Rumor dan bocorannya sempat berseliweran di internet beberapa waktu lalu, tablet Nokia T20 akhirnya resmi diperkenalkan oleh HMD Global. Perangkat ini sekaligus menandai debut perdana HMD di kategori selain smartphone. Meski begitu, T20 bukanlah tablet pertama yang mengusung nama Nokia.
Kenapa tablet dan kenapa baru sekarang? Berdasarkan penjelasan Adam Ferguson, Global Head of Product Marketing HMD, dalam acara virtual yang saya ikuti pekan lalu, perubahan tren pasar menjadi motivasi utama mereka untuk ikut terjun ke segmen tablet.
Mengutip data yang dilaporkan oleh IDC, Adam menjelaskan bahwa untuk pertama kalinya sejak tahun 2014, pertumbuhan di pasar tablet akhirnya mengalami kenaikan pada tahun kemarin. Seperti yang sudah kita alami sendiri, tren bekerja dari rumah dan sekolah online memang memaksa sebagian besar dari kita untuk membeli laptop atau tablet baru demi kelancaran aktivitas sehari-hari.
Nokia T20 hadir membawa spesifikasi ala tablet kelas entry-level. Ia ditenagai chipset octa-core Unisoc T610 dengan pilihan RAM berkapasitas 3 GB atau 4 GB. HMD menawarkan dua opsi penyimpanan internal: 32 GB atau 64 GB, dan kedua varian sama-sama mendukung ekspansi storage via kartu microSD dengan kapasitas maksimum 512 GB.
T20 mempunyai layar 10,4 inci dengan resolusi 2000 x 1200. Tingkat kecerahan maksimum layarnya mencapai angka 400 nit, dan panelnya juga sudah mengantongi sertifikasi low blue light dari SGS demi menjaga kenyamanan mata penggunanya. HMD tak lupa membekali T20 dengan kamera depan 5 megapiksel dan kamera belakang 8 megapiksel.
Untuk mengakomodasi kebutuhan pengguna selama pandemi, T20 datang mengusung mikrofon ganda dengan AI noise reduction dan speaker stereo berteknologi OZO Playback Panorama untuk memastikan pengguna bisa terdengar dan mendengar secara jelas. Colokan headphone tetap tersedia sehingga pengguna tak harus menggunakan Bluetooth jika perlu.
Satu hal yang sangat dibanggakan oleh HMD adalah perihal kapasitas baterai. Di kelas ini, mereka percaya kapasitas 8.200 mAh milik T20 adalah yang terbesar. Sebagai perbandingan, Samsung Galaxy Tab A7 Lite yang juga duduk di kelas entry-level memiliki baterai 5.100 mAh.
Dalam posisi baterainya terisi penuh, T20 dapat digunakan untuk browsing selama 15 jam, streaming video selama 10 jam, atau conference call selama 7 jam. Selain besar, baterai milik T20 juga mendukung fast charging 15 W via USB-C.
Seperti yang sudah menjadi strategi HMD selama ini, Nokia T20 tak hanya menyasar kalangan konsumen rumahan saja, melainkan juga kalangan enterprise. Menurut HMD, Nokia T20 merupakan tablet pertama yang mengusung sertifikasi Android Enterprise Recommended dari Google.
Tipikal HMD, Nokia T20 juga dipastikan bakal menerima pembaruan sistem operasi selama dua tahun, serta security update secara rutin setiap bulannya selama tiga tahun. OS yang digunakan sendiri adalah Android 11, dan HMD tidak lupa menyematkan integrasi Google Kids Space demi mengakomodasi kebutuhan pengguna anak-anak.
Secara fisik, Nokia T20 mengadopsi desain minimalis khas Skandinavia. Struktur bodinya terbuat dari bahan aluminium, dengan bobot di kisaran 465 gram. Perangkat diklaim tahan debu dan tetesan air dengan sertifikasi IP52.
Rencananya, Nokia T20 akan dijual dengan banderol mulai 199 euro (± 3,3 jutaan rupiah), tapi sejauh ini masih belum ada informasi mengenai harga dan ketersediaannya di pasar tanah air. Untuk aksesorinya, HMD bakal menawarkan dua macam rugged case (satu biasa, satu dengan flip cover/stand), serta TWS Nokia Micro Earbuds Pro.
HMD Global memperkenalkan smartphone baru untuk pasar tanah air, yakni Nokia G20. Kalau Anda melihat poninya dan menebak ponsel ini ditujukan untuk segmen entry-level, maka tebakan Anda tepat. Ponsel ini dihargai Rp2.499.000.
Spesifikasinya mencakup chipset MediaTek Helio G35, RAM 4 GB, penyimpanan internal sebesar 64 GB (plus slot kartu microSD), dan baterai berkapasitas 5.050 mAh. Layarnya menggunakan panel IPS 6,52 inci dengan resolusi 1600 x 720 pixel. Sensor sidik jarinya diposisikan di samping, dan ponsel ini sudah dibekali NFC. Semua itu dikemas dalam bodi setebal 9,2 mm dan seberat 197 gram.
