Tag Archives: identitas digital

Lewat Regulatory Technology, Privy Bidik Kontribusi Positif Dalam Percepatan Pemulihan Ekonomi

Pemulihan ekonomi menjadi agenda penting pasca ketidakpastian akibat pandemi Covid-19. Berbagai macam sektor industri tak luput mengalami tekanan ekonomi. Untunglah industri digital justru kian kokoh, pasalnya digital transformasi dengan segala adaptasinya malah menjadi esensial tatkala kemampuannya mengakselerasi bisnis di masyarakat. Alhasil, digitalisasi dianggap memegang kunci bagi upaya pemulihan ekonomi pasca pandemi. Seperti halnya bagi Privy, startup Regulatory Technology (Regtech) yang mengemban misi membawa pemanfaatan teknologi identitas digital untuk mendorong pemulihan ekonomi industri multisektor tanah air.
Sekilas mengenai identitas digital. Di masa yang semestinya tak jauh lagi, teknologi ini dipercaya punya peranan yang penting untuk mempercepat pemulihan ekonomi secara luas. Pasalnya, teknologi identitas digital memiliki tendensi dalam memangkas proses verifikasi dan identifikasi data secara signifikan. Harapannya keperluan verifikasi bisa menjadi lebih mudah, karena tidak perlu lagi menyertakan identitas fisik seperti KTP, kartu vaksin, dan lain sebagainya.

Premis tersebut yang diusung oleh Privy. Sebagai perusahaan penyedia tanda tangan digital dan identitas digital terbesar di Indonesia, Privy baru saja meresmikan produk identitas digital yang dibalut dalam perhelatan soft launching beberapa waktu lalu di Bali. Dalam keterangan resmi yang kami terima, Privy mengenalkan pengalaman menggunakan identitas digital yang komprehensif mulai dari verifikasi keabsahan identitas pengguna, seperti KTP (bagi WNI) dan passport (bagi WNA), nomor telepon, alamat email, hingga foto wajah yang terhubung secara resmi ke basis data Ditjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri RI. Fitur tersebut termasuk dalam layanan PrivyPass yang dapat dijadikan validasi atas identitas diri pemegang PrivyID di dunia maya.

Dalam perhelatan tersebut, Privy mencontohkan implementasinya pada sektor industri pariwisata. Pengguna Privy dikatakan dapat menikmati kemudahan proses check-in di bandara serta hotel hanya cukup dengan melalui scan QR Code. Fitur ini memungkinkan pengguna tak perlu lagi menunjukkan KTP fisik dan data-data diri lainnya. Data-data yang dibutuhkan oleh hotel, maskapai penerbangan, dan pengelola objek wisata bisa langsung dibagikan secara online dan real time dengan adanya user consent dari pengguna, seperti identitas pribadi, foto KTP, nomor HP, email, hingga status vaksinasi.
Marshall Pribadi, CEO Privy mengungkapkan, layanan Privy dikembangkan tak hanya bagi sisi customer, namun juga bagi pengelola bisnis. “Aktivitas kita dalam berwisata tidak lepas dari menunjukkan dokumen identitas diri dan menandatangani formulir misalnya ketika check-in di hotel. Aplikasi Privy mendigitalkan proses tersebut yang mempermudah pengunjung maupun pengelola bisnis.” ungkapnya.

Di sisi lain, Henky Hotma Parlindungan Manurung, Deputi Bidang Industri dan Investasi, Kemenparekraf optimis, teknologi identitas digital dari Privy secara spesifik mampu memberikan kontribusi positif bagi pemulihan ekonomi, terlebih bagi industri pariwisata.

“Kami mengapresiasi langkah Privy dalam percepatan transformasi digital di Indonesia. Pemanfaatan teknologi sangat membantu para pelaku industri pariwisata dan ekonomi kreatif untuk dapat menjalankan berbagai kegiatan dan menjadi solusi selama masa pandemi dan pemulihan. Kami mendukung langkah yang dilakukan Privy untuk memperluas penggunaan identitas digital di tempat wisata, diharapkan dapat meningkatkan kembali jumlah kunjungan wisatawan dan mampu memberikan kontribusi dalam pemulihan ekonomi nasional.” ujar Henky.

Pengadopsian teknologi identitas digital semestinya mampu berkembang lebih pesat di masa mendatang. Di tengah pertumbuhan perekonomian digital tanah air yang diprediksi bakal menyentuh angka US$ 70 miliar, bukan hal yang mustahil bagi regtech untuk memiliki prospek yang gemilang di tahun-tahun mendatang. Saat ini, Privy sendiri telah melayani 23,5 juta pengguna terverifikasi dan 1.500 perusahaan yang berasal dari berbagai macam bisnis dan skala.

Advertorial ini didukung oleh Privy.

