Paragon Pictures today (22/6) announced the pre-series A funding from SALT Ventures and Inter Studio. The investment value is undisclosed. The production house is known operating under Ideosource Entertainment (part of NFC Indonesia and M Cash) which is also an early stage investor.
This additional capital will be focused on producing several new intellectual property (IP) in various forms, including live streaming content with GoPlay, animated children’s videos, series for the OTT platform, and new feature films.
“Our vision is to produce local content in various formats with a unique and fresh perspective for the Indonesian people and globally,” Paragon Pictures’ CEO, Robert Ronny said.
Previously, the IP developer had published several content variants, including several films entitled “Losmen Bu Broto”, “Backstage”, the animation “Ini Budi”, also the live streaming of JKT48 on GoPlay.
“The film industry is included in the pent-up demand industry, it means consumer demand for films by filmmakers, especially in Indonesia, will continue to boom after this pandemic ends,” SALT Ventures’ Managing Partner, Andika Sutoro Putra said.
Meanwhile, Kevin Sanjoto as Inter Studio’s partner added, “In my observation, geographically, politically and culturally, Indonesia was born as a large and unique country, and has a variety of positive local wisdom spread across various regions. Based on those things, the current content ecosystem developing in Indonesia still has enormous opportunities and attractiveness to be able to grow massively.”
In a general note, Inter Studio Group is a production house that has been operating for more than 50 years in Indonesia.
Ideosource Entertainment’s CEO, Andi S. Boediman said, “Furthermore, this investment will open up opportunities to collaborate with Inter Studio in developing new films based on IP assets owned by Inter Studio.”
Since 2018, Ideosource Entertainment has focused on investing in the Indonesian film industry and has been involved in funding various films such as “Keluarga Cemara”, “Gundala”, “Sobat Ambyar”, and “Bebas”. In addition, they have also invested in a number of digital platforms, including GoPlay and Cinepoint.
Regarding companies engaged in the IP sector, there is Visinema which previously invested by a venture capital. In series A led by Intudo Ventures, the company led by Angga Dwimas Sasongko managed to secure 45.5 billion Rupiah in funds.
Entering the same industry, IDN Media introduced IDN Pictures around mid-2020 by acquiring Demi Istri Production House.
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Paragon Pictures hari ini (22/6) mengumumkan perolehan pendanaan pra-seri A dari SALT Ventures dan Inter Studio. Tidak disebutkan nominal yang didapat. Diketahui, rumah produksi tersebut saat ini berada di bawah naungan Ideosource Entertainment (bagian dari NFC Indonesia dan M Cash) yang juga merupakan investor tahap awalnya.
Dana modal tambahan ini akan difokuskan untuk memproduksi beberapa intellectual property (IP) baru dengan beragam bentuk, termasuk konten live streaming bersama GoPlay, video animasi anak, serial untuk platform OTT, hingga film layar lebar baru.
“Visi kami adalah menghasilkan konten lokal dalam berbagai format dengan sudut pandang yang unik dan segar bagi masyarakat Indonesia dan juga internasional,” ujar CEO Paragon Pictures Robert Ronny.
Sebelumnya pengembang IP tersebut sudah mempublikasikan beberapa varian konten, termasuk film berjudul “Losmen Bu Broto”, “Backstage”, animasi “Ini Budi”, hingga sajian live streaming JKT48 di GoPlay.
“Industri perfilman termasuk dalam pent-up demand industry, artinya permintaan konsumen akan film-film karya filmmaker khususnya di Indonesia akan booming setelah pandemi ini berakhir,” jelas Managing Partner SALT Ventures Andika Sutoro Putra.
Sementara itu, Kevin Sanjoto selaku Partner Inter Studio menambahkan, “Dalam pandangan saya, secara geografis, politik dan budaya, Indonesia lahir sebagai negara besar dan unik, serta memiliki ragam kearifan lokal positif yang tersebar di berbagai wilayah. Dari keunikan tersebut, ekosistem konten yang saat ini berkembang di Indonesia masih memiliki peluang dan daya tarik yang sangat besar untuk dapat bertumbuh secara masif.”
