Tag Archives: hotel bujet

Salah satu yang terkena dampak positif lonjakan aktivitas pariwisata lokal adalah hotel bujet. Tahun ini mereka berekspansi ke segmen baru

Imbas Pariwisata Lokal Meningkat, Bisnis Hotel Bujet Melesat

Genap tiga tahun terkena dampak pandemi, industri pariwisata tanah air diprediksi memasuki babak baru tahun ini. Pemulihan sudah terlihat dan industri ini perlahan mulai bangkit. Hal ini juga tercermin dari kenaikan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia serta peningkatan jumlah perjalanan domestik..

Berdasarkan data BPS, dari Januari hingga Oktober 2022, jumlah kunjungan wisman ke Indonesia mencapai 3,92 juta kunjungan, naik 215,16 persen dibandingkan dengan jumlah kunjungan wisman pada periode yang sama di tahun 2021. Peningkatan juga terlihat dari angka perjalanan domestik di Indonesia.

Di akhir tahun 2022 lalu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno mengatakan bahwa Indonesia telah memecahkan all time record dengan lebih dari 800 juta pergerakan wisatawan domestik sepanjang tahun. Angka ini melampaui jumlah perjalanan domestik sebelum pandemi sebanyak 722,16 juta pada 2019.

Jumlah perjalanan domestik di Indonesia selama 2012-2021 (dalam juta). Sumber: Statista

Bangkitnya industri pariwisata turut menghadirkan peluang dan tantangan baru bagi para pelaku industri. Pasalnya selama pandemi ada pergeseran kebiasaan berlibur pada masyarakat dan para pelaku usaha terkait yang ingin mengembangkan bisnisnya harus berusaha untuk tetap relevan dengan tren dan kebutuhan masyarakat saat ini.

Pergeseran tren pariwisata

Pada 2021, ketika pembatasan interaksi mulai longgar dan akses vaksin sudah merata, wisatawan domestik menjadi penggerak kinerja sektor ini. Mengingat risiko virus masih tinggi, alih-alih melakukan perjalanan internasional, wisatawan gencar mengeksplorasi wisata domestik. Menurut data Statista, terdapat lebih dari 603 juta perjalanan domestik terjadi di Indonesia.

Berdasarkan data Pegipegi Travel Report 2022 , hasil survei secara online terhadap lebih dari 450 pelanggan menunjukkan bahwa 49 persen responden telah traveling lebih dari lima kali, dan 44 persen lainnya traveling sebanyak 2–4 kali sepanjang tahun. Sebagian besar dari mereka menyukai traveling di dalam kota maupun menuju destinasi-destinasi di luar kota.

Terkait perencanaan kegiatan liburan, mayoritas responden atau sekitar 82 persen, mengalokasikan budget secara rinci untuk kebutuhan traveling, mencakup biaya transportasi, akomodasi, konsumsi, dan kebutuhan lainnya. Adapun rentang alokasi budget yang dikeluarkan responden untuk satu kali perjalanan yaitu sekitar Rp1 juta–Rp3 juta (sebesar 36 persen) dan Rp3 juta–Rp5 juta (sebesar 25 persen).

Sumber: Pegipegi Travel Report 2022

Melihat data di atas, salah satu yang diproyeksi akan menjadi tren masa depan industri pariwisata adalah budget travel yang berarti bepergian dengan biaya minim. Dari sini, lahir beberapa konsep liburan baru. Salah satunya staycation, konsep ini mengedepankan sisi praktis liburan yang dilakukan di rumah atau area dalam kota.

Di samping itu, satu hal yang juga memengaruhi pariwisata lokal semakin meningkat adalah konsep kerja di beberapa perusahaan yang masih menerapkan WFA atau work from anywhere. Hal ini memungkinkan para pekerja untuk lebih fleksibel dan bisa bekerja dari mana saja, termasuk area wisata. Tren liburan sambil bekerja ini juga disebut workation.