Beralih ke kamera, Nokia G20 mengusung kamera depan 8 megapixel dan empat kamera belakang dengan konfigurasi sebagai berikut: kamera utama 48 megapixel f/1.79, kamera ultra-wide 5 megapixel, kamera macro 2 megapixel, dan kamera depth 2 megapixel. Fitur-fitur pendukung seperti Night Mode dan OZO Audio untuk merekam audio dengan efek surround juga tersedia.
Kalau melihat spesifikasinya, sebagian konsumen mungkin bakal merasa ponsel ini terlalu mahal. Namun seperti biasa, HMD percaya spesifikasi belum menceritakan semuanya. Komitmen mereka untuk menjunjung tinggi aspek privasi dan keamanan data juga menjadi salah satu faktor krusial. Anda bisa baca penjelasan dari perwakilan HMD di artikel ini.
Juga sudah menjadi ciri khas Nokia adalah janji pembaruan sistem operasi sampai dua tahun dan security update rutin setiap bulan selama tiga tahun. Secara default, Nokia G20 masih menjalankan Android 11, tapi HMD memastikan bahwa update ke Android 12 dan selanjutnya bakal tersedia.
Salah satu hal yang paling dibanggakan HMD dari Nokia G20 adalah daya tahan baterainya, yang diklaim bisa mencapai 3 hari pemakaian. Tentunya ini sangat bergantung terhadap skenario penggunaan masing-masing, tapi kalau melihat perpaduan chipset, resolusi layar, dan kapasitas baterainya, semestinya klaim ini cukup bisa dipertanggungjawabkan.
Bagi yang berminat, Nokia G20 saat ini sudah dijual secara online di Nokia.com, Tokopedia dan Eraspace dengan harga Rp2.499.000 dan pilihan warna Night atau Glacier. Untuk 100 pembeli pertama, ada bonus speaker Google Nest Mini.
Dalam kurun waktu hanya sekitar empat tahun, HMD Global telah berevolusi menjadi sebuah startup unicorn yang mewakili Nokia di segmen consumer, sekaligus melebarkan bisnisnya ke segmen enterprise. Belum lama ini, perusahaan asal Finlandia tersebut menjabarkan sejumlah rencananya untuk semakin memperkuat posisinya di pasar enterprise.
Yang pertama adalah kerja sama strategis yang dijalin bersama Nokia, di mana HMD kini memanfaatkan infrastruktur Nokia WING (Worldwide IoT Network Grid) sebagai fondasi teknologi atas solusi konektivitas enterprise yang ditawarkannya. Dijelaskan bahwa Nokia WING memungkinkan HMD untuk melayani konsumen enterprise-nya dengan manajemen dan konektivitas IoT dalam skala global yang kompatibel dengan semua jaringan dan kasus penggunaan.
Salah satu solusi enterprise yang dimaksud adalah HMD Connect Pro, yang memungkinkan perusahaan pelanggan untuk mengelola hingga puluhan ribu perangkat yang terhubung melalui suatu portal manajemen yang mudah digunakan. Lewat integrasi ini, perusahaan bakal mendapat visibilitas real-time ke status perangkat dan aset IoT, mengelola siklus aktif kartu SIM, dan memastikan semuanya aman setiap saat.
Dalam presentasinya, Janne Lehtosalo selaku VP Services HMD Global menjelaskan bahwa kemudahan penggunaan selama ini memang menjadi salah satu nilai plus HMD Connect Pro bagi para pelanggannya. Keterlibatan infrastruktur Nokia WING sekarang pada dasarnya bakal menjadi jaminan masa depan bagi pelanggan seiring skala perusahaan masing-masing terus bertambah besar.
Langkah yang kedua adalah kolaborasi strategis dengan firma konsultasi global CGI, sehingga HMD dapat menawarkan layanan HMD Connect Pro, HMD Enable Pro, maupun perangkat smartphone sebagai bagian dari portofolio layanan end-to-end CGI kepada deretan kliennya. CGI sendiri menawarkan insight mendalam kepada kliennya mengenai integrasi dan pemberdayaan sistem, lengkap dengan analisis data dan infrastruktur cloud.
Dari sisi sebaliknya, kemitraan ini juga akan mengintegrasikan penawaran-penawaran CGI ke portofolio produk enterprise HMD Global. Ini penting mengingat pelanggan enterprise HMD bukan cuma perusahaan besar seperti Intech Medical atau Blue Bird saja, melainkan juga mencakup startup lokal seperti Saebo Technology.
Dari sisi hardware, HMD menjelaskan bahwa pelanggan enterprise-nya memilih smartphone Nokia bukan semata karena faktor keamanan dan privasi yang menjadi prioritas, tetapi juga karena fasilitas-fasilitas ekstra seperti misalnya asuransi terhadap perangkat maupun masa garansi yang lebih panjang dari biasanya, sehingga pada akhirnya lifecycle perangkat pun bisa diperpanjang.
Jauh sebelum iPhone dan smartphone Android eksis, toko ponsel sudah banyak bertebaran di kota-kota di Indonesia. Bagi yang pernah merasakan mampir ke toko ponsel di awal-awal tahun 2000-an, Anda pasti ingat bagaimana Nokia begitu mendominasi, dengan seabrek model dari yang harganya relatif terjangkau sampai yang hanya bisa dibeli oleh kaum 1%.