Seperti diketahui, Inter Studio Group merupakan rumah produksi yang sudah berjalan lebih dari 50 tahun di Indonesia.
CEO Ideosource Entertainment Andi S. Boediman mengatakan, “Lebih lanjut, investasi ini akan membuka kesempatan untuk berkolaborasi dengan Inter Studio dalam mengembangkan film-film baru berdasarkan aset IP yang dimiliki oleh Inter Studio.”
Sejak tahun 2018, Ideosource Entertainment telah memfokuskan investasi di industri film Indonesia dan telah turut dalam pendanaan berbagai film seperti “Keluarga Cemara”, “Gundala”, “Sobat Ambyar”, dan “Bebas”. Selain itu, mereka juga berinvestasi ke sejumlah platform digital, termasuk GoPlay dan Cinepoint.
Terkait perusahaan yang bergerak di bidang IP sendiri, sebelumnya ada Visinema yang juga terima pendanaan dari venture capital. Di seri A yang dipimpin Intudo Ventures, perusahaan yang dinakhodai oleh Angga Dwimas Sasongko berhasil membukukan dana 45,5 miliar Rupiah.
Masuk ke ranah yang sama, IDN Media pada pertengahan tahun lalu juga melahirkan IDN Pictures dengan mengakuisisi rumah produksi Demi Istri Production.
Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.
Serial entrepreneur itu langka. Terutama ketika seseorang berhasil mengubah passion menjadi sesuatu yang menghasilkan uang. Andi Boediman sangat beruntung menjadi bagian dari klan spesial ini. Saat ini ia sedang sangat antusias dengan hasratnya dalam industri film sembari menjalankan bisnis investasi, Digital College, serta Digital Marketing Agency.
Setelah mengampu pendidikan di US, tujuan awalnya adalah menjadi seorang desainer. Dalam perjalanannya, ia membangun karir sebagai orang yang kreatif, memulai sebuah perusahaan desain yang berubah menjadi agensi pemasaran. Semangatnya terhadap pendidikan mendorongnya untuk membangun sekolah teknologi dan kreatif bernama IDS Digital College.
Aksi debutnya di industri digital adalah ketika ia mendirikan Plasa.com, sebuah perusahaan e-commerce di bawah grup Telkom. Andi mencicipi pahit manisnya dunia entrepreneurship untuk mendirikan perusahaan dari bawah hingga berhasil menjalin kemitraan dengan eBay.
Ia mendirikan Ideosource sebagai modal ventura untuk menanamkan modal di perusahaan tahap awal (startup) dan dalam 9 tahun terakhir telah berinvestasi di 27 perusahaan teknologi.
Saat ini, ia menjabat sebagai CEO di Ideosource Entertainment, kini telah berinvestasi dalam 15 film, dan akan terus bertambah. Selain itu, ia juga duduk sebagai Komisaris di Bhinneka.com, salah satu e-commerce B2B terkemuka di Indonesia. Ia juga seorang pendiri dari IDS Digital College, sebuah sekolah teknologi & kreatif.
Andi Boediman akan memasuki usia emasnya di tahun ini. Ia telah ditempa selama lebih dari 20 tahun dan bersedia berbagi beberapa pengalaman berharga melalui sesi ini.
Dimulai dari kapan Anda pertama kali mengalami ketertarikan dengan industri kreatif atau film secara spesifik?
Saya pernah belajar film di New York pada tahun 1999. Ketika saya kembali ke Indonesia, hampir tidak ada industri film lokal yang berjaya. Setelah berpetualang di industri kreatif, saya memulai Ideosource Venture Capital bersama Edward pada tahun 2011, kami mpraktis menjadi dana kelolaan pada tahun 2014. Sekitar tahun 2017, ketika seluruh dana telah didistribusikan, kami memikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya?
