Pemerintah resmi melarang TikTok memfasilitasi transaksi jual beli di Indonesia. Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) pun menggelar focus group discussion (FGD) bersama Kementerian Perdagangan dan asosiasi UMKM, dengan tema “Pro dan Kontra S-Commerce pada Ekonomi Digital” yang digelar pada awal pekan ini (25/9).
Wakil Ketua Umum idEA Budi Primawan menyampaikan, asosiasi berusaha memfasilitasi komunikasi dan ruang untuk menyampaikan pendapat secara terbuka dan lengkap dari berbagai pihak, seperti pemangku kebijakan, pelaku industri digital, pelaku usaha. “Sehingga seluruh peserta dapat mendengar dan memahami secara menyeluruh terkait isu social commerce ini,” ujarnya dalam keterangan resmi.
Ketua Bidang Business & Development idEA Mohammad Rosihan menilai sepinya penjualan di pasar offline bukan semata lantaran peralihan perilaku konsumen ke digital, melainkan menurunnya pembelian dari pelaku usaha di daerah yang menyangkut turunnya daya beli. Ini menurut pendapatnya yang juga pelaku usaha.
“Kami tidak lagi banyak yang membeli ke Tanah Abang, karena penjualan di daerah juga sepi. Mungkin ini juga menyangkut turunnya daya beli,” ujarnya.
Pendapat Rosihan didukung dengan testimoni dari salah satu pelaku usaha yang menggunakan semua kanal digital, Andre. Ia mengaku memperoleh keuntungan dengan memanfaatkan social commerce. “Dengan sistem algoritma yang diberlakukan, penjualan bisa terdongkrak,” kata dia.
Produk yang Andre jual merupakan hasil kerja sama dengan konveksi lokal. Jadi pihaknya juga membantu mendorong penjualan produk dalam negeri. Pada akhirnya, ia dapat menjualnya dengan harga dan keuntungan yang tidak terlalu besar, tapi penjualannya bisa banyak. “Memang ada insentif diskon dari platform tersebut, namun kuotanya terbatas.”
Pengumpulan dan transfer data yang diduga terjadi dinilai menjadi salah satu penyebab tingginya penjualan di social commerce. Hal tersebut disinyalir pada berseliwerannya produk impor, baik legal maupun illegal, dengan harga yang tidak masuk akal karena sangat murah.
Terkait soal itu, Peneliti industri digital Ignatius Untung menyampaikan pro-kontra sebenarnya tidak perlu. Menurutnya, transfer data ini dilakukan oleh semua platform digital untuk relevansi pencarian yang juga membantu konsumen. “Pemilik Google, e-commerce, media sosial berbeda, tapi melakukan yang sama,” kata Untung.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia Harris Sofyan juga khawatir dengan pelaku usaha besar yang mampu mengikuti perkembangan dengan ikut program afiliator. “Pemain besar mungkin bisa mendorong tayangnya produk, banting harga, dan lainnya,” kata Harris.
Di satu sisi, banyak pelaku UMKM yang mengeluh mau mencoba bertransformasi tapi kurang literasi. Misalnya sudah live di TikTok Shop, tapi secara penjualan belum maksimal. “Oleh karena itu, perlu pelatihan dan program literasi digital utamanya untuk UMKM di daerah supaya mereka mendapatkan manfaat yang optimal dari social commerce.”
Menanti aturan social commerce
Di lain pihak, revisi Peraturan Menteri perdagangan RI (Permendag) No. 50 sangat dinanti untuk kejelasan aturan operasional social commerce. Direktur Perdagangan Melalui Sistem Elektronik dan Perdagangan Jasa Kementerian Perdagangan Rifan Ardianto mengatakan aturan tersebut sudah siap untuk diajukan ke Kemenkumham setelah melewati harmonisasi dan mendapat surat persetujuan dari presiden.
“Kami berupaya tidak ada bisnis yang menguasai dari hulu ke hilir. Kami berusaha membuat definisi yang clear terkait retail online, marketplace, social-commerce.”
Ia juga menjelaskan akan ada tindak lanjut revisi Permendag tersebut melalui komunikasi dengan Kemenkominfo terkait strategi mengidentifikasi platform media sosial dan lainnya. Kominfo nantinya akan berfokus pada penguatan ekosistem e-commerce-nya. Mengatur hardware, software, tata kelola, dan orang.
“Kementerian lain pada penguatan sektoralnya,” tambah Direktur Ekonomi Digital Kementerian Komunikasi dan Informatika I Nyoman Adhiarna.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Umum idEA Hilmi Adrianto berharap masih ada ruang diskusi terkait penerapan Revisi Permendag No. 50 tersebut. Ia menegaskan pelaku industri digital siap untuk duduk bersama pemangku kebijakan untuk mencari cara terbaik dan tepat untuk menerapkan aturan yang bisa mendorong lajunya pertumbuhan ekonomi digital Indonesia.
“Dan untuk bisa menindaklanjuti penerapannya, kami berharap untuk bisa mendapatkan peraturan ini secara lengkap. Kami akan mengkaji apa saja yang perlu dilakukan nantinya,” pungkasnya.
The Indonesian E-commerce Association (idEA) appointed Bima Laga as the new Chairman for the 2020-2022 management period, replacing the last one, Ignatius Untung. Bima currently serves as AVP of Public Policy and Government Relations at Bukalapak.
While at the association, he has joined the two previous management. First, as the Head of Tax, Cybersecurity, Infrastructure. Second, as Chair of Indonesia’s Digital Economy. Armed with his previous experiences, he wants to strengthen the digital economy and keep it as the focus of idEA’s work during his realm.
In a virtual interview with a limited number of media last week (4/9), Bima said that he wanted to achieve the mission to maintain the existence of idEA as an association in the digital economy, as a partner of the government and regions in the planning of regulations in the creation of Indonesian business climate.
Next, expand the opportunities for micro, small, and medium businesses to take advantage of the digital platform by facilitating onboarding activities and digital sales training. Another mission is to make idEA an independent and open association as a space for all lines of digital economy business.
“In the short term, we want to help make it easier for MSMEs onboarding to digital platforms, that’s one of them. For the long term, we want the marketplace to compete at the international level, therefore, exports will be much easier,” he explained.
In order to harmonize these missions, Bima arranged the management of idEA under 10 working groups (pokja). Each will represent issues and solutions to problems in the digital economy. The 10 working groups are a.l. trade and export sector, data and cybersecurity sector, consumer protection sector, MSME empowerment sector and creative economy, research, and development sector.
Next, the field of taxation and financial technology, the field of logistics and transportation, the field of manpower and human resources, the field of local government relations, and the field of public communication.
Basically the working group was much more detailed and specific than the previous management under Untung. At that time, Untung divided it into four, government relations, external relations, internal relations, and business development & supporting services.
Moreover, the preparation of this work program on these two management offices is a form of the widening focus of idEA’s work which is no longer just an association for e-commerce players, but for the digital economy. The membership contains not only by e-commerce players but also by verticals in other technology industries.
Bima will continue several programs that have been implemented during his previous management to support the plans he has made. One of them is the idEA Works job fair program to attract more digital talents in vocational schools who are ready to work and in accordance with industry needs.
In this regard, he continued, the association is in discussion with the edtech players to collaborate in order to support the mission of preparing new talents. Especially during this pandemic, the entire process of absorbing new workers has shifted to a digital platform. Therefore, talents must be prepared from the start.
“During the pandemic, according to BPS, the still-growing industries are pharmaceuticals and technology. The rest is minus, it means that the technology industry is promising and there is momentum for a rebound. ”
In terms of strengthening regulations such as PP Number 80 of 2019 concerning Trade Through Electronic Systems (PP PMSE), Bima said that his team would continue to oversee its implementation and participate in delivering more effective input. Cyber issues and consumer data protection have recently become sensitive issues and need to be addressed immediately.
During this pandemic, associations played a role in encouraging MSMEs to go digital. You do this by actively holding online workshops that provide beneficial education and mobilizing the National Proud Movement of Indonesia (Gernas BBI). On this occasion, during the May-August 2020 period, it was said that there were 1.6 million new entrepreneurs who joined.
“This is a program of economic recovery by shopping. If people buy local products, then we can move the economy, regardless of what products they buy. The hope is that this will become a sustainable activity and become a roadmap for the country’s economic recovery in the future,” Bima concluded.
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) menunjuk Bima Laga sebagai Ketua Umum baru untuk kepengurusan periode 2020-2022, menggantikan Ignatius Untung yang telah berakhir. Bima saat ini menjabat sebagai AVP of Public Policy and Government Relation di Bukalapak.
Sementara di asosiasi, dia sudah bergabung dalam dua kepengurusan sebelumnya. Pertama, sebagai Ketua Bidang Pajak, Cybersecurity, Infrastruktur. Kedua, sebagai Ketua Bidang Ekonomi Digital Indonesia. Berbekal dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, ia ingin menuangkan penguatan ekonomi digital sebagai fokus kerja idEA selama masa kepemimpinannya.
Dalam wawancara terbatas secara virtual bersama sejumlah media pada pekan lalu (4/9), Bima mengatakan misi yang ingin dicapai adalah mempertahankan eksistensi idEA sebagai asosiasi di bidang ekonomi digital sebagai mitra pemerintah dan daerah dalam perumusan regulasi dan pembentukan iklim usaha di Indonesia.
Lalu, memperluas peluang usaha mikro, kecil, dan menengah untuk memanfaatkan platform digital dengan memfasilitasi kegiatan onboarding dan pelatihan penjualan secara digital. Misi lainnya adalah menjadikan idEA sebagai asosiasi yang independen dan terbuka sebagai bernaungnya semua lini bisnis ekonomi digital.
“Untuk jangka pendeknya, kami ingin bantu permudah UMKM onboarding ke platform digital, itu salah satunya. Kalau untuk jangka panjang, kami ingin marketplace bisa bersaing di tingkat internasional, sehingga ekspor jauh lebih mudah,” terangnya.
Untuk menyelaraskan misi-misinya tersebut, Bima menyusun kepengurusan idEA di bawah 10 kelompok kerja (pokja). Masing-masingnya akan mewakili isu-isu dan pemecahan masalahnya di dalam ekonomi digital. 10 pokja tersebut a.l. bidang perdagangan dan ekspor, bidang data dan keamanan siber, bidang perlindungan konsumen, bidang pemberdayaan UMKM dan ekonomi kreatif, bidang riset dan pengembangan.
Berikutnya, bidang perpajakan dan teknologi finansial, bidang logistik dan perhubungan, bidang ketenagakerjaan dan SDM, bidang hubungan pemerintah daerah, dan bidang komunikasi publik.
Pada dasarnya pokja tersebut jauh lebih rinci dan spesifik dari kepengurusan sebelumnya di bawah Untung. Pada waktu itu, Untung membaginya jadi empat, yakni government relation, external relation, internal relation, dan business development & supporting service.
Terlebih itu, penyusunan program kerja ini pada dua kepengurusan ini adalah bentuk dari meluasnya fokus kerja idEA yang tak lagi sekadar asosiasi untuk pemain e-commerce saja, melainkan untuk ekonomi digital. Pasalnya dalam keanggotaannya juga tidak hanya diisi oleh pemain e-commerce tapi juga vertikal di industri teknologi lainnya.