Kondisinya sekarang tentu sudah berubah drastis. Nokia bukan lagi merek yang paling diincar oleh konsumen, dan tidak semua toko smartphone menjual produk-produk bikinan perusahaan asal Finlandia tersebut. Pihak yang tadinya sangat dominan kini harus bersaing ketat dengan sederet produsen lain dalam pasar yang demikian progresif.
Tugas berat inilah yang diemban oleh HMD Global, perusahaan asal Finlandia yang sejak Desember 2016 memegang lisensi eksklusif atas brand ponsel Nokia. Baru-baru ini, saya berkesempatan berbincang-bincang dengan Karel Holub, General Manager HMD Global untuk kawasan Indonesia, mengenai perkembangan terkini brand Nokia di pasar smartphone tanah air.
Saya membuka pembicaraan dengan menanyakan mengenai Nokia 5.4, smartphone terbaru yang HMD luncurkan pada bulan Maret lalu. Dibandingkan sejumlah smartphone lain yang dijual di kisaran harga tiga jutaan rupiah, spesifikasi Nokia 5.4 memang bukan yang terbaik. Pada kenyataannya, saya tidak akan heran apabila sebagian dari Anda menganggap harganya kemahalan usai meninjau spesifikasinya secara menyeluruh.
Lalu kenapa bisa begitu? Apa alasan HMD mematok harga yang lebih tinggi dibanding kompetitornya? Terkait hal ini, Karel punya beberapa jawaban. Yang pertama adalah perihal build quality, di mana HMD pada dasarnya ingin meneruskan legasi ponsel Nokia yang dikenal tahan banting.
Kedua, HMD tidak lupa mengedepankan aspek longevity. Hampir semua smartphone Nokia, termasuk halnya Nokia 5.4, dipastikan bakal menerima update sistem operasi sampai dua tahun setelah peluncurannya, yang berarti perangkat bakal punya kesempatan untuk menjalankan hingga dua versi Android berikutnya. Tidak kalah penting adalah janji HMD untuk menghadirkan security update secara rutin setiap bulannya sampai tiga tahun.
Keamanan data dan umur panjang perangkat jadi prioritas
Bicara soal keamanan, Karel lanjut menjelaskan mengenai General Data Protection Regulation, atau biasa disingkat GDPR. Ini merupakan kebijakan privasi data baru yang ditetapkan di kawasan Uni Eropa sejak tahun 2018, yang dipercaya mampu memberikan proteksi yang lebih akuntabel terhadap data konsumen.
Lalu bagaimana ceritanya ponsel Nokia yang dijual di Indonesia bisa ter-cover oleh kebijakan yang dimaksudkan untuk negara-negara Eropa tersebut? Jawabannya adalah karena HMD telah bekerja sama dengan Google untuk membangun data center Google Cloud di Finlandia, sehingga data-data yang disimpan ke cloud oleh smartphone Nokia dipastikan bakal mendekam di Finlandia, yang pada akhirnya berada di bawah perlindungan GDPR.
Ini berbeda dari biasanya, di mana konsumen umumnya tidak punya kontrol atas lokasi data center yang Google pakai untuk menyimpan data. “Nokia adalah satu-satunya brand yang dapat menjamin bahwa data Anda tidak akan dijual ke pengiklan demi memperoleh pemasukan yang tinggi, dan Anda juga tidak akan ditarget berdasarkan pola penggunaan Anda,” jelas Karel mengenai signifikansi GDPR buat para pengguna smartphone Nokia.
Yang jadi pertanyaan berikutnya adalah, apakah alasan-alasan ini pada akhirnya dapat menjustifikasi harga smartphone Nokia yang lebih mahal ketimbang penawaran kompetitor? Karel percaya demikian, sebab spesifikasi bukanlah segalanya. Karel juga sempat menyinggung soal studi yang dilakukan Hootsuite tahun lalu, yang menunjukkan bahwa 56% konsumen sebenarnya peduli terhadap topik privasi.
Menurut Karel, ia sebenarnya cukup sering mendengar komentar bahwa produk-produk Nokia terlalu mahal, dan konsumen sebenarnya bisa membeli ponsel lain dengan spesifikasi yang serupa di harga yang lebih murah. Namun di mata Karel, jika konsumen memutuskan untuk membeli ponsel tersebut, maka mereka pada dasarnya hanya akan mendapat satu versi Android saja, serta proteksi data yang ala kadarnya.
Seperti yang kita tahu, perkara update sistem operasi ini memang sudah menjadi problem umum yang dijumpai oleh pengguna smartphone Android. Tidak jarang, smartphone di kelas menengah ke bawah hanya akan menerima update selama beberapa bulan saja pasca pembelian. Lalu ketika Google merilis Android versi baru di tahun berikutnya, update dari masing-masing pabrikan datang sangat terlambat, atau bahkan tidak datang sama sekali.