Pada 2016, saya menonton film Cek Toko Sebelah dan sangat menyukainya. Lalu, ketika saya menonton film Kartini, karya itu solah-olah berbicara kepada saya. “Seseorang disebut pahlawan, bukan karena perjalanan hidupnya, namun ditentukan oleh satu momen”. Kartini, misalnya, adalah ketika ia mengorbankan dirinya untuk menikah agar dapat membangun sekolah bagi anak perempuan. Saya sangat terinspirasi oleh sudut dan perspektif film ini.
Pada 2017 saya memutuskan untuk kembali menoleh pada hasrat saya dalam film dengan mempelajari industrinya. Saya menyadari bahwa saya harus memanfaatkan pengalaman saya dalam investasi untuk bisa memasuki industri film. Pendekatan yang kita gunakan adalah manajemen risiko, tidak jauh berbeda dengan konsep Modal Ventura.
Dengan pendekatan yang didorong oleh passion disisipkan sejumlah perhitungan dan logika yang sesuai, kami sekarang telah berinvestasi dalam 15 film secara total. Dengan beberapa film terkenal seperti Keluarga Cemara & Gundala, dana pertama ini sebenarnya dapat dikatakan investasi ramah tamah. Saat ini kami tengah menggalang dana untuk berinvestasi dalam film & serial untuk beberapa kekayaan intelektual (intellectual property) terbaik di Indonesia.
Dari sisi venture capital, apa yang mendorong Anda mendirikan Ideosource? Ada cerita apa dibalik didirikannya modal ventura ini?
Pada tahun 2009, saya direkrut untuk memulai startup di Telkom. Saya mengatur Plasa.com sebagai situs web e-niaga dan membawa eBay menjadi mitra. Kontrak berakhir pada 2011 dan saya memutuskan untuk tidak melanjutkan. Bersama dengan mitra saya Edward Chamdani, saya bertemu dengan pendiri ekuitas swasta Northstar dan pendiri Trikomsel.
Mereka berbagi wawasan yang bijaksana. Dengan lansekap ekonomi saat ini, pertumbuhan teknologi dan populasi Indonesia berjalan sepanjang waktu itu, itu adalah waktu yang tepat untuk berinvestasi dalam startup melalui modal ventura.
Kami mulai dengan model inkubasi. Satu perusahaan yang menunjukkan hasil positif adalah Touchten, itu dikalikan 7 kali lipat. Setelah keluar dari beberapa ekuitas kami, kami memulai struktur dana yang tepat pada tahun 2014. Kami bertemu dengan Sinarmas Group dan mereka menjadi LP eksternal dan mitra pertama kami. Hingga saat ini, kami telah tumbuh hingga USD $ 15 juta.
Dalam menentukan portfolio, apa yang menjadi metrik Anda dalam menilai sebuah perusahaan layak untuk di-invest?
Ketika Anda melakukan investasi, Anda berinvestasi dalam dua hal. Pendiri dan masalahnya. Pertama, apakah Anda percaya pendiri adalah seseorang yang mampu menyelesaikan masalah? Kedua, seberapa besar masalahnya? Ketika Anda yakin masalahnya cukup besar dan ini adalah pendiri yang baik, maka Anda memberinya sumber daya tanpa batas. Model ini bekerja terutama dalam investasi benih.
Sebagai contoh, salah satu portofolio kami adalah eFishery. Kami hampir tidak mengerti tentang industri perikanan. Kami melihat bahwa pendiri adalah pendiri yang kuat dan benar-benar memahami masalahnya. Kami memutuskan untuk berinvestasi bersama dengan modal ventura lain yang memahami industri akuakultur, sementara kami berkontribusi untuk membuka jaringan lokal. Dengan semakin masuk ke dalam rantai nilai industri perikanan, perusahaan tumbuh secara signifikan dan sekarang bernilai 20 kali lipat dari saat kita masuk ke perusahaan.
Dalam industri film, kami berinvestasi pada produser, yang bertanggung jawab untuk memproduksi film dan menjalankan bisnis. Dia mempekerjakan sutradara film. Kami berinvestasi pada produsen berpengalaman dengan kemampuan yang telah terbukti dalam merilis dan mendistribusikan film komersial.
