Tag Archives: IDS Digital College

Founder, Akar Masalah dan Solusi dari Startup yang Gagal

Hadirnya startup di Indonesia menunjukkan jika inovasi dan kreativitas sumber dayanya sangat tinggi. Sudah tidak terhitung lagi berapa banyak startup yang berjalan di negeri ini. Bahkan, banyak orang yang berlomba-lomba mengembangkan inovasi melalui startup

Namun, di luar banyaknya yang menceritakan startup yang unggul dan sukses menjadi Unicorn, di belakang itu juga banyak startup yang jatuh, yang tidak bisa melampaui tantangan-tantangan di awal.

Melalui seri webinar yang yang dilakukan IDS X ITS dengan tema “Webinar Startup Teknologi MIST-ITS: Why Startups Fail? Learning the Mistake from Founders”, menjelaskan bagaimana seharusnya seorang founder startup mengambil inisiatif untuk menjadi sukses dengan cara mempelajari kesalahan apa yang mungkin selama ini banyak dilakukan oleh mereka yang gagal atau tidak sukses.

Membuat startup itu mudah, tetapi bertahannya yang sulit

Dalam webinar ini founder dan CEO DailySocial, Rama Mamuaya menjelaskan jika membuat startup teknologi itu udah, Anda hanya perlu membeli website atau membeli domain, dan memiliki kartu nama sebagai CEO di salah satu company juga hal yang tidak sulit.

Akan tetapi, hal yang paling sulit dalam membangun startup adalah mempertahankan inovasi yang dibuat dalam kurun waktu dua, lima, atau sepuluh tahun. Inilah tantangan utama seorang founder yang sebenarnya.

Rama juga menyebutkan di Indonesia bahkan secara global, hampir 90% startup tidak bisa bertahan dalam jangka waktu 3 tahun. Selain itu faktor lainnya adalah winning is harder, semua founder pasti ingin memiliki startup yang lebih maju dan lebih menang dari kompetitornya atau  ingin mengalahkan kompetitornya-kompetitor tersebut dari berbagai matriks.

Sehingga, mempertahankan dan menjalankan startup berkali lipat lebih sulit daripada membuatnya.

Mengapa startup Indonesia banyak yang tidak bisa bertahan?

Ada tiga komponen penting dalam membangun sebuah startup yaitu ide, tim founder, dan juga time.

Startup bisa gagal karena founder-nya menyerah dan berhenti bekerja, hal ini biasanya disebabkan oleh habisnya uang atau energi.

“Aku rasa ini bisa menjadi akar permasalahan mereka yaitu tidak memiliki cukup pengguna,” tambah Rama. 

Sebanyak 81% startup Indonesia kehabisan uang karena tidak memiliki user (pengguna) yang cukup banyak untung menggunakan aplikasi atau inovasi yang dikembangkang. Sedangkan, user yang signifikan menggunakan aplikasi adalah cara mempertahankan sebuah startup.

Gagalnya startup juga bisa disebabkan oleh ide yang belum matang, karena pengembangan startup adalah sebagai sebuah solusi untuk memecahkan masalah. Apakah masalah tersebut benar-benar ada? Jika, ada berapa persen orang yang mengalami masalah tersebut, jangan sampai masalah ini hanya dirasakan oleh foundernya saja atau masalah yang dibuat-buat.

Kemudian, masalah waktu juga bisa menjadi hal yang cukup krusial untuk mengembangkan sebuah inovasi teknologi. Memilih waktu yang tepat untuk meluncurkan sebuah inovasi adalah saat adopsi awal, di mana belum banyak persaingan dan juga di pasaran masih dalam tahap pertumbuhan.

Gagal menjadi strategi untuk sukses

Membuat sebuah bisnis yang sukses itu ada dengan banyak jalan, tidak ada satu formula atau jalur yang serupa untuk membuat bisnis bisa menjadi besar dan sukses. Namun, satu formula yang dapat dipelajari adalah mengapa founder tersebut bisa gagal.