Laporan dari Asia Travel Leaders Summit juga menyebutkan bahwa karakter wisatawan milenial Indonesia merupakan yang paling memperhatikan keterjangkauan harga jika dibandingkan dengan karakter wisatawan China, Singapura, dan India. Pertumbuhan tren budget travel ini tentunya mendorong bisnis hotel bujet yang sebagian besar dipilih karena keterjangkauan harga.

Industri hotel bujet mulai ekspansi

Di Indonesia sendiri, industri hotel bujet mulai ramai ketika pemain global masuk dan menyasar pasar Indonesia. RedDoorz menjadi salah satu pionir yang masuk ke Indonesia di tahun 2015. Perusahaan menganut model bisnis bekerja sama dengan properti yang bersifat kecil dan independen.

Pada dasarnya, model bisnis ini tidak jauh berbeda dengan pemain hotel bujet terbesar di India, OYO, yang akhirnya ikut masuk ke pasar Indonesia di tahun 2018. Kedua platform ini menawarkan renovasi, pengelolaan manajemen hotel, serta pemberdayaan bagi pegawai dalam mengelola akomodasi.

Selain mengakibatkan perubahan tren, kehadiran pandemi juga melahirkan fenomena baru yang tengah berlangsung di industri hotel bujet. Jika sebelumnya kebanyakan hotel berbintang memperluas jangkauan dengan membuka cabang hotel bujet, kini hotel bujet mulai memperluas jangkauan dengan menambahkan segmen pelanggan, termasuk premium.

RedDoorz mulai menerapkan strategi baru untuk menjadi perusahaan new age hospitality dengan membangun merk hotel baru “Sans Hotel” di akhir tahun 2020. Melalui brand ini, perusahaan menargetkan pelancong dari generasi Z dan milenial dengan mengedepankan konsep akomodasi yang youthful, design inspired, dan warmth, memadukan teknologi pintar dan harga terjangkau.

Perubahan strategi ini terbukti menghantarkan perusahaan mencapai break even point (BEP) atau tidak lagi merugi.

“Melalui implementasi strategi dan fundamental bisnis yang berfokus kepada property owners dan customers, kami berhasil memenuhi janji kami untuk mencapai BEP di tahun 2022,” ujar Regional VP Marketing RedDoorz Henry Manampiring.

Selain Sans Hotel, RedDoorz juga memiliki Urbanview Hotel untuk para urban traveler, Sunerra Hotel yang cocok bagi keluarga yang menginginkan layanan berkelas, KoolKost yang cocok untuk akomodasi jangka panjang, serta The Lavana yang akan segera diluncurkan. Selama tujuh tahun beroperasi, RedDoorz telah mengakomodasi sekitar 3 ribu properti di 257 kota di seluruh Indonesia.

Country Operation Head OYO Indonesia Hendro Tan mengungkapkan, “Tren perjalanan saat ini menunjukkan bahwa wisatawan mencari tempat menginap yang nyaman, sehingga permintaan pada akomodasi premium diperkirakan akan naik secara signifikan.”

OYO sendiri disebut tengah menggenjot akomodasi di segmen bisnis dan premium di Indonesia sebagai core market-nya di Asia Tenggara dan global. “Indonesia menjadi kunci dari rencana pertumbuhan bisnis dalam skala global, OYO telah membuktikan transformasinya, dan berfokus pada properti premium,” tegasnya.

Beberapa pilihan akomodasi segmen premium OYO, termasuk Townhouse OAK, Townhouse, Collection O, dan Capital O. “Kami juga ingin menjalin kemitraan yang kuat dengan pelanggan kami di kota-kota bisnis dan kota tujuan rekreasi, dengan penetrasi yang lebih kuat ini kami yakin untuk terus menambah portofolio kami untuk memenuhi kebutuhan pelanggan, serta menerapkan lokalisasi produk dan layanan,” tutupnya.

Dengan konsep yang berbeda, bobobox menyasar pasar hotel bujet di Indonesia dengan menawarkan layanan hotel kapsul yang mengutamakan efisiensi ruang. Didirikan pada 2018, bisnis hotel kapsul Bobobox telah melejit dengan total okupansi sebanyak 922 kamar di 16 lokasi yang tersebar di sejumlah kota besar di Indonesia.