Masalahnya dengan produsen baru ke industri, seseorang dapat membuat produk tetapi tidak menjamin kesuksesan komersial. Hanya ada segelintir direktur yang dapat menarik perhatian orang melalui kreasi mereka. Setelah melihat angka industri, kekuatannya terletak pada film berbasis IP dengan produser berpengalaman.
Anda akan segera memasuki usia emas tahun ini. Selama mengarungi perjalanan sebagai seorang serial entrepreneur lebih dari 20 tahun, bagaimana Anda mengetahui bahwa sudah berada di jalur yang tepat?
Saya tidak pernah memutuskan sesuatu secara instan dengan mengetahui itu adalah keputusan yang tepat. Kebanyakan keputusan besar yang saya buat melibatkan insecurity. Misalnya, ketika saya menerima tawaran Telkom pada tahun 2009, pekerjaan itu membuat saya sangat tidak aman karena saya tidak pernah membangun bisnis e-commerce sebelumnya. Namun, saya mengerahkan semua upaya, waktu, dan sumber daya dalam mengerjakan segala sesuatunya. Hal ini kembali terjadi ketika saya pertama kali mendirikan VC atau memasuki industri film. Saya menempatkan diri dalam sebuah hal yang penuh tantangan lalu berusaha yang terbaik dalam menjalankannya.
Selama pandemi, bagaimana masa krisis ini berdampak pada bisnis dan investasi Anda?
Kita kerap kali berhenti berinvestasi di saat krisis. Pelajaran hidup mengajarkan saya bahwa investasi di masa krisis memiliki kemungkinan untuk berdampak besar. Keputusan ini dibuat untuk bertahan hidup, melawan segala rintangan. Kami berinvestasi di GoPlay, dan menciptakan sinergi dengan Cinepoint, aplikasi pemeringkat film box office yang sebelumnya juga kami investasikan.
Kami membangun beberapa model bisnis baru selama pandemi. Kami membuat distribusi film. Selanjutnya, memugar beberapa hak cipta dari IP lama untuk mengubahnya menjadi film. Selama pandemi, kami memiliki waktu luang untuk finalisasi beberapa model bisnis. Satu hal mengenai krisis, naluri bertahan hidup menjadi lebih tajam ketika Anda memiliki tekanan besar.
Menurut Anda, apa pengalaman berharga selama menjadi serial entrepreneur yang bisa menjad contoh untuk orang-orang di sekitar?
Menurut saya, untuk bisa berhasil, seseorang tidak bisa hanya mencontoh perbuatan orang lain, namun pembelajaran terjadi ketika kita memiliki wawasan dan pola pikir yang tepat guna. Apa yang telah saya pelajari sepanjang perjalanan ini adalah memiliki pola pikir yang scalable. Jika kita hanya berpikir untuk menggandakan ukuran bisnis kita saat ini, biasanya kita berpikir untuk menggandakan usaha. Tetapi jika kita memiliki objektif 10 kali lipat dari skala saat ini, kita akan bisa menganalisis rantai nilai, model bisnis dan mengeksplorasi inovasi lainnya. Kemudian, cobalah untuk mencapai objektif ini dalam waktu 5 tahun.
Apakah Anda merasa bahagia dengan pencapaian saat ini? Apa yang menjadi target selanjutnya?
Saya bercita-cita untuk pensiun sebagai filmmaker. Di sini, saya berkesempatan untuk membuat sejumlah film. Jadi, jika ditanya bagaimana perasaan saya, tentu hal ini membuat saya bahagia.
Saya belum bisa menjawab apa yang ingin saya capai selanjutnya, tetapi paling tidak hal itu harus bisa berdampak 10 kali lebih baik dari apa yang saya lakukan saat ini.
– Artikel ini ditulis dalam Bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian
This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.
A serial entrepreneur is a rare breed. Especially when one gets to turn his passion into something that makes money. Andi Boediman is very lucky to be part of the special breed. He is recently working on his passion for the film industry while also running the investment business, a Digital College, and a Digital Marketing Agency.