Bima akan melanjutkan beberapa program yang sudah dijalankan semasa kepengurusan sebelumnya untuk mendukung rencana-rencana yang sudah ia buat. Salah satunya adalah program job fair idEA Works untuk menjaring lebih banyak talenta digital di SMK yang siap kerja dan sesuai dengan kebutuhan industri.
Berkaitan dengan itu, sambungnya, asosiasi sedang berdiskusi dengan pemain edtech untuk berkolaborasi dalam rangka mendukung misi persiapan talenta baru. Terlebih dalam masa pandemi ini, seluruh proses penyerapan tenaga kerja baru mengalami pergeseran ke platform digital. Oleh karenanya, talenta harus dipersiapkan sedari awal.
“Selama masa pandemi, menurut BPS, industri yang masih tumbuh adalah farmasi dan teknologi. Selebihnya minus, artinya industri teknologi ini menjanjikan dan ada momentum untuk rebound.”
Dari segi penguatan regulasi seperti PP Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PP PMSE), Bima menyebutkan pihaknya akan terus mengawal implementasinya dan turut berpartisipasi dalam menyampaikan masukan yang lebih efektif. Isu siber dan perlindungan data konsumen belakangan ini menjadi isu yang sensitif dan perlu penanganan segera.
Selama pandemi ini, asosiasi turut berperan dalam mendorong UMKM untuk go digital. Caranya dengan aktif menggelar workshop online yang memberi edukasi manfaat dan menggerakkan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI). Dalam kesempatan tersebut, selama periode Mei-Agustus 2020 dikatakan ada 1,6 juta pengusaha baru yang bergabung.
“Ini adalah program pemulihan ekonomi dengan berbelanja. Bila masyarakat beli produk lokal, maka kita bisa menggerakkan ekonomi, terlepas dari apapun produk yang dibeli. Harapannya ini akan jadi kegiatan berkelanjutan dan jadi roadmap untuk pemulihan ekonomi negara ke depannya,” tutup Bima.
Pertumbuhan bisnis yang mengesankan, dibarengi dengan pengembangan teknologi berkelanjutan menjadikan Amazon sebagai salah satu kiblat inovasi di sektor e-commerce. Menyadur data terakhir perusahaan, pertumbuhan bisnis dari tahun 2018 ke 2019 telah mencapai 30%. Sementara 13% keuntungan didapat dari transaksi global, termasuk di kawasan Asia Pasifik.
Secara lebih mendetail, banyak hal yang bisa dipelajari dari kesuksesan perusahaan yang dinakhodai Jeff Bezos tersebut. Manajemen rantai pasokan (supply-chain management) jadi salah satunya, memungkinkan Amazon mengakomodasi ekspektasi pelanggan terkait pengiriman barang yang dilakukan cepat. Salah satu realisasinya dalam fitur “same day delivery”.
Dewasa ini konsep serupa masif diterapkan oleh pemain e-commerce di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Transformasi besar-besaran dilakukan agar memungkinkan jalur distribusi barang menjadi lebih efisien. Untuk beberapa pengiriman ke kota besar, khususnya wilayah Jabodetabek, platform seperti Tokopedia, Shopee, Bukalapak dan sebagainya sudah mungkinkan pengiriman sehari, manfaatkan kerja sama dengan aplikasi ride-sharing.
Mengapa rantai pasokan jadi aspek penting?
Proses rantai pasokan (supply chain) telah berubah dari masa ke masa. Di era sebelum e-commerce, prosesnya hanya melibatkan pembeli dan pemilik toko, karena transaksi terjadi secara langsung di tempat. Di era jual-beli online, aktivitasnya menjadi lebih panjang. Pada setiap aspek rantai pasokan terdapat berbagai aktivitas pertukaran informasi, transaksi dana, pengelolaan barang, manajemen logistik, hingga proses pelaporan.
Kemitraan strategis dengan pihak ketiga dijadikan solusi agar alurnya efisien. Masing-masing perusahaan dengan kompetensinya melakukan pengelolaan di masing-masing bidang. Misalnya, platform e-commerce fokus menyediakan kanal, perusahaan logistik konsentrasi pada distribusi produk dan perusahaan rantai pasokan sediakan gudang.
Di titik sekarang ini, fragmentasi layanan e-commerce justru menghadirkan permasalahan baru. Dengan ekspektasi sama soal pengiriman cepat, sistem logistik sering terseok-seok hadapi traksi pesanan yang membludak. Hal ini rutin terjadi di momen-momen khusus, misalnya perayaan hari belanja atau mendekati hari raya.
Tak mau pasrah dengan keadaan, beberapa perusahaan e-commerce mulai bangun infrastruktur secara mandiri. Seperti yang dilakukan Tokopedia melalui visinya untuk menjadi “Insftrastruktur as a Services” di sektor ritel. Mereka membangun layanan pemenuhan (fullfilment)TokoCabang untuk memperlancar proses distribusi produk.
Head of Fulfillment Tokopedia Erwin Dwi Saputra kepada DailySocial menceritakan cara kerjanya. “TokoCabang memungkinkan penjual menitipkan stok produk di gudang Tokopedia di berbagai daerah, terutama di wilayah di mana permintaan produk cenderung tinggi. Dengan layanan pemenuhan yang efisien, penjual kini tidak perlu lagi mempertimbangkan isu operasional pemenuhan pesanan, terutama ketika usaha penjual mulai berkembang pesat.”
Selanjutnya barang-barang tersebut dikelola pengirimannya oleh 12 mitra logsitik yang telah bekerja sama dengan Tokopedia. Selain lebih cepat, memungkinkan perusahaan memberikan ongkos kirim yang lebih terjangkau. Tokopedia menyebut fitur tersebut sebagai “instant delivery”.
Di fase awalnya, layanan TokoCabang tersedia di daerah Jakarta, Bandung dan Surabaya, kemudian akan terus bertambah hingga menjangkau seluruh penjuru di Indonesia di waktu mendatang.
Inovasi lain soal logistik
Visi penguatan logistik turut digaungkan oleh perusahaan lain. JD.id salah satunya, disampaikan President & CEO Zhang Li prioritas mereka saat ini mengupayakan layanan “same day delivery”, dimulai dari seluruh wilayah Jabodetabek. Layanan yang dimaksud memungkinkan pesanan dikirim ke pelanggan pada hari yang sama jika pemesanan dilakukan sebelum pukul 10.00 WIB.
Zhang mengklaim 85% pesanan di Jabodetabek telah memakai same day delivery. Angka tersebut turut menjadi pendorong memperkuat infrastruktur logistik, karena saat ini kecepatan tersebut jadi layanan unggulan. Untuk perluasan, pihaknya sudah bangun 11 gudang yang tersebar di berbagai kota, termasuk Medan, Makassar, Surabaya, Semarang dan Pontianak.
Praktiknya lebih kompleks dibandingkan di negara lain, pun bagi platform logistik JD.id yang terlebih dulu diaplikasikan di negara asalnya Tiongkok. Indonesia secara geografis miliki wilayah berpulau-pulau. Minimal logistik diakomodasi dengan dua moda transportasi, darat-laut atau darat-udara untuk menyeberang, diambil mana yang lebih efisien secara muatan, waktu dan biaya.
Melihat kondisi tersebut, Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung menyampaikan bahwa pengelolaan yang berbasis data menjadi penting.Menurutnya, di satu titik semua perusahaan membutuhkan pendekatan yang lebih end-to-end untuk memaksimalkan kebutuhan konsumen. Manajemen rantai pasokan juga masih menjadi fokus diskusi antar-anggota asosiasi.
Pendekatan berbasis data tadi memang jadi acuan penting. Soal logistik, sistem butuh algoritma tepat untuk menghasilkan analisis tentang jalur distribusi yang efisien. Termasuk untuk menentukan titik-titik gudang menampung produk.
Pendekatan berbeda dilakukan Bukalapak. Sembari menyempurnakan infrastruktur, mereka mencoba meningkatkan efektivitas pengiriman dengan menghadirkan platform terintegrasi. Mereka menyadari, bahwa bisnis logistik di Indonesia saat ini sangat banyak, terutama saat berbicara tentang pemain-pemain di tingkat daerah. Ada bisnis logistik yang punya spesialisasi kirimkan barang bermuatan besar, antar pulau melalui jalur laut hingga bisnis logistik yang menjangkau kawasan pelosok.
Fitur BukaPengiriman fokus membantu mitra penjual mengelola proses pengiriman. Mitra logistik ditempatkan dalam satu kanal terintegrasi, termasuk menawarkan layanan penjemputan agar pesanan dapat diproses secepatnya. Lagi-lagi prioritasnya untuk memenuhi tuntutan konsumen agar mendapatkan barang yang diinginkan dalam waktu yang cepat.
Butuh gebrakan manajemen rantai pasokan
Raksasa e-commerce seperti Amazon, Alibaba atau JD.com mulai merilis perangkat logistik manfaatkan kemajuan teknologi. Sebut saja pengiriman barang dengan pesawat nirawak (drone) atau mobil tanpa supir (driverless car). Misinya menghadirkan automasi dalam proses distribusi. Bahkan di gudang-gudang mereka, bantuan “lengan robot” juga sudah diterapkan untuk pangaturan barang yang lebih cermat.
Dengan kondisi yang ada di Indonesia, meninjau dari sisi infrastruktur publik dan tatanan sosio-ekonomi, pemain lokal juga terus dituntut untuk hadirkan gebrakan baru dalam sektor logistik. Harapan besar untuk 2020 dan tahun-tahun mendatang agar sistem rantai distribusi bisnis ritel di tanah air semakin membaik.
Digitalisasi logistik yang menyeluruh tidak hanya dari first atau last mile saja, tapi juga menyangkut bagaimana transaksi lintas batas negara bisa dipenuhi. Solusi ini belum menjadi perhatian para pemain startup karena banyak regulasi yang harus dipenuhi.
Ranah tersebut biasanya dimainkan oleh pemain incumbent seperti DHL dan FedEx. Kedua perusahaan ini lebih mengandalkan pada kekuatan aset berat dan sumber daya manusia yang berjumlah besar. Alhasil mengakibatkan harga pengiriman yang mahal, sementara konsumen tidak punya alternatif pilihan.
Peluang tersebut ingin digarap oleh startup logistik asal Singapura Janio. Startup ini mengadopsi pendekatan aset ringan dengan teknologi untuk mengintegrasikan ekosistem dengan para pemain logistik dalam berbagai rantai pasok, ketimbang menambah lebih banyak aset berat.
Kepada DailySocial, Co-Founder & COO Janio Syed Ali Ridha Madihid menjelaskan, bisnisnya mengoptimalkan kapasitas yang ada di pasar daripada bersaing secara langsung dengan pemain lama. Pihaknya bekerja sama dengan banyak perusahaan logistik yang ahli di berbagai proses pengiriman internasional, sehingga beroperasi sebagai jaringan lintas batas regional.
“Kami percaya bahwa kolaborasi teknologi sentris adalah kunci untuk menciptakan situasi dan nilai yang saling menguntungkan,” ujarnya.