Salah satu alasan startup luar negeri bisa sukses adalah karena mereka tidak dikucilkan oleh masyarakat atau orang terdekat, tetapi belajar dari kegagalan tersebut. Ketika sudah gagal hal yang seharusnya dilakukan adalah bagaimana agar tidak gagal untuk kedua kalinya.

Sehingga, belajar dari kegagalan founder atau startup dalam membangun inovasi adalah strategi untuk menuju bisnis yang sukses.

Untuk menghindari kegagalan dalam menjalankan bisnis startup, Anda juga bisa mengambil pendidikan yang berkaitan dengan bisnis startup. Salah satunya dengan mengikuti program S1, seperti software engineering, cyber security, multimedia technology, dan program S2 Startup Teknologi yang merupakan kerja sama Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) dengan IDS Digital College, yang memiliki tujuan untuk melakukan sinergi dengan industri startup melalui kerangka inovasi teknologi dan mengembangkan sumber daya manusia, serta pola pikir startup yang inovatif.

Dosen atau pengajar di S2 Startup Teknologi juga merupakan founder, CEO, dan managing director dari berbagai startup yang ada di Indonesia seperti PT  Mandiri Capital Indonesia, Somia Customer Experience, Endeavor Indonesia, dan Harukaedu. Simak selengkapnya di laman IDS Digital College berikut.

5 Pilihan Studi Profesional Demi Mempersiapkan Karir di Era Serba Digital

Sukses dalam berkarir tentu menjadi “goal” bagi setiap pekerja. Salah satu kunci dalam meraihnya adalah pekerja diharuskan memiliki penguasaan bidang pekerjaan profesional yang komprehensif. Hal itu menjadi krusial, sebab, di era digital seperti saat ini, para pekerja dituntut untuk memiliki keahlian yang relevan demi menjawab kebutuhan industri.

Bagi generasi muda, siasat berkiprah di dunia pekerjaan yang sesuai dengan kebutuhan di masa mendatang sangat penting, tatkala industri masa depan membutuhkan keahlian-keahlian baru. Secara garis besar, keahlian yang dibutuhkan terkait dengan revolusi industri yang cenderung mengarah ke arah digitalisasi. Untuk itu, buat Anda yang tengah mencari studi pendidikan tinggi, berikut ini ada 5 (lima) program perguruan tinggi dengan konsentrasi spesifik yang dibutuhkan di dunia kerja di masa mendatang yakni; Software Engineering, Cyber Security, Multimedia Technology, Business Management, dan Communication Studies.

Software Engineering

Dikutip dari laman IDS Digital College STMIK Indo Daya Suvana, ilmu Software Engineering umumnya memiliki peran dan posisi yang esensial, khususnya di industri startup teknologi yang kini sedang berkembang pesat. Seorang software engineer memiliki kemampuan untuk merekayasa perangkat lunak yang sesuai dengan teknologi mutakhir, untuk mengembangkan produk teknologi seperti aplikasi seluler, aplikasi web, serta perangkat lunak lainnya.

Software Engineer memiliki prospek karir yang cerah di masa depan. Menurut riset Mckinsey, keahlian software engineer masih dibutuhkan di beberapa dekade mendatang, dengan jangkauan karir di berbagai industri, khususnya startup teknologi. Kesempatan besar juga terbuka di industri media, komunikasi, finansial, kesehatan, manufaktur, sistem keamanan, distribusi, bahkan pemerintahan. Tertarik mengambil studi Software Engineering? Anda bisa cari informasinya sekaligus mendaftar di halaman ini.

