Ketika tim Binus University menjadi juara dari (Indonesia Esports League) IEL University Series tahun ini, mereka mendapatkan kesempatan untuk menjadi perwakilan Indonesia dalam cabang esports untuk game Mobile Legends dan Dota 2. Esports memang menjadi salah satu cabang olahraga yang akan dipertandingkan dalam SEA Games. Jika dalam Asian Games tahun lalu pertandingan esports tak lebih dari pertandingan eksibisi, tahun ini, esports akan menjadi cabang olahraga dengan medali. Ini menunjukkan bahwa esports memang tak lagi bisa dipandang sebelah mata. Meskipun begitu, masih ada sentimen negatif terhadap esports di kalangan masyarakat Indonesia.
Dalam acara IDBYTE yang diadakan di ICE BSD pada Jumat, 13 September, President Indonesia Esports Premier League (IESPL), Giring Ganesha mengatakan, salah satu masalah terbesar yang dihadapi pelaku industri esports adalah meyakinkan publik bahwa esports tidak melulu berdampak negatif. “Yang paling berdarah-darah adalah harus berbicara ke semua orang kalau esports dan game itu harus didukung,” katanya di atas panggung. Dia menyebutkan, esports dan game adalah bagian dari ekonomi kreatif. Dan meskipun industri pembuatan game lokal masih belum besar, tapi industri tersebut memiliki potensi besar.
Sementara itu, CEO ESIDTV, Gisma Priayudha, yang dikenal sebagai caster Dota 2, Melon, menceritakan pengalamannya ketika dia turut mendukung High School League (HSL) 2018 yang diadakan oleh JD.id. Saat itu, dia harus ikut melakukan roadshow untuk bertemu dengan orangtua siswa dan meminta izin sekolah agar siswanya boleh bertanding dalam liga ini. Dia bercerita, kepala sekolah salah satu SMK di Bekasi sempat menolak. Namun, ketika tim dari SMK itu berhasil juara, sang kepala sekolah justru berubah pikiran dan meminta tambahan komputer. Selain memenangkan turnamen, menurutnya, cara lain untuk memperbaiki persepsi masyarakat tentang esports adalah dengan melakukan edukasi tentang efek positif esports pada masyarakat oleh tim profesional dan komunitas.
CEO dan Co-founder RRQ, Andrian Pauline yang akrab dengan panggilan AP, mengatakan, RRQ telah aktif untuk datang ke SD, SMP, dan SMA. Menurut AP, alasan mereka melakukan itu karena masih banyaknya informasi buruk tentang esports. “Para orangtua masih takut anaknya tidak belajar atau main terus. RRQ punya tanggung jawab moral untuk melakukan edukasi dan sosialisasi bahwa tim profesional punya jadwal bermain. Rata-rata, pemain RRQ main sehari enam jam, maksimal,” katanya. “Karena lebih dari itu, mata lelah, jadi tidak maksimal. Selain itu, juga ada evaluasi, jadi tidak melulu main. Pola tidur dan makan dijaga. Untuk olahraga fisik, seminggu ada dua kali kegiatan. Banyak orang yang tidak tahu, untuk menjadi pro player, tidak mudah. Harus disiplin latihan. Saya ingin memberitahu hal ini pada orangtua.”
Menurut AP, esports itu tidak seharusnya menjadi momok bagi orangtua. Sebaliknya, orangtua justru bisa menjadikan esports dan game sebagai insentif bagi anak untuk bisa berprestasi di sekolah. Dia bercerita, saat kecil, orangtuanya mengizinkan dia untuk bermain game hanya jika nilainya di sekolah bagus. “Akhirnya, saya belajar supaya nilai saya bagus, karena saya mau main game,” ujarnya.
JD.id mengumumkan keberadaan HSL pada September tahun lalu. Ketika itu, Dota 2 menjadi game yang dijadikan sebagai liga, sementara Mobile Legends menjadi game eksibisi. Alasannya, dua game MOBA ini dianggap dapat mendorong para pemainnya untuk bekerja sama, melatih pemain untuk memikirkan strategi, serta menciptakan sifat disiplin dan sportif. Presiden HSL, Stevanus mengatakan, esports bisa membangun mental para pemainnya dan menjadi aktualisasi diri bagi pemain. Hal serupa diungkapkan oleh psikolog anak dan keluarga, Nina Anna Surti Ariani. Total hadiah HSL mencapai Rp1,2 miliar. Namun, hadiah tersebut berupa beasiswa, bantuan penyediaan kurikulum esports, dan juga biaya untuk guru pembimbing ekstrakurikuler esports.