Perusahaan juga memiliki cabang premium yang diberi nama bobocabin. Tahun ini, Bobocabin menjadi fokus ekspansi Bobobox dengan menjangkau lebih banyak daerah di Indonesia, diantaranya Padusan, Jawa Timur, dan Ubud, Bali. Harapannya, ekspansi yang dilakukan Bobobox dapat berkontribusi terhadap perekonomian serta pemberdayaan sosial daerah setempat.

Tantangan dan peluang

Industri pariwisata memang sempat mengalami titik terendah pada awal pandemi yang memicu pembatasan mobilitas masyarakat secara besar-besaran. Pada 2020, salah satu pelaku industri, Airy, memutuskan untuk menutup bisnis secara permanen setelah dilaporkan telah memberhentikan 70 persen jumlah karyawannya.

Hal ini juga menimpa pelaku industri lainnya seperti OYO yang mencatat tingkat okupansi mitra hotel anjlok sebanyak 60%. Tidak hanya kondisi fisik, mental pun juga terdampak. RedDoorz sendiri sempat meluncurkan program Hope Hotline untuk menyediakan layanan sesi penyuluhan kepada mitra secara online.

Di samping pandemi, CEO Bobobox Indra Gunawan juga mengungkapkan bahwa selama beberapa dekade, ada beberapa hal yang masih menjadi penghambat terbesar dari bisnis akomodasi, seperti modal yang tinggi, standar yang tidak konsisten, dan profitabilitas yang rendah. “Hal inilah yang ingin kami lawan di Bobobox,” tegasnya.

Selain skena jaringan hotel kapsul, bobobox juga menawarkan model bisnis kemitraan untuk investor yang berminat masuk ke bisnis bobobox. Mereka dapat terlibat pendanaan proyek, maupun bekerja sama terkait kepemilikan lahan.

Di tengah isu perlambatan ekonomi global, perekonomian nasional terus menunjukkan resiliensi dan beranjak pulih lebih cepat. Hal tersebut tercermin dari pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Triwulan IV-2022 yang tumbuh solid sebesar 5,01% (yoy). Pertumbuhan ekonomi Indonesia di sepanjang tahun 2022 bahkan mencapai 5,31% (ctc), kembali mencapai level sebelum pandemi.

Melihat hal ini, Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif juga optimistis bahwa Indonesia memiliki potensi wisatawan domestik yang cukup besar untuk menyokong industri pariwisata tanah air. Tahun ini, pemerintah telah menargetkan sekitar 1,2-1,4 miliar pergerakan perjalanan wisatawan domestik serta 3,5-7,4 juta kunjungan wisata mancanegara.

Pada awal Februari 2023, Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia mengumumkan total 5,47 juta kunjungan wisatawan mancanegara pada tahun 2022 penuh. Angka ini memang masih jauh dari total kunjungan sebelum Covid-19 sebanyak 16,11 juta wisatawan pada 2019. Namun, krisis COVID-19 telah merusak jumlah wisatawan Indonesia secara struktural. Maka dari itu, dibutuhkan waktu yang tidak sebentar dan proses yang tidak instan untuk bisa pulih secara menyeluruh.

OYO Indonesia Genjot Akomodasi di Segmen Bisnis dan Premium

Oravel Stays Ltd, induk usaha dari operator hotel bujet OYO, mengungkap bahwa EBITDA positif diperkirakan bakal terealisasi untuk pertama kalinya pada tahun buku 2023. Pihaknya mengestimasi EBITDA yang disesuaikan pada semester II tahun buku 2023 naik tiga kali lipat menjadi $24 juta dibandingkan semester I.

Mengutip pemberitaan Inc42, kenaikan tersebut terjadi berkat pengurangan sejumlah elemen biaya sehingga perusahaan dapat menikmati efisiensi operasional, pertumbuhan di segmen bisnis, dan profitabilitas operasional yang terus berlanjut.