Janio menggabungkan pelacakan real time, analisis terstruktur, dan komunikasi khusus pengiriman untuk membantu pengiriman paket lebih sederhana, namun akurat dalam sebuah platform terpusat.
Di dalam platform tersebut, berisi informasi saat barang masuk gudang, pengiriman first mile, proses bea cukai di bandara udara asal dan tujuan, distribusi, hingga pengiriman last mile. Layanan ini bisa dipakai untuk bisnis UKM maupun korporasi yang memulai ekspansi bisnis secara internasional.
Mitra perdana Janio untuk korporasi lokal adalah Bukalapak dalam layanan BukaGlobal. Janio menyediakan solusi pengiriman dan edukasi bagi para merchant Bukalapak yang ingin perdalam pemahaman mereka tentang pasar internasional.
“Saat ini kami mendukung BukaGlobal dengan pengiriman ekspor di lima jalur, yaitu dari Indonesia ke Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Hong Kong, dan Taiwan.”
Adapun, Janio sendiri menyediakan pengiriman hingga 12 negara, dari Asia Tenggara, hingga Korea Selatan, Jepang, Australia, dan Tiongkok.
Bermitra dengan idEA
Pada awal Desember 2019, Janio melakukan kemitraan dengan Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) untuk bantu pelaku lokal masuk ke pasar internasional. Ali menjelaskan, dalam kemitraan ini Janio menjadi expertise dalam bidangnya mengadakan berbagai lokakarya dan acara gabungan untuk memberikan wawasan agar mereka berhasil mengembangkan bisnisnya.
Pihaknya menyadari bahwa pengiriman e-commerce lintas negara lebih kompleks daripada di dalam negeri, oleh karenanya perlu bantuan dari kepentingan ekosistem utama seperti idEA dan keahlian dari pihak swasta untuk mengatasi isu tersebut.
“Kami berharap dapat lebih membantu pelaku usaha e-commerce Indonesia dengan mengatasi semua masalah yang mungkin mereka hadapi dalam ekspansi ke luar negeri.”
Di luar itu, komitmen Janio untuk pengembangan ekosistemnya adalah menyediakan volume impor internasional untuk pemain logistik Indonesia. Mitra dapat memanfaatkan jaringan regional Janio untuk memberikan jangkauan layanan yang lebih besar kepada klien mereka sendiri.
Dia mencontohkan, operator armada lokal Indonesia yang spesialisasi dalam pengiriman di Tangerang saja, sekarang tidak hanya dapat menerima lebih banyak bisnis melalui pengiriman yang datang dari luar Indonesia lewat jaringan Janio. Juga, memanfaatkan jaringan Janio dan menyediakan pengiriman internasional kepada pelanggan mereka di Tangerang.
“Ini memungkinkan mereka untuk memberi nilai tambah [kepada pengguna] dengan lebih banyak cara.”
Menurutnya, Indonesia punya peluang ekspor yang besar, tapi tantangannya dalam membangun ekosistem secara lokal juga tak kalah besar. Pasalnya, untuk menguatkan rantai pasok internasional, ekosistem di dalam negeri harus kuat dan dapat diandalkan.
“Fokus kami adalah memastikan aksesibilitas yang lebih baik dan kualitas solusi kami untuk memenuhi pertumbuhan ini,” pungkas Ali.
Di sini, Janio sudah memiliki tim lokal dan berkantor di Jakarta dibentuk pada pertengahan tahun 2019. Janio sendiri sudah membuka kantor di Hong Kong dan Malaysia.
Perusahaan masuk dalam salah satu portofolio Insignia Ventures, bersama startup logistik lainnya, seperti Shipper dan Logivan dari Vietnam.
Presiden Joko Widodo menandatangani aturan mengenai perdagangan melalui sistem elektronik atau e-commerce, tertuang dalam PP Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).
Aturan ini terdiri dari 19 bank dan 82 pasal, telah berlaku sejak diundangkan pada 25 November 2019.
Dalam beleid tersebut menjelaskan pelaksanaan transaksi melalui PMSE, baik dari sisi pelaku usaha, konsumen, hingga produk. Konsumen bisa mengadu secara online ke Menteri Perdagangan jika merasa dirugikan.
Definisi PMSE ini bisa merupakan pelaku usaha, konsumen, pribadi, atau instansi baik di dalam negeri maupun luar negeri. Artinya, siapa saja yang masuk ke dalam definisi tersebut bisa dilaporkan konsumen.
Poin ini tertuang dalam Pasal 18: “Dalam hal PMSE merugikan konsumen, konsumen dapat melaporkan kerugian yang diderita kepada Menteri,” seperti dikutip dari Katadata.
PMSE yang dilaporkan konsumen harus menyelesaikan pelaporan. Jika tidak, mereka akan masuk ke dalam daftar prioritas pengawasan oleh menteri. Yang mana di dalam daftar ini bisa diakses oleh masyarakat umum. Ketentuan lebih rinci akan diatur dalam Peraturan Menteri.
PP ini juga mewajibkan PMSE memerhatikan prinsip-prinsip itikad baik, kehati-hatian, transparansi, keterpercayaan, akuntabilitas, keseimbangan, serta adil dan sehat.
Khusus untuk pelaku usaha asing yang melakukan PMSE kepada konsumen Indonesia, yang memenuhi kriteria dianggap hadir secara fisik di Tanah Air. Oleh karenanya, mereka wajib tunduk terhadap peraturan perundang-undangan, termasuk pajak.
Kriteria yang dimaksud dapat berupa jumlah dan nilai transaksi, paket pengiriman, dan/atau traffic atau pengakses (user). Pelaku asing ini bisa menunjuk perwakilannya yang ada di Indonesia.
Pedagang harus berbadan usaha resmi
Poin lainnya yang paling mencuat dalam beleid adalah kewajiban pelaku usaha yang berjualan melalui e-commerce untuk memiliki izin usaha. Ini tertuang dalam Pasal 15: “Pelaku usaha wajib memiliki izin usaha dalam melakukan kegiatan usaha PMSE.”
Pemerintah menyiapkan kemudahan untuk permudah pelaku usaha jadi tertib, salah satunya bisa melalui sistem perizinan berusaha terintegrasi atau online single submission (OSS).
Namun, ada pengecualian untuk tidak memiliki usaha, yaitu penyelenggara sarana perantara yang bukan merupakan pihak yang mendapatkan manfaat secara langsung dari transaksi dan tidak terlibat langsung dalam hubungan kontraktual para pihak yang melakukan transaksi online.
Topik ini menjadi sorotan karena paling tegas ditolak oleh Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), terutama saat wacana pemberlakuan pajak e-commerce (PMK Nomor 210 Tahun 2018) pada awal tahun 2019.
Mereka ingin pemerintah membuat perlakuan yang adil dengan platform media sosial. Selama itu bisa dipenuhi pemerintah, dengan senang hati para pemain e-commerce akan patuh.
Akhirnya dari desakan tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani setuju untuk tidak mewajibkan pedagang online memiliki NPWP karena banyak di antara mereka yang memiliki penghasilan di bawah batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) di bawah Rp54 juta per tahun.
Dengan ditariknya PMK ini, pedagang online tidak lagi memiliki kewajiban melaporkan NPWP ke penyedia layanan marketplace. Sementara pihak marketplace tidak perlu mengembangkan sistem untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPh terkait penjualan barang dagangan.
Yang tetap berlaku adalah kewajiban perpajakan untuk UKM, berupa pajak final 0,5%, bagi mereka yang memiliki omzet di bawah 4,8 miliar Rupiah per tahun.
Saat PP Nomor 80 Tahun 2019 ini diberlakukan, muncul kembali kekhawatiran idEA yang selama ini ditakutkan, beralihnya para pedagang online ke platform media sosial. Di sana tidak diberlakukan sama sekali aturan, alias bebas dari cakupan pengawasan PP.
Hasil studi internal idEA pada awal tahun ini menunjukkan 95% pelaku UKM masih berjualan di platform media sosial. Hanya 19% yang sudah menggunakan marketplace.
Ibu saya makin mahir mengutak-atik media sosial dari smartphone-nya. Suatu saat ia iseng berkonsultasi tentang produk taplak meja yang tak sengaja ia temukan di Instagram.
“Motif taplak mana yang bagus?”. Saya yang lebih terbiasa belanja lewat platform e-commerce membalasnya dengan nada sangsi, “Yakin Bu mau beli lewat sini? Aku cariin di tempat biasa aku beli deh.”
Selang beberapa waktu, tiba-tiba ibu memanggilku ke kamarnya. Dia bilang, “Tolong kamu transfer uang ke rekening ini ya, nanti ibu kasih uangnya tunai.” Sontak aku bertanya lagi, “Ibu yakin? Tokonya benergak?” sambil saya cek isi chat ibu dengan penjualnya di WhatsApp.
Isinya tidak ada yang mencurigakan. Berhubung nilai barang yang ibu beli tidak terlalu mahal, akhirnya permintaan ku turuti. Paket pun datang beberapa hari kemudian, barang yang dipesan sesuai deskripsi.
Contoh keseharian di atas bisa menjadi contoh bagaimana kebiasaan orang belanja online saat ini. Ada yang cenderung tanya detail karena khawatir takut salah beli. Ada juga yang lebih suka cari di satu aplikasi, lalu dibanding-bandingkan dari segala sisi.
Disamping kekurangan dan kelebihan, belanja lewat media sosial punya banyak penggemarnya sendiri. Kebiasaan tersebut akhirnya membentuk dua kubu, belanja lewat media sosial atau platform e-commerce. Makin ke sini, sekat antara keduanya semakin jadi abu-abu, sehingga melahirkan konsep social commerce.
Laporan “Asia Social Commerce Report 2018” yang dirilis PayPal bersama Blackbox Research menunjukkan Instagram dan Facebook menjadi media sosial yang paling banyak digunakan penjual di Indonesia untuk mempromosikan bisnisnya.
Platform ini berkembang pesat karena mampu memberikan pengalaman yang berbeda dengan belanja offline. Sebab memungkinkan ada rekomendasi dari teman atau ulasan dari konsumen lainnya yang akhirnya memengaruhi keputusan calon konsumen untuk membelinya.
Studi ini melibatkan 4 ribu konsumen dari Tiongkok, India, Hong Kong, Singapura, Thailand, Filipina, dan Indonesia, serta 1.400 merchant UKM. Sebanyak 94% pedagang di Filipina memanfaatkan Facebook, begitu pula di Indonesia (92%), dan India (89%). Instagram paling banyak dipakai oleh merchant dari Indonesia (72%), Filipina (56%), dan Hong Kong (50%).
Dijelaskan juga tiga alasan utama berdagang di media sosial semakin diandalkan. Sebanyak 63% responden menilai platform ini lebih mudah meraih pasar potensial yang lebih luas; 57% responden menilai lebih gampang buka bisnis lewat media sosial; 48% responden mengatakan platform ini dapat meningkatkan jaringan teman dan kenalan yang bisa mendorong pertumbuhan bisnis.
Mendukung laporan di atas, dalam survei terbarunya, APJII menyebut Facebook (50,7%) sebagai media sosial yang paling banyak dikunjungi responden. Diikuti Instagram (17,8%), YouTube (15,1%), Twitter (1,7%), dan LinkedIn (0,4%).
