Tag Archives: Idea Validation

Bangun ide startup dengan mencari masalah dan solusi dari lingkungan terdekat / Pixabay

Pengalaman Pribadi Bisa Menjadi Ide Startup

The way to get startup ideas is not to try to think of startup ideas. It’s to look for problems, preferably problems you have yourself.

– Paul Graham, Founder Y Combinator.

Bagaimana cara memulai sebuah startup? Jangan memulainya dari solusi. Mulailah dari permasalahan. Kadang bisnis besar berasal dari pemecahan masalah sehari-hari. Uber, Airbnb, atau Gojek sekalipun berangkat dari isu yang sama. Masalah yang dihadapi founder-nya dan keinginan untuk menyelesaikannya dalam bentuk produk.

Carilah permasalahan yang Anda miliki, kemudian validasi ke orang-orang sekitar kita jika memang masalah tersebut juga menjadi perhatian mereka.

Menurut Paul Graham, pendiri  Y Combinator, ide-ide startup terbaik cenderung memiliki tiga kesamaan, yaitu sesuatu yang diinginkan pendirinya sendiri, yang dapat mereka bangun sendiri, dan yang hanya disadari oleh sedikit orang namun layak untuk dilakukan.

Cerita Paxel, Flip, dan Netflix ketika pertama kali meluncurkan solusinya dan melakukan proses validasi pasar

Perjalanan Panjang Proses Validasi Pasar

Tantangan mendirikan startup sudah ada sejak awal, bahkan sebelum sebuah produk diciptakan. Ada tahapan bernama market validation yang harus dilewati. Tahapan ini memberikan kesempatan startup untuk mengevaluasi produk mereka, sekaligus menjadi tahapan apakah sebuah produk bisa lanjut atau tidak.

Pastikan konsumen mau membayar

Kami sempat menanyai Co-Founder Paxel, Zaldy Ilham Masita, tentang bagaimana Paxel memvalidasi pasarnya. Zaldy bercerita bahwa ide awal Paxel dimulai pada tahun 2017 untuk mencari model yang cocok untuk delivery last mile di Indonesia, terutama untuk memenuhi perkembangan industri e-commerce yang pesat.

Paxel sejak awal mencoba untuk membuat model baru untuk last mile delivery dengan model relay atau estafet dengan memanfaatkan smart locker sebagai mini sorting center pada akhir 2017, dan dengan memberikan service pick up dan flat rate. Fokus Paxel ada pada bagaimana memberikan layanan same day delivery dalam kota dan antar kota–pasar yang selama ini masih sepi pemain sehingga Paxel bisa langsung memimpin pasar tanpa ada perang harga.

“Selama dua tahun, Paxel mencoba model baru ini, ternyata memberikan SLA yang tinggi untuk same day delivery dengan biaya yang terjangkau. Bahkan same day delivery bisa ditawarkan sampai ke semua kota besar di Jawa dan Bali. Model last mile delivery dengan sistem relay, menggunakan smart locker, dan berbasis aplikasi untuk customer membutuhkan sistem dan teknologi yang sangat besar. [..] Sebagian besar investasi dilakukan di [sektor] teknologi dengan 4 IT center yang dibangun di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Chennai dengan [sebanyak] 60+ engineer,” terang Zaldy.

Zaldy melanjutkan, selama tiga tahun terakhir banyak hal yang ia dan tim pelajari. Salah satunya same day delivery service antar kota membuka pasar baru untuk market last mile delivery yang sebelumnya belum pernah ada, yakni pengiriman makanan, produk perisable antar kota, dan juga frozen food. Market baru ini ternyata bisa mendorong UMKM di daerah untuk meluaskan pasarnya ke kota-kota lain.

Bagi Zaldy dan tim Paxel, melakukan market validation perlu mempertimbangkan banyak hal, termasuk inovasi model bisnis untuk tidak mudah ditiru pemain yang sudah besar atau pemain baru.

“[Memastikan] konsumen memang butuh service tersebut dan bersedia untuk membayar. Kadang-kadang model bisnis sangat innovative dan sangat bagus tapi konsumen masih tidak mau memakai kalau bayar. Roadmap yang jelas untuk masuk ke segmen pasar yg lain yg lebih besar dengan tetap fokus pada core competency sehingga bisa memberikan service all-in pada konsumen,” imbuh Zaldy.

Sejauh ini layanan same day delivery Paxel diklaim meroket hingga 250 persen. Dengan jumlah pengguna mencapai 1 juta, Paxel sudah memiliki lebih dari 50 mitra untuk memenuhi berbagai kebutuhan.

Ciptakan kesan

Perjalanan panjang menemukan pasar dan produk yang sesuai juga dialami  Flip. Salah satu perusahaan teknologi finansial yang inovasinya cukup penting bagi banyak orang dengan memangkas biaya transfer antar bank.

Flip berawal dari keresahan Rafi Putra Arriyan (Ari), Ginanjar Ibnu Solikhin, dan Luqman Sungkar tentang biaya transfer bank yang cukup besar. Untuk sekali transfer antar bank biayanya setara dengan sepiring nasi dan telur.

Layanan pertama Flip dibuat menggunakan formulir Google Form dan domain sendiri. Pengguna yang ingin melakukan transfer bank harus mengisi formulir tersebut lalu para founder akan melakukan transfer manual melalui internet banking. Tak disangka, Flip mendapatkan popularitas di kalangan mahasiswa Universitas Indonesia. Kala itu ada 30 permintaan transfer per harinya. Kewalahan, akhirnya mereka merekrut tim operasional sendiri. Kisah tersebut adalah validasi pertama market dan produk dari Flip.