After studying in the US, his initial goal was to be a designer. Along the way, he built his career as a creative person, started a design company that turned into a marketing agency. His passion towards education encouraged him to build a technology and creative school named IDS Digital College.
His forays into the digital industry was when he set up Plasa.com, an ecommerce company under Telkom group. He learned the hard way to set up the company from ground up and initiate the partnership with eBay.
He set up Ideosource as a venture capital to invest in startups and within the past 9 years, he invested in 27 tech companies.
He is now the CEO at Ideosource Entertainment, already invested in 15 films, and still counting. He also sits as a Commissioner in Bhinneka.com, one of the leading B2B e-commerce in Indonesia. And he founded IDS Digital College, a technology & creative school.
Andi Boediman is to hit the golden age this year. It is worth over 20 years of experience and he’s willing to share some through this session.
Let’s start from when you first catch interest in the creative industry or specifically film/filmmaking?
I used to study film in New York in 1999. When I went back to Indonesia, there was barely any local film industry. After an adventure in the creative industry, I started Ideosource Venture Capital with Edward in 2011, we practically became a fund in 2014. Around 2017 the money has been deployed, and we were thinking on what’s next?
In 2016, I watched the movie Cek Toko Sebelah and I love it. And when I saw the movie Kartini, it really speaks to me. “A hero becomes one, not because of the whole life journey, but determined by one particular moment”. Kartini, for example, is when she sacrificed herself and got married to be able to build a school for girls. I was very inspired by the angle and perspective of this film.
In 2017 I decided to revisit my previous passion in film by studying the industry. I realized that I have to use my experience in the investment to enter the film industry. We should use the risk management approach, similar to the Venture Capital model.
With a passion-driven approach supported by a little math and appropriate logic, we have now invested in 15 films. With some film hits like Keluarga Cemara & Gundala, the first fund is actually more like a friendly investment. We’re currently fundraising to invest in film & series for some of the biggest intellectual property in Indonesia.
In terms of venture capital, what makes you think Ideosource is a good idea? Tell me the story behind its creation.
In 2009, I was recruited to initiate a startup inside Telkom. I set up Plasa.com as an ecommerce website and brought eBay to be the partner. The contract ended in 2011 and I decided not to continue. Together with my partner Edward Chamdani, I met the founder of Northstar private equity and the founder of Trikomsel.
They shared a thoughtful insight. With the current economic landscape, technology growth and Indonesian population run along that time, it was the right time to invest in startups through venture capital.
We started with the incubation model. One company that shows the positive result is Touchten, it multiplied 7 fold. After exiting some of our equity, we started a proper fund structure in 2014. We met with Sinarmas Group and they became our first external LP and partner. To date, we have already grown to USD$15 million.
In terms of portfolio, what do you see in a company that makes you want to invest? Please reveal the metrics.
When you make an investment, you invest in two things. The founder and the problem. First, do you believe the founder is someone who is capable of solving the problem? Second, how big is the problem? When you believe the problem is big enough and this is a good founder, then you give him unlimited resources. This model works particularly in seed investment.
As an example, one of our portfolios is eFishery. We hardly understand about the fishing industry. We see that the founder is a strong founder and really understands the problem. We decided to co-invest with the other venture capital that understands the aquaculture industry, while we contribute to open the local network. By getting deeper into the value chain of the fishing industry, the company grows significantly and now is valued 20 times than when we get into the company.
In the film industry, we invest in the producer, who is responsible for producing the film and running the business. He hires the film director. We invest in experienced producers with a proven capability in releasing and distributing a commercial film.
The thing with a new-to-industry producer, one can make a product but doesn’t guarantee commercial success. There are only less than a handful directors who can attract people by their creation. After looking at the industry numbers, the power lies in IP based movies with experienced producers.
You are to reach the golden age this year, you’ve been a serial entrepreneur for over 20 years. How do you know you’ve made the right decision?
I never decided something instantly knowing it’s the right decision. Most of my biggest decisions make me very insecure. For example, when I accepted Telkom’s offer in 2009, the job made me very insecure since I never built an ecommerce business before. Yet, I put all my effort, time, and resource into it. It is also what happened when I first set up a VC or entered the film industry. I put myself up to the challenge and just do it.