HMD paham betul bahwa kepercayaan konsumen merupakan nilai utama yang selalu dipegang oleh Nokia sejak lama, dan itulah yang ingin terus mereka pertahankan sekarang dan ke depannya. Pun begitu, kita memang tidak boleh lupa dengan yang namanya user error, dan bagaimana data konsumen sebenarnya bisa dicuri akibat kesalahan sendiri. Namun apabila konsumen bisa menjaganya dengan baik, maka HMD juga akan memastikan perlindungan yang maksimal terhadap data-data mereka.
Terlepas dari semua itu, Karel tidak menepis fakta bahwa spesifikasi perangkat tetap merupakan parameter yang krusial. Menurutnya, spesifikasi yang mumpuni juga punya peran dalam memperpanjang umur perangkat. Tanpa spesifikasi yang baik, perangkat mungkin bakal kesulitan mempertahankan relevansinya dalam jangka panjang, dan pada akhirnya rentetan update sistem operasi yang dijanjikan tadi pun bakal terkesan sia-sia.
Strategi ala enterprise untuk segmen consumer
Menariknya, pembicaraan panjang lebar soal keamanan data dan umur panjang perangkat ini sebenarnya mengacu pada smartphone yang duduk di kelas menengah ke bawah. Kalau yang dibahas adalah smartphone high-end, maka komitmen perusahaan terkait keamanan dan longevity seperti itu mungkin bakal terdengar wajar. Itulah mengapa Karel sangat bangga dengan fakta bahwa Nokia adalah satu-satunya brand yang berani menawarkan proposisi tersebut di harga tiga jutaan rupiah ke bawah.
Menurut Karel, tidak jarang pabrikan lain hanya menekankan perkara proteksi data dan update yang berkelanjutan pada produk-produk yang duduk di kelas high-end saja, sehingga pada akhirnya tidak bisa menjangkau mayoritas konsumennya.
Cara berjualan yang diterapkan HMD ini sebenarnya sangat cocok untuk segmen enterprise. Karel sadar betul akan hal itu, dan ia juga dengan percaya diri mengklaim bahwa Nokia punya penawaran terbaik untuk kalangan enterprise di Indonesia sejauh ini. Antusiasme tersebut bukan tanpa bukti; salah satu klien enterprise terbesar HMD untuk pasar Indonesia saat ini adalah Blue Bird.
Yang mungkin masih belum terbukti adalah seberapa efektif strategi tersebut di pasar consumer smartphone secara luas. Saya pribadi bisa membayangkan betapa sulitnya mempromosikan soal privasi dan perlindungan data ke konsumen Indonesia di saat negaranya sendiri malah terkesan kurang peduli terhadap keamanan data rakyatnya. Semoga saja dengan adanya kasus tersebut, publik bisa semakin melek terhadap topik privasi dan keamanan data.
5G dan komitmen HMD ke depannya
Sesi wawancara singkat dengan seorang petinggi perusahaan smartphone tentu tidak akan lengkap tanpa perbincangan seputar 5G. Meski memang masih jauh dari kata mainstream, teknologi jaringan generasi kelima itu pada akhirnya sudah tersedia secara resmi di Indonesia, dan ini sudah pasti menjadi menjadi lampu hijau bagi produsen untuk menghadirkan smartphone 5G di pasar tanah air.
HMD pun juga demikian. Saat ini sebenarnya sudah ada beberapa smartphone 5G dari Nokia, seperti misalnya Nokia 8.3 5G, Nokia X10, maupun Nokia X20, tapi belum ada satu pun yang masuk ke Indonesia secara resmi. Seandainya komersialisasi 5G di Indonesia sudah dimulai sejak tahun lalu, kita mungkin sudah bisa membeli Nokia 8.3 5G secara resmi. Sayang kenyataannya tidak demikian.
Meski begitu, Karel menjelaskan bahwa HMD sudah punya rencana untuk mendatangkan smartphone 5G ke Indonesia secepat mungkin. Kemungkinan adalah Nokia X Series tadi, yang spesifikasinya mencakup chipset Snapdragon 480, salah satu chipset yang paling banyak dibicarakan belakangan ini berkat performa dan efisiensinya yang sangat baik, serta tentu saja kompatibilitas dengan jaringan 5G di kelas harga yang relatif terjangkau.
HMD mengakui bahwa mereka masih punya banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Brand Nokia memang sudah ada di Indonesia selama 25 tahun, akan tetapi posisi HMD di kancah smartphone masih bisa digolongkan sebagai startup, dengan umur tim yang masih sangat muda. Bukan sembarang startup memang, melainkan yang sudah berstatus unicorn.
Kalau menurut Karel sendiri, tujuan akhir yang hendak dicapai oleh HMD di Indonesia adalah supaya konsumen bisa mampir ke toko smartphone apapun, lalu membeli smartphone Nokia dengan mudah. Kurang lebih sama mudahnya seperti belasan tahun lalu ketika ponsel Nokia masih dijual di mana-mana pada masa kejayaannya. Bukan tugas yang gampang memang, apalagi mengingat jumlah pesaingnya jauh lebih banyak daripada dulu.
Di saat yang sama, HMD juga tidak mau mengesampingkan aspek-aspek penunjang lainnya, seperti salah satunya layanan purna jual. Saya melihat hal ini kerap dipandang sebelah mata oleh sejumlah pabrikan, padahal sebenarnya sangat krusial untuk membangun kepercayaan konsumen.