Ada beberapa hal yang kemudian dipelajari Flip pada tahap tersebut. Salah satunya, banyak ragu menggunakan Flip saat pertama kali mencoba, tapi setelah mendapatkan pengalaman pertama mereka pengguna tersebut kembali menggunakannya. First impression.

“Pertama-tama sebaiknya mulai memvalidasi market dari sesuatu yang benar-benar kita rasakan permasalahannya. Setelah melakukan validasi masalah, baru masuk lagi ke tahap validasi solusi. Setiap validasi yang dilakukan sebaiknya dengan effort yang sedikit dan waktu yang cepat. Semakin cepat kita melakukan validasi, semakin cepat juga kita mendapatkan wawasan untuk membangun solusi yang kita inginkan,” jelas CEO Flip Rafi Putra Arriyan.

Saat ini Flip sudah memiliki aplikasi sendiri. Jumlah bank yang bekerja sama dengan Flip juga terus bertambah. Demikian pula fiturnya. Sekarang mereka juga menghadirkan solusi transfer hemat biaya untuk korporasi melalui BigFlip.

Sesuaikan dengan kebutuhan pasar

Cerita perjuangan menemukan market validation yang tepat juga dialami oleh Netflix, perusahaan teknologi yang sekarang menjadi fenomena. Sebelum menemukan bentuk terbaik sebagai layanan streaming video on demand Netflix memiliki sejarah yang panjang. Salah satunya sebagai layanan penjualan CD/DVD secara online.

Permasalahan kemudian mulai muncul, seperti risiko kerusakan ketika pengiriman CD/DVD dan semacamnya. Dari sana Netflix mulai melakukan penyewaan film berbasis online. Cerita lainnya mengenai bagaimana Netflix dimulai disampaikan Reed Hastings, salah satu pendiri Netfilix pada gelaran MWC Barcelona 2017 silam.

Dalam sebuah sesi presentasi Hastings menjelaskan, mereka memulai bisnis pengiriman DVD ke pelanggan pada tahun 1997, kemudian memperkenalkan layanan streaming pada 2007. Tiga tahun berselang, jumlah pengguna layanan streaming melebihi jumlah pelanggan DVD mereka.

Perubahan model bisnis yang dilakukan Netflix sejalan dengan adopsi kebiasaan pengguna dan teknologi yang semakin maju saat itu. Dengan mempertahankan budaya terus beradaptasi, Netflix saat ini tak hanya sebagai perusahaan penyedia layanan streaming film tetapi juga memproduksi film dan serialnya sendiri. Netflix adalah bukti bahwa bisnis harus dinamis dan tetap rajin untuk melihat peluang-peluang yang ada di pasar.

Di Indonesia misalnya, Netflix melakukan kolaborasi kreatif dengan insan film di Indonesia dengan memproduksi dan mempublikasikan film karya dalam negeri.

Bukan pekerjaan instan

Berdasarkan pengalaman Paxel, Flip, dan Netflix, ide harus divalidasi dulu berdasarkan keresahan atau permasalahan yang nyata. Kemudian mereka terjun ke lapangan untuk mengukur seberapa besar masalah tersebut dan solusi apa yang dibutuhkan.

Memvalidasi pasar juga bukan pekerjaan yang bisa selesai dengan segera. Dalam keberlangsungan bisnis, proses validasi pasar harus terus dilakukan–menggali potensi inovasi baru dan, yang paling penting, mencari sumber pendapatan baru.

Berikut ini kumpulan konten artikel, podcast, dan video Dailysocial untuk mencari dan memvalidasi ide bisnis

[Founders Library] Mencari dan Memvalidasi Ide untuk Bisnis Startup

Jika mengembangkan bisnis diibaratkan sebuah perjalanan, ide dan validasi adalah hal pertama yang harus dilakukan, baik untuk memulai perjalanan atau ketika bertemu persimpangan. Semua orang bisa memiliki ide, beberapa di antaranya bisa jadi sama. Yang membuatnya berbeda sejak awal adalah bagaimana “memeras” ide menjadi sesuatu yang bisa diterima dan penuh perhitungan untuk selanjutnya dieksekusi.

Kami merangkumkan beberapa tulisan, video, dan podcast yang ada di DailySocial terkait ide dan validasi. Semoga daftar ini bisa membantu Anda yang saat ini ada pada tahap kebingungan mencari ide atau butuh sudut pandang lain untuk memandang sebuah permasalahan.

Artikel:

Video dan Podcast:

Validasi Ide Startup

Pentingnya Validasi Ide Sebelum Mengembangkan Startup

Mereka yang antusias dengan kewirausahaan, terutama dalam bentuk startup, pasti pernah terbersit suatu ide bisnis. Namun yang namanya ide bisnis tetaplah sebuah ide, ia belum terukur dan belum tervalidasi.

Maka akan wajar apabila gagasan bisnis itu terbentur dengan sejumlah pertanyaan seperti: (1) Apakah ide tersebut sudah tepat sasaran? (2) Apakah semangat dan wawasan dalam gagasan itu sudah mencerminkan kebutuhan pasar? (3) Dan yang tak kalah penting, bagaimana mengukur kebutuhan pasar agar produk yang dihasilkan nanti bisa dipakai khalayak?

Founder & CEO KaryaKarsa Ario Tamat berbagi pengalamannya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ario sudah bergelut di dunia startup sejak 2011 silam, ketika menciptakan Ohdio lalu mendirikan Wooz.in. Minat di bidang musik, pengalaman kerja di dunia teknologi dan keyakinan tak ada layanan serupa di saat itu membuat Ario cukup yakin bahwa produknya akan diterima pasar. Namun kenyataan membuktikan semua itu tidak cukup.

