Tag Archives: I Ketut Prihadi Kresna

The Unspoken Truth Behind OJK’s Public Appeal on Illegal Fintech Lending

Fintech, peer to peer lending (FP2PL) in particular, is still an on-demand sector in Indonesia. However, the industry exists with the presence of illegal fintech lending. Although law enforcement and authorities have been hunting it down, these illegal FP2PL keep surviving and multiplying.

The act against illegal practices took place on December 21th, 2019. An operation by Polres Metro Jakarta Utara uncover the fraudulent practice of online lending (fintech lending) office under the name PT Vega Data and PT Barracuda Fintech in Penjaringan, North Jakarta, specifically pinned at Mal Pluit Village. The police named 5 suspects of the total of 76 employees at that time.

The impact of the massive raid on illegal fintech lending is OJK’s appeal letter. It is to appeal registered fintech to avoid the Pluit and Central Park area, West Java, for an office space.

OJK said some of that illegal fintech players were running as syndicates, therefore, they are most likely to move in one area. Appeals to not have offices in the two places mentioned, according to the FSA, are part of prevention efforts.

“Considering that illegal fintech can be very tricky for intimidating users, and in terms of protection for the public community, prevention steps are required, as well as to maintain the quality and reputation of registered and/or fintech lending licenses,” OJK’s Director for Fintech Managing, Licensing and Supervision, Hendrikus Passagi told DailySocial,

In fact, the illegal fintech termination wasn’t just a one-time thing. Similar operations have been carried out before. There are some factors that allow those illegal firms to keep appearing and capture new customers.

Large market

Lending businesses grow big every year. In 2017, lending has contributed 15% of the total fintech transaction in Indonesia. Another indicator is the number of cash distributed to customers that keeps increasing.

Based on OJK’s data during 2019, fintech lending has distributed up to Rp68 trillion. The number grew from Rp22.66 trillion last year. This is considered a rapid growth.

It is obvious that the business players are also increasing, both legal and illegal. OJK said, there are a total of 25 fintech lending players by December 2019, while the illegal ones are getting thousands.

Regarding the illegal fintech lending, they’ve been using various kinds of platforms. There’s an app-based operation, websites, or through SMS blast that’ll lead into instant messages platforms, such as WhatsApp. The Ministry of Communication and Information, as part of the OJK-formed Investment Alert Task Force, claims that there are 4,020 illegal fintech players have been blocked during the last two years.

The existing gap

Observing the government’s effort in terminating illegal fintech is like trying to dodge a bullet. The acts are unstoppable because there’s still a gap to be leveraged by the law gangsters.

The biggest one is, there’s no exact law to avoid the rise of these illegal businesses. Passagi admitted the absence of regulations can be the main reason for the mushrooming illegal fintech lending.

Another hole that may be missed by the supervisory authority, especially by the Ministry of Communication and Information, is the SMS feature to outsmart the government systems supervision and operating system provider. Quoted from Kompas, the Pluit based office search by the police used random SMS chains. Start from the SMS, potential victims will be escorted to a site through the sent link. They will be asked for some data to process loans such as National Identity Cards, Family Cards, also the Tax ID.

On the other hand, prohibiting an area for fintech lending operation is a kind of unreasonable act. Seeing how dynamic the movement of illegal syndicates is, a place is just a place. With the existing passionate market and multiple gaps, they can be anywhere.

Room for Improvements

Aside from hoping the regulations for illegal fintech lending issued, the government has an “optimistic” plan coming.

The Kominfo, The Indonesian Telecommunications Regulatory Agency (BRTI), and the Directorate General of Population and Civil Registration are currently working on renewing the registration terms of prepaid cellular. This plan will later enable cellular operators to use the ‘know your customer’ mechanism as in banking.

It will involve biometric technology to make sure the prepaid cellular owner has a valid number. In reverse, when the data doesn’t match in the Dukcapil’s system, there will be sanctions.

