang aman dengan menggunakan autentikasi nomor telepon melalui verifikasi OTP. Fanny menuturkan, aplikasi Hi App dirancang sangat ringan, sehingga bisa digunakan dengan lancar dalam berbagai jenis ponsel, baik low-end hingga high-end.
“Aplikasi ini sudah bisa dipasang pada ponsel dengan sistem operasi minimum Android 5.1 Lollipop dan iOS 11.”
Michelle melanjutkan, saat ini Hi App baru bermain di segmen B2C terlebih dulu, baru melanjutkan ke B2B. “Tim pengembang Hi App saat ini sedang mengerjakan fitur berikutnya yang kami harap dapat membantu bisnis-bisnis beradaptasi.”
Fitur tersebut belum dapat ia beberkan, tapi ia yakin bahwa fitur akan dirancang dengan mempertimbangkan sinergitas antara sektor bisnis formal dan informal, terutama menyangkut dukungan terhadap sektor usaha mikro, kecil, dan menengah.
Dari peluncuran ini, ia berharap Hi App mampu menarik setidaknya lebih dari 700 ribu unduhan hingga tahun depan. “Perkiraan seperti ini mungkin akan berubah seiring kami merilis lebih banyak fitur dan menganalisis lebih banyak data pasar ke depannya,” tutupnya.
Aplikasi chat messaging lokal didera persaingan “berat sebelah” bila ingin menyaingi keperkasaan dari WhatsApp, Line, dan Telegram. Sudah banyak yang mencoba peruntungan di sektor ini. Nama-nama seperti Catfiz, LiteBIG, Pesan Kita, OTU Chat, Yogrt, BuzzBudies, Callind, SalaamAps, Me Chat, IMEStalk, dan masih banyak nama lainnya kini sudah tenggelam, meski sebagian aplikasinya masih bisa diakses.
Timbul pertanyaan yang sedikit mengusik, apakah peta persaingan di aplikasi chat messaging ini sudah tertutup rapat-rapat dikuasai oleh aplikasi global?
Co-Founder dan CEO ChatAja Reza Akhmad Gandara mengungkapkan, salah satu faktor yang membuat pemain chat messaging lokal kurang bersaing adalah terlalu fokus menciptakan layanan messaging yang sama seperti kompetitor. Padahal para kompetitor (global) tersebut sudah kuat dari sisi teknologi dan masyarakat sudah sangat nyaman menggunakannya.
Dia mengutip ucapan Jack Ma yang mengatakan:
“Anda sebaiknya belajar dari pesaing Anda, tapi jangan pernah meniru. Jika Anda meniru, Anda mati.”
Co-Founder dan CEO Qiscus Delta Purna Widyangga berpendapat, aplikasi lokal kurang bersaing karena sektor ini terlanjur mendapat ekspektasi yang tinggi dari pasar. Kehadiran aplikasi chat messaging yang sudah mature akan membuat standar pasar yang sudah bagus menjadi sangat tinggi.
Ekspektasi ini mencakup fitur, performa, hingga hal-hal yang mungkin tidak terlihat secara kasat mata yang berpengaruh di user experience. Pemenuhan ` ekspektasi ini membutuhkan tim produk dan teknologi dengan kapasitas yang mumpuni.
“Mulai dari membangun fundamental teknologi chat-nya itu sendiri yang sangat challenging, hingga membangun produk yang delightful untuk user. Ini butuh iterasi cepat dan terus menerus,” ujar Delta.
Karena fundamental aplikasi messaging adalah komunikasi, yang berikutnya adalah perlunya network effect. Sementara itu, membangun network effect harus didesain dan diakuisisi secara strategis dan agresif.
“Banyak sekali orang meninggalkan aplikasi messaging karena tidak menemukan network-nya menggunakan aplikasi yang sama.”
Untuk menciptakan network effect dibutuhkan tim growth yang kuat dengan menggunakan strategi top down, community acquisition, value based acquisition, atau apapun. “Proses ini juga sangat iteratif sifatnya dan harus terus menerus.”
Delta mengatakan, sebuah perusahaan yang ingin bergerak di bidang peer-to-peer messaging perlu bisa menyelesaikan dua masalah di atas. Harus mencapai titik teratas pengguna aktif harian dan terus berkembang dari sana sebelum kehabisan energi dan dana. “Dan ini membutuhkan waktu yang sangat panjang, paling tidak 3-5 tahun.”
“Meskipun tantangan ini berat, Qiscus melihat ini sebagai sebuah kebutuhan. Kami melihat Indonesia membutuhkan mainstream messaging apps yang menjadi alternatif dari WhatsApp maupun lainnya. Ini yang membuat Qiscus sangat terbuka untuk berkolaborasi dan mensupport inisiasi ke arah hadirnya aplikasi seperti ini.”
Meski Qiscus hanya fokus pada pasar B2B, tantangan yang dihadapi tetap relevan dengan sedikit perbedaan. Bagi Qiscus, untuk memenuhi ekspektasi pasar, perusahaan sangat mengedepankan chat platform yang kuat, scalable, dan kaya fitur.