“Karena waktu itu berasumsi kami tahu industri musik, orang pasti mau pakai, dan belum ada di pasar. Tapi itu semua asumsi dan nyatanya tidak ada yang pakai,” cetus Ario.

Pengalaman pahit itu membawa bekal berharga bahwa tak semua gagasan bisnis, sebrilian apa pun menurut kita, bisa melahirkan produk yang dibutuhkan konsumen. Ada beberapa fase yang harus dilalui ide itu sebelum menjadi produk jadi yang andal.

Lean startup dapat menjadi metode yang dapat ditempuh karena ini sudah menjadi panduan umum bagi mereka yang ingin mendirikan startup. Ario menjabarkan metode ini berdasarkan pengalamannya dalam #SelasaStartup kali ini.

Fokus ke konsumen

Ario meringkas lean startup sebagai konsep pengembangan ide, sampai ide itu valid dan siap dilempar ke pasar. Hal yang digarisbawahi oleh Ario adalah fokus ke pertumbuhan konsumen alih-alih gagasan bisnis itu sendiri. Mengenali kebutuhan konsumen menjadi lebih penting ketimbang terpaku pada gagasan bisnis dalam hal ini.

Cara mengenal konsumen ini bisa bervariasi. Pilihannya bisa sesederhana menyebar kuesioner via Google Form atau wawancara langsung untuk menggali informasi lebih dalam. Fase ini penting karena kita dapat mengenal lebih dekat apa yang konsumen butuhkan, apa yang mereka keluhkan dari layanan yang ada, sehingga mengikis kadar bias dari ide bisnis yang kita kantongi.

Ario mencontohkan bahaya dari bias ini jika ada produk pengenalan wajah dan sudah meluncur ke publik namun ternyata di beberapa orang dengan fisik tertentu ia tak berfungsi. Perkara itu semata-mata muncul karena dalam pembuatan teknologinya, sampel wajah yang dipakai hanya berasal dari rupa fisik ras Kaukasian.

“Ketika kalian punya ide itu sebenarnya asumsi. Sejauh kalian belum bisa punya data untuk membuktikan itu benar, itu asumsi,” tegas Ario.

Harus berbeda

Jika informasi yang dibutuhkan dari konsumen sudah terkumpul maka bentuk ide bisnis bisa dikatakan lebih matang. Tapi bagaimana kalau sudah ada layanan komersial dengan ide bisnis tersebut? Ario menjawabnya dengan mencari celah masalah di layanan yang sudah ada itu.

Hampir semua layanan memiliki persoalannya sendiri dengan kadar yang belum tentu serupa. Peran kita adalah mencari tahu apa masalahnya dan berapa besar kadarnya itu. Tanpa menawarkan faktor pembeda maka hampir mustahil bagi pemilik ide bisnis dapat bersaing.

“Kalau enggak ada masalah kalian enggak punya kesempatan untuk masuk. Kalau sekadar pengen bikin aja, ya enggak apa-apa, tapi apa yang bisa bikin bisnis kalian lebih unggul. Problem banyak kok di dunia,” gurau Ario.

Berani bereksperimen

Sebuah eksperimen dapat terjadi secara disengaja maupun tidak. Sebuah proyek buku digital hasil kumpulan artikel seputar musik dan teknologi buatan Ario adalah buktinya. Ide Karyakarsa sendiri sudah dimiliki Ario sejak dua tahun sebelum platform itu meluncur ke khalayak.

Ide itu berangkat dari pencarian metode alternatif bagi musisi untuk mendapat pemasukan selain dari metode konvensional. Buku yang ia tulis sendiri ternyata menjadi pemicu utama yang meyakinkan Ario bahwa ide bisnis KaryaKarsa dapat berjalan.

Buku bertajuk Musik, Bisnis, dan Teknologi di Indonesia itu berhasil menarik ratusan pembaca dan lebih jauh lagi dalam sepekan ada 10 orang yang bisa rela memberikan uang untuk membaca bukunya. Ario mendorong eksperimennya lebih jauh dengan membuat platform yang bisa dipakai bagi para kreator konten dan memungkinkan penggemar karya mereka menyisihkan uangnya sebagai bentuk apresiasi yang saat ini berwujud KaryaKarsa dengan total pemasukan lebih dari Rp1 miliar.

“Di saat itu asumsinya adalah gue aja yang nobody bisa, masa’ sih orang yang punya follower banyak, selebriti, atau orang terkenal enggak?” imbuhnya.

Validasi Ide Startup

Menekankan Kembali Pentingnya Validasi Ide Buat Startup

Punya ide cemerlang saja bukanlah bekal yang cukup untuk membawa suatu perusahaan startup bisa “lepas landas” dan berkembang. Perlu validasi yang terus menerus, tidak bisa sekali saja saat baru mau merintisnya.

Berangkat dari validasi ide, akan terbentuk cara eksekusi yang tepat sehingga menimbulkan efek “snowball” seperti misalnya dilirik oleh investor, mendapat pengakuan dari para pengguna dan semakin banyak dikenal oleh masyarakat.

Untuk menekankan pentingnya konsep ini, #SelasaStartup menghadirkan CEO & Co-Founder Nodeflux Meidy Fitranto. Meidy banyak berbagi mengenai pengalamannya bagaimana bisa memvalidasi idenya sehingga terbentuklah Nodeflux, startup intelligent video analysis dengan AI.

Tidak validasi ide, penyebab startup gagal

Meidy menjelaskan punya produk bagus, tim dan uang saja yang cukup tidak menjamin suatu startup bisa sukses. Kunci pertama terletak di kemauan founder untuk menekan ego sendiri yang mengasumsikan produk ini canggih dan pasti akan dibeli masyarakat.