Cyber Security

Produk digital yang saling terhubung antara satu sama lain kini semakin berkembang pesat di tengah masyarakat. Meski begitu, resiko keamanan siber juga turut berkembang, untuk itu sosok profesional yang menangani penanganan dan proteksi di dunia maya sangat diperlukan di industri. Ilmu Cyber Security berfokus kepada teknik merancang sistem sekuriti, pengujian sistem, teknik pertahanan dari cyber attack hingga teknik meretas (hacking) yang etis (sesuai hukum).

Prospek karir seorang cyber security sangat luas. Karir profesional cyber security mulai dari Cyber Security Consultant, Digital Forensics Analyst, Information Security Analyst, hingga Network Engineer.

Jika Anda tertarik untuk mendalami profesi Cyber Security, Anda dapat bergabung di IDS Digital College STMIK Indo Daya Suvana jurusan Cyber Security yang dapat dikunjungi di halaman ini.

Multimedia Technology

Di era produk digital, konten yang tersaji di publik juga mesti dalam bentuk digital (multimedia). Untuk itu, kebutuhan para perancang teknologi multimedia juga diperlukan dalam industri profesional di tahun-tahun mendatang. Seorang ahli teknologi multimedia harus memiliki beberapa kemampuan taktis seperti; pengolahan citra dan komputasi multimedia yang meliputi: pemrosesan informasi berupa text, speech, music, still image, video, animation beserta sumber-sumber lain ke dalam suatu coherent datastream, serta interaksi antar sejumlah perangkat antarmuka.

Program studi Multimedia Technology kini juga tersedia di IDS Digital College STMIK Indo Daya Suvana. Klik laman ini untuk mengetahui informasi lebih lanjut.

Business Management

Program studi Manajemen Bisnis juga menjadi salah satu pendidikan yang memiliki relevansi di industri masa depan. Betapa tidak, industri startup teknologi yang berkembang pesat belakangan ini memicu dinamika kewirausahaan yang besar di generasi muda. Business Management secara garis besar berfokus pada tata ilmu manajemen dalam sebuah bisnis. Sederhananya, jurusan ini mempersiapkan calon profesional dalam mengelola bisnis baik yang sudah berjalan dalam skala kecil, menengah, dan besar, hingga mempersiapkan untuk kemampuan entreprenership.

Communication Studies

Ilmu komunikasi juga diklaim sebagai salah satu jurusan pendidikan dengan prospek karir yang cerah di masa mendatang. Ilmu komunikasi secara umum mempelajari tentang bagaimana proses penyampaian pesan secara efektif kepada sasaran yang dituju. Selain itu, umumnya ilmu komunikasi sangat adaptif terhadap perkembangan teknologi sehingga prospek karir pemegang titel Ilmu Komunikasi sangat terbuka lebar.

Advertorial ini didukung oleh IDS Digital College STMIK Indo Daya Suvana.

Cerita Perjalanan Bisnis Andi Boediman: Ketika Passion Mengendalikan Rasa Cemas dengan Integritas

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Serial entrepreneur itu langka. Terutama ketika seseorang berhasil mengubah passion menjadi sesuatu yang menghasilkan uang. Andi Boediman sangat beruntung menjadi bagian dari klan spesial ini. Saat ini ia sedang sangat antusias dengan hasratnya dalam industri film sembari menjalankan bisnis investasi, Digital College, serta Digital Marketing Agency.

Setelah mengampu pendidikan di US, tujuan awalnya adalah menjadi seorang desainer. Dalam perjalanannya, ia membangun karir sebagai orang yang kreatif, memulai sebuah perusahaan desain yang berubah menjadi agensi pemasaran. Semangatnya terhadap pendidikan mendorongnya untuk membangun sekolah teknologi dan kreatif bernama IDS Digital College.

Aksi debutnya di industri digital adalah ketika ia mendirikan Plasa.com, sebuah perusahaan e-commerce di bawah grup Telkom. Andi mencicipi pahit manisnya dunia entrepreneurship untuk mendirikan perusahaan dari bawah hingga berhasil menjalin kemitraan dengan eBay.