APJII juga menyoroti layanan yang paling sering dipakai untuk belanja online. Posisi teratas ditempati oleh Shopee (11,2%), Bukalapak (8,4%), Lazada (6,7%), Tokopedia (4,3%), dan Traveloka (2,3%). Barang yang dibeli menurut responden adalah sandang (14,6%), buku (4%), aksesoris (3%), tas (2,9%), dan barang elektronik (3%).
Adapun prediksi nilai transaksi GMV dari online commerce mencapai $8 miliar di periode yang sama. Angka berasal dari kontribusi platform e-commerce resmi sebesar $5 miliar, dan informal commerce lebih dari $3 miliar (ada yang menyebut sampai $5 miliar).
McKinsey memproyeksikan angka GMV bakal menggelembung hingga $55 miliar-$65 miliar di 2022 mendatang. Informal commerce disebutkan berkontribusi sekitar $15 miliar-$25 miliar, sisanya dikuasai oleh e-commerce resmi.
Penetrasi online commerce bakal naik jadi 83% dari 74% di tahun yang sama. Secara paralel, rata-rata pengeluaran individu juga tumbuh dari $260 per tahun menjadi $620 di 2022.
Kenaikan platform e-commerce lantaran meningkatnya kepercayaan konsumen terhadap ekosistem dan makin banyak UMKM yang “go online,” variasi produk yang dijual semakin banyak, dan opsi pengiriman yang dapat diandalkan.
McKinsey mendefinisikan e-commerce resmi sebagai jual beli barang fisik melalui platform online yang memfasilitasi transaksi dengan menampilkan produk dan memungkinkan pembayaran dan pengiriman. Pemain yang masuk dalam kategori ini seperti Tokopedia, Blibli, Bukalapak, Lazada, Shopee, dan niche juga masuk Zalora, Hijup, Zilingo.
Sementara, informal commerce sebutan lain dari social commerce, memfasilitasi jual beli barang fisik melalui platform media sosial dan kirim pesan instan, seperti Facebook, Instagram, Line, dan WhatsApp, namun pembayaran dan pengiriman ditangani di tempat lain.
McKinsey menjelaskan social commerce memegang peranan penting dalam perkembangan transaksi digital di Indonesia. Lantaran, platform ini dipakai untuk jembatan menuju “go digital,” juga cara untuk menghindari biaya yang sangat tinggi dari iklan media tradisional, sebelum bermigrasi ke platform e-commerce resmi.
Revolusi fitur commerce di Facebook dan Instagram
Berdasarkan laporan di atas, bisa dikatakan Facebook dan Instagram bisa dikatakan sebagai media sosial paling dicintai semua orang. Indonesia menjadi salah satu negara utama buat platform besutan Mark Zuckerberg ini dalam menggenjot pendapatan iklannya.
Menengok laporan keuangan Facebook, total pengguna secara global tumbuh 8% yoy selama semester I 2019. Pengguna aktif harian (DAU) mencapai 1,59 miliar dengan pertumbuhan hampir 1,9% per kuartalnya. Kontributornya dari India, Indonesia, dan Filipina. Sementara, pengguna aktif bulanannya (MAU) mencapai 2,41 juta dengan pertumbuhan 1,3%.
Pendapatan Facebook mayoritas berasal dari bisnis iklan. Di periode yang sama, pertumbuhan bisnis iklan mencapai 28% menjadi $16,6 miliar (lebih dari 236 triliun Rupiah) dengan kontribusi 98,4% untuk keseluruhan pendapatan.
Di Indonesia sendiri, menurut We Are Social, pengguna Facebook ada lebih dari 130 juta akun dan 62 juta akun Instagram pada tahun lalu. Sementara, Twitter dan Snapchat tidak ada separuhnya, secara berturut-turut sebesar 6,43 juta dan 3,8 juta. Angka ini dilihat berdasarkan pengguna aktif bulanan (MAU).
Kue bisnis iklan digital yang begitu lezat ini, jadi manuver Facebook dalam memperkuat fitur commerce di dalam platform-nya sendiri, maupun di anak-anak usahanya. Namun, bila dibandingkan antara keduanya, Instagram dipercaya banyak ahli sebagai kandidat terkuat untuk mendalami social commerce.
Facebook punya fitur Marketplace resmi hadir di 2016, pengguna bisa melihat produk yang dijual pedagang dan menghubunginya lewat Messenger. Yang dijual bermacam-macam, tidak hanya fesyen saja tapi juga produk kecantikan, elektronik hingga properti.
Selain itu, ada fitur Buy and Sell Groups. Konsepnya seperti OLX, namun ada sedikit rasa Kaskus karena harus tergabung dalam grup komunitas untuk bisa bertransaksi. Disediakan pula Messenger untuk menghubungi penjual.
Dari segi penawaran memang menggiurkan, dengan pendekatan lokal, penjual ditawarkan kemudahan untuk menjajakan dagangannya selayaknya sedang berselancar di Facebook. Mereka bisa dilacak berdasarkan lokasi, harga, dan ketertarikan calon pembeli. Bahkan dapat pasang iklan agar terpampang di laman teratas.
Dibandingkan dengan Instagram, sejak awal fitur commerce diperkenalkan, Instagram terlihat lebih serius. Didukung dari basis awal sebagai aplikasi berbagi foto, visual jadi unsur yang paling ditonjolkan. Pun, konten visual jadi tren generasi muda dalam mengonsumsi konten di internet.
Setelah menyediakan profil bisnis dan layanan iklan, Instagram berhasil mengalahkan dominasi Snapchat sebagai video durasi singkat lewat Stories-nya. Kemudian, makin “gahar” setelah menambahkan IG Shop sebagai cikal bakal social commerce, memungkinkan pengguna untuk langsung belanja di akun bisnis dalam in-app browser.
Cukup tap foto yang diunggah profil bisnis, nanti akan terlihat tag harga barang dan tombol View on Website untuk diarahkan ke situs brand menyelesaikan pembayaran. Atau memasukkan produk ke dalam kolom wishlist. Fitur ini punya kelemahan karena pengguna harus keluar dari aplikasi untuk langsung membeli barang yang diincar.
Akhirnya muncul pembaruan teranyar, hadirnya fitur in-app checkout. Pengguna dapat menyimpan informasi pembayaran di Instagram untuk melakukan pembelian yang lebih cepat. Opsi pembayaran yang ada baru berbasis kartu, seperti Visa, Mastercard, Amex, Discover, dan PayPal.
Meski baru disediakan secara terbatas untuk 20 brand global, tapi kemungkinan besar keputusan ini bisa membawa Instagram jadi kandidat terkuat untuk social commerce ke depannya.
Di Indonesia, IG Shop baru sampai ke tahap cek harga lewat foto yang diunggah dan diarahkan ke situs brand. Itupun masih dalam tahap uji coba, baru sebagian profil bisnis yang bisa merasakannya.
“IG Shop masih percobaan di Indonesia, sehingga belum semua akun bisa dapat itu. Fitur ini punya tombol Shop Now untuk dorong konsumen lakukan pembelian atau reservasi di Instagram,” terang Head of Emerging Business & SMBs Facebook & Instagram South-East Asia Ferdy Nandes saat membuka Akademi Instagram di Jakarta.
Posisi Instagram sebagai platform social commerce terkuat
Kepada DailySocial, juru bicara Instagram menegaskan pihaknya bukan platform e-commerce, sehingga tidak ada transaksi yang terjadi. Yang dilakukan justru membantu semua pelaku dagang online, salah satunya platform e-commerce, untuk menemukan, terhubung, dan berinteraksi dengan calon pembeli lewat foto, video, dan fitur-fitur bisnis yang tersedia di Instagram.
“Ketika pembeli menemukan produk yang mereka sukai di akun bisnis Instagram, mereka akan mengklik produk tersebut dan kemudian dibawa ke situs toko tersebut atau platform e-commerce di mana transaksi terjadi,” ujarnya.
Mereka menambahkan, “Peran kami di sini adalah membantu e-commerce atau online shop menemukan pelanggan. Jika diibaratkan dengan sebuah mobil, kami adalah mobil yang membawa calon pembeli ke toko mereka. Kami bukan tokonya.”
Klaim Instagram ini cukup dimaklumi karena fitur commerce yang ada saat ini memang benar demikian, transaksi memang terjadi di luar platform. Kondisinya akan berbeda ketika fitur in-app checkout di bawa ke Indonesia. Setiap profil bisnis dari manapun bisa menerima transaksi dari pelanggan di manapun karena borderless.
Ini akan jadi topik tersendiri yang sangat menarik, dipastikan semua pemain e-commerce ketar ketir karena selama ini Instagram baru dimanfaatkan buat channel pemasaran saja.
Besarnya potensi usaha mikro lahir lewat platform media sosial, semakin meyakinkan Facebook maupun Instagram lebih serius menggarap pengusaha mikro untuk menggunakan platform-nya untuk beriklan. Inovasi untuk profil bisnis pun terus dilakukan, menariknya tersedia secara gratis.
Pengusaha mikro dapat mengakses secara gratis profil bisnis untuk mendapatkan data insights mengenai unggahan mana saja yang memiliki performa terbaik, demografi audiens mereka, waktu posting terbaik, dan lainnya.
“Mereka dapat mempelajari hasil data insights untuk memahami karakteristik audiens mereka, sehingga dapat membuat strategi yang tepat untuk menjangkau para audiens tersebut.”
Keseriusan perusahaan, sambung juru bicara Instagram, dilatarbelakangi oleh studi IPSOS di Indonesia bertajuk “Dampak Instagram pada Usaha di Indonesia (2018)”. Ditemukan bahwa 90% responden pernah menggunakan Instagram untuk berkomunikasi dengan bisnis; 76% responden pernah membeli produk dari sebuah bisnis setelah menemukan bisnis tersebut di Instagram.
Terakhir, 66% responden mempertimbangkan untuk membeli sebuah produk maupun jasa yang mereka lihat di Instagram. Berikutnya, 81% responden menggunakan Instagram untuk mencari informasi lebih lanjut ketika mereka tertarik pada sebuah produk; Lebih dari 80% wirausahawan muda berusia di bawah 35 tahun menyatakan Instagram bantu mereka capai target bisnis.
Tidak disebutkan seberapa banyak angka penjual UMKM yang telah memanfaatkan profil bisnis ini.
Tahun ini, Instagram mulai inisiasi program Akademi Instagram yang diluncurkan pertama kali di Indonesia. Ini adalah program pelatihan global bagi wirausahawan yang ingin meningkatkan keterampilan digital dalam meningkatkan bisnis mereka dengan tools dari Instagram. Dalam debutnya, program ini menyasar lebih dari 1.000 wirausahawan berusia di bawah 35 tahun berlokasi di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta.
Di luar itu, Instagram membantu Tokopedia untuk kolaborasi pemasaran digital untuk kampanye Kejutan Belanja Untung (KEBUT) pada tahun lalu. Diklaim pertama kalinya di dunia, Instagram melakukan inovasi IG Live untuk Tokopedia agar mereka bisa membuat semacam infomercial untuk mengundang konsumen beli produk merchant.