Dalam keterangan resminya, OYO mengestimasi total Gross Booking Value (GBV) pada tahun buku 2023 naik 23% menjadi $1,3 miliar dibandingkan tahun lalu di mana bisnis akomodasi memberikan kontribusi tertinggi. OYO juga menambah tim di Business Development untuk mendongkrak penambahan jumlah properti sekitar 15% pada semester II tahun buku 2023. 

Segmen bisnis memang tengah digencarkan OYO di Indonesia sebagai salah satu core market-nya di Asia Tenggara dan global. Disampaikan di blog resminya, Global CBO & CEO di Asia Tenggara dan Timur Tengah Ankit Tandon mengatakan permintaan terhadap kebutuhan akomodasi business travel mulai meningkat.

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif juga melaporkan bahwa pergerakan wisatawan domestik mencapai 633 juta-703 juta per Oktober 2022. Di tahun ini, pergerakan wisatawan domestik diestimasi meroket 1,2 miliar-1,4 miliar. Kemudian, konsultan properti Jones Lang LaSalle (JLL) memperkirakan volume investasi bisnis hotel di Indonesia mencapai $300 juta di 2023.

Selain korporasi, pihaknya berencana melipatgandakan volume hotel premium di tahun ini. Saat ini, OYO menghadirkan akomodasi di segmen mid-premium melalui Townhouse Oak, Townhouse, Collection O, dan Capital O.

Di samping itu, Ankit menilai Indonesia adalah pasar paling matang dalam skala dan unit ekonomi. Pihaknya berupaya untuk mengambil peran sebagai katalisator demi memaksimalkan potensi pasar lokal dan inovasi teknologi untuk mengatasi kebutuhan pasar. “Kami siap untuk melayani customer dengan memaksimalkan pertumbuhan portofolio, inovasi teknologi, dan pilihan perjalanan domestik yang lebih accessible,” tuturnya.

Akomodasi bisnis

Pada 2022, OYO memaparkan ada kenaikan pemesanan pada segmen korporasi di Indonesia sebesar 237% menjadi 253 korporasi dari tahun sebelumnya yang hanya 75 korporasi. Pemesanan tersebut datang dari sektor keuangan, teknologi, startup, serta ritel dan logistik yang berlokasi Jakarta, Tangerang, Surabaya, Bekasi, dan Medan. Utamanya disumbang dari sektor keuangan yang menjadi kontributor terbesar bagi OYO Indonesia.

Pertumbuhan ini mengindikasikan bahwa business travel mulai berangsur bangkit dikarenakan pemerintah Indonesia bertahap melonggarkan travel restriction. Tingkat vaksinasi Covid-19 di kalangan masyarakat juga terus bertambah.

OYO juga mulai memperkuat inovasi untuk menghadirkan pengalaman dan fitur baru kepada para pelancong. Menurut Ankit, kemampuan beradaptasi masa kini dapat menghasilkan pertumbuhan lebih tinggi. Pihaknya memberikan keleluasaan kepada tim teknologi untuk bereksperimen dan menemukan cara baru dalam mengurangi kompleksitas dan meningkatkan penghematan biaya.

Saat ini, OYO menawarkan opsi storefront yang luas mulai dari aplikasi OYO, web dan mobile web, hingga platform OTA. Selain itu, pihaknya juga mengembangkan OYO 360 atau tool berbasis AI untuk self-onboarding dengan two-click platform.

Navigasi strategi

Sejumlah platform penyedia akomodasi atau OTA telah menavigasi strateginya agar dapat keluar dari tekanan situasi yang sempat menurunkan layanannya. RedDoorz yang merupakan pesaing kuat OYO juga baru saja mengumumkan pencapaian BEP di 2022 dengan pertumbuhan pendapatan lima kali lipat.

Dalam paparannya, petinggi RedDoorz mengumumkan strategi bisnis menjadi new-age hospitality. Salah satunya masuk ke bisnis properti lewat merek “Sans Hotel” yang telah digaungkan dari akhir 2020. Sans Hotel mengincar pelancong dari generasi Z dan milenial yang memadukan teknologi pintar dan harga terjangkau.