Kenyataan sebenarnya, bahwa tidak ada yang peduli dengan produk dikira canggih dan belum ada di pasar manapun. Ini pasti terjadi ketika asumsi berlebihan tanpa disertai validasi ide.

“Saat Nodeflux dirintis, kita juga bermain dengan asumsi yang ternyata tidak fit dengan pasar. Padahal waktu itu kita berpikir produk ini sangat canggih. Akhirnya market fit bolak balik sampai pivot, lalu ketemu celah yang kita pilih ini bisa dioptimalkan dan jadi landasan Nodeflux untuk maju ke depannya,” kata Meidy.

Untuk validasi ide, ada tiga pertanyaan dasar yang harus bisa dijawab oleh founder. Yakni: (1) apakah ada orang yang mau pakai produk kita?; (2) berapa banyak dari mereka yang mau bayar?; (3) dan seberapa banyak orang di luar sana mau beli produk?.

Dalam membuktikan validasi, satu hal yang wajib dilakukan founder adalah pergi ke luar, bertemu orang untuk melihat seberapa terkonfirmasinya ide dengan kebutuhan pasar. Kalau ingin mendapatkan hasil yang instan, bisa menyebarkan kuisioner dengan random sampling bahkan tidak harus mengeluarkan biaya sepeser pun.

Metode lainnya adalah bertemu langsung dengan perwakilan yang memiliki suara cukup penting dan mewakili industri untuk mendapatkan masukan lebih dalam.

Lakukan validasi secara berulang

Meidy juga menekankan bahwa validasi ini bukan berarti harus dilakukan sebelum bertemu investor, ada juga yang kasusnya baru bisa terjadi setelah mendapat kucuran dana. Kejadian tersebut terjadi di Nodeflux, sebab untuk validasi ide ini disadari butuh uang dan tidak bisa dilakukan dengan cara yang instan dan gratis.

Validasi ide juga tidak bisa dilakukan sekali saja, melainkan harus terus menerus. Meidy menjelaskan bahwa ini terjadi karena validasi ide ini bergerak dinamis, menyesuaikan dengan posisi suatu startup.

Bisa jadi pertama kali dilakukan, dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran besar dari industrinya. Seiring waktu berjalan dia meyakini akan berkembang karena ide kita terhadap sesuatu akan menjadi value, yang mana akan terus bergerak sehingga butuh validasi terus menerus.

Pola validasi ide ini dimulai dari membangun MVP, peluncuran produk, memperbaiki semua kekurangan, dan selalu mengulangi ketiga hal ini.

Prototyping kita dimulai tahun 2015, lalu mulai bangun kantor di tahun berikutnya. Di situ kita dapat funding, rekrut talenta, dan eksekusi produk. Setahun berikutnya baru yakin untuk hadir ke pasar.”

Eksekusi terpenting, ide ada di nomor kesekian

Konsep ini sebenarnya juga dianut oleh para investor, bahwa mereka cenderung untuk berinvestasi ke founder bukan ke produk mereka, seberapa canggih teknologi yang dipakai. Mentalitas founder mampu untuk adaptif terhadap berbagai kemungkinan di luar lingkungan yang bisa memengaruhi bisnis.

Kemampuan adaptif inilah yang lebih penting dari sekadar ide yang bisa ditemukan oleh siapapun tapi belum tentu bisa sukses saat eksekusi.

“Sebaik apapun ide yang dibahasakan dengan baik ke orang, enggak akan segampang itu kalau mau dicontek dari ide saja sebab harus memahami semua seluk beluknya, jadinya tidak mudah.”

Agar eksekusi berjalan mulus, butuh produk bagus yang hanya bisa dihasilkan oleh talenta yang berkualitas. Oleh karenanya, isu rekrut talenta di tahap awal bisa jadi halangan. Meidy mengaku tidak mudah mendapatkan talenta kualitas bagus saat awal Nodeflux dirintis.

Mengingat konsep Nodeflux yang cukup hi-tech, akhirnya diputuskan untuk mengambil pendekatan dengan gimmick marketing “magical particle” yang disematkan dalam situs disertai kalimat marketing dengan susunan eye-catching. Hasilnya cukup banyak aplikasi yang masuk dari anak-anak lulusan S2.

“Kita baru bisa validasi ide setelah dapat funding. Dari situ elemen yang paling susah adalah rekrut orang. Untuk meyakinkan orang gabung itu susah banget, kebanyakan mereka itu mikirnya lebih baik gabung ke startup yang sudah besar. Padahal produk yang bagus itu harus dihasilkan dari orang-orang yang kualitasnya bagus,” pungkasnya.

Tentang validasi ide / Pixabay

Proses Memvalidasi Ide

Memvalidasi selalu menjadi pembahasan menarik bagi para pebisnis. Karena pada dasarnya ide selalu menjadi penghambat untuk mengambil keputusan. Entah ragu-ragu karena belum yakin dengan ide atau gagal karena ide terlalu dini dieksekusi tanpa perhitungan yang matang. Banyak cerita sukses mengenai bagaimana menggali potensi ide dan juga tips-tips yang dibagikan para penggiat bisnis mengenai validasi.

Dalam seri validasi kali ini, saya coba menuliskan tips Eric Ries, penulis buku The Lean Startup yang juga penggiat bisnis startup.

Memanfaatkan pandangan tentang user experience

Sebagai seorang pebisnis, wawasan dan pengalaman di bidang yang akan digeluti bisa menjadi modal yang sangat kuat. Dengan pengalaman, wawasan dan sudut pandang bayangan produk atau layanan yang ingin dikembangkan bisa didesain sejak awal.