“Tahun lalu kami juga mengadakan program bersama GoFood bernama InstaMarket untuk memberikan pelatihan bagi para merchant GoFood untuk bisa mengasah keterampilan mereka dalam digital marketing.”
Bagaimana dengan Facebook Indonesia? Sayangnya mereka menolak memberikan tanggapan seluruh pertanyaan yang diajukan DailySocial.
Sebetulnya, fitur commerce ini tidak hanya dimiliki Instagram dan Facebook saja. Ada juga Snapchat dan Pinterest. Akan tetapi, keduanya belum memiliki gaung yang cukup untuk dimanfaatkan pelaku UKM untuk berjualan.
Tapi ini semua tinggal tunggu waktu saja. Pinterest baru mengumumkan dibuka kantor regional di Singapura untuk melayani konsumen di Asia Tenggara dan India. Secara global, pengguna aktif bulanan Pinterest mencapai 300 juta orang. Lebih dari 200 miliar Pin tersimpan, melayani miliar rekomendasi pribadi tiap harinya.
APAC adalah salah satu wilayah dengan pertumbuhan tercepat, dengan jutaan pengguna Pinterest setiap bulannya. Jumlahnya ini meningkat lebih dari 50% selama setahun terakhir. Di Indonesia saja, hampir dua juta ide tersimpan tiap hari.
Apakah social commerce jadi ancaman buat pemain e-commerce?
Pergerakan IG Shop dan Facebook Marketplace, tentunya perlu diwaspadai. Tapi jangan sampai antipati atau malah antisipatif dengan platform media sosial terbesar itu. Karena di sanalah prospek konsumen yang belum tersentuh oleh para pemain e-commerce.
Kunci terpenting adalah terus berinovasi dan mau beradaptasi. Setidaknya inilah kesimpulan jawaban yang DailySocial terima dari pemain e-commerce.
SVP Merchant Sales, Operation & Development Blibli Geoffrey L Dermawan menjelaskan, persaingan e-commerce dan social commerce tentu tidak bisa terelakkan lagi. Pilihan belanja tentunya kembali jatuh ke tangan konsumen saat mereka melihat barang yang diinginkan.
Kendati demikian, perusahaan tidak antipati itu. Justru memanfaatkan mereka untuk memasarkan barang-barang, seiring dengan tren positif dari strategi seperti ini. “Namun sebuah bisnis tidak bisa sepenuhnya bergantung pada media sosial saja. Proses penjualan harus dilakukan secara menyeluruh atau dikenal dengan omni-channel,” tutur Geoffrey.
Sependapat dengan Geoffrey, Shopee juga memanfaatkan media sosial dan tools-nya untuk kebutuhan pemasaran bertujuan memberikan pengalaman belanja yang berbeda kepada konsumen Shopee.
“Kami melihat bahwa social commerce sebagai bagian dari e-commerce, itu terbukti dengan fitur social commerce yang kami gunakan di akun Instagram Shopee,” ujar Country Brand Manager Shopee Rezky Yanuar.
Karena ada ketergantungan tinggi, makanya pemain e-commerce perlu mengakali. Misalnya seperti yang dilakukan oleh Tokopedia. Dari pengamatannya, dalam era social commerce, terjadi perubahan perilaku konsumen yang mana mereka mencari inspirasi sekaligus belanja dalam waktu yang sama.
Influencer dianggap punya peranan penting dalam sebuah proses kampanye. Strategi tersebut akhirnya diambil oleh Tokopedia di berbagai tipe kampanye, seperti brand dan sales di berbagai channel media sosial.
“Ini upaya kami agar tetap relevan dengan target audiens kami, salah satunya generasi milenial, di mana mereka mengonsumsi media sosial setiap hari dengan influencer sebagai inspirasi mereka,” tambah VP of Corporate Communications Tokopedia Nuraini Razak.
Strategi tersebut kemudian diterjemahkan lebih dalam menjadi sebuah fitur baru “Tokopedia by Me,” membuka ruang interaksi baru antara pembeli dengan role model atau orang kepercayaan yang merekomendasikan produk favorit.
Memanfaatkan influncer di media sosial juga dimanfaatkan oleh Zalora. Pasalnya, bagi Zalora sebagai situs e-commerce yang fokus ke produk fesyen, kental dengan unsur visual yang harus selalu ditekankan.
“Kami hadir di platform-platform di mana target audience kami berada, contohnya di media sosial seperti Instagram, Facebook, dan YouTube. Ketiganya adalah medium yang tidak hanya kami gunakan untuk memberi update, tapi juga buat engage dengan pelanggan kami,” ucap Head of Marketing Zalora Indonesia Dwi Ajeng.
Hijup juga tergolong aktif dalam memanfaatkan platform media sosial untuk meningkatkan bisnis. Head of Creative Content Hijup Anastasia Gretti mengatakan perusahaan memanfaatkan media sosial tidak hanya untuk memberikan konten inspirasi, tapi juga permudah konsumen dalam berinteraksi dengan tim customer service.
Seperti contohnya, memanfaatkan fitur Facebook Live, memberikan sarana komunikasi dua arah, dan pembelian dipermudah lewat WhatsApp. Kendati, inti dari proses transaksi di Hijup adalah melalui situs dan aplikasi
“Dalam bisnis, Hijup yakin bahwa kami harus terus dapat beradaptasi dengan lahirnya berbagai inovasi maupun perkembangan teknologi dan media sosial,” terang Anastasia.
Jual praktis, keamanan, dan layanan menyeluruh
Seperti laporan McKinsey sebut, belanja online di informal commerce tidak terintegrasi untuk pembayaran dan pengirimannya. Seluruh prosesnya harus manual dilakukan oleh penjual yang akhirnya jadi makan waktu. Pengalaman ini tidak harus dirasakan ketika konsumen belanja lewat platform e-commerce.
Geoffrey L Dermawan menerangkan keunggulan yang ditawarkan platform e-commerce adalah sistem yang lebih komprehensif. Mulai dari kemudahan mencari produk di satu platform, pilihan pembayaran yang aman dan variatif, ketersediaan dan penyortiran produk, serta pelayanan purna jual yang lebih terstruktur.
Keseluruhan ini adalah bentuk pertanggungjawaban transaksi yang lebih jelas guna mendapatkan kepercayaan dari konsumen. Kepercayaan dalam bertransaksi inilah yang harus selalu dipertahankan dengan layanan-layanan demi memastikan kepuasan pelanggan terpenuhi.
Pun demikian Shopee. Rezky Yanuar menjelaskan, pihaknya menekankan pada pentingnya keamanan yang didapat konsumen ketika bertransaksi lewat platform-nya. Untuk menjangkau seluruh aspek masyarakat, makanya tersedia berbagai opsi pembayaran. Bisa melalui m-banking, ATM, minimarket terdekat, bahkan di platform lain bisa dengan cicilan tanpa kartu kredit.
“Karena kami ada di tengah, antara penjual dan pembeli, makanya konsumen bisa tenang melakukan transaksi.”
Tidak hanya sistem yang lebih terintegrasi, Dwi Ajeng menambahkan, kelebihan platform e-commerce juga ada di kredibilitas produk yang 100% original. Setiap barang diterima dari distributor, tim Zalora melakukan quality control demi memastikan barang aman sebelum dikirim ke konsumen. Bila ada keluhan, ada tim customer service yang siap dihubungi dari berbagai lini.
“Kami juga punya kebijakan, konsumen dapat mengembalikan produk apabila tidak sesuai dalam 30 hari.”
Kelebihan lainnya adalah terekamnya seluruh data transaksi konsumen. Data adalah aset yang paling utama di industri e-commerce, pengelolaan data yang baik dan strategis dapat mendukung bisnis suatu e-commerce tersebut.
“Hijup fokus pada potensi digital dalam mempromosikan produk dan brand yang bergabung. Kami membaca perubahan tren, kebiasaan konsumen, dan lain-lain melalui social commerce. Namun sebagai validasinya, kami selalu mengacu pada data yang kami miliki di situs Hijup,” ujar Anastasia.
Berlomba-lomba lebih dari sekadar tempat jual beli barang
Agar tetap terdepan, tentu inovasi harus terus dilakukan. Setidaknya fokus para pemain e-commerce, untuk bersaing dengan kompetitor baik yang satu ranah maupun dengan social commerce, saat ini mengarah pada bagaimana konsumen betah berlama-lama di dalam aplikasi mereka untuk melakukan berbagai aktivitas.
Makanya pengembangan fitur kini sudah bermacam-macam, tidak hanya jual produk fisik kini juga jual produk jasa dan virtual. Shopee, Bukalapak dan Tokopedia bisa jadi contohnya, yang berkiprah sebagai super-marketplace.
Rezky Yanuar menjelaskan Shopee merilis berbagai in-app games, diantaranya Goyang Shopee dan Kuis Shopee, agar konsumen betah berlama-lama di aplikasi. Sejak diperkenalkan, in app games terus berinovasi dan menerima tanggapan positif dari para konsumen.
Berkaitan dengan e-commerce, Shopee menghadirkan fitur Shopee24, platform yang membantu pengiriman barang di platform-nya dapat diterima konsumen dalam waktu 24 jam saja. Di luar itu, perusahaan mendukung sepakbola nasional agar semakin baik dengan menempatkan diri sebagai sponsor Shopee Liga 1.
Perusahaan juga mengadopsi konsep media sosial dengan merilis fitur rekomendasi produk dan Shopee Live. Keduanya seperti membuka Instagram dengan sentuhan commerce di dalamnya.
Bukalapak aktif dalam mengembangkan layanan di luar marketplace, seperti produk finansial untuk emas (BukaEmas), reksadana digital (BukaReksa), dan asuransi (BukaAsuransi), pembayaran pajak, kendaraan dan PBB (BukaJabar, e-Samsat). Serta, menjangkau segmen online to offline (O2O) dengan mengajak warung sebagai partner (Mitra Bukalapak).
Berkaitan dengan e-commerce, beberapa fitur yang dikembangkan adalah layanan same day delivery bersama Paxel, BukaMart untuk menawarkan produk kebutuhan sehari-hari, juga uji coba pengiriman barang melalui drone agar barang lebih cepat sampai ke rumah konsumen.
“Dari sisi engineering, sebenarnya Bukalapak telah merilis sebanyak 31 produk baru dan melakukan lebih dari 4.500 pengembangan fitur sepanjang paruh pertama 2019,” terang Head of Corporate Communications Bukalapak Intan Wibisono.
Tokopedia tidak jauh berbeda, super-marketplace di dalamnya tidak hanya diisi produk virtual saja, tapi juga sudah sampai ke tahap logistik (TokoCabang), produk fintech untuk memudahkan merchant mendapatkan modal usaha dan konsumen melakukan pembayaran kredit (Ovo PayLater). Yang teranyar, Tokopedia mengakuisisi Bridestory untuk menyajikan produk berkaitan pernikahan di dalam platform-nya.
Di satu sisi, pemain e-commerce niche juga tidak mau kalah, mereka terus berupaya jadi pemain terdepan dengan perkuat layanan-layanan yang berkaitan. Blibli, memosisikan sebagai mall online dengan strategi omni channel, ada tiga fitur yang diharapkan bisa menjawab kebutuhan konsumen.