RedDoorz mengklaim telah mengakomodasi sekitar 3.000 properti di 257 kota di Indonesia. Jumlah tersebut tumbuh 55% sejak 2019. Pihaknya juga menyebut bahwa perubahan strategi ini membuktikan resiliensi bisnis RedDoorz di tengah pandemi.

Sementara, OYO mencakup pencapaian baru dengan 100 juta unduhan di global pada 2021. Per Januari 2020, OVO mengakomodasi sebanyak 43.000 properti dan 1 juta kamar di 800 kota di dunia. Pesaing lain yang tersisa kini adalah Zen Rooms. Sebelumnya, ada Airy yang akhirnya menyerah pada Mei 2020.

Application Information Will Show Up Here
Model bisnis Oyo menjadi sorotan karena dianggap berpotensi merusak ekosistem hotel bujet di Tanah Air

Dampak Oyo Terhadap Ekosistem Hotel Bujet Tanah Air

Tahun 2019 merupakan salah satu momen kejayaan operator hotel bujet di Indonesia. Perusahaan seperti Oyo, Reddoorz, Airy, dan ZenRooms memberikan opsi tambahan bagi para pelancong ketika harga tiket pesawat mengalami kenaikan siginfikan. Dari nama-nama tersebut, Oyo bersinar paling terang.

Di tangan pemuda India bernama Ritesh Agarwal, Oyo melejit sebagai salah satu startup dengan pertumbuhan paling cepat hingga akhirnya mereka menjelma sebagai unicorn. Sejak berdiri pada 2013, Oyo sudah beroperasi di banyak negara mulai dari kawasan Asia Selatan, Asia Tenggara, Timur Tengah, Asia Timur, Eropa, hingga Amerika Latin. Mereka pun sukses mendapat dukungan investasi dari Softbank dalam putaran pendanaan terakhir yang bernominal $1,5 miliar.

Indonesia sendiri merupakan salah satu pasar yang paling diperhitungkan Oyo. Oyo menggelontorkan dana untuk pasar tanah air senilai $300 juta atau setara Rp4,2 triliun tahun lalu. Oyo Indonesia berhasil meraih 5 juta pelanggan sepanjang tahun dan menggandeng 27.000 kamar dan 1.000 hotel. Sebuah pencapaian yang begitu besar untuk perusahaan yang belum terlalu lama bermukim di Indonesia.

“Kami pernah menyampaikan bahwa kita akan berinvestasi US$100 juta pada tahun lalu. Sekarang kami akan memperbarui investasi itu menjadi US$300 juta berkaca dari kesuksesan kita di sini,” ucap Ritesh saat bertandang ke Indonesia pada September lalu.

Kesuksesan kilat Oyo bukan tanpa alasan. Kecepatan mereka mengakuisisi properti baru tak lepas dari skema minimum guarantee (MG) yang mereka tawarkan. Skema ini memungkinkan pemilik properti mendapat jaminan bayaran dengan nominal tetap yang diukur dari potensi properti mereka terlepas dari berapa tingkat okupansinya. Sara (bukan nama sebenarnya) adalah salah satu mitra yang mengaku memutuskan bermitra dengan Oyo karena skema ini. Sara mendapat jaminan Rp36 juta per bulan dari Oyo untuk hotel bujetnya. Ketertarikan serupa dialami mayoritas mitra mereka di seluruh dunia.

Pandemi mengubah cerita manis tersebut. Anjloknya tingkat okupansi dan beban operasional yang tak berkurang memaksa mereka mengambil langkah drastis, yakni mengganti skema MG itu dengan skema bagi hasil. Ritesh sudah mengakui perubahan skema ini. Begitu pula dengan Oyo Indonesia yang diwakili oleh Country Head, Emerging Business, Eko Bramantyo.