Misalnya jika Anda ingin membuat sebuah layanan teknologi finansial tentang pinjaman, menyuguhkan pengalaman pengguna yang sempurna (mulai dari mendaftar menjadi anggota hingga mengajukan pinjaman) adalah hal wajib. Atau jika yang sedang dikembangkan adalah produk yang berada di industri pendidikan, maka melakukan rancangan dari sudut pandang siswa, guru atau orang tua murid bisa sangat membantu memberi gambaran seperti apa produk akan dikembangkan.

Ini lebih seperti menuangkan apa yang terbaik bagi pengguna ke dalam rancangan produk yang ingin dicapai. Dengan memiliki pengalaman personal tentu menjadi sebuah keuntungan.

Mengidentifikasi Critical Assumptions

Critical assumptions sederhananya merupakan fakta atau karakteristik tentang gambaran bisnis yang sedang dibangun. Semakin banyak asumsi kritikal yang diidentifikasi semakin sedikit risiko yang dihadapi. Asumsi-asumsi ini yang akan menguatkan apakah produk layak dikembangkan atau berhenti sebagai ide semata.

Contoh sederhananya, ketika kita mencoba menangkap peluang sebagai penyedia layanan pendidikan yang menghubungkan orang tua dengan murid untuk memantau kegiatan pemebelajaran anaknya asumsi yang harus diidentifikasi harus lebih lengkap. Tidak sebatas ada kebutuhan untuk membangun itu.

Identifikasi juga kebutuhan-kebutuhan terkait fitur, platform yang digunakan dan yang paling penting apakah orang tua atau guru bekenan merogoh koceknya untuk berlangganan layanan dibangun. Jangan-jangan mereka hanya mengutarakan sesuatu yang mereka harap mendapat gratis. Karena mencari cara mendapatkan keuntungan dari produk atau layanan juga merupakan hal yang krusial.

Membangun versi awal untuk memvalidasi critical assumption

Setelah berhasil mengidentifikasi critical asusumption langkah selanjutnya yang bisa ditempuh adalah dengan membangun versi awal dari produk. Versi awal ini digunakan untuk memvalidasi apakah identifikasi di tahap sebelumnya valid atau hanya sebatas asumsi.

Versi awal produk ini juga menjadi langkah awal untuk memisahkan apa-apa yang bisa divalidasi dan apa yang hanya sebatas asumsi atau pemikiran-pemikiran yang nyatanya tidak tervalidasi di lapangan. Jika berada di tahap ini dan Anda bukan seorang yang memiliki kemampuan coding, bersiaplah untuk mencari tim atau mengajak kenalan untuk bergabung.

Luncurkan dan ukur

Setalah berhasil membangun produk awal atau biasa disebut dengan MVP (minimun viable product), Anda bisa memperkenalkan produk ke khalayak ramai dan melihat reaksi mereka. Tentunya tidak lupa membuka diri terhadap segala bentuk kritik dan masukan, dari target potensial atau calon pengguna Anda. Mulai cari tahu di mana letak kebutuhan yang perlu diperbarui dan juga kemungkinan menentukan harga. Selalu ukur capaian seperti angka pendaftar baru, kunjungan halaman, mereka yang kembali setelah menginstalasi hingga mereka yang memutuskan untuk tidak kembali.

Berdasarkan angka-angka itu dan segala pengukuran yang dilakukan, segera ambil tindakan, baik mengubah arah haluan dan target pengguna atau terus melanjutkan dengan penyempurnaan.

Memvalidasi ide bisa dilakukan dengan mendengar target pengguna

Mendengar Pengguna untuk Memvalidasi Ide

Masih dalam seri memvalidasi ide untuk startup, tulisan kali ini akan melengkapi seri sebelumnya yang mengelompokkan validasi ide dalam tiga tahapan utama: (1) menulis atau mengelompokkan ide, (2) mengevaluasi dengan mengajukan beberapa pertanyaan awal, dan (3) langsung terjun ke lapangan untuk mendapat gambaran nyata tentang respons dari ide.

Ide sendiri bisa datang dari mana saja, sehingga perlu dikelompokkan. Yang membedakan satu ide dengan ide lainnya adalah kesesuaiannya untuk menjadi solusi. Itu mengapa ide perlu divalidasi.

Validasi tahap awal

Ada banyak cara untuk memvalidasi ide yang ada, beberapa di antaranya dengan memecahkan pertanyaan-pertanyaan seperti yang sudah dijelaskan di seri sebelumnya atau menggunakan board atau canvas untuk membantu brainstroming dan menemukan apakah ide tersebut layak dieksekusi.

Menggunakan board atau canvas bisa membantu memetakan pola pikir terhadap ide. Keduanya bisa memperjelas posisi masalah, solusi dan kebutuhan pengguna. Termasuk memetakan risiko yang ada.

Jika di tahap awal, cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan bertatap muka one-on-one dengan target pengguna untuk mengerti pain poin atau solusi yang mereka inginkan. Ini adalah bagian dari terjun langsung ke lapangan. Pendekatan ini bisa dilakukan secara personal, misalnya target pengguna Anda adalah pengusaha yang membutuhkan otomatisasi di bidang pengumpulan data, Anda bisa mendatangi salah satu pebisnis untuk mendengar apa yang butuhkan atau apa yang mereka keluhkan. Di titik ini lebih banyak mendengar akan menjadi lebih baik.

Cara lain untuk bisa mendapatkan umpan balik dari target pengguna adalah bergabung dengan komunitas baik di media sosial maupun secara offline. Cara pertama mungkin bisa jadi solusi untuk bisa menjangkau lebih banyak target pengguna.

Tanyakan tidak hanya soal solusi, tetapi juga bagaimana tanggapan mereka soal harga, metode pembayaran hingga jenis berlangganan yang setidaknya mereka harapkan. Pemahaman tentang kebutuhan target pengguna ini bisa menjadi bahan utama untuk menyusun MVP (Minimum Viable Product).