Mereka ialah Click & Collect, Tukar Tambah, dan Blibli InStore. Keseluruhan fitur ini serba online, sehingga lebih fleksibel. Semuanya sudah dirilis di aplikasi. Untuk Tukar Tambah, sementara ini baru tersedia untuk produk smartphone. Caranya cukup memilih smartphone yang mereka cari dan melakukan sejumlah pengecekan diagnostik lewat aplikasi. Setelah itu, akan tertera harga yang diberikan dari diagnostik tersebut.
Ketika pembayaran sudah dilakukan, kurir Blibli Express Service (BES) akan datang untuk mengambil dan mengecek ulang produk yang akan ditukar, sembari mengantar produk baru ke alamat konsumen. Ke depannya fitur ini akan di terapkan di kategori lain, seperti otomotif untuk tukar tambah mobil dan motor.
Berikutnya adalah Zalora merilis fitur Zalora Now, program berlangganan untuk konsumen dengan berbagai penawaran. Berisi layanan gratis express shipping selama setahun, dan deals lainnya yang ditawarkan mitra Zalora, seperti Traveloka, Zomato, Sayurbox, dan lain-lain.
“Kunci untuk tetap bertahap di dunia e-commerce adalah Zalora terus melakukan review terhadap demand ataupun perilaku konsumen. Kita akan selalu mengikuti dinamika tren belanja, lalu kita turunkan dalam beberapa strategi untuk menciptakan relevansi terhadap pelanggan,” kata Dwi Ajeng.
Hijup sedikit berbeda, perusahaan menerapkan bisnis model O2O dengan membuka gerai offline di beberapa kota. Harapannya, strategi ini bisa meningkatkan awareness dan trust terhadap “customer offline” yang akan menjadikan mereka sebagai “future online customer.”
Zilingo tidak mau kalah. VP and Head of B2C Marketing Zilingo Sarah Humaira turut menambahkan, Zilingo telah bertransformasi dari platform B2C di 2015, menjadi layanan terpusat di B2B untuk menghubungkan setiap lanskap rantai pasokan fesyen yang sangat terfragmentasi.
Saat sebagian besar perusahaan e-commerce fokus pada perdagangan B2C dan C2C, perusahaan mengadopsi pendekatan yang berbeda untuk memberikan nilai tambah bagi pedagang fesyen. Menempatkan mereka dan pabrik yang beroperasi di industri fesyen sebagai pusat dari segala hal yang Zilingo lakukan, semuanya lewat teknologi.
Inisiasi ini lahir karena pengalaman yang dialami langsung oleh para pengusaha. Mereka kesulitan untuk meningkatkan keuntungan atau untuk berkembang karena kurangnya akses ke teknologi dan modal kerja. Sementara itu, brand internasional terus tumbuh secara agresif.
Zilingo menghubungkan produsen/manufaktur di seluruh Asia, mulai dari desain, pengembangan produk, pengadaan kain, manufaktur, pembuatan katalog, pemasaran, manajemen inventaris, distribusi, penagihan, layanan pelanggan, modal kerja, hingga perkiraan tren.
“Visi kami adalah menyamaratakan kesempatan yang ada agar setiap bisnis, mau besar atau kecil ukurannya, dapat menggunakan teknologi kami untuk mengembangkan bisnis mereka dan menjadi sukses,” terang Sarah.
Dia melanjutkan, “Layanan ini tidak selalu menghasilkan pendapatan yang tinggi bagi kami, namun platform serba ada (full-stack) ini dibangun di atas premis, bahwa bisnis B2B dan B2C kami memiliki sinergi yang kuat dan membantu kami buka potensi luar biasa di seluruh rantai pasokan fesyen untuk para pedagang dan pelanggan.”
Mengapa social commerce banyak peminatnya?
Mengutip dari laporan McKinsey, kontribusi e-commerce terhadap transaksi ritel di Indonesia baru 3% dari total penjualan di 2017. Dibandingkan Singapura, di sana sudah mencapai 10% di tahun yang sama. Artinya, ruang untuk bertumbuh masih sangat luas.
Terlebih, mengutip dari survei idEA mengenai penggunaan platform belanja online di media sosial (2017), transaksi melalui Facebook dan Instagram mencapai 66%. Posisi teratas diambil Facebook 43%. Hanya 16% penjual dan pembeli yang pakai platform marketplace dan 7% buat situs sendiri. Survei ini dilakukan terhadap sekitar 2 ribu UMKM di 10 kota di 2017.
Perlu menjadi perhatian bahwa bahwa pembeli dan penjual yang notabene sebagian besar pengusaha mikro, lebih banyak menggunakan media sosial sebagai tempat untuk transaksi e-commerce dibandingkan marketplace yang tersedia atau melalui situs sendiri.
Artinya, platform media sosial bisa jadi gerbang awal buat pedagang “go online.” Untuk mendalami ini, DailySocial menghubungi beberapa pemain pendukung platform social commerce.
Salah satunya adalah TokoTalk. Direktur Operasional TokoTalk Nesya Vanessa menjelaskan tingginya minat belanja di media sosial tak lain dikarenakan ada potensi pengguna yang sangat berlimpah. Para penjual ingin menjadikan orang-orang ini sebagai calon konsumen mereka.
Terlebih itu, sifat media sosial yang serba instan dan real time, dapat jadi senjata bagi para penjual untuk bisa lebih dekat dengan konsumen dan menjadikannya sebagai pelanggan loyal.
“Alasan lainnya, para penjual tersebut ingin punya toko online milik sendiri agar tidak usah bersaing dengan sesama penjual. Di marketplace, mereka bersaing ketat dengan penjual lain yang punya produk serupa, dan satu-satunya cara untuk unggul adalah saling banting harga,” tutur Nesya.
Dia melanjutkan, jika ingin bisa tereskpos dan muncul di urutan teratas, mereka harus beriklan di marketplace. Terakhir, punya akun di marketplace tidak mendukung untuk branding merek mereka sendiri karena tidak bisa dikustomisasi dan dipersonalisasi sesuai tone dan manner brand.
Ini bisa merugikan penjual yang ingin memiliki bisnis yang berkesinambungan, pasti peduli dengan branding. Makanya mereka tetap menggunakan media sosial atau buat situs sendiri.
“Dengan begitu, mereka dapat membangun brand mereka sendiri dan menampilkan konten-konten terkait produk yang mereka buat sendiri.”
CEO dan Co-Founder Qiscus Delta Purna Widyangga turut menambahkan, berjualan di media sosial juga tidak memerlukan upaya untuk migrasi pengguna. Beda halnya, misalnya ketika buat situs sendiri, mereka harus mengakuisisi user dari awal. Kemudian, mengenalkan brand, memperkenalkan teknologi/produk yang digunakan, sampai ke jual beli itu sendiri.
Memanfaatkan platform yang sudah ada, seperti media sosial, penjual dapat menumpang arus. Memanfaatkan basis user yang sudah besar untuk kemudian dipilih dan disesuaikan berdasarkan segmennya.
“Mereka juga tidak perlu mengajarkan teknologi sejak awal karena basis user di media sosial itu sendiri sudah familiar dengan platform yang biasa mereka gunakan. Untuk bisnis skala kecil dan menengah, cara ini lebih efektif ya, daripada harus bangun toko online dari awal,” terang Delta.
Menambahi tanggapan Delta, Co-Founder dan CEO Halosis Andrew Darmadi menjelaskan berjualan di media sosial kemungkinan lebih mudah mendapat rekomendasi dari orang terdekat dari konsumen yang pernah belanja di tempatnya. Bagi penjual tentunya ini cost marketing termurah untuk akuisisi konsumen baru.
Hal ini didukung oleh basis media sosial itu sendiri, yang mana lebih personal dan orang bisa berbagi informasi apa yang mereka suka. Melihat dari tipe konsumennya, orang yang yang belanja di media sosial dengan platform e-commerce pun berbeda.
Andrew berpendapat konsumen di media sosial itu biasanya manja karena ingin lebih personal menghubungi langsung penjualnya. Banyak pertanyaan yang diajukan itu belum bisa diakomodasi oleh chatbot karena mereka juga minta rekomendasi, produk mana yang bagus sesuai postur tubuh atau wajahnya.
“Mereka itu enggak langsung yakin mau beli produk karena takut salah beli. Makanya konsumen di sini sangat chatty, ingin fleksibel untuk pembayaran dan metode pengirimannya. Beda dengan di marketplace, konsumennya sudah tahu apa yang mau dibeli dan mandiri,” ujarnya.
Baik TokoTalk, Qiscus, dan Halosis adalah pemain yang fokus permudah pengelolaan toko online, baik dari pelayanan konsumen, metode pembayaran, dan pengiriman dalam satu link. Konsumen mereka adalah penjual online yang sebenarnya tidak berjualan di platform media sosial saja tapi juga di marketplace.
“TokoTalk tidak bersaing dengan marketplace, justru menciptakan platform e-commerce untuk para penjual memudahkan aktivitas penjualan mereka, misalnya mengelola order dan inventaris,” sebut Nesya.
Bicara pencapaian, TokoTalk telah digunakan oleh 155 ribu penjual untuk mengelola toko online mereka di berbagai platform online. Mencetak total transaksi $2 juta tiap bulannya (per Juli 2019), berdasarkan nilai naik 30% secara MoM.
Qiscus, sebagai platform penyedia in-app chat, merilis fitur Multichannel Chat untuk pengusaha kelola konsumen yang menghubungi lewat platform chat mainstream seperti WhatsApp, Telegram, Line, dan Messsenger ditangani dalam satu dashboard. Serta mengelola tools lain, seperti CRM, payment gateway dan chatbot. Tanpa dirinci, fitur ini telah dirilis sejak awal 2019 dan tumbuh 50%-100% untuk keseluruhan bisnisnya.
Adapun Halosis telah menggaet 10 ribu penjual mikro yang berjualan di platform media sosial dan e-commerce. Data terakhir menyebut, Halosis sudah menangani 199.200 ribu chat pada tahun lalu yang di dalamnya memuat 40.235 transaksi senilai $1 juta.
DailySocial menemui salah satu penjual online yang sepenuhnya memanfaatkan platform media sosial untuk berjualan. Ialah Jessica Yamada, pemilik katering menu makan sehat DapurFit yang dirintis sejak 2012. Sebagai bentuk keseriusannya di segmen ini, instalasi peralatan di dapurnya bahkan sudah hospital grade.
Menurut pengakuannya, Instagram menjadi saluran pemasaran utama dari bisnis online-nya tersebut. Branding DapurFit tergolong cukup kuat sebagai pionir katering menu sehat, dengan lebih dari 80 ribu follower di Instagram. Seperti bisnis online lainnya, Jessica juga memanfaatkan peranan influencer untuk branding-nya.
Konsumen harus menghubungi via WhatsApp untuk berlangganan menu dengan pilihan paket yang tersedia. Pengantaran akan dilakukan melalui kurir sendiri dan kurir on demand GrabExpress apabila di luar jangkauan layanan DapurFit. Dalam seharinya, DapurFit mengirim 600 boks.
“Hampir 90% pesanan datang dari Instagram yang diteruskan melalui WhatsApp. Situs sendiri sebenarnya ada tapi masih beta banget, belum bisa terima order,” kata Jessica.