“For example, with face recognition technology, fingerprint, or iris recognition. On the records, operators are fully responsible for the validity of their customers. In this way, hopefully there will be no misuse of other people’s data to register prepaid customers,” BRTI’s member, I Ketut Prihadi said.

Basically, the new draft regulation will patch up the failure of the prepaid registration policy which was previously said to overcome SMS / telephone spam. The rest is yet to know whether the new policy is applicable. No doubt, as long as there is no policy intends to protect the industry from unlicensed organizers, the stories of illegal fintech lending with tens of billions of revenue like the one in Pluit will keep repeating.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Pasar yang terus tumbuh dan celah regulasi ialah kombinasi yang bisa membuat imbauan OJK agar FP2PL tak berkantor di Central Park dan Pluit jadi sia-sia

Yang Tak Terkatakan dari Imbauan OJK Soal “Fintech Lending” Ilegal

Fintech, terutama peer to peer lending (FP2PL), memang masih naik daun di Indonesia. Namun pertumbuhan industri ini juga turut dinikmati pelaku fintech lending ilegal. Meski penegak hukum dan otoritas berwenang mengejar, FP2PL ilegal ini dapat bertahan dan berlipat ganda.

Penindakan terhadap praktik ilegal tersebut paling anyar terjadi pada 20 Desember 2019 lalu. Sebuah operasi oleh Polres Metro Jakarta Utara mengungkap praktik culas kantor peminjaman online (pinjol) bernama PT Vega Data dan PT Barracuda Fintech di wilayah Penjaringan, Jakarta Utara, tepatnya di Mal Pluit Village. Polisi menetapkan 5 tersangka dari total 76 karyawan saat penggrebekan itu.

Salah satu imbas penggrebekan terhadap fintech lending tak berizin itu adalah surat imbauan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dalam surat itu, OJK mengimbau fintech berizin untuk menghindari kawasan Pluit dan Central Park di Jakarta Barat sebagai tempat mereka berkantor.

OJK menyebut ada indikasi pelaku fintech ilegal tadi beroperasi dalam bentuk sindikat sehingga mereka cenderung bergerak dari lokasi yang sama. Imbauan untuk tidak berkantor di dua tempat tadi, menurut OJK, menjadi bagian dari upaya pencegahan.

“Mengingat fintech ilegal dapat beroperasi seperti siluman dalam melakukan intimidasi kepada pengguna, dan dalam rangka perlindungan bagi masyarakat secara luas, maka langkah pencegahan sangat diperlukan, sekaligus untuk menjaga kualitas dan reputasi fintech lending terdaftar dan atau berizin OJK,” ucap Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Financial Technology OJK Hendrikus Passagi kepada DailySocial.

Kendati demikian, perlu dipahami bahwa upaya pemberantasan FP2PL ilegal tak sekali ini terjadi. Operasi serupa sudah dilakukan beberapa kali sebelumnya. Ada sejumlah faktor yang memungkinkan FP2PL tak berizin tetap bermunculan dan menjerat nasabah baru.

Pasar yang besar

Bisnis pinjam-meminjam tumbuh dengan mantap setiap tahun. Pada 2017 saja, lending berkontribusi 15 persen dari total transaksi fintech di Indonesia. Indikator lainnya adalah nominal uang yang disalurkan kepada nasabah terus meningkat.

Data OJK sepanjang 2019 menunjukkan total pinjaman yang sudah disalurkan oleh fintech lending mencapai Rp68 triliun. Angka itu tumbuh 200% dari sekitar Rp22,66 triliun pada tahun sebelumnya. Pertumbuhan ini terbilang sangat pesat.

Maka tak heran pelaku bisnisnya terus bertambah, baik yang legal maupun ilegal. OJK menyebut jumlah perusahaan fintech lending yang terdaftar hingga Desember kemarin berjumlah 25 perusahaan, sedangkan yang ilegal jumlahnya mencapai ribuan.