Sebelum membangun MVP

Ada banyak yang harus disiapkan sebelum melangkah ke MVP. Ide harus terlebih dulu “lulus” sebelum hanya jadi sesuatu yang mengecewakan. Fitur, harga, dan segala bentuk produk awal bisa didapat dari pembicaraan dan evaluasi di tahap awal, tetapi itu saja tidak cukup.

Sebelum benar-benar memutuskan untuk mengeksekusi ide usahakan untuk mendapat wawasan dari mereka yang expert di industri yang ingin disasar. Pembahasan mengenai tren, budaya dan tentu saja perkembangan industri tersebut dari tahun ke tahun bisa jadi modal yang sangat bangun. Startup sangat dengan inovasi, dan inovasi akan sangat berkaitan jika sangat dekat dengan perkembangan sebelum-sebelumnya.

Selanjutnya yang bisa dilakukan adalah mencari rekanan, jika Anda seorang yang memiliki keahlian untuk membuat program Anda bisa mencari rekan yang berasal dari industri yang ingin di sasar atau mereka yang paham tentang strategi pemasaran. Sebaliknya, jika Anda berangkat dari pakar di bidangnya yang sedang mencari solusi berbasis teknologi tapi terhambat dengan penguasaan teknologi itu sendiri maka mencari seorang rekan developer.

Perlu digarisbawahi rekan di sini bukan mereka yang diajak untuk mengembangkan ide bersama, tetapi sebatas rekan untuk memvalidasi ide yang ada. Tentu akan lebih enak jika mereka adalah orang-orang yang dikenal dengan baik.

Selanjutnya yang bisa melengkapi dalam tahap validasi ide adalah melengkapi dengan business plan, atau sederhananya menyiapkan sumber penghasilan dari bisnis. Hal itu tentu wajib, jika ide yang Anda siapkan memang bertujuan dikembangkan untuk bisnis.

Sumber : Medium Founder PlayBook, Entrepeneur

Memvalidasi ide dan gagasan awal untuk startup

Langkah Awal Memvalidasi Ide Startup

Ide yang baik adalah awal untuk startup besar. Facebook, Google dan bahkan Go-Jek lahir dari ide dasar yang matang dan tentu dieksekusi dengan baik. Ada banyak ide yang bisa dihasilkan untuk sebuah bisnis startup, tapi hanya beberapa ide yang berhasil dan membuahkan hasil. Keberhasilan tentu bukan perkara ide saja, tapi ide yang valid dan ketepatan eksekusi adalah hal dasar yang paling utama.

Tips kali ini akan membahas mengenai bagaimana startup seharus mengelola ide. Sekali lagi, ide mungkin banyak, tetapi hanya beberapa yang pantas untuk dieksekusi segera. Lainnya mungkin menunggu waktu atau hanya sebuah ambisi yang eksekusinya masih harus masuk daftar tunggu.

Tulis terlebih dahulu

Sebagian besar orang kreatif memiliki cara tersendiri untuk mendapatkan ide. Ada yang keluar ruangan berjalan-jalan untuk menenangkan pikiran, ada juga yang mengurung diri di kamar sambil membaca setumpuk buku sambil menganalisis peluang apa yang bisa diciptakan. Yang paling beruntung, dalam proses melamun tiba-tiba mendapatkan ide atau gagasan awal mengenai problem yang ingin diselesaikan Intinya ide bisa datang dari mana saja.

Untuk membantu mengkurasi ide-ide terebut biasakanlah membuat catatan. Bawalah buku seukuran saku dan pena untuk berjaga-jaga barangkali ada gagasan yang muncul ketika di perjalanan. Atau jika ingin lebih sederhana aplikasi catatan di smartphone bisa jadi jalan keluar. Bentuk dan format catatan bisa menyesuaikan, tergantung kenyamanan masing-masing, bisa berupa tulisan atau rekaman suara. Catatan-catatan ini nantinya bisa jadi semacam gudang ide atau gagasan untuk bisa dibaca atau didengarkan ulang di hari-hari mendatang.

Cara paling sederhana adalah, mencatat masalah-masalah yang berpotensi untuk diselesaikan. Usahakan untuk tidak berangkat dari solusi yang spesifik, lengkap dengan fitur-fitur yang sudah disiapkan. Bisa jadi itu asumsi yang terlalu dini.

Mengevaluasi gagasan yang ada

Ketika ada waktu untuk me-review ulang gagasan-gagasan yang sudah dicatat, coba jawab pertanyaan-pertanyaan berikut untuk mengevaluasi mengenai ide dasar bisnis yang ingin dikembangkan:

  • Siapa target penggunanya? Pertanyaan ini harus dijawab dengan target yang lebih spesifik. Jangan biarkan pertanyaan ini mengambang dengan jawaban “semua orang”.
  • Masalah apa yang ingin diselesaikan? Tujuan menjawab pertanyaan ini adalah untuk membatasi asumsi berjalan terlalu jauh. Sebelum sibuk memikirkan fitur atau teknologi yang akan digunakan identifikasikan dengan pasti masalah apa yang sebernarnya ingin diselesaikan.
  • Bagaimana produk yang akan dikembangkan bisa memecahkan masalah? Setelah berhasil memahami masalah, pertanyaan ini menempatkan ide atau produk di posisi sejauh mana produk yang akan dikembangkan memberikan manfaat dan mampu menyelesaikan masalah.
  • Apa yang menjadi pembeda dan keunggulan? Di tengah industri startup yang mulai naik seperti sekarang akan sangat sulit menemukan ide yang benar-benar baru. Evaluasi selanjutnya apakah yang menjadi pembeda dibanding produk-produk yang sudah ada.