“Sementara untuk memenuhi kebutuhan growth, Qiscus punya tim yang kuat, juga ber-partner dengan banyak partner strategis seperti WhatsApp, LINE, channel partners, ecosystem players (chatbot, CRM), dan banyak lainnya.”
Hi App
Salah satu aplikasi lokal yang bakal meluncur adalah Hi App. Ia memadukan fokusnya ke pasar B2B dan B2C. Hi App bisa diunduh pada 20 Oktober mendatang.
Kepada DailySocial, Managing Director Hi App Michelle Kusuma menjelaskan, untuk memberikan daya saing, sekaligus belajar dari pemain terdahulu, pihaknya melakukan berbagai survei dan wawancara ke semua kalangan dengan metode random sampling. Tujuannya mempelajari dan memahami lebih dalam selera, serta kebutuhan fitur yang ada di Indonesia.
“Produk Hi App juga terus dalam proses pengembangan dan kami akan mengeluarkan pembaruan secara berkala untuk aplikasi yang akan dirilis, sehingga kualitas dari fitur-fitur yang ditawarkan terus menjadi lebih baik,” ujarnya.
Optimisme ini didukung laporan Data Reportal per Januari 2020. Disebutkan pengguna media sosial di Indonesia mencapai 160 juta orang, naik 8,1% atau sekitar 12 juta orang sepanjang April 2019-Januari 2020. Mereka menghabiskan waktu sebanyak 3 jam 26 menit per harinya di media sosial. 96% pengguna menggunakan aplikasi messenger dan social networking.
Laporan tersebut juga mengungkapkan sebanyak 59% pengguna internet sangat memperhatikan bagaimana perusahaan memanfaatkan data mereka. Hal ini jadi salah satu alasan untuk merilis Hi App dan meminta tim pengembang memperkuat enkripsinya dibandingkan aplikasi lain yang sudah ada.
Secara fitur, Hi App dilengkapi dengan panggilan suara, video, penerjemah pesan, dan dapat memisahkan personal chat dan group chat di tab yang berbeda. Untuk kapasitas memorinya, aplikasi ini didesain ringan sehingga dapat dipakai untuk smartphone low-end.
Michelle melanjutkan, pada peresmian nanti aplikasi akan difokuskan ke pasar konsumen ritel terlebih dahulu. Menurut dia, masing-masing pasar ini memiliki fungsi fitur yang berbeda sehingga tim akan merancang fitur yang bisa memenuhi kebutuhan semua pihak.
“Fitur baru yang akan kami tonjolkan saat peluncuran nanti adalah translation dan chat organizer. Selain fitur chat yang ringan, aman, dan praktis, kami juga menawarkan fitur lain yang bisa dibilang sangat inovatif dan ditujukan untuk memudahkan komunikasi sehari-hari penggunanya nanti.”
Karena menjadi anak baru, akan menarik melihat strategi mereka dalam mengakuisisi pengguna. Michelle menerangkan pihak prerusahaan akan memperkenalkan fitur-fitur yang ditawarkan di media sosial dan berbagai komunitas. “Dari sana, pengguna dapat mencoba dan merekomendasikan Hi App kepada teman-teman dan keluarga.”
ChatAja
Awalnya ChatAja menyasar pasar B2B, tapi sejak Februari kemarin pasarnya diperluas ke pasar konsumen ritel. Sejak berdiri pada September tahun lalu, ChatAja digunakan oleh pegawai BUMN dan ASN. Perusahaan didukung Telkom sebagai inovasi internal untuk membangun infrastruktur komunikasi digital. Tak heran bila konsep logonya mengingatkan pada LinkAja.
Sebagaimana tercantum di laman blog resminya, perusahaan tidak sungkan menyebut dirinya sebagai aplikasi alternatif WhatsApp. Mereka mengklaim mengklaim apliaksi didesain untuk masyarakat Indonesia dengan menawarkan beberapa kelebihan dibanding pemain utama yang sudah ada.
ChatAja mencoba mengingatkan kembali tentang kedaulatan data dan informasi, mengingat mayoritas pengguna internet di Indonesia masih memiliki tingkat kesadaran yang rendah tentang sensitivitas data. Perusahaan memakai server lokal.
Filosofi ChatAja banyak berkaca pada Telegram. Aplikasi dilengkapi dengan konsep cloud native untuk mengurangi beban penyimpanan di ponsel dan mengurangi kebutuhan untuk backup data. Terdapat juga fitur Berkas Rahasia, sebuah layanan pesan terenkripsi untuk mengamankan pesan penting.
ChatAja disebut bisa berfungsi secara multifplatfor tanpa harus terkoneksi dari aplikasi utama yang ada di smartphone. Sinkronisasinya cukup dengan memasukkan nomor ponsel yang terdaftar di aplikasi. Pengguna dapat menggunakan layanan melalui web, meski smartphone tidak terkoneksi internet. Aplikasi juga tidak memberikan batasan jumlah anggota dalam satu grup.