Dalam melayani konsumennya, HMD juga tidak mau pilih-pilih. Pada kenyataannya, HMD justru memberikan pelayanan khusus bagi konsumen Nokia C1, smartphone paling murah Nokia yang harganya tidak sampai satu juta rupiah; di mana seandainya ponsel mereka rusak, mereka bisa langsung mampir ke toko untuk menukarkannya dengan unit yang baru. Kebijakan ini juga mereka tetapkan untuk kategori feature phone, seperti misalnya Nokia 5310 yang sarat nuansa nostalgia.
Nokia mungkin tidak akan pernah lepas dari nostalgia. Bagaimanapun juga, sejarah mencatat nama Nokia sebagai salah satu merek telepon seluler yang paling mendunia, dan sekarang tugas HMD adalah mempertahankan sekaligus meneruskan legasi tersebut agar bisa tetap relevan ke depannya.
Menjelang akhir tahun 2020 kemarin, HMD Global memperkenalkan Nokia 5.4 sebagai penawaran terbarunya di segmen menengah ke bawah. Tiga bulan berselang, smartphone tersebut sudah resmi mendarat di Indonesia melalui sebuah acara peluncuran singkat yang digelar via Zoom.
Kalau kita tinjau spesifikasinya, smartphone ini sebenarnya terkesan biasa saja, apalagi setelah mempertimbangkan harga jual resminya yang dipatok di angka Rp3.599.000. Layarnya memiliki bentang diagonal 6,39 inci, dengan resolusi 1560 x 720 pixel alias HD+. Dibandingkan pendahulunya, layar milik Nokia 5.4 ini bakal kelihatan lebih tajam bukan karena resolusinya meningkat, melainkan karena ukuran layarnya mengecil.
Urusan performa, Nokia 5.4 mengandalkan chipset Qualcomm Snapdragon 662, RAM 6 GB, dan kapasitas penyimpanan internal sebesar 64 GB. Baterainya tercatat memiliki kapasitas 4.000 mAh, serta sudah mendukung fitur fast charging dengan output maksimum sebesar 10 W.
Lalu kalau soal kameranya, modul membulat yang diposisikan di atas sensor sidik jarinya itu terdiri dari kamera utama 48 megapixel, kamera ultra-wide 5 megapixel, kamera macro 2 megapixel, dan depth sensor 2 megapixel. Untuk kamera depannya yang sudah mengadopsi model hole-punch, Nokia 5.4 menggunakan sensor beresolusi 16 megapixel.
Lantas apa nilai ekstra yang bisa Nokia 5.4 tawarkan kalau bukan spesifikasinya? Kalau menurut Karel Holub, General Manager HMD Global untuk region Indonesia, jawabannya adalah komitmen mereka untuk urusan software update. Jadi sampai setidaknya dua tahun dari sekarang, pengguna Nokia 5.4 dipastikan bakal menerima pembaruan perangkat lunak secara rutin.
Strategi ini sebenarnya sudah HMD jalankan sejak lama, termasuk juga untuk ponsel-ponsel mereka yang lain. Gagasan utama yang hendak diangkat adalah, dengan terus menerima versi Android terbaru — kalau dua tahun dari sekarang berarti semestinya termasuk Android 12 dan Android 13 — konsumen jadi tidak perlu berganti smartphone setiap tahun.
Bukan cuma itu, HMD juga menjanjikan security update secara rutin setiap bulan selama tiga tahun. Ditambah lagi dengan inisiatif HMD untuk menggunakan data center yang berlokasi di Finlandia — yang otomatis berada di bawah perlindungan General Data Protection Regulation (GDPR) di Eropa — pengguna jadi bisa merasa lebih terjamin soal keamanan datanya.
Dalam presentasinya, Karel cukup bangga menyebut Nokia sebagai satu-satunya brand di Indonesia yang berkomitmen untuk menyediakan peningkatan software dengan jangka waktu selama itu di rentang harga ini. Yang mungkin jadi pertanyaan adalah seberapa efektif proposisi semacam ini dalam menarik minat konsumen Indonesia, yang sebagian besar mungkin masih belum begitu melek soal privasi?
HMD terkesan cukup antusias. Namun yang pasti menarik melihat mereka mencoba menawarkan nilai yang berbeda dari angle keamanan seperti ini, terlebih di saat pabrikan-pabrikan lain saling beradu spesifikasi dalam harga yang semurah mungkin. Buat yang tertarik meminang Nokia 5.4, HMD juga akan mengadakan program pre-order yang akan berlangsung mulai 26 Maret sampai 1 April mendatang.
Selama program pre-order berlangsung, Nokia 5.4 dihargai Rp3.099.000, dan 100 pembeli pertamanya berhak mendapatkan bonus Nokia Essential True Wireless Earphone E3100, paket data Indosat sebesar 60 GB, dan gratis berlangganan Amazon Prime Video selama satu bulan. Selain di gerai offline atau platform e-commerce, Nokia 5.4 kabarnya juga bakal bisa dipesan langsung melalui situs resmi Nokia.