Ia mendirikan Ideosource sebagai modal ventura untuk menanamkan modal di perusahaan tahap awal (startup) dan dalam 9 tahun terakhir telah berinvestasi di 27 perusahaan teknologi.

Saat ini, ia menjabat sebagai CEO di Ideosource Entertainment, kini telah berinvestasi dalam 15 film, dan akan terus bertambah. Selain itu, ia juga duduk sebagai Komisaris di Bhinneka.com, salah satu e-commerce B2B terkemuka di Indonesia. Ia juga seorang pendiri dari IDS Digital College, sebuah sekolah teknologi & kreatif.

Andi Boediman akan memasuki usia emasnya di tahun ini. Ia telah ditempa selama lebih dari 20 tahun dan bersedia berbagi beberapa pengalaman berharga melalui sesi ini.

Dimulai dari kapan Anda pertama kali mengalami ketertarikan dengan industri kreatif atau film secara spesifik?

Saya pernah belajar film di New York pada tahun 1999. Ketika saya kembali ke Indonesia, hampir tidak ada industri film lokal yang berjaya. Setelah berpetualang di industri kreatif, saya memulai Ideosource Venture Capital bersama Edward pada tahun 2011, kami mpraktis menjadi dana kelolaan pada tahun 2014. Sekitar tahun 2017, ketika seluruh dana telah didistribusikan, kami memikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya?

Pada 2016, saya menonton film Cek Toko Sebelah dan sangat menyukainya. Lalu, ketika saya menonton film Kartini, karya itu solah-olah berbicara kepada saya. “Seseorang disebut pahlawan, bukan karena perjalanan hidupnya, namun ditentukan oleh satu momen”. Kartini, misalnya, adalah ketika ia mengorbankan dirinya untuk menikah agar dapat membangun sekolah bagi anak perempuan. Saya sangat terinspirasi oleh sudut dan perspektif film ini.

Pada 2017 saya memutuskan untuk kembali menoleh pada hasrat saya dalam film dengan mempelajari industrinya. Saya menyadari bahwa saya harus memanfaatkan pengalaman saya dalam investasi untuk bisa memasuki industri film. Pendekatan yang kita gunakan adalah manajemen risiko, tidak jauh berbeda dengan konsep Modal Ventura.

Ideosource Entertainment
Ideosource Entertainment

Dengan pendekatan yang didorong oleh passion disisipkan sejumlah perhitungan dan logika yang sesuai, kami sekarang telah berinvestasi dalam 15 film secara total. Dengan beberapa film terkenal seperti Keluarga Cemara & Gundala, dana pertama ini sebenarnya dapat dikatakan investasi ramah tamah. Saat ini kami tengah menggalang dana untuk berinvestasi dalam film & serial untuk beberapa kekayaan intelektual (intellectual property) terbaik di Indonesia.

Dari sisi venture capital, apa yang mendorong Anda mendirikan Ideosource? Ada cerita apa dibalik didirikannya modal ventura ini?

Pada tahun 2009, saya direkrut untuk memulai startup di Telkom. Saya mengatur Plasa.com sebagai situs web e-niaga dan membawa eBay menjadi mitra. Kontrak berakhir pada 2011 dan saya memutuskan untuk tidak melanjutkan. Bersama dengan mitra saya Edward Chamdani, saya bertemu dengan pendiri ekuitas swasta Northstar dan pendiri Trikomsel.

Mereka berbagi wawasan yang bijaksana. Dengan lansekap ekonomi saat ini, pertumbuhan teknologi dan populasi Indonesia berjalan sepanjang waktu itu, itu adalah waktu yang tepat untuk berinvestasi dalam startup melalui modal ventura.

Kami mulai dengan model inkubasi. Satu perusahaan yang menunjukkan hasil positif adalah Touchten, itu dikalikan 7 kali lipat. Setelah keluar dari beberapa ekuitas kami, kami memulai struktur dana yang tepat pada tahun 2014. Kami bertemu dengan Sinarmas Group dan mereka menjadi LP eksternal dan mitra pertama kami. Hingga saat ini, kami telah tumbuh hingga USD $ 15 juta.