Mengenai fintech lending ilegal itu, platform yang mereka gunakan cukup beragam. Ada yang operasinya berbasis aplikasi, situs web, atau sekadar SMS blast yang berlanjut via aplikasi pesan instan seperti WhatsApp. Kementerian Komunikasi dan Informatika, sebagai bagian dari Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi bentukan OJK, mengklaim sudah 4.020 fintech ilegal mereka blokir sepanjang dua tahun terakhir.

Masih Ada Celah

Melihat upaya pemerintah dalam membasmi fintech ilegal ini serupa menghabisi cendawan di musim hujan. Penindakan tak henti-henti terjadi karena masih ada celah yang dapat dimanfaatkan para pelanggar hukum tersebut.

Celah paling besar adalah ketiadaan payung hukum yang dapat mencegah lahirnya pinjol nakal. Hendrikus mengakui absennya peraturan tersebut jadi alasan utama maraknya fintech lending ilegal.

Lubang lain yang mungkin terlewatkan oleh otoritas pengawas, terutama oleh sistem Kemenkominfo, adalah penggunaan fitur SMS untuk mengakali pengawasan darri sistem pemerintah maupun penyedia sistem operasi. Dikutip dari Kompas, kantor layanan fintech yang di Pluit yang digrebek polisi memanfaatkan SMS berantai secara acak. Dari SMS itu, calon korban akan digiring ke sebuah situs via tautan yang tertera di dalamnya. Mereka nantinya akan dimintai sejumlah data untuk memproses pinjaman seperti Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, hingga Nomor Pokok Wajib Pajak.

Di sisi lain, melarang suatu kawasan sebagai tempat fintech lending beroperasi justru bisa tidak beralasan. Melihat betapa dinamisnya pergerakan sindikat pinjol ilegal, tempat hanyalah tempat. Dengan kondisi pasar yang tengah bergairah dan berbagai celah yang ada, mereka bisa hidup di mana saja.

Harapan untuk Perbaikan

Selain berharap munculnya undang-undang yang dapat menghukum penyelenggara fintech lending tak berizin, ada satu rencana pemerintah yang dapat diharapkan jika nanti sudah direalisasi.

Kominfo, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), dan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil saat ini sedang menggodok pembaruan registrasi pelanggan seluler prabayar. Rencana ini nantinya memungkinkan operator seluler memakai mekanisme know your customer seperti halnya di perbankan.

Mekanisme ini akan melibatkan teknologi biometrik untuk memastikan identitas pemilik nomor prabayar tadi benar-benar valid. Sebaliknya, jika data yang diberikan pelanggan tidak cocok dengan data yang terekam di sistem Dukcapil, maka ada sanksi yang menunggu.

“Misalnya dengan face recognition technology, finger print, atau iris recognition. Dengan catatan, operator bertanggung jawab penuh terhadap validitas pelanggannya. Jadi dengan cara ini, diharapkan tidak akan terjadi lagi penyalahgunaan data orang lain untuk melakukan registrasi pelanggan prabayar,” ucap anggota BRTI I Ketut Prihadi.

Pada dasarnya rancangan peraturan baru itu akan menambal kegagalan kebijakan registrasi prabayar yang sebelumnya disebut akan mengatasi SMS/telepon spam. Selebihnya, belum diketahui kapan kebijakan baru itu dapat diterapkan. Maka jangan lagi heran selama kebijakan yang diputuskan untuk melindungi industri dari penyelenggara tak berizin ini masih nol, kisah-kisah penggrebekan kantor pinjol ilegal yang beromset puluhan miliar seperti di Pluit tadi akan kembali terjadi.

The Ministry Regulation regarding IoT is to be issued by the end of the year will regulate three main things, technology, frequency, and standardization

Ministry Regulation Regarding IoT to be Issued by the End of this Year, Connectivity as the Main Focus

The government, through the Ministry of Communication and Information (Kemkominfo), targeting the regulation regarding Internet of Things (IoT) industry to be issued by the end of 2018. It was meant to give legal guarantee for IoT industry players in the future.

However, IoT’s regulation draft is currently on its way to the Kemkominfo’s Legal Department and waiting for the government to make public trial to collect opinions from related stakeholders.