Menjelang pergantian tahun, HMD Global memperkenalkan smartphone Nokia baru untuk segmen menengah ke bawah. Ponsel tersebut adalah Nokia 5.4, penerus langsung dari Nokia 5.3 yang diluncurkan pada bulan Maret lalu.
Secara estetika, Nokia 5.4 masih mempertahankan desain yang diusung pendahulunya, tapi dengan sejumlah revisi agar secara keseluruhan bisa kelihatan lebih manis. Perubahan yang paling mencolok terdapat pada wajahnya, dengan poni yang sudah digantikan oleh lubang kamera kecil di ujung kiri atas layar.
Yang mungkin agak mengherankan adalah, ukuran layarnya menyusut dari 6,55 inci menjadi 6,39 inci. Sepintas kesannya seperti turun pangkat, akan tetapi menurut saya downgrade ini cukup rasional mengingat resolusi layarnya tidak berubah dan masih HD+ (1560 x 720 pixel), sehingga semestinya layarnya bakal kelihatan lebih tajam karena kepadatan pixel-nya justru naik.
Juga ikut diubah adalah jeroannya. Nokia 5.4 ditenagai chipset Qualcomm Snapdragon 662, yang kalau secara performa mungkin tidak jauh berbeda dari Snapdragon 665 milik Nokia 5.3, tapi lebih kaya fitur. Mendampingi chipset tersebut adalah RAM 6 GB dan kapasitas penyimpanan internal 64 GB, tidak ketinggalan juga baterai berkapasitas 4.000 mAh dengan dukungan fast charging 10 W.
Perubahan yang paling signifikan dapat kita jumpai pada kameranya. Nokia 5.4 mengemas kamera utama 48 megapixel, plus tiga kamera lain yang disatukan dalam modul membulat di atas sensor sidik jarinya, yakni kamera ultra-wide 5 megapixel, kamera macro 2 megapixel, dan depth sensor 2 megapixel. Di depan, resolusi kamera selfie-nya sudah ditingkatkan menjadi 16 megapixel.
Semua itu dikemas dalam bodi berwarna biru atau ungu setebal 8,7 mm, dengan bobot tak lebih dari 180 gram. Seperti biasa, HMD turut menjanjikan dukungan pembaruan software hingga dua tahun ke depan, plus security update secara rutin setiap bulan selama tiga tahun.
Di Eropa, Nokia 5.4 dipasarkan dengan harga mulai 189 euro (± Rp3,25 jutaan). Penjualannya di Indonesia dijadwalkan baru berlangsung pada akhir kuartal pertama tahun 2021, dan harganya mungkin bisa lebih mahal mengingat harga tadi adalah untuk varian RAM 4 GB, sedangkan yang bakal tersedia di Indonesia adalah varian RAM 6 GB.
Dikenal orang sebagai pemilik dan pengelola layanan distribusi digital terbesar di dunia, Valve juga bukanlah pemain baru di ranah virtual reality. Dahulu mereka sempat membantu HTC lewat SteamVR. Lalu ketika kita mengira Valve mulai menarik diri dari segmen VR, mereka malah mengumumkan Index. Tak lama sesudah penyingkapannya, perusahaan mengungkap ketertarikannya menggarap versi standalone dari headset tersebut.
Setelah virtual reality, ada kemungkinan Valve mulai mencoba melebarkan sayapnya ke augmented reality. Via MacRumors, harian DigiTimes melaporkan bahwa developer pencipta seri game Half-Life itu digandeng oleh Apple dalam rangka pengembangan head-mounted display AR. Mereka berdua tentu tidak sendirian. Apple mempercayakan Quanta Computer dan Pegatron asal Taiwan buat menangani proses produksi serta perakitan.
Apple terdorong untuk membuat headset augmented reality karena CEO Tim Cook percaya bahwa AR dapat menyatukan konten digital ke dunia sesungguhnya. Di waktu ke depan, ia akan jadi sepopuler smartphone, khususnya di kalangan konsumen. Langkah mendalami segmen AR yang dilakukan Apple juga dibarengi oleh perekrutan pakar-pakar desain grafis, system interface, serta system architecture.
Sebetulnya, proyek pengerjaan headset AR oleh Apple telah terdengar sejak 2017. Waktu itu, Bloomberg (berdasarkan laporan informan terpercaya) mengabarkan rencana Apple untuk mematangkan teknologinya di tahun 2019, kemudian mulai memasarkannya di tahun 2020. Perangkat tersebut mengusung unit display mandiri, serta ditopang oleh chip anyar serta sistem operasi khusus. Semua terdengar menjanjikan, tetapi sang narasumber menegaskan bagaimana agenda Apple bisa berubah.
Perkiraannya cukup tepat. Apple diketahui menghentikan sementara proyek pembuatan HMD VR/AR beberapa bulan silam, membubarkan tim teknisi, dan mengalihkan sumber daya ke produk lain. Namun ternyata, yang Apple lakukan adalah mengubah langkah pengembangan secara in-house menjadi kolaboratif bersama Valve Corporation.
Tentu saja ini bukan pertama kalinya Apple dan Valve bekerja sama. Di tahun 2017, Valve sempat diminta Apple buat menghadirkan dukungan native headset VR di macOS High Sierra, melalui upaya memaksimalkan dukungan eGPU yang ada di sistem operasi terhadap versi Mac SteamVR.