“Yang kita sampaikan sederhana kepada para mitra terhormat bahwa kita tidak bisa lagi pakai model MG tapi dengan bagi hasil atau revenue share. Ini terjadi karena kita enggak tahu okupansinya akan berapa dan kedua kita enggak tahu harganya akan bagaimana karena pergerakan harga ini luar biasa signifikan dan beragam. Kita tidak bisa lakukan model bisnis seperti sebelum corona,” terang Eko dalam sebuah sesi tanya jawab dengan media pekan lalu.

Dampak terhadap ekosistem perhotelan bujet

Kesuksesan Oyo sebagai hotel bujet juga mengundang keresahan pelaku bisnis hotel bujet. Harga kamar Oyo yang begitu murah dianggap menjadi masalah baru, bahkan oleh para mitranya sendiri. Albert, seorang pemilik properti di Jawa Timur yang sempat bermitra selama setahun dengan Oyo, mengeluhkan bagaimana murahnya tarif yang diterapkan Oyo sebagai bentuk predatory pricing. Ketika harga hotel bujet berada di kisaran Rp200.000-Rp300.000, Oyo bisa menekan harga hingga setengahnya saja memanfaatkan kekuatan modal dengan menggaet hotel bujet lain, homestay, guesthouse, hingga kamar indekos yang dijual secara harian dengan tarif per malam bisa di bawah Rp100.000.

“Bisa dibilang mereka menurunkan standar industri. Dengan harga hotel turun terus, gaji pegawai harus turun, service charge harus ditiadakan, dari safety juga dikurangi. Ini bukan persaingan yang sehat lagi. Dan yang mereka lakukan dengan bilang dynamic pricing itu omong kosong karena mereka itu predatory pricing,” tegas Albert.

Sara pun berpendapat serupa. Setelah kurang lebih satu tahun bermitra, ia mengaku murahnya harga kamar yang ditawarkan Oyo menyebabkan kemungkinan terburuk dari tamu yakni pelajar yang belum cukup umur, hingga anak-anak mudah yang sekadar ingin mabuk-mabukan. “Saking murahnya harga dasar yang mereka kasih, pernah kejadian kasus tamu kemalingan di kamar yang ternyata setelah diselidiki buntut aksi prostitusi online,” ujar Sara.

Protes sekaligus harapan diletakkan pemilik properti ke platform digital pemesanan akomodasi hotel, misalnya Traveloka dan Pegipegi. Mereka menilai, sebagai kanal penjualan kamar hotel, platform punya daya tawar untuk mencegah penetapan harga yang terlalu murah dengan mempertimbangkan banyaknya laporan ketidakpuasan konsumen.

Kepada DailySocial, Traveloka mengaku selalu memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama bagi mitra penyedia akomodasi yang tergabung ke dalam platform dan menjalin komunikasi dengan mitra untuk menjaga pengalaman menginap tamu. Sementara Pegipegi menjelaskan pihaknya menyayangkan penetapan tarif menginap yang terlalu murah. Namun mereka mengaku hal itu menjadi domain operator properti. “Dari sisi yang kami lakukan, kami tidak meng-highlight properti tersebut di aplikasi kami,” tegas Corporation Communications Manager Pegipegi, Busyra Oryza.

Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengakui, keluhan para pemilik hotel bujet terhadap cara main operator virtual ini sudah terdengar cukup lama. Persaingan tidak sehat tersebut menurut Maulana berasal dari beberapa faktor. Pertama adalah ketidakcermatan pemilik properti sendiri yang kerap terlena oleh jaminan pendapatan yang ditawarkan operator virtual, meskipun pada akhirnya ia juga mewajarkan ketertarikan para pemilik untuk bermitra. Sementara di satu sisi, operator punya hak menetapkan harga semurah itu karena mereka sudah diberikan kewenangan untuk mengelola segala hal termasuk soal penetapan harga.

Namun Maulana menunjuk lemahnya pengawasan pemerintah pusat dan daerah sebagai penyebab utama rendahnya tarif hotel bujet setahun belakangan. Yang paling kentara, menurutnya, adalah maraknya penggunaan akomodasi bulanan seperti indekos sebagai penginapan harian. Ketika operator virtual merambah kamar indekos, persaingan bisnis menurutnya makin tak wajar. Ia menuding pemerintah pusat dan daerah tidak tegas menertibkan kondisi tersebut.