Mendalami gagasan dengan terjun langsung ke lapangan

Ada banyak cara untuk memvalidasi ide, seperti validasi menggunakan framework atau model canvas, ada juga validasi yang dilakukan dengan langsung terjun ke lapangan. Bisa merasakan langsung sebagai target pengguna atau sekedar wawancara dengan target pengguna.

Dalam wawancara tentu akan ada jawaban-jawaban yang menjadi bias. Yang perlu digarisbawahi adalah menyukai ide belum tentu menyukai produk. Terus gali jawaban dengan pertanyaan yang bernada “mengapa” untuk bisa membedakan, mana yang menyukai ide dan mana yang berharap bisa mendapatkan produk yang dikembangkan.


Sumber: Product Plan, Startupgrind

3 Tahap Memastikan Ide Bisnis untuk Startup

Semua orang tahu bahwa strategi bisnis akan berhasil jika menemui target pangsa pasar. Namu, pada kenyataannya pebisnis banyak sekali yang memiliki ide-ide terbaru yang terus mengalir. Sehingga banyak entrepreneur hebat dapat bersaing dengan kompetitor melalui bisnis mereka.

Biasanya kehadiran kompetitor menjadi ujian pebisnis meraih pangsa pasar yang tepat. Bila ini terjadi, dipastikan saingan akan meningkat, dan menambah gagasan baru yang kreatif sebagai peluang bisnis kedepannya.

Akan tetapi, banyaknya bisnis baru yang bermunculan membuat banyak pula membangun startup bisnis yang gagal, sampai memicu perdebatan di Silicon Valley. Karena tidak ada kemampuannya memperoleh ide dalam mengeksekusi pasar. Dalam beberapa kasus yang ada, kegagalan startup bisnis dipastikan adanya kelemahan dalam riset untuk melihat pangsa pasar.

Sebagai bagian dari proses membangun startup bisnis dengan melihat permintaan pasar yang menjadi konsumen Anda nantinya, perlu memahami tentang strateginya, berikut ini ulasannya.

Memperkenalkan ide bisnis

Melihat situasi pasar bukan lagi hal yang baru dalam memulai startup. Kemungkinan gagal akan sangat pasti jika belum mendapat pangsa pasar yang sesuai bisnis Anda. Dengan ide awal Anda membangun startup bisnis yang menjadi bagian penentu gagasan itu sesuai pangsa pasar.

Karena hal ini membuat bisnis yang ingin Anda jalankan bisa sesuai pada pelanggan nantinya. Anda juga bisa memberikan edukasi tentang ide bisnis supaya pelanggan dapat menilai sesuatu yang Anda berikan sesuai yang akan mereka dapatkan.

Melakukan survei konsumen

Setelah ide muncul untuk membuat suatu perubahan besar di sektor bisnis Anda, lakukan survei konsumen untuk memahami pangsa pasar sesuai gagasan yang Anda berikan nantinya.

Melalui survei ini pula, Anda akan mendapat nilai demografi sesuai segmentasi konsumen. Sehingga keuntungan bagi Anda mengetahui kebutuhan pangsa pasar saat ini.

Bagian terpenting dari survei konsumen ini adalah Anda menjelaskan ide produk/jasa kepada pangsa pasar, sehingga mereka memahami dan tertarik untuk menggunakan ide Anda.

Manfaatkan layanan iklan

Dalam melakukan pemasaran dengan ide terbaru merubah mindset konsumen dengan cara lama. Hal ini perlu dikaji secara mendalam untuk segera dipahami. Melalui iklan membuat mereka mengetahui produk/jasa apa yang Anda berikan, sehingga dapat menarik perhatian pembeli.

Memulai iklan melalui jejaring sosial media sangat cepat dan terarah. Karena melalui iklan, Anda dapat  mempengaruhi konsumen yang melihat langsung produk/layanan yang Anda berikan.

Esensi MVP dalam Pengembangan Produk

Ada banyak penafsiran saat membicarakan tentang definisi Minimum Viable Product (MVP). Salah satunya, MVP adalah sebuah produk yang memiliki set fitur paling minimalis, tujuannya untuk membuktikan hipotesis paling esensial dalam bisnis yang dikembangkan. Bentuknya pun beragam, meskipun jika dalam startup digital akan lebih memberikan experiences saat bentuknya aplikasi, namun tidak menutup kemungkinan dengan hal yang lebih sederhana.

Contoh yang paling sering dipaparkan ialah MVP dari pengembangan Dropbox, kala itu hanya berbentuk sebuah video. Video singkat yang memaparkan inti dari cara kerja layanan yang akan mereka kembangkan dan keuntungannya untuk pengguna. Ribuan, bahkan ratusan ribu calon pengguna mendaftar hanya dengan menonton video itu.

Jadi inti dari MVP bukan pada alpha/beta product dari aplikasi, namun lebih kepada cara  memberikan kesempatan konsumen untuk memvalidasi secara langsung versi awal produk yang dikembangkan. Karena ketika ide telah direalisasikan dalam sesuatu yang lebih riil dan terpublikasi, orang akan lebih mudah membayangkannya dan menentukan apakah produk tersebut yang ia butuhkan atau tidak.

Bahkan MVP bisa berbentuk sesimpel satu single-web page dengan penjelasan menarik, lalu dibubuhi sebuah kolom isian email jika ada pengunjung yang tertarik.

Menjadi tahapan paling penting, menentukan lanjut atau memikirkan ide lain

Dalam berbagai pembahasan tentang “Lean Startup”, MVP selalu ditempatkan pada teknik yang paling penting untuk dilakukan. Menurut Eric Ries, salah satu yang mempopulerkan konsep MVP, bahwa dengan adanya produk inisiasi seseorang dapat mengumpulkan sebanyak mungkin pembelajaran atau umpan balik dari konsumen.