Plasa.com launching
Launching Plasa.com

Dalam menentukan portfolio, apa yang menjadi metrik Anda dalam menilai sebuah perusahaan layak untuk di-invest?

Ketika Anda melakukan investasi, Anda berinvestasi dalam dua hal. Pendiri dan masalahnya. Pertama, apakah Anda percaya pendiri adalah seseorang yang mampu menyelesaikan masalah? Kedua, seberapa besar masalahnya? Ketika Anda yakin masalahnya cukup besar dan ini adalah pendiri yang baik, maka Anda memberinya sumber daya tanpa batas. Model ini bekerja terutama dalam investasi benih.

Sebagai contoh, salah satu portofolio kami adalah eFishery. Kami hampir tidak mengerti tentang industri perikanan. Kami melihat bahwa pendiri adalah pendiri yang kuat dan benar-benar memahami masalahnya. Kami memutuskan untuk berinvestasi bersama dengan modal ventura lain yang memahami industri akuakultur, sementara kami berkontribusi untuk membuka jaringan lokal. Dengan semakin masuk ke dalam rantai nilai industri perikanan, perusahaan tumbuh secara signifikan dan sekarang bernilai 20 kali lipat dari saat kita masuk ke perusahaan.

Dalam industri film, kami berinvestasi pada produser, yang bertanggung jawab untuk memproduksi film dan menjalankan bisnis. Dia mempekerjakan sutradara film. Kami berinvestasi pada produsen berpengalaman dengan kemampuan yang telah terbukti dalam merilis dan mendistribusikan film komersial.

Masalahnya dengan produsen baru ke industri, seseorang dapat membuat produk tetapi tidak menjamin kesuksesan komersial. Hanya ada segelintir direktur yang dapat menarik perhatian orang melalui kreasi mereka. Setelah melihat angka industri, kekuatannya terletak pada film berbasis IP dengan produser berpengalaman.

 

Anda akan segera memasuki usia emas tahun ini. Selama mengarungi perjalanan sebagai seorang serial entrepreneur lebih dari 20 tahun, bagaimana Anda mengetahui bahwa sudah berada di jalur yang tepat?

Saya tidak pernah memutuskan sesuatu secara instan dengan mengetahui itu adalah keputusan yang tepat. Kebanyakan keputusan besar yang saya buat melibatkan insecurity. Misalnya, ketika saya menerima tawaran Telkom pada tahun 2009, pekerjaan itu membuat saya sangat tidak aman karena saya tidak pernah membangun bisnis e-commerce sebelumnya. Namun, saya mengerahkan semua upaya, waktu, dan sumber daya dalam mengerjakan segala sesuatunya. Hal ini kembali terjadi ketika saya pertama kali mendirikan VC atau memasuki industri film. Saya menempatkan diri dalam sebuah hal yang penuh tantangan lalu berusaha yang terbaik dalam menjalankannya.

International Young Design Entrepreneur Award
International Young Design Entrepreneur Award

Selama pandemi, bagaimana masa krisis ini berdampak pada bisnis dan investasi Anda?

Kita kerap kali berhenti berinvestasi di saat krisis. Pelajaran hidup mengajarkan saya bahwa investasi di masa krisis memiliki kemungkinan untuk berdampak besar. Keputusan ini dibuat untuk bertahan hidup, melawan segala rintangan. Kami berinvestasi di GoPlay, dan menciptakan sinergi dengan Cinepoint, aplikasi pemeringkat film box office yang sebelumnya juga kami investasikan.