Pendanaan VIDA

VIDA Kantongi Pendanaan Pra-Seri A, Fokus Perluas Ekosistem Indentitas Digital

VIDA, platform pengembang solusi verifikasi identitas, tanda tangan elektronik, dan kredensial digital mengumumkan perolehan pendanaan pra-seri A dari investor yang dipimpin oleh Jungle Ventures, Alpha JWC Ventures, dan Monk’s Hill Ventures. Tidak disebutkan nominal dana yang diberikan.

Dengan dana segar ini, perusahaan akan fokus pada perekrutan, pengembangan teknologi, dan pemasaran; serta memperluas kehadirannya di sektor fintech, perbankan, asuransi, dan perawatan kesehatan. Tercatat saat ini teknologi VIDA telah digunakan oleh startup hingga perusahaan teknologi seperti Gojek, Grab, Ajaib, Sicepat, Trevo, LINE, hingga HappyFresh.

“Kami percaya bahwa kemitraan adalah kunci untuk meningkatkan dan memberdayakan ekosistem, serta membangun kolaborasi untuk mendukung pertumbuhan perusahaan dalam dalam ketahanan jaringan terpercaya,” kata Founder & Executive Chairman VIDA Niki Luhur.

Sementara itu Co-Founder & General Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe mengungkapkan, VIDA menawarkan solusi mutakhir yang akan memainkan peran penting dalam pertumbuhan ekonomi digital Asia Tenggara. “Kami telah melihat bagaimana solusi serupa menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di pasar Amerika Serikat dan Eropa, tetapi tidak sebanyak di Indonesia di mana tidak ada pemain dominan di sektor ini.”

Terdaftar di otoritas

Didirikan pada tahun 2018 oleh Niki Luhur, Sati Rasuanto, dan Gajendran Kandasamy, VIDA menjadi Penyelenggara Sertifikat Elektronik (PSrE) pertama di Indonesia yang memperoleh sertifikasi WebTrust dan terdaftar dalam Adobe Approved Trust List (AATL). Selain itu mereka telah meraih sertifikasi ISO 27001. Sehingga tanda tangan digital VIDA adalah dapat dikenali di lebih dari 40 negara.

Saat ini VIDA juga terdaftar sebagai penyelenggara Inovasi Keuangan Digital (IKD) OJK di klaster e-KYC.  Selain itu, kini mereka telah terdaftar dan berinduk di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia sebagai PSrE atau Certification Authority (CA).

“Verifikasi identitas mendasari setiap transaksi digital. Kami memanfaatkan keahlian kami dalam keamanan siber untuk membangun produk yang secara mendasar mengubah pengalaman pengguna di berbagai platform dan produk digital. Sebagai penyedia kepercayaan digital, kami memberikan solusi untuk menjawab tantangan yang dihadapi oleh keamanan siber saat ini,” kata Niki.

Industri tanda tangan digital

Urgensi penerapan tanda tangan digital atau sistem verifikasi pendukung makin krusial di tengah lahirnya layanan digital yang membutuhkan keamanan ekstra — seperti layanan finansial. Perannya juga makin dominan kala pandemi memaksa setiap aktivitas untuk bertransformasi secara digital, proses persetujuan untuk mengesahkan sebuah dokumen legal pun kini dituntut untuk bisa dilakukan secara daring.

Melihat potensi tersebut, beberapa startup kemudian menggarap layanan sebagai pendukung. Di klaster e-KYC IKD OJK sendiri saat ini tercatat ada empat pemain terdaftar, termasuk PrivyID, Digisign, dan ASLI RI.

Daftar penyelenggara e-KYC yang tercatat di klaster IKD OJK

Platform e-KYC membantu sebuah layanan digital untuk memverifikasi keabsahan identitas calon pengguna. Biasanya mereka juga menghubungkan sistem verifikasi dengan data yang dimiliki Dukcapil.

Sementara itu untuk penyelenggara sertifikasi elektronik atau digital signature, regulasinya melalui Kementerian Kominfo. Setiap pemain yang mendaftarkan diri akan mendapat peringkat mulai dari terdaftar, tersertifikasi, dan yang tertinggi berinduk. Untuk mencapai berinduk, platform harus memenuhi banyak persyaratan teknis, sistem, dan keamanan.

Selain harus lolos audit yang cukup ketat dari Kementerian Kominfo, status tersebut turut didapat perusahaan berkat infrastruktur yang tersertifikasi. Misalnya, mereka sudah mendapatkan ISO 27001 untuk keamanan sistem. Perusahaan juga telah memiliki fasilitas pusat data tier-3 dan pusat pemulihan data tier-4 untuk melakukan proses bisnis.