Meluncurkan aplikasi MVP juga dikatakan sebagai sebuah bentuk seni. Karena di sini memerlukan presisi yang tepat antara apa yang ingin disuguhkan dan apa yang benar-benar konsumen butuhkan. Untuk itu sebelum meluncurkan MVP, perlu diketahui komponen apa saja yang perlu diperhatikan, sebagai karakteristik MVP.

Setidaknya ada tiga hal yang menjadi kunci dalam pengembangan MVP: (1) menitikberatkan pada kegunaan produk secara esensial, sehingga ketika produk benar-benar diluncurkan maka konsumen bersedia menggunakan; (2) memberikan gambaran umum kepada konsumen tentang fungsionalitas lengkap yang akan dihadirkan mendatang; dan (3) menyediakan kanal umpan balik untuk membantu pengembangan secara berkelanjutan.

Mengantarkan pada penilaian yang terukur dan realistis, bukan pada asumsi

Setelah MVP sampai kepada konsumen ada banyak hal yang dilakukan. Yang paling sederhana adalah berbicara dengan konsumen, untuk mengetahui apa yang mereka rasakan. Menariknya saat ini sudah ada banyak sekali tools pengukuran yang bisa diintegrasikan, contohnya Google Analytics. Dari situ akan ditemukan apa yang disebut Problem-Solution Fit.

Problem-Solution Fit ini sederhananya adalah ketika banyak pengguna merasa apa yang dilahirkan melalui layanan tersebut menjawab kebutuhannya. Namun ketika sudah mencapai ini pun bukan berarti cukup. Karena pada akhirnya semua akan dipertaruhkan untuk tujuan bisnis. Maka selanjutnya perlu memikirkan Product-Market Fit, yakni tentang bagaimana meraih revenue dari proses bisnis yang telah dikembangkan.

Dari sini apa yang didapat adalah pengukuran. Tentang apa yang paling diminati dari inisiasi produk, apa yang paling ditunggu, masukan apa yang diberikan dan sebagainya. Semua harus terdokumentasikan secara jelas sebagai bekal untuk mematangkan produk. Bahkan untuk menentukan penghentian pengembangan jika solusi yang ditawarkan ternyata tidak tepat guna.

Hal lain yang perlu diperhatikan, MVP juga harus disodorkan kepada pangsa pasar yang tepat. Dipasarkan kepada orang-orang yang ditargetkan sebagai pengguna. Sehingga marketing effort tetap berperan kunci dalam tahap ini.

Membutuhkan pengujian ketat dan fokus dalam pengembangannya

Selain melakukan pemantauan umpan balik dari pengguna secara aktif, pengujian juga diperlukan. Terdapat banyak metodologi yang bisa digunakan untuk pengujian produk di masa MVP (ini lebih cocok dilakukan ketika MVP berupa aplikasi atau produk yang bisa dicoba). Salah satu metodologi yang dapat digunakan adalah A/B Split Testing.

Salah satu yang dilakukan oleh metodologi pengujian tersebut adalah dengan membandingkan apa yang dihasilkan aplikasi ketika diuji dengan mengubah-ubah variabel yang ada pada aplikasi. Misalnya pada penempatan tombol atau fungsionalitas menu, lakukan perubahan dengan beberapa desain pada periode waktu tertentu. Lalu lakukan analisis, dari tindakan yang paling cepat dan umum dilakukan oleh penguji. Bahkan oleh calon konsumen sekalipun.

Kendati demikian fokus terhadap tujuan utama juga perlu menjadi perhatian. Sering kali dalam proses pengembangan produk, terlebih saat telah meluncurkan MVP, akan ada ide-ide baru yang bermunculan. Bisa saja dengan mudah seseorang langsung mencomot ide tersebut dan mengimplementasikannya ke dalam produk. Padahal belum tentu reliable dan bisa jadi menambah kompleksitas produk.

Padahal kesederhanaan proses sangat diutamakan dalam MVP untuk memusatkan perhatian pada esensi produk. Dampak dari ideas-overflow jika tidak terkelola dengan baik adalah gagalnya proses MVP dalam kaitannya dengan validasi konsumen dan pangsa pasar.

Ada cara untuk tetap memfokuskan pada tujuan dari pengembangan produk inisial

Pertama yang perlu dilakukan setelah memiliki ide spesifik tentang sebuah produk, kunci target pengembangannya. Turunkan ruang lingkup MVP (kaitannya dengan fungsionalitas dan fitur) lalu segera lakukan proses pra-produksi. Di sini proses perancangan dimulai, tapi bukan berarti tanpa adanya batu sandungan. Biasanya justru datang dari lingkup internal, yakni pengembangan ide yang tiada henti. Ingin menambahkan ini, menambahkan itu dan sebagainya. Yang diperlukan di sini adalah jangan mudah terlena. Fokus pada tujuan awal.

Dalam proses pengembangan lakukan secepat mungkin. MVP tidak membutuhkan fitur yang sangat lengkap, namun yang pasti harus mencakup tujuan utama dari ide. Jadi lakukan pengembangan seramping mungkin. Karena perlu untuk sesegera mungkin menghadirkan produk tersebut kepada konsumen. Karena pengembangan lanjutan atau penambahan fitur yang paling pas adalah ketika masukan tersebut berasal dari konsumen secara umum.

Jadi dapat disimpulkan, bahwa MVP itu pada dasarnya validasi tahap awal dalam pangsa pasar sebenarnya. Jika tervalidasi baik, pengembangan selanjutnya dapat bertumpu pada masukan yang diberikan, karena berasal langsung dari calon pengguna produk ke depan.