Also, during this pandemic, how the crisis impacts your business and investment?
We often stopped investing in times of crisis. My life lesson told me that investment in a time of a crisis is most likely to turn out very impactful. It was a survival decision, against all odds. We invest in GoPlay, and create a synergy with Cinepoint, a film box office rating app that we previously invested as well.
We established a few new business models during the pandemic. We create a film distribution. Next, Also, clearing some rights from old IPs to turn it into films. During the pandemic season, we got spare time to settle up some business models. That’s the thing with a crisis, the survival instinct gets sharper when you had the biggest pressure.
What do you think people could learn from your experience?
I don’t think people should follow from what other people did, but we definitely can learn from the insight and mindset. What I have learned throughout this journey is to have a scalable mindset. If we only think to double the current size of our business, usually we think of doubling the effort. But if we think 10 times the current size, we will analyze the value chain, business model and explore other innovations. And try to achieve this goal within 5 years.
Are you happy with what you have now? What’s next?
My plan for my retirement was to be a filmmaker. Here I am making a number of movies. So I am happy now.
I can’t answer what I want to achieve next, but it should be 10 times the impact of what I am doing now.
Aplikasi rating dan box office film bioskop Cinepoint mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal dengan nilai dirahasiakan dari Ideosource Entertainment. Dana segar tersebut digunakan untuk mengembangkan fitur-fitur yang secara langsung membantu industri perfilman Indonesia, bisa terintegrasi dengan platform lain, dan perluas rating untuk konten di dalam platform OTT.
Ideosource Entertainment sebelumnya juga berinvestasi untuk pendanaan GoPlay, platform OTT milik Gojek. Baik Cinepoint dan GoPlay adalah bentuk komitmen dari Ideosource untuk membangun ekosistem perfilman di Indonesia yang lebih baik.
Cinepoint adalah aplikasi rating dan box office yang tayang di bioskop Indonesia, baik lokal maupun internasional. Rating diukur melalui exit polling yang diisi oleh penonton setelah selesai menonton dan diverifikasi secara real-time. Data box office selalu diperbarui secara rutin, dilengkapi dengan grafik mingguan maupun data historis dan infografik.
Sejatinya aplikasi ini sudah hadir sejak tahun lalu di bawah pengembang Inspira PRJ. Adapun sosok di balik aplikasi Cinepoint adalah akun Twitter @bicaraboxoffice yang kerap memberikan informasi jumlah penonton film yang tengah tayang di bioskop.
Kepada DailySocial, Direktur Utama Cinepoint Sigit Prabowo menjelaskan, Cinepoint berbeda dengan layanan lainnya yang lebih condong ke arah review film. Cinepoint memosisikan diri sebagai pemberi rating film berdasarkan angka, tanpa review. Angka lebih bersifat absolut dan benar-benar menggambarkan penilaian dari penonton.
Menurutnya, metode seperti ini sudah familiar dilakukan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Akan tetapi, penilaian diambil secara manual lewat secarik kertas yang diisi penonton setelah keluar dari bioskop. Cinepoint mendigitalkan proses tersebut untuk dibawa masuk ke Indonesia.
“Dengan digital, industri bisa mendapat gambaran jauh lebih luas, persebaran penonton, bisa memprediksi selera berdasarkan lokasi, dan lain sebagainya. Kita seperti big data analytics tapi khusus film,” ucapnya, Kamis (25/6).
Untuk memberikan rating, pengguna akan diminta memasukkan lokasi bioskop disertai scan tiket. Lalu memasukkan nama film yang ditonton, jam, dan nomor kursi bioskop. Penonton dapat menilai film dari skala 1-10.
Perlu dicatat, pemberian rating ini disarankan setelah selesai menonton atau tidak jauh dari lokasi bioskop. Setiap rating yang diberikan, pengguna akan mendapat poin.