Kami membangun beberapa model bisnis baru selama pandemi. Kami membuat distribusi film. Selanjutnya, memugar beberapa hak cipta dari IP lama untuk mengubahnya menjadi film. Selama pandemi, kami memiliki waktu luang untuk finalisasi beberapa model bisnis. Satu hal mengenai krisis, naluri bertahan hidup menjadi lebih tajam ketika Anda memiliki tekanan besar.

Menurut Anda, apa pengalaman berharga selama menjadi serial entrepreneur yang bisa menjad contoh untuk orang-orang di sekitar?

Menurut saya, untuk bisa berhasil, seseorang tidak bisa hanya mencontoh perbuatan orang lain,  namun pembelajaran terjadi ketika kita memiliki wawasan dan pola pikir yang tepat guna. Apa yang telah saya pelajari sepanjang perjalanan ini adalah memiliki pola pikir yang scalable. Jika kita hanya berpikir untuk menggandakan ukuran bisnis kita saat ini, biasanya kita berpikir untuk menggandakan usaha. Tetapi jika kita memiliki objektif 10 kali lipat dari skala saat ini, kita akan bisa menganalisis rantai nilai, model bisnis dan mengeksplorasi inovasi lainnya. Kemudian, cobalah untuk mencapai objektif ini dalam waktu 5 tahun.

from mind to market

Apakah Anda merasa bahagia dengan pencapaian saat ini? Apa yang menjadi target selanjutnya?

Saya bercita-cita untuk pensiun sebagai filmmaker. Di sini, saya berkesempatan untuk membuat sejumlah film. Jadi, jika ditanya bagaimana perasaan saya, tentu hal ini membuat saya bahagia.

Saya belum bisa menjawab apa yang ingin saya capai selanjutnya, tetapi paling tidak hal itu harus bisa berdampak 10 kali lebih baik dari apa yang saya lakukan saat ini.


Artikel ini ditulis dalam Bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Entering the golden age, Andi Boediman gets to work on his passion while running the investment business, a Digital College, and a Digital Marketing Agency

Andi Boediman’s Story: When Passion Beats Insecurity Through Integrity

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

A serial entrepreneur is a rare breed. Especially when one gets to turn his passion into something that makes money. Andi Boediman is very lucky to be part of the special breed. He is recently working on his passion for the film industry while also running the investment business, a Digital College, and a Digital Marketing Agency.

After studying in the US, his initial goal was to be a designer. Along the way, he built his career as a creative person, started a design company that turned into a marketing agency. His passion towards education encouraged him to build a technology and creative school named IDS Digital College.

His forays into the digital industry was when he set up Plasa.com, an ecommerce company under Telkom group. He learned the hard way to set up the company from ground up and initiate the partnership with eBay.

He set up Ideosource as a venture capital to invest in startups and within the past 9 years, he invested in 27 tech companies.

He is now the CEO at Ideosource Entertainment, already invested in 15 films, and still counting. He also sits as a Commissioner in Bhinneka.com, one of the leading B2B e-commerce in Indonesia. And he founded IDS Digital College, a technology & creative school.

Andi Boediman is to hit the golden age this year. It is worth over 20 years of experience and he’s willing to share some through this session.

Let’s start from when you first catch interest in the creative industry or specifically film/filmmaking?

I used to study film in New York in 1999. When I went back to Indonesia, there was barely any local film industry. After an adventure in the creative industry, I started Ideosource Venture Capital with Edward in 2011, we practically became a fund in 2014. Around 2017 the money has been deployed, and we were thinking on what’s next?

In 2016, I watched the movie Cek Toko Sebelah and I love it. And when I saw the movie Kartini, it really speaks to me. “A hero becomes one, not because of the whole life journey, but determined by one particular moment”. Kartini, for example, is when she sacrificed herself and got married to be able to build a school for girls. I was very inspired by the angle and perspective of this film.

In 2017 I decided to revisit my previous passion in film by studying the industry. I realized that I have to use my experience in the investment to enter the film industry. We should use the risk management approach, similar to the Venture Capital model.