“Kami dari PHRI melihat pemerintah pengawasannya masih kurang karena harusnya pemerintah sebagai pemilik peraturan bisa lebih tegas. Perbedaan pungutan harga itu terjadi karena ada perbedaan pungutan pajak dan perizinan. Pemerintah jadi kunci, khususnya pemerintah daerah,” sambung Maulana.

Berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Industri (KBLI) Bidang Pariwisata 2015 indekos memang tidak masuk ke dalam klasifikasi penyediaan akomodasi jangka pendek. Dasar peraturan ini yang dipegang teguh PHRI mengkritik keras operator virtual seperti Oyo maupun pemerintah sebagai regulator. “Kalau enggak dibenahi, pengusaha akan berantakan, yang rugi juga nanti para karyawannya. Nanti tidak ada hotel bujet, tapi adanya malah kos-kosan,” imbuh Maulana.

Kurang silaturahmi

Eko Bramantyo menanggapi kecaman PHRI itu dengan cukup santai. Eko sendiri mengaku sudah datang langsung ke acara musyawarah nasional PHRI yang terakhir digelar Februari lalu. Ia menilai ribut-ribut mengenai metode bisnis mereka terjadi karena komunikasi yang kurang baik. Itu sebabnya mereka berniat memperbaiki komunikasinya dengan asosiasi industri serta pemerintah.

“Yang menyebabkan keributan-keributan itu sebetulnya satu, silaturahminya belum terjalin dengan baik. Kalau terjalin dengan baik, yang diuntungkan negara ini karena pada akhirnya akan menciptakan peluang-peluang bisnis dan koridor sinergi bisnis yang akahirnya mensejahterakan lingkungannya,” tukas Eko.

Oyo Indonesia mengakui komunikasi dan sinergi mereka dengan regulator dan pelaku industri masih belum ideal dan mulus untuk saat ini. Eko menjadikan hal itu sebagai indikator kinerja perusahaannya bisa lebih baik. Oyo tentu mendambakan hubungan baik tersebut karena mereka dikenal agresif dalam melakukan ekspansi bisnisnya.

Namun, sementara ini, Oyo dipastikan tidak akan jor-joran seperti sebelumnya. Eko menyebut pihaknya kehilangan tingkat okupansi hingga 60% selama pandemi berlangsung. Eko juga mengklaim saat ini tak memikirkan market share karena semua sumber daya difokuskan untuk bertahan hingga setahun ke depan. Salah satu cara yang mereka tempuh adalah mengubah skema MG menjadi skema bagi hasil.

Semenjak pandemi melanda Indonesia, bisnis perhotelan adalah salah satu sektor yang terdampak paling keras. PHRI menyebut sudah lebih dari 2.000 hotel berhenti beroperasi hingga awal Mei. Angka ini diprediksi masih bisa terus bertambah walaupun pemerintah sudah melonggarkan pembatasan mobilitas penduduk di banyak daerah.

Dalam kasus Oyo, Albert sebagai pemilik hotel kelas bujet menilai Covid-19 hanya memperjelas kondisi persaingan yang tidak sehat. Banyaknya hotel yang tutup bahkan ketika pandemi baru melanda Indonesia menurutnya adalah pertanda bahwa selama ini hotel sudah berdarah-darah untuk sekadar beroperasi. “Itu artinya hotel tidak punya dana untuk daily basis operation,” Albert mengakhiri.

Oyo Indonesia tentu membantah tudingan tersebut. Mereka menyebut tarif murah itu merupakan value proposition mereka yang diperoleh dari mekanisme dynamic pricing berdasarkan teknologi yang mereka pakai. Kalaupun ada harga kamar yang tampak begitu murah, mereka berdalih itu terjadi dalam rangka promo dengan periode waktu tertentu saja.

Application Information Will Show Up Here