Reza menerangkan, pihaknya tidak hanya memperkuat dari sisi messaging tapi juga membuka platform-nya kepada pihak ketiga untuk membangun beragam konten di dalamnya. “Layanan yang dapat dinikmati oleh third party antara lain omnichannel, bot builder dan bot API, dan in-app chat. Hingga saat ini, sudah banyak partner yang bekerja sama dengan kita,” ujarnya.
Untuk omnichannel, ChatAja dapat dimanfaatkan untuk menyalurkan pesan apliksi seperti notifikasi dan OTP. Sementara bot builder dan bot API dapat digunakan untuk memanjakan pengguna tingkat lanjut yang ingin menciptakan chatbot versi mereka sendiri. Terakhir fitur text messaging ChatAja dapat dimanfaatkan untuk membangun fungsi in-app chat.
Dalam menjaring pengguna, awalnya ChatAja menyasar klien B2B. Pada Februari 2020, setahun setelah beroperasi, ChatAja dibuka untuk masyarakat umum karena diklaim mendapat antusiasme dari publik.
Bila digabung antara pengguna B2B dan individu, diklaim angkanya sudah mencapai lebih dari 500 ribu orang. Profil penggunanya adalah centennial (generasi Z) dan late milennial, didominasi kalangan laki-laki. Selain di Jakarta, pengguna datang dari kota Surabaya, Depok, Bandung, Makassar, Medan, dan Batam.
Reza menuturkan, pihaknya bekerja sama dengan lintas industri, mulai dari kesehatan (dokter & psikolog), hiburan, marketplace, portal lowongan pekerjaan, media online, crowdfunding, hingga perusahaan legal dalam mengembangkan beragam fitur di platform-nya.
Tersedia beberapa fitur lain, seperti Jelajah (sajian berita dari Kompas, Opini.id, Hipwee, dan Uzone) dan layanan konseling gratis Simply. Ada juga Tab Figur Publik yang memungkinkan pengguna berbicara dengan figur publik yang ditenagai chatbot AI.
Ada pula fitur ChatAja Jobs (menggaet Heikaku, Kalibrr, dan Urbanhire) dan fitur Sticker yang bekerja sama dengan Mojitok (Korea Selatan) dan Zookiz (Vietnam) untuk memperkaya koleksi stiker statis dan dinamis.
Pertanyaan DailySocial mengenai cara perusahaan memonetisasi tidak dijawab Reza. Fokus perusahaan saat ini adalah peningkatan jumlah pengguna. Dia optimis pada akhir tahun ini platform bisa melipatempatkan jumlah penggunanya menjadi 2 juta orang.
“Soon to be announce fitur [untuk mendukung usaha ini] apa. Kemudian dalam waktu dekat akan ada versi terbaru untuk Android, iOS, dan web. Tapi paling dekat ini Android, kemungkinan akhir bulan ini [September],” ungkapnya.
Qiscus tetap fokus di pasar B2B
Dibanding Hi App dan ChatAja, Qiscus dari awal fokus bermain di pasar B2B, meski sempat melakukan pivot. Kini perusahaan melabeli dirinya sebagai chat platform untuk bisnis, baik itu integrasi semua aplikasi messaging ke dalam satu dasbor dan in-app chat SDK.
Sebelum sampai ke model bisnisnya sekarang, Delta bercerita bahwa Qiscus sempat pivot dari awalnya penyedia layanan messaging untuk karyawan. Semangat perusahaan pada saat itu adalah selalu ingin memfasilitasi semua percakapan agar manusia dapat berkomunikasi, berkolaborasi, terlibat, bertukar ide, dan sebagainya dengan lebih mudah dan lebih baik.
“Kami berpikir bahwa memaksa pasar untuk menggunakan pasar adalah cara yang baik untuk mencapai impian ini, membuat messenger yang lebih fleksibel dan dapat diandalkan daripada WhatsApp saat ini. Seperti Slack versi Indonesia.”
Pandangannya berubah total ketika melihat implementasi in-app chat di dalam aplikasi healthtech. Pada dasarnya percakapan itu dapat berperan penting dalam aspek hidup manusia. Di situlah mereka sadar bahwa untuk memberikan dampak yang lebih besar, [..] [mereka harus] mengaktifkan percakapan di dalam aplikasi apapun.
“Percakapan yang akan mengubah cara bisnis menyediakan layanan atau menjual produk mereka dan cara konsumen mengonsumsi atau mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan. Di sinilah kami beralih dari enterprise messenger ke platform percakapan yang memperkuat percakapan dalam aplikasi apa pun.”
Keputusan pivot ini terbilang tepat karena Delta mengaku dengan model bisnis sekarang, perusahaan telah memperkuat percakapan untuk lebih dari 30 juta pengguna dengan hampir 1.000 perusahaan klien. Qiscus sudah digunakan untuk 15 use cases di 18 negara. Perusahaan mengklaim sudah mencetak laba sejak tahun lalu dan masih terus tumbuh cepat, meskipun dalam kondisi pandemi.