Daftar penyelenggara sertifikasi elektronik dari Kominfo
Penggunaan tanda tangan digital yang lebih luas memerlukan adopsi identitas digital

Adopsi Tanda Tangan Elektronik yang Lebih Luas Butuh Kehadiran Identitas Digital

Saat ini sektor pemerintahan di Indonesia sudah mulai mengadopsi tanda tangan elektronik atau digital. Beberapa di antaranya adalah pelayanan eFaktur di Ditjen Pajak, eSPM di Ditjen Perbendaharaan, Pengadaan Pemerintah Secara Elektronik, ePTSE di Kemandagri, dan SK Kenaikan Pangkat PNS Kemkominfo.

Penggunaan tanda tangan digital, menurut Plt Direktur Keamanan Informasi Kemkominfo, Riki Arif Gunawan, dalam lingkup pemerintahan sangat bermanfaat dalam meningkatkan efisiensi biaya dan waktu, terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan pengurusan izin.

“Untuk satu izin saja, dokumennya sangat tebal. Petugas harus mengecek satu per satu. Kalau [pakai tanda tangan] digital, lebih otomatis, dan waktu lebih efisien. Kepala dinas perizinan juga bisa tanda tangan hal lain di manapun dan kapanpun tanpa harus ada di kantor pusat,” tutur Riki ditemui usai menjadi pembicara di Talkshow Tanda Tangan Digital di kantor PrivyID, Jakarta.

Ia mengakui dunia digital rentan dengan peretasan dan penipuan karena mudah dimodifikasi dan dimanipulasi oknum-oknum tertentu. Untuk itu ia menekankan pentingnya jaminan berbentuk digital, yakni kepastian identitas pengguna, keutuhan bentuk digital, dan nirsangkal perbuatan. Tanpa ada jaminan ini, sulit untuk mempercayai pembuktian dokumen atau hal tertentu.

“Dengan menggunakan tanda tangan digital, kita dapat memastikan bahwa kapan sebuah dokumen tersebut ditandatangani dan oleh siapa,” ungkap Riki.

Bicara soal pemanfaatannya di Indonesia, Riki menilai tanda tangan digital di Indonesia belum bisa memanfaatkan teknologi yang lebih tinggi atau advanced. Alasannya, masyarakat Indonesia belum memiliki sebuah identitas digital yang dapat terverifikasi.

Beberapa negara maju, seperti Korea Selatan dan Estonia, sudah menggunakan teknologi advance dalam pemanfaatan tanda tangan digital. Artinya, tanda tangan digital dapat digunakan dalam lingkup aktivitas sehari-sehari dan tidak terbatas pada sektor tertentu saja, seperti sektor industri dan pemerintahan.

“Negara maju menggunakan [tanda tangan] digital yang lebih tinggi karena identitas penggunaannya bisa diverifikasi. Sementara, kalau kita belanja di marketplace dengan data nama dan nomor telepon, orang lain bisa saja mengaku sebagai kita,” papar Riki.

Apabila tanda tangan digital digunakan untuk layanan lain untuk pembeliaan produk yang memiliki nilai tinggi, pembuktiannya akan lebih sulit karena masyarakat belum bisa memberikan identitas digital yang terpercaya.

Username dan password yang kita pakai, hanya bisa dipercaya oleh satu layanan, tetapi pihak lain tidak bisa. Contoh internet banking, data kita bisa dipakai bank A, kalau bank lain tidak bisa karena bank A saja yang dipercaya,” ungkapnya.

Tantangan lainnya adalah perihal jaminan transaksi. Ia menilai sulit untuk memiliki bukti berbasis digital yang dapat dipercaya dan terverifikasi mengingat dokumen digital dapat dimanipulasi. Berbeda dengan bukti manual yang tersedia dalam bentuk dokumen kertas atau kuitansi.

Di Indonesia sendiri sudah ada penyedia tanda tangan digital serta sertifikat elektronik dan sertifikat digital yang sah, yakni PrivyID. Menurut Riki, jika layanan semacam ini diterapkan, Indonesia bisa melangkah jauh dalam hal pemanfaatan tanda tangan digital.

“Di Korea Selatan, implementasinya langsung di sektor perbankan karena penggunanya terverifikasi dengan eKTP, mereka paham cara menggunakannya, dan hal ini juga diwajibkan. Jika pengguna diberikan identitas digital, mereka akan menjadi pengguna terpercaya. Kami jadi lebih mudah untuk memberikan layanan lain yang lebih advance,” tambahnya.

Soal regulasi, implementasi tanda tangan digital telah berada di bawah Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012. Kendati demikian, Riki menilai bahwa Indonesia tetap membutuhkan regulasi yang mewajibkan implementasi di wilayah industri.

“Di PP memang disebutkan tidak wajib [menggunakan tanda tangan digital]. Maka itu, yang punya kuasa sektornya.”