“Regarding public trial, we haven’t decided yet. However, the regulation to be issued will be in the form of Ministry Regulation (Permen),” I Ketut Prihadi Kresna, Indonesia’s Telecommunication Regulatory Department, said in a short statement to DailySocial.

IoT regulation will be focused on the connectivity element. There are three main points to regulate, technology, frequency, and standardization of IoT devices. Those are considered to be the most fundamentals in determining the objective of Indonesia’s IoT ecosystem development in the future.

M. Hadiyana, Kemkominfo’s SDPPI Director General, said that they will hold a trial in unlicensed frequencies to ensure no interference with telco operator’s frequency.

It’s the most awaited moment of IoT industry players in Indonesia using Low Power Wide Area (LPWA) technology, such as DycodeX. In fact, the government will control the kinds of technology to support IoT devices in Indonesia, either using 3GPP, non-3GPP, and non-satellite.

In terms of 3GPP-based devices, the supporting technologies are 2G/3G/4G/5G/NB-IoT. For non-2GPP and non-satellite devices, there are LPWA using LoRa and Sigfox technology, also Short Range Devices (SDR), such as Bluetooth, WiFi, and Zigbee.

The spectrum allocation for IoT device connection will be set based on licensed and unlicensed frequencies. The licensed ones consist of; Band 1 (2.100MHz), Band 3 (1.800MHz), Band 5 (800MHz), Band 8 (900mHz), Band 31 (450mhZ), and Band 40 (2.300MHz). In the unlicensed category, we have 2,4GHz and 5,8GHz.

TKDN is not yet a concern in IoT policies

The government doesn’t want to include a policy on Domestic Components (TKDN) in IoT Regulation. The thing is, the device market value as predicted of IDR 56 trillion is far less than the estimated content and application market value of IDR 192,1 trillion by 2022 according to Indonesia’s IoT Forum research.

“TKDN will not be regulated because the IoT devices market value in Indonesia is still lower than its app market. Later, when domestic device industry has developed and ready to take an opportunity in the Indonesian market, we can apply the TKDM policy,” he added.

Once it’s being regulated, the government ensures TKDN will not be applied to the manufacturing process but also from the product designing. TKDN percentage will be upgraded according to the industrial condition, therefore the domestic component industry will grow along.

While waiting for the industry to develop, the government encouraged for the rise of IoT maker in the area through the development of IoT lab facility in 2019. It’ll be a place for the makers to develop products and facilitate its commercialization in the future.

In the IoT roadmap presentation, this facility will be attached with 2G/3G/LTE/NB-IoT/LoRa technology with trial equipment for IoT solution. In the program development and implementation, the government expects a collaboration of relevant stakeholders, from telecommunication companies, universities, and communities.

Specifically, there are many activities to do in IoT lab. The maker can do prototyping, IoT device trials, exchanging insights, training, and incubation, including meetings between producers and customers.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Peraturan Menteri tentang IoT yang direncanakan terbit akhir tahun akan mengatur tiga hal utama, yaitu teknologi, frekuensi, dan standarisasi

Peraturan Menteri tentang IoT Terbit Akhir Tahun, Konektivitas Jadi Fokus Utama

Pemerintah, melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), menargetkan aturan terkait industri Internet of Things (IoT) segera terbit pada akhir 2018. Kebijakan ini diharapkan dapat memberi kepastian hukum terhadap pelaku industri IoT di masa depan.

Adapun, saat ini draf regulasi IoT telah diserahkan ke Bagian Hukum Kemkominfo dan tinggal menunggu pemerintah membuka uji publik untuk meminta berbagai masukan dari para pemangku kepentingan (stakeholder) terkait.

“Soal uji publik, kami belum tahu kapan akan dilakukan. Tapi, aturan IoT yang diterbitkan nanti dalam bentuk Peraturan Menteri [Permen],” kata anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) I Ketut Prihadi Kresna dalam pesan singkatnya kepada DailySocial.