Grab menyadari potensi bisnis kurir dari para penjual online dengan merilis GrabExpress. Makanya untuk menyeriusi bisnis ini, secara rutin ada pembaruan fitur untuk memudahkan mereka mengantarkan paket sampai ke konsumen.
Hingga kini, area layanan GrabExpress tersedia di 150 kota. Tanpa data spesifik, selama setahun terakhir, jumlah pengiriman harian di GrabExpress naik lebih dari 20 kali, akurasi pesanan tiba sesuai estimasi juga naik lebih 90%.
Dari segi pengguna, lebih dari 50% pengguna GrabExpress adalah wirausahawan mikro dengan definisi mereka yang berjualan secara online dengan platform manapun, dari media sosial ataupun platform e-commerce.
“Kami melayani semua wirausaha mikro yang berjualan lewat online, seperti WhatsApp, Instagram, dan Facebook. Juga mereka yang berjualan di platform e-commerce, kami sudah bekerja sama dengan Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee,” terang Head of Logistics Grab Indonesia Tyas Widyastuti.
Ada sejumlah fitur yang didesain Grab untuk melayani penjual online, di antaranya pengiriman antar kota di Pulau Jawa dengan Ninja Xpress, baru diperkenalkan awal Juli 2019; langganan paket hemat GrabExpress; pengiriman instan dan same day; bukti pengiriman & pelacakan langsung; kirim ke banyak tujuan dan pesan banyak sekaligus.
Bermuara di pemberdayaan pedagang online agar punya daya saing
Keseluruhan pemain di atas saling memiliki kesinambungan satu sama lain demi menangkap besarnya peluang di transaksi platform digital, sebab semuanya bermuara di pedagang lokal itu sendiri, bagaimana mereka bisa diberdayakan dan mau berkembang dengan memanfaatkan platform online.
Dari data yang dikutip Grab, ada 62 juta pelaku UMKM yang mencakup 99,92% dari total unit usaha dalam negeri. Namun, hanya sekitar 23 juta UMKM saja yang memiliki pengetahuan tentang berjualan online, itu pun masih sangat dasar.
Padahal, agar bisa berkompetisi, Grab melihat pelaku UMKM perlu memiliki produk yang bisa menjawab kebutuhan masyarakat, punya pengelolaan yang baik dan berkesinambungan, pengetahuan pemasaran secara digital, bisa menciptakan brand image yang baik, dan punya proses logistik yang mudah digunakan.
Dari keseluruhan tantangan ini, makanya wajar sekali banyak pihak yang menggelar program pelatihan wirausahawan muda, dari perusahaan skala global seperti Facebook dan Instagram, sampai perusahaan lokal dari berbagai lini yang berkaitan langsung.
Ambisi mulia yang ingin dicapai adalah mendorong para penjual tidak hanya tenar di dalam negeri tapi juga di luar negeri.
Masih banyak pedagang yang belum online, namun ada juga mereka yang sudah mencoba untuk perbesar pasar hingga ke luar Indonesia. Berbagai platform e-commerce sudah menyajikan layanannya. Demikian pula dengan Instagram.
Ketika buka tab IG Shop, katalog yang disajikan bercampur dari penjual lokal juga luar negeri. Kamu bisa langsung pilih produk dan menyelesaikan pembayaran dengan kartu kredit atau PayPal.
Kesiapan pemain e-commerce
Bukalapak misalnya, sudah merilis BukaGlobal untuk menjawab tantangan keterbatasan logistik, akses, dan infrastruktur yang selama ini menghambat langkah para pelaku UKM ke panggung global. BukaGlobal hadir di Singapura, Malaysia, Hong Kong, Taiwan, dan Brunei Darussalam yang memiliki ketertarikan terhadap produk Indonesia.
“Kami masih terus memantau perkembangannya agar dapat memperluas jangkauan fitur BukaGlobal ke negara lain,” ujar Intan Wibisono.
Shopee merilis program ekspor Kreasi Nusantara dari Lokal untuk Global, berbentuk laman khusus yang didedikasikan untuk memberikan sorotan bagi produk lokal. Program ini telah mengkurasi sekitar 25 ribu produk lokal setiap minggunya, terjadi peningkatan transaksi hingga 8 kali lipat sejak pertama kali meluncur.
“Dari program ini, UMKM dapat memaksimalkan potensi penjualan produk lokal via luar negeri via Shopee. Selain itu, mereka juga bisa belajar cara mengembangkan strategi ekspor melalui kelas Kampus Shopee,” kata Rezky Yanuar.
Tantangan ketika ekspor bagi UKM itu cukup besar. Mereka harus menguasai regulasi, logistik, dan metode pembayaran. Ketiganya cukup krusial jika terlewat, makanya perlu dipastikan mereka paham betul dengan detil melalui sesi pelatihan.
Blibli punya cara sendiri untuk dorong ekspor. Geoffrey menjelaskan perusahaan menyiapkan UKM lokal lewat kompetisi The Big Start, mencari talenta berbakat untuk mengembangkan bisnisnya. Mulai tahun ini, The Big Start bekerja sama dengan beberapa kementerian akan debut mengirimkan creativepreneur lokal terbaik untuk hadir di festival internasional.
Selama program berlangsung, talenta akan dipersiapkan dan diedukasi bagaimana membuat produk yang sesuai dengan permintaan di pasar global. Serta, bagaimana persyaratannya agar bisa dipasarkan di luar negeri.
“Sehingga ada kata kunci untuk melakukan ekspor adalah pendampingan dan edukasi yang intensif. Peran dari pemerintah juga sangat diperlukan untuk bantu UKM lokal tidak hanya fokus ke ketahanan ekonomi dalam negeri, tapi juga kemudahan dan kebijakan yang jelas untuk ekspor.”
Tidak hanya buka etalase di festival internasional, platform Blibli juga akan dipersiapkan untuk terima pesanan dari luar negeri buat para merchant UKM di Blibli.
“Secara platform sebenarnya sudah bisa [terima pesanan dari luar negeri], tapi belum jadi prioritas. Contohnya pas kita jual tiket Asian Games kan itu yang beli ada dari luar negeri. Sekarang masih kita persiapkan mulai dari awal tahun ini. Nanti saya share kalau sudah siap,” tambah CEO Blibli Kusumo Martanto.
Tokopedia belum menyediakan fasilitas ekspor. Nuraini Razak menegaskan Tokopedia adalah marketplace domestik yang tidak memfasilitasi transaksi antar negara. Perusahaan hanya menerima penjual asal Indonesia dan memfasilitasi transaksi dari Indonesia untuk Indonesia.
Pasalnya, mendorong produk lokal jadi tuan rumah di negeri sendiri adalah pekerjaan rumah bersama yang sangat kompleks. Lewat online, produk lokal bisa punya ruang dan panggung untuk mengembangkan ide kreatif, memasarkan produk ke pasar yang lebih luas, hingga suatu hari nanti bisa menjadi brand nasional mendunia.
“Kami punya banyak program yang mencakup hulu ke hilir, contohnya Markerfest, mendorong para kreator lokal untuk meningkatkan kualitas produksi, packaging, dan branding sehingga bisa bersaing dengan produk impor, MEA terbuka, dan dapat akses permodalan dari bank.”
Bantuan pemerintah dan stakeholder sangat dibutuhkan untuk dukung UKM go global. Anastasia Gretti menerangkan produk fesyen Indonesia, dalam hal ini busana muslim, punya kreatifitas lebih unggul dan inovatif bila dibandingkan negara lain.
Namun itu saja tidak cukup, perlu banyak perbaikan dari hulu ke hilir, seperti pengadaan bahan baku, peningkatan skala produksi, bantuan modal, dan lainnya yang di mana ini menjadi tanggung jawab bersama.
“Jadi menurut Hijup tantangan ekspor itu tidak hanya sebatas regulasi dan biaya kirim, tapi kesiapan daya saing produk lokal dalam hal kualitas dan kuantitas juga perlu diperhatikan,” tandasnya.
Masih polemik di perpajakan
Tanpa mengesampingkan potensi dari masing-masing platform belanja online, perlu diingat bahwa sampai saat ini Pemerintah masih dilema cara memajaki e-commerce. Pemberlakuan pajak lewat PMK No 210 Tahun 2018 akhirnya resmi ditunda.
Pemain e-commerce tetap ingin kesetaraan dalam penetapan pajak dengan platform social commerce. Pasalnya, Ekonom Indef Bhima Yudhistira menilai aturan ini belum adil karena masih ditujukan buat ke satu pihak saja. Padahal menurutnya, porsinya justru ada di media sosial.
“Kalau mau buat aturan pajak idealnya jangan ada diskriminasi. Semua penjual online wajib bayar PPn 10% dan PPh. Kalau aturan makin ketat di platform e-commerce, akan ada pergeseran konsumsi ke media sosial,” kata Bhima.
Perwakilan dari Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) sependapat. Pihaknya tetap teguh pada prinsip kesetaraan dalam aturan dan regulasi (equal playing field). “Berbagai aturan yang diberlakukan e-commerce, kami harapkan juga diberlakukan secara setara di transaksi media sosial,” tutur Ketua Bidang Ekonomi Digital idEA Bima Laga.
Dia pun meyakini bahwa ke depannya konsumen akan mengedepankan rasa aman dan nyaman dalam berbelanja online. Platform e-commerce memiliki keamanan yang terjamin, baik dalam transaksi maupun pengiriman.
“Pemerintah pun pada akhirnya akan lebih mudah melakukan pengawasan pada platform e-commerce dibandingkan perdagangan di media sosial,” tutup Bima.
Kehadiran layanan e-commerce yang sempat menjamur sepanjang dua tahun terakhir cukup mengguncang industri ritel (offline). Bisnis brick and mortar, istilah yang banyak digunakan untuk toko offline, dituntut mengubah model bisnis mereka dengan melakukan pendekatan secara online dan memanfaatkan media sosial untuk menjalin hubungan dengan pengunjung.
Besarnya pengeluaran yang harus disisihkan, menurut data Aprindo ritel besar memberikan kontribusi pajak yang signifikan, tidak dibarengi dengan pemasukan yang seimbang.
Laporan keuangan emiten yang dipublikasikan dan diolah Katadata menunjukkan 10 emiten sektor ritel pada 2017 perlambatan pertumbuhan pendapatan dibanding pada 2013. Total penjualan 10 emiten ritel (Matahari Putra Prima, Ramayana, Supra Boga, Midi Utama, Electronic City, Hero, Matahari Department Store, Sumber Alfaria Trijaya, Mitra Adiperkasa, dan Ace Hardware) pada 2017 hanya tumbuh 6,41% dari tahun sebelumnya, padahal pada 2013 mampu mencatat pertumbuhan lebih dari 21% dibanding tahun sebelumnya.
Gaya hidup dan kebiasaan konsumen sudah mengalami pergeseran, seiring dengan makin maraknya penjualan secara online yang sediakan platform e-commerce.
Mulai buka toko offline
Tidak dapat dipungkiri, untuk sejumlah variasi produk tertentu, seperti fesyen, gadget, dan grocery, masyarakat masih menyukai pengalaman berbelanja langsung di toko. Melihat kebutuhan tersebut, sejumlah layanan e-commerce kemudian menerapkan skema online-to-offline dengan mendirikan toko offline di kota-kota besar.