Menurut perkiraan analis Ming-Chi Kuo, headset augmented reality milik Apple ini akan masuk ke tahap produksi massal di kuartal keempat 2019 (jika benar perusahaan bermaksud meluncurkannya tahun depan). Perangkat tersebut kemungkinan dipasarkan sebagai aksesori iPhone dan berperan sebagai display. Sementara itu, iPhone bertugas untuk menangani proses komputasi, networking dan positioning.
Absen selama beberapa tahun, brand Nokia dibangkitkan kembali oleh HMD Global di tahun 2016. Sejak saat itu, sang perusahaan asal Finlandia mencoba mengejar ketinggalannya dengan menggarap beragam model smartphone – dari mulai entry-level sampai varian ber-setup tiga kamera. HMD juga menyadari bahwa merek Nokia punya sejarah panjang di ranah penyediaan perangkat telekomunikasi.
Di beberapa kesempatan, HMD bahkan memanfaatkan sisi sentimental dan nostalgia dalam meracik produk. Hasil dari konsep ini ialah versi baru Nokia 3310 (disingkap di MWC 2017) dan Nokia 8110 yang populer berkat kemunculannya di film The Matrix. Kali ini di acara IFA 2019, HMD Global mengumumkan penjelmaan modern dari ponsel flip Nokia 2720. Ia mungkin belum bisa mengusung gelar ‘smartphone‘, tapi ada banyak fitur pintar yang produsen tanamkan di sana.
Seperti tipe 3310 dan 8110, Nokia 2720 anyar masuk dalam ke lini Nokia Originals, terdiri dari perangkat-perangkat klasik yang memperoleh sentuhan modern. Nokia 2720 Flip terlihat mirip seperti pendahulunya, lengkap dengan engsel flip di bagian tengah, tombol-tombol navigasi fisik dan numerical pad di bawahnya. Namun jika dikomparasi, ia punya penampilan yang lebih ramping dan memiliki layar internal lebih lebar, yaitu 2,8-inci.
Tanpa perlu membuka, Anda bisa melihat jam, siapa yang menelepon dan mengirim pesan via panel eksternal. Untuk menjawab panggilan, Anda hanya tinggal membuka layar. Lalu ketika sudah selesai berbicara, tutup kembali lid-nya
Satu aspek yang jadi andalan HMD di Nokia 2720 Flip adalah daya tahannya. Tubuh ponsel ini terbuat dari bahan polikarbonat yang dijanjikan mampu ‘menangani’ benturan sehari-hari. Lalu produsen sengaja memanfaatkan tombol-tombol berukuran besar agar mudah ditekan dan dicapai jari.
Menariknya lagi, produsen tak melupakan faktor keamanan. HMD menyediakan pula tombol darurat di sisi samping, fungsinya ialah buat menelepon lima orang terdekat sembari mengaktifkan mode loudspeaker.
Walaupun masih tergolong feature phone, HMD membekali Nokia 2720 dengan sistem operasi KaiOS yang menyimpan bermacam-macam fitur dan app ala ponsel pintar. Di sana ada fungsi search Google, aplikasi Google Maps, WhatsApp, YouTube, Facebook, hingga Google Assistant. Lewat Assistant, Anda dipersilakan melakukan panggilan atau mengirim pesan tanpa perlu mengetik manual.
Selain itu, Nokia 2720 turut ditopang konektivitas 4G dan bisa terhubung ke hotspot Wi-Fi, serta memiliki baterai yang sangat awet, dengan waktu standby mencapai 28 hari.
HMD berencana untuk mulai memasarkan Nokia 2720 Flip di bulan September ini. Produk dibanderol seharga € 90 atau kisaran US$ 100 dan ditawarkan dalam dua pilihan warna, yakni hitam serta abu-abu.
Sama-sama sempat mencengangkan publik, pengembangan augmented dan virtual reality akhirnya pergi ke arah berbeda. VR saat ini banyak dipakai untuk menghidangkan konten hiburan ‘immersive‘ secara personal, sedangkan AR lebih dimanfaatkan sebagai penunjang fungsi profesional – dari mulai kreasi sampai diagnosis. Headset AR/VR terus mengalami evolusi, kini jadi kian ringkas dan mudah digunakan, namun mayoritas dari mereka tetap punya wujud yang eksentrik.
Kondisi ini mendorong startup bernama Human Capable untuk memampatkan teknologi augmented reality ke produk berdesain minimalis. Setelah proses pengembangan selama lebih dari empat tahun, tim resmi mengumumkan Norm Glasses. Dengannya, developer menawarkan segala macam kecanggihan head-mounted display AR serta deretan fitur penunjang dalam perangkat berpenampilan ‘normal’.
Sekilas, Norm Glasses terlihat seperti kaca mata biasa. Lensanya berukuran cukup lebar, lalu tidak ada bagian aneh atau modul yang menonjol canggung. Human Capable menyiapkan perangkat dalam tiga opsi warna serta ukuran – dibedakan dari panjang lensa, jarak antar bingkai, dan panjang tangkai. Jenis lensa juga bisa dipersonalisasi: bening, berwarna, polarized, atau bisa berubah warna – dan semuanya dapat disesuaikan dengan ukuran mata.