Ideosource Entertainment
Ideosource Entertainment

With a passion-driven approach supported by a little math and appropriate logic, we have now invested in 15 films. With some film hits like Keluarga Cemara & Gundala, the first fund is actually more like a friendly investment. We’re currently fundraising to invest in film & series for some of the biggest intellectual property in Indonesia.

In terms of venture capital, what makes you think Ideosource is a good idea? Tell me the story behind its creation.

In 2009, I was recruited to initiate a startup inside Telkom. I set up Plasa.com as an ecommerce website and brought eBay to be the partner. The contract ended in 2011 and I decided not to continue. Together with my partner Edward Chamdani, I met the founder of Northstar private equity and the founder of Trikomsel.

They shared a thoughtful insight. With the current economic landscape, technology growth and Indonesian population run along that time, it was the right time to invest in startups through venture capital.

We started with the incubation model. One company that shows the positive result is Touchten, it multiplied 7 fold. After exiting some of our equity, we started a proper fund structure in 2014. We met with Sinarmas Group and they became our first external LP and partner. To date, we have already grown to USD$15 million.

Plasa.com launching
Plasa.com launching

In terms of portfolio, what do you see in a company that makes you want to invest? Please reveal the metrics.

When you make an investment, you invest in two things. The founder and the problem. First, do you believe the founder is someone who is capable of solving the problem? Second, how big is the problem? When you believe the problem is big enough and this is a good founder, then you give him unlimited resources. This model works particularly in seed investment.

As an example, one of our portfolios is eFishery. We hardly understand about the fishing industry. We see that the founder is a strong founder and really understands the problem. We decided to co-invest with the other venture capital that understands the aquaculture industry, while we contribute to open the local network. By getting deeper into the value chain of the fishing industry, the company grows significantly and now is valued 20 times than when we get into the company.

In the film industry, we invest in the producer, who is responsible for producing the film and running the business. He hires the film director. We invest in experienced producers with a proven capability in releasing and distributing a commercial film.

The thing with a new-to-industry producer, one can make a product but doesn’t guarantee commercial success. There are only less than a handful directors who can attract people by their creation. After looking at the industry numbers, the power lies in IP based movies with experienced producers.

You are to reach the golden age this year, you’ve been a serial entrepreneur for over 20 years. How do you know you’ve made the right decision?

I never decided something instantly knowing it’s the right decision. Most of my biggest decisions make me very insecure. For example, when I accepted Telkom’s offer in 2009, the job made me very insecure since I never built an ecommerce business before. Yet, I put all my effort, time, and resource into it. It is also what happened when I first set up a VC or entered the film industry. I put myself up to the challenge and just do it.

International Young Design Entrepreneur Award
International Young Design Entrepreneur Award

Also, during this pandemic, how the crisis impacts your business and investment?

We often stopped investing in times of crisis. My life lesson told me that investment in a time of a crisis is most likely to turn out very impactful. It was a survival decision, against all odds. We invest in GoPlay, and create a synergy with Cinepoint, a film box office rating app that we previously invested as well.

We established a few new business models during the pandemic. We create a film distribution. Next, Also, clearing some rights from old IPs to turn it into films. During the pandemic season, we got spare time to settle up some business models. That’s the thing with a crisis, the survival instinct gets sharper when you had the biggest pressure.

What do you think people could learn from your experience?

I don’t think people should follow from what other people did, but we definitely can learn from the insight and mindset. What I have learned throughout this journey is to have a scalable mindset. If we only think to double the current size of our business, usually we think of doubling the effort. But if we think 10 times the current size, we will analyze the value chain, business model and explore other innovations. And try to achieve this goal within 5 years.

from mind to market

Are you happy with what you have now? What’s next?

My plan for my retirement was to be a filmmaker. Here I am making a number of movies. So I am happy now.

I can’t answer what I want to achieve next, but it should be 10 times the impact of what I am doing now.