Ketertarikan Sigit di dunia film dan analitik akhirnya menginspirasi untuk mengembangkan Cinepoint agar lebih serius dan terstruktur agar memberikan dampak positif untuk industri film. Sejak pertama kali dirilis hingga kini, dia menyebut Cinepoint telah mengantongi 40 ribu pengguna.
Salah satu fitur yang akan dikembangkan adalah rating untuk film yang tayang di platform OTT. Kata Sigit, pandemi membuat konsumsi konten film di platform OTT melesat, akhirnya mendorong tim untuk mengembangkan fitur tersebut.
Pendanaan dari Ideosource
Secara terpisah, dalam keterangan resmi yang disebarkan kemarin (24/6), CEO Ideosource Entertainment Andi Boediman menerangkan pihaknya sangat peduli terhadap perkembangan industri film. Namun, tidak bisa disangkal kalau pandemi berdampak luas terhadap industri film, ribuan pekerja film pun banyak yang terdampak secara ekonomi.
“Oleh karena itu, Ideosource Entertainment melalui Cinepoint melakukan sinergi dengan GoPlay untuk membantu pekerja film,” kata Andi.
Karena Cinepoint kini sudah masuk dalam portofolio Ideosource Entertainment, bersama GoPlay, kini kedua perusahaan saling bersinergi. Di dalam aplikasi Cinepoint akan tersedia voucher GoPlay yang dapat dibeli. Pengguna akan mendapatkan reward cashback setiap pembelian paket berlangganan.
GoPlay, the on-demand video platform in Gojek’s ecosystem today (8/6) announced the closure of its first funding round with an undisclosed value. This is independent funding, it means the investment is directed specifically to the core company instead of the parent company.
This is the first external funding announced by the Gojek group’s business unit. The concept is practically the definition of a spin-off, but GoPlay’s CEO Edy Sulistyo told DailySocial that GoPlay will remain part of the whole Gojek ecosystem.
Edy breaks down the news that every Gojek business unit with a different model must have a different business license because it has to adjust to the Indonesian rule.
“Independent PT [GoPlay] has existed since the day it’s founded because it requires different permits. […] [Nevertheless] we are always part of the Gojek ecosystem,” he said, Monday (6/8).
The funding round was led by ZWC Partners and Golden Gate Ventures. Other investors involved were Openspace Ventures, Ideosource Entertainment, and Redbage Pacific.
Edy said that the capital fund obtained is to be focused on developing GoPlay technology to reach more users in Indonesia. Content creators are also expected to use GoPlay to distribute their work to wide markets.
He further said Indonesian content creators needed more platforms to be able to show their talent and work. While at the same time, more and more Indonesian mobile users demand fast and easy access to local content.
The great potential can’t be performed by the cinema industry alone and he is trying hard to close the gap between the needs and availability of quality content through technology.
“We are proud that investors can acknowledge GoPlay’s mission. We are working hard to develop technology and improve GoPlay features over the past year. Therefore, now is the time to embrace partners with deep expertise in the industry to spur our growth,” he said in an official statement.
Some investors in this round also made their statements on this occasion. ZWC Partner’s Founding & Managing Partner, Patrick Cheung said, “We are very happy that Gojek and GoPlay acknowledge the added value ZWC Partners can provide in developing GoPlay, such as our resources, networks, also knowledge and experience in the Chinese market.”
Ideosource Entertainment CEO (subsidiary of NFCX) Andi Boediman added, “Looking at today’s growth and demand for streaming content, we believe that the Indonesian content market has the potential to reach $1 billion in the next three years.”
For the record, Ideosource Entertainment and GoPlay, through GoStudio, have collaborated several times for creating content for the big screen.
Since it was first released in September 2019, GoPlay is claimed to have been reached by hundreds of thousands of mobile users inside and outside the Gojek ecosystem. This platform has given consumers exclusive access to hundreds of locally produced films and serials.
Currently, GoPlay has developed its technology with the Cast feature from application to television using Chromecast devices for Android and AirPlay for Apple.