Namun meski simpel, sejatinya Norm Glasses ialah sebuah komputer berukuran mini. Ia dibekali CPU, unit penyimpanan, baterai, microphone, speaker, kamera serta sistem head-up display. Developer juga menyiapkan banyak cara buat berinteraksi dengan fitur dan fungsnya: lewat perintah suara, gerakan kepala, sentuhan di sisi luar tangkai, atau via aplikasi pendamping di smartphone.
Berbeda dari Magic Leap One dan Google Glass Enterprise Edition, Norm Glasses dirancang untuk penggunaan sehari-hari. Headset AR berwujud kacamata itu mempersilakan Anda buat mengambil foto, merekam video atau menyiarkan live peristiwa yang tengah Anda saksikan, memindai barcode atau QR code, semuanya dapat dilakukan tanpa bantuan tangan.
Bukan itu saja. Berkat kehadiran speaker, Norm Glass juga memperkenankan kita mendengarkan musik, podcast atau audio book secara nyaman. Bahkan sebelum telepon diangkat, pengguna bisa melihat siapa yang melakukan panggilan pada display/HUD.
Sejak eksistensinya diinformasikan ke publik dan media, Norm Glasses mendapatkan banyak tanggapan positif, bahkan memperoleh gelar Honoree CES Innovation Awards 2019. Tapi seperti Google Glass, semua kapabilitas Norm Glasses lagi-lagi berpeluang besar memunculkan kekhawatiran soal privasi dan keamanan saat perangkat tersedia nanti.
Norm Glasses bisa Anda pesan sekarang di situs crowdfunding Kickstarter seharga mulai dari US$ 340. Proses distribusi (diprioritaskan buat backer) rencananya akan dilakukan pada bulan Maret 2020.
Undur dirinya Valve dalam kolaborasi pengembangan ekosistem HTC Vive sempat membuat orang (termasuk saya) berpikir bahwa sang pencipta Steam berniat meninggalkan ranah ini. Namun kami semua keliru. Valve ternyata berniat menggarap perangkat VR-nya sendiri. Agenda tersebut terungkap di bulan April kemarin, kemudian detail mengenai HMD bernama Index itu disingkap tak lama setelahnya.
Dilihat dari sisi hardware dan kelengkapan fitur, Index boleh dikatakan lebih superior dibanding Rift dan Vive. Namun pada dasarnya, headset VR Valve tersebut masih menggunakan solusi penyajian serupa model kompetitor. Perangkat bersandar pada PC agar dapat menghidangkan konten. Itu berarti, Index mungkin belum bisa jadi solusi bagi mereka yang menginginkan HMD virtual reality standalone.
Menariknya, Valve sempat mengakui ketertarikannya mengembangkan head-mounted display ‘mandiri’. Dalam presentasi di acara peluncuran Index beberapa hari lalu, co-founder Gabe Newell mengungkapkan bagaimana timnya tengah mempertimbangkan pembuatan versi alternatif dari Index yang tak mengikat penggunanya di satu tempat. Dengan kata lain, perangkat bisa bekerja tanpa memerlukan dukungan PC.
Newell menyampaikan bahwa Valve mempunyai banyak ide yang dapat diterapkan pada aspek layar dan optik. Kemudian, ada beragam peluang untuk meningkatkan kapabilitas sistem pelacakan sembari menyederhanakan prosesnya. Dengan tercapainya hal-hal ini, terbuka pula kesempatan buat mengembangkan permainan-permainan virtual reality revolusioner, baik dari Valve atau mitranya.
Sebelum sampai di sana, Newell sendiri berkeyakinan bahwa aksesori kendali ‘Knuckles’ dapat memicu digarapnya ‘game-game jenis baru’. Knuckles lebih mutakhir dibanding unit controller motion pendukung perangkat kompetitor. Ia dirancang agar Anda tidak perlu terus menggenggamnya. Di sana ada joystick, trackpad mini, rangkaian tombol, serta input sekunder yang mampu membaca seberapa erat genggaman tangan Anda. Valve membubuhkan tidak kurang dari 87 buah sensor di dalamnya.
Terkait Index, Gabe Newell menyebutnya sebagai tonggak sejarah penting bagi Valve, merepresentasikan terobosan signifikan di segmen virtual reality. Untuk sekarang, perusahaan akan fokus pada hal-hal sederhana, misalnya memperluas distribusi produk keluar wilayah Amerika Serikat, menuju Eropa dan negara-negara lain. Valve juga melihat adanya celah buat menurunkan harga produk, serta membuat Index lebih ringan dan lebih ergonomis.
Berbicara soal harga, Valve Index memang dibanderol cukup mahal. Harganya berada jauh di atas Oculus Rift S (setara Oculus Quest di US$ 400) namun masih lebih murah dibanding satu set lengkap HTC Vive Pro (US$ 1.400, headset-nya saja dipatok US$ 800).
Pertanyaannya kini adalah, jika Valve betul-betul mengembangkan versi standalone dari Index, apakah mereka akan menjualnya di harga lebih tinggi atau lebih rendah dibanding varian standar?