Menurut VP of Corporate Relations GK-Plug and Play Indonesia Mercy Setiawan, O2O akan menjadi suatu konsep yang mencolok karena teknologi merupakan hal yang tidak terelakkan dalam kehidupan sehari-hari. Tingginya kebutuhan untuk kenyamanan merupakan fenomena yang besar di masa mendatang.
“O2O e-commerce adalah bisnis strategi yang dirancang untuk membawa online customer ke lokasi offline store, serta menciptakan pengalaman digital yang seamless baik sebelum transaksi, pada masa pembelian, serta setelah transaksi berakhir.”
DailySocial mencatat setidaknya dua layanan fashion commerce yang cukup rutin mendirikan toko offline di kota-kota besar di Indonesia. Mereka adalah Berrybenka dan Hijup. Keduanya menyasar kalangan perempuan, termasuk busana muslim.
Berrybenka telah mendirikan 25 toko offline di berbagai kota-kota besar di Indonesia. Melalui Hijabenka, Berrybenka juga meresmikan toko offline pertamanya yang menyasar busana muslim di Mall Kota Kasablanka Jakarta.
“Kami mencatat perkembangan Hijabenka yang cukup signifikan, yakni hampir 150% dari tahun ke tahun. Hijabenka, yang sebelumnya mendompleng berjualan di dalam toko offline Berrybenka sejak awal tahun 2016, saat ini dirasa cukup mapan untuk dapat berdiri sendiri di pasar retail,” kata CEO Berrybenka Jason Lamuda.
Jason menambahkan, sejak kuartal keempat 2018, Hijabenka tak lagi menjual pakaian muslim yang berasal dari brand lain. Hijabenka fokus mengembangkan pakaian yang didesain desainer lokal dengan brand Hijabenka.
Melihat animo masyarakat terhadap strategi omni-channel yang telah dijalankan Berrybenka, Jason yakin strategi ini akan sukses diterapkan Hijabenka. Secara online, selain melalui platform-nya sendiri, Berrybenka dan Hijabenka juga sudah hadir di beberapa marketplace besar, seperti Zalora dan Shopee.
Serupa dengan Berrybenka, Hijup aktif menjangkau kota-kota besar di Indonesia dan telah memiliki 12 offline store di Indonesia dan 1 offline store di Malaysia. Menurut CEO Hijup Diajeng Lestari, hadirnya Hijup Store di berbagai kota besar di Indonesia mempengaruhi pertumbuhan bisnis Hijup secara keseluruhan hingga tiga kali lipat.
“Seiring dengan semangat Hijup untuk memberikan berbagai kemudahan bagi muslimah untuk menjadi versi terbaik dari dirinya, Hijup Store ini diharapkan dapat melengkapi hari seseorang sehingga bisa berpenampilan baik, merasa nyaman, dan berkegiatan produktif serta menyebarkan kebaikan.”
Layanan e-commerce lain yang juga mendirikan toko ritel offline adalah Muslimarket. Melalui brand Suqma yang diluncurkan pada tahun 2017 lalu, Suqma hadir sebagai modest fashion brand dengan menyediakan berbagai modest attire hasil karya desainer muslim Indonesia. Saat ini Suqma sudah membuka tiga gerainya di pusat perbelanjaan Indonesia, dua di Jakarta dan satu di Surabaya.
“Jadi offline tersebut masih merupakan satu distribusi channel yang harus kita miliki. Saya pribadi melihat offline masih menjadi kesempatan yang besar di Indonesia, dikarenakan kultur masyarakat yang masih sangat offline walaupun kehadiran online sudah sangat berkembang,” kata CEO Muslimarket Riel Tasmaya.
Antusiasme masyarakat yang tinggi terhadap kehadiran pop-up store dan bazaar menjadi pemicu tambahan dari para pemain online store untuk membuka sedikitnya satu offline flagship store agar para pembeli lebih dapat mengenal brand positioning dan kualitas produk mereka.
“Pada saat ini, seiring berjalannya waktu, perlahan-lahan pasar Indonesia mulai teredukasi. Merasa lebih nyaman serta percaya untuk langsung membeli langsung secara online karena adanya refund, tukar size, hinggaCOD,” kata Mercy.
Tren masa depan
Menurut Ketua Umum idEA Ignatius Untung, usaha pemain online yang membangun offline store bertujuan menjemput bola konsumen yang belum terjangkau media online. Kalkulasi bisnisnya tidak bisa disamakan dengan acquisition cost melalui channelonline.
“Semakin banyak player yang membangun offline channel akan makin memperkuat consumer based dan share of mind mereka di benak konsumen. Kami sebagai asosiasi (idEA) tidak ingin mencampuri terlalu jauh karena ini masuk ke ranah bisnis dan sepanjang tidak menyalahi aturan, sah-sah saja untuk dilakukan,” kata Untung.
Brand umumnya mengambil kesempatan untuk mengkombinasikan antara online dan offline ke dalam suatu pengalaman berbelanja yang seamless dan menyenangkan untuk para pembeli.
Untk mereka yang masih di tahap awal, level of engagement dengan para pembeli mereka lebih personal dan belum terlalu membutuhkan offline store.
“Hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana online brand dapat memastikan bahwa keberadaan offline mereka adalah finalisasi 100% dari pembelian. Offline store juga harus memperhatikan ketersediaan stock yang ada, jangan sampai produk ada di online tapi tidak tersedia di toko offline,” kata Mercy.
Indonesia saat ini memiliki empat startup unicorn, yaitu Gojek, Tokopedia, Traveloka, dan Bukalapak. Menkominfo Rudiantara sempat memprediksi setidaknya ada dua unicorn baru dalam 2-3 tahun ke depan.
Hal ini menandakan bahwa Indonesia memiliki peluang sangat besar dalam mencetak unicorn baru. Dalam skala besar, Indonesia dapat mengembangkan potensi di bidang ekonomi digital, terutama menghadapi industri 4.0. Namun Indonesia masih terbentur pada kurangnya talenta digital.
“Kita punya potensi ekonomi digital yang besar. Bagaimana unleash-nya? Kita kebanyakan potensi, tetapi kapan jadinya?” ungkap Staf Khusus Menkominfo Lis Sutjiati di Pembukaan idEA Works Pro, Kamis (11/4).
Menurutnya, hal ini dapat terjawab apabila Indonesia telah siap dalam mencetak talenta digital baru yang saat ini dinilai masih minim. Saat ini talenta-talenta terbaik kini menjadi rebutan sejumlah startup atau perusahaan besar.
Menurut riset McKinsey, lanjut Lis, Indonesia diprediksi memiliki 180 juta populasi di usia produktif sebagai penggerak ekonomi, dengan sembilan juta harus melakukan shifting profesi dan dua juta profesi bakal tidak relevan lagi di 2030.
Indonesia juga diperkirakan menjadi negara dengan ekonomi terbesar kelima di dunia pada 2030 berdasarkan metode Purchasing Power Parity (PPP) atau keseimbangan kemampuan berbelanja.
“Nah, 180 juta ini mau kerja apa? Ini yang menjadi tantangan terbesar kita. Indonesia butuh sembilan juta talenta di bidang digital untuk bisa unleash semua sektor potensial kita. Tidak hanya e-commerce dan fintech, tetapi juga kesehatan, agrikultur, dan pendidikan,” paparnya.
Memulai dari kurikulum pendidikan
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk menghadapi era ekonomi digital di masa depan adalah mencetak talenta-talenta baru melalui sejumlah program. Salah satunya ada Indonesia Digital Talent Scholarship yang menggaet sejumlah mitra global dalam penyediaan kurikulum, seperti IBM dan Cisco.
Namun hal itu saja belum cukup untuk menyelesaikan masalah kekurangan talenta di masa depan. Menurutnya, kemampuan non-teknis dan akademis atau soft skill dan hard skill seseorang dapat diasah melalui kurikulum pendidikan sejak sekolah dasar.
“Kita tidak bisa pakai kurikulum konvensional [untuk menambah talenta baru]. Kurikulumnya harus disruptif. Begitu juga industri [harus kasih kurikulum] supaya bisa match juga dengan industri,” ungkap Lis.
Kemampuan hard skill, seperti coding sudah bisa diperkenalkan sebagai mata pelajaran di sekolah. Demikian juga kemampuan soft skill, seperti critical thinking dan creative thinking. “Ini sama pentingnya juga karena creative thinking tidak bisa mengandalkan engine,” katanya.
Ketua Umum idEA Ignatius Untung menilai bahwa soft skill juga sama pentingnya dengan hard skill. Kemampuan ini sebetulnya yang wajib dimiliki generasi selanjutnya di masa depan.
“Diakui ada gap antara kampus dan industri masih besar. Ketika lulus mereka tidak siap untuk bekerja. Penting untuk memikirkan profesi di era ekonomi digital,” ujar Untung.
Memasuki era revolusi industri 4.0, banyak hal yang harus dipersiapkan oleh pebisnis. Era ini identik dengan otomasi dan pertukaran data yang semakin canggih. Salah satu cara yang dapat dilakukan ialah dengan menciptakan sinergi, antara pemain industri dan pakar. Hal ini yang coba dilakukan oleh idEA melalui sebuah acara bertajuk idEAWorks.
Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) akan menggandeng para ahli di industri digital untuk berbagi ilmu. Belajar dari para ahlinya tentu jadi opsi terbaik untuk bisa terus update pada tren industri digital. Indonesia punya segudang nama yang telah sukses mengembangkan usaha berbasis teknologi.
Acara idEAWorks akan dilaksanakan pada 9-12 April 2019 bertempat di Kasablanka Hall, Jakarta. Acara ini akan terbagi menjadi dua tema, yaitu Edu Fair dan idEAWorks Pro yang juga menjadi ajang Digital Industry Job Fair.
Akan hadir berbagai pemateri dari pelaku industri digital. Pertama ada CEO Bhinneka Hendrik Tio yang akan bicara tentang “Gen of Good Talent” yang akan membuka pikiran tentang ciri talenta terbaik di sektor digital. Ada juga Roy Simangunsong dari Fox Networks yang akan menjelaskan apa saja yang perlu menjadi pertimbangan saat memilih perusahaan digital sebagai tempat kerja.
CTO GDP Venture On Lee juga dijadwalkan hadir untuk menjabarkan apa-apa yang harus dipelajari dan lakukan untuk menjadi seorang pakar teknologi yang dibutuhkan perusahaan digital. Sementara untuk mereka yang tertarik bergabung dengan e-commerce, setidaknya ada dua nama besar yang akan berbagi cerita. Ada Fajrin Rasyid yang merupakan Presiden Bukalapak dan Jemy Confido yang menjabat sebagai CEO Blanja.com.
Rangkaian acara idEAWorks diharapkan mampu menjadi penggerak terciptanya talenta-talenta terbaik yang akan mendorong kemajuan industri 4.0 di Indonesia. Pasalnya, sektor digital memang tengah membutuhkan banyak talenta-talenta terbaik, dan menjanjikan masa depan yang cerah di setiap profesi yang tersedia.
—
Disclosure: DailySocial merupakan media partner acara idEAWorks