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
GoPlay, platform video on-demand dari Gojek hari ini (8/6) mengumumkan penutupan putaran pendanaan perdananya dengan nilai dirahasiakan. Pendanaan ini bersifat independen, artinya investasi dialirkan secara khusus ke perusahaan, tidak melalui induk perusahaan.
Pendanaan dari pihak eksternal ini adalah yang perdana diumumkan unit bisnis grup Gojek. Konsepnya masuk ke definisi spin off, tetapi CEO GoPlay Edy Sulistyo kepada DailySocial memastikan bahwa GoPlay akan tetap menjadi bagian dari ekosistem Gojek secara keseluruhan.
Edy menjelaskan setiap unit bisnis Gojek dengan model yang berbeda pasti memiliki izin usaha yang berbeda karena harus menyesuaikan dengan aturan yang berlaku di Indonesia.
“PT sendiri [GoPlay] sudah ada sejak awal berdiri karena punya izin yang berbeda. [..] [Meskipun demikian] kami selalu ada di dalam ekosistem Gojek,” ujarnya, Senin (8/6).
Putaran pendanaan dipimpin oleh ZWC Partners dan Golden Gate Ventures. Investor lainnya yang turut terlibat adalah Openspace Ventures, Ideosource Entertainment, dan Redbage Pacific.
Edy menuturkan bahwa dana modal yang didapatkan akan difokuskan untuk mengembangkan teknologi GoPlay agar semakin banyak bisa dijangkau lebih banyak pengguna di Indonesia. Kreator konten pun diharapkan bisa memanfaatkan GoPlay untuk mendistribusikan hasil karya mereka kepada lebih banyak orang.
Lebih lanjut dia mengatakan, para kreator konten Indonesia membutuhkan lebih banyak platform untuk dapat menunjukkan bakat dan karya mereka. Sementara di saat yang sama, semakin banyak pengguna ponsel Indonesia yang menginginkan akses ke lebih banyak konten lokal secara cepat dan mudah.
Potensi besar ini belum bisa dijawab oleh industri bioskop dan dia berusaha keras untuk menutup kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan terhadap konten berkualitas melalui teknologi.
“Kami bangga bahwa investor dapat melihat misi yang hendak GoPlay capai. Kami bekerja keras untuk membangun teknologi dan menyempurnakan fitur-fitur GoPlay selama setahun terakhir ini. Sehingga, sekarang saatnya untuk merangkul para partner yang memiliki keahlian mendalam di industri untuk memacu pertumbuhan kami,” katanya terpisah dalam keterangan resmi.
Sejumlah investor yang masuk dalam putaran ini juga menyampaikan pernyataannya dalam kesempatan ini. Founding & Managing Partner ZWC Partners Patrick Cheung mengatakan, “Kami sangat senang bahwa Gojek dan GoPlay memperhitungkan nilai tambah yang dapat ZWC Partners berikan dalam pengembangan GoPlay, yaitu sumber daya, jaringan, serta pengetahuan dan pengalaman kami di pasar Tiongkok.”
CEO Ideosource Entertainment (anak usaha NFCX) Andi Boediman menambahkan, “Melihat pertumbuhan dan permintaan akan konten streaming dewasa ini, kami percaya bahwa pasar konten Indonesia berpotensi untuk mencapai $1 miliar dalam tiga tahun ke depan.”
Sebagai catatan, Ideosource Enterntainment dan GoPlay, melalui GoStudio, sudah pernah beberapa kali berkolaborasi untuk pembuatan konten untuk layar lebar.
Sejak pertama kali dirilis pada September 2019, diklaim GoPlay telah dijangkau oleh ratusan ribu pengguna ponsel di dalam maupun di luar ekosistem Gojek. Platform ini telah memberikan akses eksklusif bagi konsumen ke ratusan film dan serial yang diproduksi secara lokal.
Saat ini GoPlay telah mengembangkan teknologinya dengan fitur Cast dari aplikasi ke televisi dengan menggunakan perangkat Chromecast untuk Android dan AirPlay untuk Apple.
Update: kami menulis ulang tentang konsep spin off antara GoPlay dan Gojek