Regulasi IoT sendiri akan fokus terhadap elemen konektivitas. Ada tiga poin utama yang akan diatur di dalamnya, yaitu teknologi, frekuensi, dan standardisasi perangkat IoT. Ketiganya dianggap menjadi fundamental utama dalam menentukan arah pengembangan ekosistem IoT Indonesia di masa depan.

Dirjen Standardisasi Perangkat dan Pos Informatika Kemkominfo M. Hadiyana menambahkan, pihaknya juga akan menggelar uji coba (trial) di frekuensi tak berlisensi untuk memastikan tidak adanya interferensi dengan frekuensi milik operator telekomunikasi.

Hal ini paling ditunggu pelaku bisnis IoT di Indonesia yang menggunakan teknologi Low Power Wide Area (LPWA), seperti DycodeX. Sebagaimana diketahui, pemerintah akan mengatur jenis teknologi yang dapat mendukung perangkat IoT di Indonesia, baik yang memanfaatkan 3GPP, non-3GPP, dan non-satelit.

Untuk perangkat berbasis 3GPP, teknologi yang mendukung antara lain 2G/3G/4G/5G/NB-IoT. Sementara non-3GPP dan non-satelit yakni LPWA dengan teknologi LoRa dan Sigfox, serta Short Range Device (SDR), seperti Bluetooth, WiFi, dan Zigbee.

Alokasi spektrum untuk koneksi perangkat IoT juga akan diatur berdasarkan frekuensi berlisensi maupun tidak berlisensi. Frekuensi berlisensi terdiri dari; Band 1 (2.100MHz), Band 3 (1.800MHz), Band 5 (800MHz), Band 8 (900mHz), Band 31 (450mhZ), dan Band 40 (2.300MHz). Di kategori tidak berlisensi, terdapat frekuensi 2,4GHz dan 5,8GHz.

“Untuk layanan IoT dengan teknologi Low Power Wide Area, kami akan lakukan trial pada frekuensi 919MHz-925MHz pekan depan,” tutur Hadiyana kepada DailySocial.

TKDN belum akan diatur dalam kebijakan IoT

Pemerintah belum mau menyertakan kebijakan mengenai Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) dalam Permen IoT. Alasannya, nilai pasar perangkat yang diprediksi Rp56 triliun kalah jauh dari estimasi nilai pasar konten dan aplikasi yang sebesar Rp192,1 triliun menurut riset Indonesia IoT Forum di 2022.

“TKDN tidak akan diatur karena nilai pasar perangkat IoT di Indonesia masih kecil jika dibandingkan nilai pasar aplikasi. Nanti ketika industri perangkat dalam negeri sudah berkembang dan siap memanfaatkan peluang pasar Indonesia, kami bisa saja memberlakukan kebijakan TKDN,” jelas Hadiyana.

Apabila diatur, pemerintah memastikan TKDN dihitung tak hanya proses manufaktur saja, tetapi juga sejak proses perancangan produk terjadi. Persentase TKDN juga akan dinaikkan sesuai dengan kondisi industri agar industri komponen dalam negeri juga tumbuh.

Sambil menunggu industrinya berkembang, pemerintah mendorong inisiasi lahirnya lebih banyak maker IoT di Tanah Air melalui pembangunan fasilitas laboratorium IoT di 2019. Lab IoT ini akan menjadi wadah bagi maker untuk melakukan pengembangan produk sehingga mempermudah komersialisasi produknya di masa depan.

Dalam paparan roadmap IoT, fasilitas ini akan dilengkapi teknologi 2G/3G/LTE/NB-Iot/LoRa beserta perangkat uji coba solusi IoT. Dalam pembangunan dan pelaksanaan program di dalamnya, pemerintah mengharapkan kolaborasi pemangku kepentingan terkait, mulai dari perusahaan telekomunikasi, universitas, dan komunitas.

Secara spesifik, banyak kegiatan yang dapat dilakukan di lab IoT. Maker dapat melakukan prototyping, pengujian perangkat IoT, pertukaran ilmu, pelatihan dan inkubasi, termasuk terciptanya pertemuan antara produsen dan pengguna.